Senin, 09 November 2015

PARPOLISASI MEMPERLEMAH HAK-HAK POLITIK RAKYAT DAN ANTI DEMOKRASI

I. PENGANTAR: Panitia Pelaksana Temu Nasional Aktifis Gerakan Mahasiswa 77/78, Bandung 10-11 November 2015, meminta Saya untuk menjadi Pembahas pada Diskusi 2: “Mewujudkan Hak-Hak Politik Rakyat sebagai Dasar Mengembangkan Sistem Politik Demokratis”. Untuk memenuhi permintaan Panitia, Saya mencoba mengambil posisi untuk membahas permasalahan kecenderungan “parpolisasi” dalam realitas obyektif bukan memperkokoh, malahan mengabaikan dan memperlemah hak-hak politik rakyat sebagai dasar mengembangkan system politik demokratis di Indonesia. Sekalipun saya diminta sebagai Pembahas, namun perkenankan Saya untuk menuangkan pembahasan permasalahan kecenderungan parpolisasi ini ke dalam sebuah Makalah berjudul “ Parpolisasi Memperlemah Hak-Hak Politik Rakyat dan Anti Demokrasi”. Melalui Makalah ini secara lebih terinci Saya sajikan butir-butir relevan dengan kecenderungan parpolisasi dan beberapa hal akibat parpolisasi di Indonesia. Butir-butir relevan dimaksud yakni: 1. Tugas dan Fungsi Parpol menurut Undang-Undang. 2. Hak-Hak Politik Rakyat. 3. Kepartian menurut Teori Politik Kartel dan Perspektif Parpolisasi 4. Parpolisasi Pemerintahan/Negara. 5. Parpolisasi Masyarakat Madani (Civil Society) 6. Parpolisasi Dunia Usaha. 7. Peningkatan Anggaran Parpol. 8. Kultur Politik Transaksional. 9. Akibat Parpolisasi. 10. Apa Harus Dilakukan? II. FUNGSI PARPOL MENURUT UNDANG-UNDANG: Manifestasi kedaulatan rakyat sebagai cita-cita demokrasi menuntut adanya organisasi sebagai sarana massa rakyat menyalurkan apa disebut sebagai kehendak bersama, hanya mungkin diberikan melalui organisasi. Dalam perspektif demokrasi, Parpol sebagai organisasi dan bagian rakyat sangat dibutuhkan untuk menjadi sarana partisipasi politik dan penyaluran aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Peran Parpol dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat sebagai “intermediate-structure”, yakni menjadi perantara antara rakyat atau masyarakat politik dan negara. Sejak perjuangan “kekuatan reformasi” berhasil meruntuhkan “kekuataan Rezim Orde Baru”, rakyat Indonesia memilih untuk mengembangkan kehidupan demokrasi sesuai dengan pengalaman Negara-negara industri maju Barat. Sesuai Agenda Reformasi, UUD 1945 diamandemen dan peraturan perundang-undangan tentang Parpol (Partai Politik) diganti sehingga tugas dan fungsi Parpol berubah. Menurut Undang-Undang (UU) No.2 tahun 2008 maupun UU No. 2 Tahun 2011 tentang Parpol telah menetapkan fungsi Parpol (pasal 11) sebagai sarana: a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara RI sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. b. Penciptaan iklim kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. c. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. d. Partisipasi politik warga negara. e. Rekruitmen politik dalam proses pengisian/penempatan jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender. III. HAK-HAK POLITIK RAKYAT: Hak-hak politik dasar rakyat sebagai hak dasar secara kodrati melekat pada diri setiap manusia, bersifat universal dan langgeng. Karena itu, hak-hak politik rakyat harus dihormati, dimajukan, dipenuhi, dilindungi, dan ditegakkan. Tugas penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan, dan penegakan hak-hak politik rakyat merupakan kewajiban dan tanggungjawab Negara. Hak-hak politik rakyat adalah seperangkat hak melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak Politik rakyat mencakup hak untuk memilih dan dipilih. Penjaminan hak dipilih tersurat di dalam UUD 1945, Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3);141. Hak memilih juga diatur dalam Pasal 1 ayat (2); Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A (1); Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945. Ketentuan UUD 1945 ini mengarahkan, negara harus memenuhi segala bentuk hak politik rakyat (memilih dan dipilih). Makna ketentuan ini menegaskan, segala bentuk produk hukum perundang-undangan mengatur tentang Pemilu khususnya mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak pilih dalam Pemilu. Pembatasan hak pilih merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. IV. KEPARTIAN MENURUT TEORI POLITIK KARTEL DAN PERSPEKTIF PARPOLISASI: A. Teori Politik Kartel Dalam memahami kehidupan kepartaian, beragam teori dapat ditemukan seperti teori agensi, teori pencitraan, teori oligarki, dan terakhir teori politik kartel. Teori politik kartel menggunakan konsep kartel untuk menggambarkan suatu kelompok elite politik dalam hal ini Parpol-parpol, bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, ditandai minimnya tautan elektoral (hubungan pemilihan) antara perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Parpol melakukan politik kartel berkewajiban menentang sekaligus membatasi kompetisi (persaingan) dan menghalangi akses bagi Parpol pesaing, dan mendistribusikan atau membagi-bagikan keuntungan kekuasaan politik terhadap sesama anggota kartel (elite Parpol). Para pengguna teori politik kartel telah menunjukkan setidaknya lima karakteristik politik kartel kepartaian, yakni: 1. Menghilangkan peran ideologi. 2. Mengutamakan koalisi, bukan oposisi. 3. Janji-janji tidak direalisasikan. 4. Memperoleh dana illegal. 5. Menghindari penyingkapan korupsi. Teori politik kartel ini menjelaskan model Parpol “kartel” sebagai kelanjutan dari model-model Parpol seperti model Parpol “kader”, Parpol “massa”, Parpol “oligarki”. Dalam literatur ilmu politik, Richard S. Katz dan Peter Mair adalah ilmuwan politik mencoba membangun model Parpol kartel, yakni “Parpol “berkolusi” menjadi agen dari negara dan menggunakan sumber-sumber daya negara untuk memastikan kehidupan kolektif mereka sendiri sehingga tetap bisa bertahan (eksis)”. Terbentuknya Parpol kartel ini memberikan pengaruh terhadap Pemilu, yakni menang atau kalah dalam Pemilu hanya membuat sedikit perbedaan pada tujuan Parpol karena tidak adanya pertarungan besar pada aspek kebijakan, tetapi dapat dibuat perjanjian baik terkait dengan survival Parpol di mana sumber daya banyak berasal dari negara. Bahkan, ketika para pemimpin Parpol kalah dalam pemilihan, mereka tidak menjadi kehilangan kekuasaan karena berkolusi untuk saling berbagi kekuasaan. Salah satu alasan paling digandrungi oleh para pengguna teori politik kartel, Parpol akan cenderung menyandarkan pembiayaan operasionalnya pada dua institusi: negara dan kelompok atau segmen masyarakat mampu membiayainya (sebagian besar Pengusaha), pada dasarnya berasal dari “pemburu rente”. Parpol secara kolektif memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, yakni untuk membiayai kegiatan politik. Untuk keperluan memobilisasi dana politik itulah mereka bersama-sama melakukan “kolonisasi” terhadap Kabinet/Pemerintah dan kepemimpinan DPR karena posisi-posisi itu menyediakan rente ekonomi. Hal ini juga disebabkan ketidakmandirian Parpol dalam menggalang dana dari anggotanya. Ketidakmandirian menyebabkan ketidakmandirian pula dalam hal ikhwal bersifat strategis. Parpol mungkin hanya ditunjang oleh beberapa konglemerat (pemburu rente) dan sekelompok simpatisan Parpol membuat keputusan Parpol tidak bisa lepas dari koridor kepentingan politik tertentu. Acapkali terjadi “perkawinan politik” antara pengusaha (pemburu rente) dan penguasa/politisi Parpol. Dalam era reformasi ini, para pemburu rente dimaksud semakin berperan besar dalam politik kekuasaan melalui penguasaan Parpol atau pendudukan posisi-posisi puncak Parpol. Munculnya politik kartel karena adanya kepentingan Parpol untuk mengakses sumber dana Negara. Ada dua sumber dana negara. Pertama, dana budgeter legal memang dialokasikan sebagai bentuk pendanaan publik untuk Parpol. Kedua, dana ilegal merupakan campuran antara dana budgeter dan nonbudgeter, misalnya dana dalam rekening Departemen, rekening Menteri dan rekening Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sumber kedua ini dinilai ilegal karena tidak dialokasikan untuk pendanaan Parpol. Kondisi Indonesia sangat memungkinkan terciptanya politik kartel karena besarnya dana negara tersedia dan juga masih banyaknya kelemahan baik secara substansi maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan keuangan Parpol. Politik kartel, menurut penguna teori ini, dibutuhkan oleh para elite politik (Parpol) untuk menghindari adanya penyingkapan terhadap penggunaan dana negara secara ilegal oleh elite politik (Parpol) lain. Para teoritisi politik kartel menunjukkan Parpol berorientasi kepada pembangunan kekuasaan politik melalui uang sehingga Parpol sangat bergantung pada sumbangan dari pihak-pihak pemilik modal. Peran Parpol tidak secara konsisten mengawal proses demokratisasi, tetapi hanya untuk perebutan kekuasaan dan uang. Iuran anggota tidak bisa berjalan dan Parpol tidak mampu mandiri dalam mendanai kiprahnya di masyarakat madani umumnya atau di tengah-tengah kelompok pemilih/konstituen khususnya. Calon anggota legislatif juga harus menyiapkan sendiri uang untuk bisa berkampanye. Secara garis besar, para pengamat politik menilai kehidupan kepartaian berdasarkan politik kartel ini menyebabkan kerugian atau membawa dampak negatif terhadap kehidupan politik sebagai berikut: 1) Politik berada pada tingkat sangat permukaan dan artifisial, tidak ada lagi hal ikhwal bersifat prinsipil. 2) Politik secara mudah digeser dari perdebatan mendalam tentang kesejahteraan publik ke tawar-menawar kekuasaan, dan kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli. 3) Argumen dan debat politik cerdas dan hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. 4) Tidak ada jaminan kehendak publik (rakyat) dititipkan kepada Parpol lewat Pemilu akan direalisasikan. 5) Ada keterputusan mandat dari pemilih, dan institusi Parpol lebih dekat dengan negara ketimbang dengan rakyat. 6) Sikap politik pragmatis dan mayoritas Parpol koalisi bertendensi memaksimalkan kekuasaan di tangan Presiden dan juga politik dinasti. 7) Politik hanya menjadi ajang jual beli suara rakyat sebagai alat tukar dalam mendapatkan kekuasaan. 8) Karena ketidakadaan akuntabilitas publik dari Parpol beroposisi, maka kualitas keputusan publik menjadi rendah. 9) Ideologi dan platform tidak lagi substansial karena telah digantikan oleh prinsip oportunisme. 10) Tidak bisa berharap banyak proses politik akan menghasilkan pemerintahan memperhatikan kepentingan publik secara luas dan hak-hak politik rakyat. 11) Pada dasarnya tidak akan pernah menjadi Parpol gerakan atau bagian dari gerakan massa, apalagi massa aksi, kecuali Parpol elite hanya akan melakukan kegiatan menjelang dan saat Pemilu saja. 12) Rakyat akan dipaksa untuk menari di atas genderang ditabuh oleh kalangan elite politik (Parpol) lima tahun sekali (Pemilu). 13) Terciptanya iklim anti demokrasi dan pro korupsi. A.Perspektif Parpolisasi Perpektif parpolisasi menggunakan konsep parpolisasi untuk menggambarkan suatu kelompok kader Parpol semakin meningkat menduduki, menempati dan menentukan jabatan-jabatan atau posisi-posisi strategis bidang: 1) Pemerintahan/Negara 2) Masyarakat madani (civil society). 3) Dunia usaha. Di samping itu, parpolisasi menggambarkan: 1) Semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas anggaran Parpol dari sumber dana Negara. 2) Semakin meningkatnya kultur “transaksional” dalam pengambilan keputusan politik, kebijakan pemerintahan/Negara dan penerbitan regulasi (peraturan perundang-undangan). Kecenderungan parpolisasi di atas dapat memperlemah hak-hak politik rakyat dan sekaligus juga menunjukkan ke arah anti-demokrasi dalam arti substansial. V. PARPOLISASI PEMERINTAHAN/NEGARA: Secara akademis, demokratisasi berlangsung di Indonesia berdasakan pengalaman Negara-negara Demokrasi Barat. Rakyat di Negara-negara Demokrasi Barat dibagi menjadi tiga /bidang: 1. Pemerintahan/Negara 2. Dunia usaha/pelaku usaha 3. Masyarakat madani (civil society) Terdapat diferensiasi dan spesialisasi fungsi. Pemerintahan/Negara bermakna lembaga Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif. 1) Lembaga Legislatif MPR (DPR + DPD) dan DPRD a) DPR dan DPRD Lembaga legislatif seperti MPR, (DPR+DPD), DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Semua anggota DPR dan DPRD adalah kader Parpol direkruit melalui Pemilu Legislatif. Namun, realitas obyektif Pemilu legislatif hampir pupus dari proses demokratis, jujur, dan adil. Di DPR dan DPRD terdapat “Fraksi”. Fraksi secara struktural berada di bawah Parpol dan sewaktu-waktu Parpol berhak untuk mengganti kepengurusan Fraksi. Fraksi dapat dijadikan sebagai komponen kendali Parpol dalam proses keputusan politik legislatif, misalnya penerbitan Undang-Undang atau Peraturan Daerah (Perda). Karena itu, anggota DPR dan DPRD tidak terbebas dari kepentingan Parpol. b) Staf Ahli/Khusus Anggota DPR Setiap anggota DPR memiliki Staf Ahli/Khusus dibiayai oleh dana Negara. Dalam kenyataannya, hampir semua Staf Ahli/Khusus ini adalah kader Parpol. Hal ini tidak lepas dari rekruitmen/penempatan kader oleh Parpol bersangkutan. c) DPD Di lain pihak, peserta pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan (Pasal 22E Ayat 4). Berarti parpol hanya boleh menjadi peserta Pemilu. Hal ini hanya dalam pemilihan anggota DPR atau DPRD, bukan DPD. Berdasarkan pengalaman Pemilu 2004, 2009 dan 2014, sebagian calon anggota DPD adalah kader Parpol. Memang tidak ada larangan resmi kader Parpol mencalonkan diri sebagai Anggota DPD. 2) Lembaga Eksekutif a). Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota Untuk Indonesia, lembaga eksekutif seperti Pemerintah (Pusat) dipimpin oleh Presiden, Pemerintah Provinsi oleh Gubernur, dan Kabupaten oleh Bupati dan Kota oleh Walikota. Sesuai UUD 1945, mekanisme penetapan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol. Hal ini menyebabkan Parpol memiliki peranan utama untuk menjadikan sesorang sebagai Calon Presiden atau Wakil Presiden. Kini pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota secara langsung oleh rakyat. Untuk Presiden harus diusung Parpol atau gabungan Parpol berdasarkan peraturan perundang-undangan. Untuk Gubernur, Bupati dan Walikota juga diusung oleh Parpol atau gabungan parpol, namun dapat juga berdasarkan perorangan (bukan Parpol). Melalui Pilpres Parpol-parpol pengusung Presiden merekruit dan menempatkan kader-kader Parpol bersangkutan untuk menduduki jabatan Menteri dan Kepala Lembaga Non Kementerian.Intervensi parpol begitu kuat tidak saja dalam menentukan Presiden dan Para Menteri, melainkan juga semua kebijakan strategis, penentuan pejabat-pejabat strategis di lingkungan Pemerintahan. Hal ini juga berlaku pada penentuan Gubernur, Bupati dan Walikota termasuk semua kebijakan strategis¸penentuan para pejabat strategis di lingkungan pemerintahan daerah (parpolisasi pemerintahan daerah). DPRD dan juga Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan perpanjangan dari kepentingan Parpol tidak saja pada Pengurus tingkat daerah melainkan juga Pengurus di tingkat Pusat. Dapat dinilai, kekuasaan dikuasai oleh Parpol. Telah umum diketahui, pemilihan secara langsung oleh rakyat ini membutuhkan biaya tinggi. Tidak memberi kesempatan SDM memiliki “kompetensi” dalam urusan Negara dan rakyat tanpa menggunakan dana besar. Kompetensi dalam pengertian kreteria pengetahuan akademis; pengalaman atau unjuk kerja; dan, “integritas” dan kepemimpinan peribadi. Dengan model pemilihan secara langsung oleh rakyat, maka dibutuhkan biaya sangat besar (high cost) untuk mempromosikan dan mengkampanyekan Calon tersebut kepada segmen pemilih. Karena Parpol dan sang Calon tidak memiliki dana cukup dan memadani untuk kegiatan promosi dan kampanye, maka Parpol atau kumpulan Parpol mencari bantuan dana dari korporasi/perusahaan ekonomi lokal, nasional bahkan internasional dunia usaha) dan pada gilirannya terjadi hubungan transaksional antara Calon Presiden dan Wakil, kumpulan Parpol pengusung dan para Korporet. Hubungan semacam ini membuka ruang bagi para Korporet membeli keputusan politik atau kebijakan Pemerintah di kemudian hari. Ada semacam “balas budi” terhadap para Korporet tersebut. Pada gilirannya penguasa Negara menghamba kepada Korporet. Khusus pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota langsung oleh rakyat (Pilkada) tidak termasuk dalam konsep awal otonomi daerah. Pilkada langsung muncul setelah revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Tanpa kajian cukup, tanpa sosialisasi, tiba-tiba diberlakukan Pilkada langsung. Rujukannya hanya Pilpres baru beberapa bulan dilaksanakan. Untuk menjadi Kepala Daerah, mesti bayar ke Parpol, kampanye dan segala macam. Pilkada langsung membuat rakyat bisa dibeli Rp. 50.000, Rp. 100.000 juga Rp. 200.000. Akhirnya kita mendapat Gubernur, Bupati dan Walikota masuk penjara karena tindak pidana korupsi. Gubernur, Bupati dan Walikota cenderung tidak memiliki tanggungjawab politik kepada rakyat pemilih melainkan tanggungjawab politik kepada Parpol atau gabungan Parpol pengusung. Karena pemilihan biaya tinggi, dan peran Parpol juga besar dalam penentuan Calon dalam pemilihan, terjadi pemutusan hubungan politik antara Gubernur,Bupati dan walkota dengan rakyat. Hak-hak politik rakyat hanya dimanfaatkan untuk memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan. Rakyat tidak memiliki akses politik ketika beberapa kebijakan strategis di daerah diintervensi kepentingan Parpol. Akibatnya, kesejahteraan rakyat kebanyakan bukan menjadi pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan politik, kebijakan Pemerintah Daerah dan juga penerbitan regulasi. Di bawah situasi parpolisasi eksekutif baik Pusat maupun daerah, penentu kebijakan pemerintahan/negara berada pada pimpinan Parpol di luar struktur organisasi pemerintahan/Negara. Bisa dibilang, “ada struktur di luar struktur menentukan struktur bersangkutan”. b). Menteri dan Kepala Lembaga Non Kementerian Sebagaimana diungkapkan sebelumnya, melalui Pilpres pula Parpol-parpol pengusung Presiden merekruit dan menempatkan kader-kader Parpol bersangkutan untuk menduduki jabatan Menteri dan Kepala Lembaga Non Kementerian.Intervensi parpol begitu kuat tidak saja dalam menentukan Presiden dan Para Menteri, melainkan juga semua kebijakan strategis, penentuan pejabat-pejabat strategis di lingkungan Pemerintahan. Sudah umum diketahui, sepanjang sejarah era reformasi, dominan posisi Menteri dan Kepala Lembaga Non Kementerian diduduki kader Parpol. c). Kapolri, Panglima TNI dan Duta Besar DPR notabenenya semua kader parpol memiliki hak untuk terlibat dalam menentukan siapa menjadi Kapolri, Panglima TNI dan Duta Besar. Hal ini berarti, Parpol dapat melalui Fraksi untuk memihak kepada Calon Kapolri, Panglima TNI dan Duta Besar dimaksud. Faktor politik (kepentingan Parpol) menjadi lebih dominan ketimbang faktor kompetensi SDM ketika proses penentuan para Pejabat Negara tersebut. d). Kajagung dan KaBin Dalam realitas obyektif, jabatan pemerintahan/Negara seperti Kajagung dan KaBin kini dipegang oleh kader Parpol. Kajagung dipegang oleh seorang Kader Parpol Pengusung Jokowi, Nasdem. KaBIN dipegang oleh Kader Parpol Pengusung Jokowi, PKPI (Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia) Bahkan, untuk menentukan para pejabat Negara tersebut, Parpol melalui DPR turut menentukan. Keberadaan kader Parpol sebangai pejabat di lembaga-lembaga Negara tersebut tentu dapat mengutamakan kepentingan Parpol bersangkutan dalam proses pengambilan kebijakan. c).Staf Khusus Menteri Sejak era reformasi, diperbolehkan Staf Khusus Menteri berasal dari Non PNS. Pada umumnya Staf Khusus Menteri direkruit dari kader Parpol. Kehadiran Staf Khusus ini dalam kenyataanya hanya untuk “Sumber Mata Pencaharian” kader Parpol secara kriteria kompetensi, kebanyakan tidak kompeten untuk menjadi Staf Khusus Menteri. Bahkan, Staf Khusus ini bisa menjadi bagian dari jaringan pelaku tindak pidana korupsi di lingkungan Kementerian bersangkutan. d) Jabatan Tinggi “Utama” dan “Madya” Mengacu pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pengisian jabatan tinggi “utama” dan “madya” pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, jejak jabatan, dan integritas serta persayaratan lain dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 108, ayat 1). Sebagai keterangan: jabatan tinggi “utama” seperti “eselon 1”; “madya” sebagai “eselon 2”. Namun, jabatan pemimpin utama dan madya tertentu dapat berasal dari kalangan non-PNS dengan persetujuan Presiden, pengisiannya dilakukan secara terbuka dan kompettetif serta dtetapkan dalam Keputusan Presiden (Pasal 109, ayat 1). Juga jabatan Pimpinan Tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan Anggota Kepolisian “setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi ditetapkan melalui proses terbuka dan kompetetif (Pasal 109, ayat 2). Bahkan, parjurit TNI dan Kepolisian dapat mengisi jabatan pimpinan tinggi di lingkungan Instansi Pemerintah tertentu sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 109, ayat 3). Diperbolehkannya SDM Non PNS untuk menjadi pimpinan tinggi “utama” (Eselon 1) dan “madya” (Eselon 2) dapat menjadi “jalan masuk” kader-kader Parpol untuk menjadi pimpinan tinggi tersebut. Bagi kader-kader Parpol akan lebih mudah karena Menteri kader Parpol akan membantu (nepotisme) kader Parpol untuk jabatan tinggi itu.. Besarnya kewenangan Menteri menentukan Eselon 1 dan Eselon 2 sangat memungkinkan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) dalam hal pelelangan jabatan ini. 3) Lembaga Yudikatif Lembaga Yudikatif adalah lembaga Negara seperti MA, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Khusus lembaga yudikatif, kader Parpol terbukti bisa menjadi sebagai Hakim Agung di MA (Mahkamah Agung). Untuk Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi belum diperoleh fakta dan data, Hakim di pengadilan tersebut berasal dari kader Parpol. 4) Lembaga Negara Khusus Lembaga Negara Khusus dimaksudkan seperti BPK, KPK, MK, KY, dan KPU. a. BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Untuk BPK, ada fakta dan data kader Parpol menjadi anggota, bahkan sebagai Ketua BPK Nasional diduduki oleh kader Parpol. b. MK Mahkamah Konstitusi) Untuk MK, ada fakta dan data kader Parpol menjadi anggota, bahkan juga sebagai Ketua MK. c. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Untuk KPK, belum ditemukan fakta dan data seorang kader Parpol menjadi Anggota Komisi KPK. d. KY (Komisi Yudisial) Untuk KY, belum ditemukan fakta dan bukti seorang kader Parpol menjadi anggota KY. e. KPU (Komisi Pemilihan Umum) Revisi UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, membuat peran Parpol menjadi lebih dominan dengan dapat terlibat dalam penetapan dan pengawasan anggota KPU dan Badan Pengawas (Bawas) Pemilu. Regulasi mengatur, jika anggota atau pengurus Parpol dapat mendaftar menjadi anggota KPU, Bawas Pemilu, atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), sepanjang telah mengundurkan diri. Sungguh hal ini bertentangan dengan amanat konstitusi, yakni pemilu diselenggarakan oleh suatu KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri (Pasal 22E Ayat 5). Frasa ”mandiri” tentu bermakna berdiri sendiri, bukan di bawah struktur atau cabang kekuasaan manapun. Makna ”mandiri” juga berarti bebas dari unsur partai manapun menjadi peserta pemilu sebagaimana diatur Pasal 22E Ayat 3. Jika mencermati original intent dari konstitusi dalam pasal Pemilu, terdapat pemisahan tegas. Yakni penegasan antara siapa peserta pemilu dan siapa penyelenggaranya. Peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai (Pasal 22E Ayat 3). VI. PARPOLISASI MASYARAKAT MADANI (CIVIL SOCIETY): Parpolisasi masyarakat madani juga berlaku pada lembaga-lembaga non pemerintahan, organisasi kemasyarakatan (Ormas) baik bukan keagamaan maupun non keagamaan. Salah satu contoh adalah parpolisasi NU saat Muktamar ke-33 di Jombang Jawa Timur lalu. NU menjadi sangat terbuka karena ada Parpol (PKB) konstituen dominan warga NU dan sedang dalam posisi parpol berkuasa di pemerintahan. Kepentingan parpol atas penguasaan NU tentu dalam rangka mempertahankan atau meningkatkan kekuasaan. Saat Muktamar NU berlangsung, Kubu Gus Solah membeberkan, harga dukungan AHWA Rp 15-25 juta Per PCNU. Kelompok tertentu di Muktamar menghendaki metode AHWA dalam proses pengambilan keputusan. AHWA bermakna metode musyawarah mufakat, bukan one man one vote. Tapi, menurut Gus Solah, AHWA tidak dikenal di dalam AD/ART NU. Seorang Ketua PPP menilai, ikhwal kepengurusan baru Pengurus Besar NU didominasi kader ppengurus Parpol tertentu. “Ada parpolisasi di PBNU saat ini. Ini membahayakan NU di masa mendatang”, tandasnya. Organisasi NU diperebutkan paling tidak oleh kader PKB, PPP, dan Golkar. Organisasi Muhammadiyah diperebutkan oleh kader PAN, PPP dan Golkar. Kader-kader Parpol juga sudah terlihat ikut memperebutkan kekuasaan atau pengurus di Muhammadiyah. Kultur transaksi sebelumnya terbebas dari dunia ormas, kini sudah diperkenalkan dan dilembagakan oleh kader-kader Parpol sudah terkena atau tercemar ketika menjadi pejabat pemerintahan, misalnya DPR/DPRD, Menteri, Gubernur/Walikota/Bupati dan juga di dalam dinamika internal Parpol itu sendiri. Kecendrungan parpolisasi ini juga berlaku pada organiasi pemuda, olahraga dan bahkan palang merah. VII. PARPOLISASI DUNIA USAHA: 1). Komisaris Independen BUMD dan BUMD Dalam pembentukan dan rekrutmen personil untuk struktur organisasi Komisaris di BUMN dan BUMD, terdapat apa disebut Komisaris Independen. Tetapi, dalam kenyataannya, anggota Komisaris Independen tersebut berasal dari kader Parpol. Kader-kader Parpol diperbolehkan menjadi Komisaris Independen. Pengaruh Parpol terhadap Presiden dan Wakil Presiden dan juga Menteri terkait dengan BUMN dapat membantu kader-kader Parpol untuk menduduki jabatan Komisaris Independen dengan motip ekonomis semata (sumber mata pencaharian). 2). Kader Parpol sebagai Penguasa Di DPR dan DPRD kita menemukan banyak anggota berasal dari pengusaha atau pelaku dunia usaha. Bahkan, ada Parpol memngundang seorang Pengusaha menjadi Ketua Umum Parpol dan juga seorang Pengusaha mendirikan Parpol sekaligus bertindak sebagai Ketua Umum Parpol bersangkutan. Dalam konteks parpolisasi dunia usaha ini, sangat berbeda dengan kecenderungan “militerisasi” pada era Orba, menjadikan perwira militer sebagai pimpinan perusahaan ekonomi. Di era refomasi, justru penguasa ditarik untuk menjadi kader Parpol bahkan pimpinan Parpol baik nasional maupun daerah. Ada kerjasama sebagai entitas untuk menjaga kepentingan bersama antara politisi dan pengusaha di dalam Parpol. Bahkan ada hipotetis di Idnoensia, kini keputusan politik, kebiajakn pemerintahan dan penerbitan regulasi ditentukan oleh kepentingan korporasi/perusahan. “Para penguasa Negara telah menghamba kepada kaum korporet”. VIII. PENINGKATAN ANGGARAN PARPOL: Menurut UU tentang Parpol, keuangan parpol bersumber dari: a. iuran anggota; b.sumbangan sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari APBN/APBD. Sumbangan dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Bantuan keuangan APBN/APBD diberikan secara proporsional kepada Parpol mendapatkan kursi di DPR,DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Bantuan keuangan diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. Namun, hampir semua Parpol tidak melaksanakan kegiatan pendidikan politik bagi anggota parpol dan masyarakat ini. Parpol wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran bersumber bantuan APBN/APBD kepada BPK secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit laporan dilakukan 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Hasil audit atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada Partai Politik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diaudit. Hampir semua parpol tidak melaksanakan ketentuan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran besumber bantuan APBN/APBD ini. Indikator peningkatan anggaran Parpol dari bantuan APBN/APBD terus diupayakan para kader Parpol baik di legislatif maupun eksekutif dengan beragam argumentasi seakan-akan untuk keperluan rakyat. Satu concoh upaya kelompok kader Parpol dapat memanfaatkan dana APBN untuk keperluan Parpol umumnya adalah prakarsa terkait dengan UP2DP (Usulan Program Pembangunan Dana Pemilihan). Setiap anggota DPR mendapatkan jatah dana pembangunan dapil masing-masing dalam APBN. Kendati belum disepakati,pagu indikatif sempat mencuat adalah sebanyak Rp. 20 miliar per anggota pertahun.Dengan jumlah itu,total dana aspirasi pertahun bisa mencapai Rp. 11,2 triliun. Meskpun menuai kontroversi, DPR melalui rapat paripurna, 23 Juni 2015, mensahkan Peraturan DPR tentang Tata Cara Pengusulan Pembangunan Daerah Pemilihan atau dana aspirasi. Padahal sebelumnya program ini sempat mendapat tantangan dari sejumlah fraksi, diantaranya Fraksi PDIP, Fraksi Nadem dan Fraksi Hanura. Contoh lain adalah wacana Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Wacana ini terkait dengan usulan pembiayaan Parpol atau dana Parpol lewat uang Negara sebesar Rp. 1 triliun per tahun. Wacana ini mengundang kritik dan kecaman public, dan menurut pengakuan Tjahjo Kumolo, wacana ini belum pernah dibahas dalam rapat kerja Kabinet. IX. KULTUR POLITIK TRANSAKSIONAL: Kultur politik “transaksional”, yakni politik tukar-menukar bagaikan hubungan antara “pembeli dan penjual barang/jasa”. Kultur transaksional merupakan reproduksi dari kultur kepartaian di Indonesia terutama di era reformasi dengan pemilihan langsung oleh rakyat baik Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota serta pemilihan terbuka anggota DPR dan DPRD. Di saat penyelenggaraan Kongres atau Muktamar Parpol, perilaku transaksional dapat ditemukan secara terbuka dalam pemilihan pengurus terutama Ketua Umum. Fenomena parpolisasi ini memproduksi perilaku transaksional dan juga koruptif di semua bidang kehidupan rakyat. Kultur ideologis digusur kultur transaksional, AD/ART disesuaikan kepentingan kelompok transaksional. Sebuah organisasi berkultur transaksional pasti 'elitis' tidak berkerja sungguh-sungguh untuk mensejahterakan kebanyakan anggota apalagi rakyat kebanyakan. Hak-hak politik rakyat diperlemah dan lebih menunjukkan kearah anti-demokrAsi secara substansial. Karena sumber masalah kultur transaksional ini adalah Parpol, maka fenomena parpolisasi di Indonesia harus diminimalkan atau harus ada upaya deparpolisasi antara lain melalui regulasi. X. AKIBAT PARPOLISASI: Terdapat sejumlah akibat parpolisasai terhadap kondisi politik nasional Indonesia. Beberapa di antaranya dapat diidentifikasi sebagai berikut: 1. Penentuan Kebijakan Politik di Luar Struktur Organisasi Pemerintahan/Negara Penentu politik pemerintahan/negara, kebijakan politik atau regulasi (penerbitan peraturan perudnang-undangan) berada pada pimpinan Parpol di luar struktur organisasi pemerintahan/negara. 2. Politik Kartel, Hilangnya Ideologi dan Meningkatnya Kultur Politik Transaksional Politik kartel dan perilaku korupsi kader parpol meningkat baik kuantitatif maupun kualitatif dana APBN/APBD bahkan sudah pada kualItas "korupsi sandera negara". Parpolisasi telah melembagakan politik kartel dan kultur transaksional dalam kehidupan politik kepartaian dan hilangnya peran ideologi (cita-cita) sebagai penentu perilaku politik Parpol dalam kehidupan sehari-hari baik dalam pemerintahan (khususnya legislatif dan eksekutif), masyarakat madani (civil society) maupun dunia usaha. Ideologi Parpol hanya digunakan untuk memperoleh suara pemilih melalui kegiatan kampanye dalam pemilihan seperti Pemilu anggota legislatif (nasional dan daerah), Pilpres dan Pilkada (Gubernur, Bupati dan Walikota). Ideologi Parpol menjadi tidak relevan seusai (pasca) kegiatan kampanye dalam pemilihan dimaksud atau perjuangan perebutan kekuasaan legislatif dan eksekutif. Hilangnya peran ideologi Parpol sebagai salah satu karakteristik fenomena politik kartel kepartaian di Indonesia dapat dilihat dari realitas obyektif kehidupan kepartaian dewasa ini, khususnya era reformasi. Pada level nasional, terdapat koalisi Parpol saat dan setelah Pemilu (pemerintahan) bukan berdasarkan kesamaan ideologis, bahkan terdapat perbedaan ideologis sesama anggota koalisi. Di samping itu, kecenderungan parpolisasi ini menciptakan kultur politik “transaksional”, yakni politik tukar-menukar bagaikan hubungan antara “pembeli dan penjual barang dan jasa”. 3. Lebih Mengutamakan Kepetingan Kader Parpol Penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan kelompok kader parpol dan kroni-kroninya, bukan kesejahteraan rakyat kebanyakan sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945. Tugas dan fungsi parpol tidak lagi untuk mendidik dan mewujudkan hak-hak politik rakyat sebagai dasar mengembangkan system politik demokratis. Bahkan Parpol turut memperlemah hak-hak politik rakyat dan sekaligus berprilaku politik anti-demokrasi dalam arti substansial. Parpol lebih mengutamakan kepentingan Parpol itu sendiri. Penyelenggaraan urusan pemerintahan diharapkan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, dalam kenyataannya lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan kelompok kader Parpol dan kroni-kroninya. Kesejahteraan rakyat kebanyakan sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 menjadi terabaikan dan akan terus terabaikan. 4. Tanpa Oposisi, Lebih Mengutamakan Koalisi Proses demokratisasi terjadi tanpa kekuatan parpol atau kumpulan parpol “oposisi”, tetapi lebih mengutamakan “koalisi”. Legislatif Tanpa Oposisi: Proses demokratisasi terjadi di DPR dan DPRD tanpa keberadaan dan kiprah suatu kekuatan atau kumpulan kekuatan kader Parpol Oposisi. Semua kader Parpol di lembaga legislatif lebIh mengutamakan bergabung ke dalam pengelompokan satu “koalisi” dan mendukung Rezim Kekuasaan di Eksekutif. 5. Keputusan Politik, Kebijakan Pemerintahan dan Regulasi Tidak Efektif dan Efisien. Dengan demokratisasi tanpa kekuatan oposisi, sudah jelas bahwa keputusan politik dan kebijakan pemerintah menjadi tidak berkualitas, efektif dan efisien. XI. APA HARUS DILAKUKAN?: Minimal ada beberapa keputusan politik harus diambil, yakni: 1. UUD 1945 harus diamandemen kembali, khususnya ketentuan: a. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dikembalikan pada model pemilihan perwakilan. Presiden dan Wakil dipilih oleh MPR. b. Calon Presiden dan Wakil tidak harus mendapat dukungan dari Parpol atau Kumpulan Parpol. 2. Wewenang Parpol dibatasi hanya untuk rekruitmen politik anggota Legislatif (DPR dan DPRD). 3. Penegakan hukum konsekuen terhadap Parpol tidak melaksanakan tugas fungsi Parpol ; sesuai UU bagi Parpol melanggar dibekukan , dibubarkan atau dilarang ikut pemilu. 4. Hapuskan keterlibatan DPR menentukan Kapolri, Panglima TNI, KaBIN, Dutabesar. 5. Dilarang kader Parpol menjadi anggota DPD. 6. Hapuskan staf khusus Menteri non PNS. 7. Hapuskan model pelelangan eselon 1 dan 2 bagi SDM non PNS. 8. Larangan kader Parpol pegang jabatan pemerintahan/negara, seperti Kajagung, KaBin, MK, KY, MA, dll. 9. Pemilihan Gubernur,Walikota/Bupati dikembalikan model pemilihan oleh legislatif, bukan pemilihan langsung oleh rakyat. 10. Hapuskan ketentuan Calon Gubernur dan Wakil, Bupati dan Wakil, Walikota dan Wakil dalam Pilkada mendapat dukungan dari Parpol atau Kumpulan Parpol. 11. Hapuskan Komisaris independen di BUMN dan BUMD.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda