Selasa, 03 November 2015

JANJI KAMPANYE JOKOWI-JK TENTANG PEMBERANTASAN KORUPSI: HAMPIR BELUM ADA REALISASI

I.JANJI KAMPANYE: Ketika kampanye Pilpres 2014, Pasangan Jokowi- JK berjanji secara lisan maupun tertulis. Khusus secara tertulis, dapat ditemukan pada dokumen yang terdapat di Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena Pasangan ini telah mengajukan Janji-Janji tersebut secara tertulis kepada KPU dalam visi misi dan Program Aksi. Berawal dari dasar pemikiran bahwa Reformasi 1998 menjanjikan lahirnya Indonesia baru yang lebih demokratis, sejahtera, berkeadilan, dan bermartabat. Jalan perubahan menuju Indonesia Hebat adalah jalan ideologis. Untuk itu, dalam lima tahun ke depan, pemerintahan Jokowi-Jk akan dipandu oleh VISI sebagai berikut: TERWUJUDNYA INDONESIA YANG BERDAULAT, MANDIRI DAN BERKEPRIBADIAN BERLANDASKAN GOTONG ROYONG. Tindak lanjut visi diatas, Jokowi-Jk mencanangkan MISI sebagai berikut: 1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim, dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan. 2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan Negara hukum. 3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai Negara maritim. 4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. 5. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing. 6. Mewujudkan Indonesia menjadi Negara maritime yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional . 7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan Untuk menunjukan prioritas dirumuskan sembilan agenda aksi dalam pemerintahan ke depan. Kesembilan agenda prioritas itu disebut NAWA CITA, Jokowi Jk akan: 1. Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara. 2. Membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. 4. Memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya . 5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. 8. Melakukan revolusi karakter bangsa. 9. Memperteguhke-bhinneka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia. II. JANJI PEMBERANTASAN KORUPSI: Mengacu pada Nawacita butir 4, disebutkan bahwa Jokowi-Jk akan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya . Janji politik dalam pemberantasan korupsi ini, acapkali diucapkan dalam berbagai kesempatan. Janji itu diucapkan dalam satu kalimat pendek, yakni keberpihakan pada pemberantasan korupsi, diujudkan dalam bentuk keberpihakan pada legislasi mendukung pemberantasan korupsi, reformasi lembaga penegak hukum, politik, pajak, bea-cukai, dan SDA, dll. Juga dijanjikan akan membangun system pencegahan korupsi di birokrasi. Hal ini juga dituangkan dalam butir 2 Nawacita, yakni membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. III.HAMPIR BELUM ADA REALISASI: Sudah setahun Jokowi-Jk berkuasa, apakah janji ini ada realisasi? Berbagai penilaian/evaluasi kritis perjalanan setahun kekuasan Jokow-Jk, umumnya menilai bahwa Jokowi-Jk belum mampu memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Bahkan, ada penilaian hampir belum ada janji politik dalam pemberantasan korupsi yang direalisasikan dengan serius. Salah seorang penilai janji Jokowi-Jk ini adalah Oce Madril, Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM (Harian Koran Tempo, 3 November 2015). Baginya, pemerintah tampak belum serius menuju kearah pemenuhan janji-janji tersebut. Yang tampak justru langkah mundur: berbagai usaha pelemahan dan penghancuran gerakan pemberantasan korupsi, termasuk kriminalisasi terhadap pimpinan KPK dan pegiat anti Korupsi. Upaya kriminalisasi tersebut sampai saat ini tidak bisa dihentikan oleh Jokowi. Oce Madril mencoba membuktikan penilaian itu dengan dua variable, yakni Pertama, kelembagan KPK dan Kedua, kelembagaan Kejaksaan dan Kepolisian. Khusus kelembagaan KPK, Oce menilai, dasar hukum pembentukan KPK juga diganggu-gugat. Ada upaya untuk membubarkan KPK secara perlahan-lahan dengan menggunakan kewenangan legislaif. Bergulirnya isu revisi UU KPK merupakan bagian dari usaha tersebut. Jokowi terlihat tidak berani untuk tegas menolak idea ini. Buktinya, Jokowi hanya menunda pembahasan RUU KPK bukan menolaknya. Jokowi juga gagal membangun fondasi antikorupsi yang kuat di Kejaksanaan dan Kepolisian. Dua lembaga penegak hukum ini secara structural langsung berada di bawah perintah Presiden. Jokowi, di mata Oce Manril, melakukan blunder dengan mengisi pejabat di kedua lembaga itu dengan pimpinan yang penuh catatan controversial. Publik belum melihat, ada kinerja serius dari kedua lembaga penegak hukum itu untuk ikut mewujudkan komitmen antikorupsi Jokowi. Tidak ada capaian pemberantasan korupsi yang signifikan dari Kejaksanaan dan Kepolisian . Hingga saat ini, sambung Oce, dalam berbagai survey, publickmasih menganggap kedua lembaga itu sebagai lembaga tidak kredibel . Sebelumnya, fihak KPK sendiri pernah mengingatkan Jokowi atas janjinya itu. Sebagai misal, Wakil Ketua Sementara KPK, Johan Budi (KOMPAS.com, 24/3/2015) mengingatkan agar Jokowi tidak lupa dengan janjinya saat kampanye Pilpres 2014. Saat itu, Jokowi ingin agar pemberantasan korupsi dilakukan secara masif. "Presiden Jokowi bilang kejahatan korupsi dapat merusak tatanan sosial, budaya, ekonomi bahkan demokrasi," kata Johan. Pernyataan Johan ini terkait dengan adanya wacana pelonggaran pemberian remisi bagi koruptor dilontarkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Baginya, wacana ini harus mendapatkan kajian mendalam. Ia mengatakan, para pelaku kejahatan korupsi tidak bisa disamakan dengan para pelaku kejahatan biasa. Pada akhir Februari 2016, muncul polemik publik tentang rencana revisi UU tentang KPK. Atas inisiatif DRP, telah dimasukkan RUU KPK ke dalam Prolegas DPR tahun 2016. RUU ini pada prinsipnya adalah revisi untuk UU KPP. Enam fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyerahkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada anggota Badan Legislasi DPR, pada 06/10/2016. Dalam draf revisi tersebut, Fraksi PDI-P, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Nasdem, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura mengusulkan sejumlah pasal dan ayat diubah. Dari rangkaian usulan revisi itu, berikut lima di antaranya: 1. Pembubaran KPK, 12 tahun setelah draf RUU resmi diundangkan. Pasal 5 berbunyi, Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk untuk masa waktu 12 tahun sejak undang-undang ini diundangkan. 2. KPK tak berwenang melakukan penuntutan. Pasal 7 huruf d berbunyi, "Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang diatur di dalam Undang-undang ini dan/atau penanganannya di kepolisian dan/atau kejaksaan mengalami hambatan karena campur tangan dari pemegang kekuasaan, baik eksekutif, yudikatif, atau legislatif.” 3. Pelimpahan kasus ke Kejaksaan dan Kepolisian. Pasal 13 berbunyi, Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan tindak pidana korupsi yang: a. melibatkan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); c. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi telah melakukan penyidikan dimana ditemukan kerugian negara dengan nilai dibawah 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah), maka wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan kepada kepolisian dan kejaksaan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi Ada kesepakatan Presiden Jokowi Widodo dan DPR untuk menunda pembahasan Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tersebut. Keputusan ini diambil setelah Presiden melakukan konsultasi dengan Pimpinan DPR pada 22/2/2016. Di lain fihak, Ketua DPR Ade Komarudin mengatakan, pembahasan revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 itu hanya ditunda. Revisi UU KPK tetap masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang disepakati DPR dan pemerintah. Artinya, ada kesepakatan antara Presiden dan DPR tidak menghapus RUU itu dalam daftar prolegnas. Sikap Jokowi menunda pembahasan, bukan pencabutan, RUU KPK dari Prolegnas ini menunjukkan bahwa Jokowi terlihat tidak berani untuk tegas menolak idea ini dan tidak menepati janji-janji Kampanye dalam hal pemberantasan korupsi. Sebab dimata sebagian publik penentang , RUU KPK ini akan memperlemah, bukan memperkuat KPK.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda