Selasa, 04 Februari 2014

TEORI-TEORI TENTANG CSR (COORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY)

Untuk menjelaskan kecenderungan pengungkapan CSR dapat menggunakan pendekatan berlandaskan beberapa teori, yakni Teori Stakeholder, teori Legitimasi, Teori Kontrak Sosial, dan Teori Ekonomi Politik. PERTAMA,Teori Stakeholder ( Stakeholder Theory). Stakeholder adalah semua pihak, internal maupun eksternal, dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh perusahaan baik secara langsung maupun tidak langsung. Stakeholder merupakan pihak internal maupun eksternal, seperti : Pemerintah, perusahaan pesaing, masyarakat sekitar, lingkungan internasional, lembaga di luar perusahaan (LSM dan sejenisnya), lembaga pemerhati lingkungan, para pekerja perusahaan, kaum minoritas dan lain sebagainya keberadaannya sangat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perusahaan. Hal pertama mengenai teori stakeholder adalah bahwa stakeholder adalah sistem secara eksplisit berbasis pada pandangan tentang suatu organisasi dan lingkungannya, mengakui sifat saling mempengaruhi antara keduanya kompleks dan dinamis. Hal ini berlaku untuk kedua varian teori stakeholder. Varian pertama berhubungan langsung dengan model akuntabilitas. Stakeholder dan organisasi saling mempengaruhi. Hal ini dapat dilihat dari hubungan sosial keduanya berbentuk responsibilitas dan akuntabilitas. Oleh karena itu, organisasi memiliki akuntabilitas terhadap stakeholdernya. Sifat dari akuntabilitas itu ditentukan dengan hubungan antara stakeholder dan organisasi. Varian kedua teori stakeholder berhubungan dengan pandangan mengenai empirical accountability. Teori stakeholder mungkin digunakan dengan ketat dalam suatu organisasi arah terpusat (centered-way organization). Diungkapkan bahwa lingkungan sosial perusahaan merupakan sarana sukses bagi perusahaan untuk menegosiasikan hubungan dengan stakeholdernya. Berdasarkan asumsi stakeholder theory, maka perusahaan tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial. Perusahaan perlu menjaga legitimasi stakeholder serta mendudukkannya dalam kerangka kebijakan dan pengambilan keputusan, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan, yaitu stabilitas usaha dan jaminan going concern (Adam, dalam Nor Hadi, 2011). KEDUA, Teori Legimitasi (Legitimacy Theory). Legitimasi masyarakat merupakan faktor strategis bagi perusahaan dalam rangka mengembangkan perusahaan ke depan. Hal itu dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengonstruksi strategi perusahaan, terutama terkait dengan upaya memposisikan diri di tengah lingkungan masyarakat semakin maju. Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Dengan demikian, legitimasi merupakan manfaat atau sumber daya potensial bagi perusahaan untuk bertahan hidup (going concern). Definisi tersebut mengisyaratkan, bahwa legitimasi merupakan sistem pengelolaan perusahaan berorientasi pada keberpihakan terhadap masyarakat (society), Pemerintah, individu, dan kelompok masyarakat. Untuk itu, sebagai suatu sistem mengedepankan keberpihakan kepada society, operasi perusahaan harus kongruen dengan harapan masyarakat. Suatu organisasi mungkin menerapkan empat strategi legitimasi ketika menghadapi berbagai ancaman legitimasi. Oleh karena itu, untuk menghadapi kegagalan kinerja perusahaan seperti kecelakaan serius atau skandal keuangan organisasi mungkin: 1)Mencoba untuk mendidik stakeholder tentang tujuan organisasi untuk meningkatkan kinerja. 2)Mencoba untuk merubah persepsi stakeholder terhadap suatu kejadian (tetapi tidak merubah kinerja aktual organisasi). 3)Mengalihkan (memanipulasi) perhatian dari masalah menjadi perhatian (mengkonsentrasikan terhadap beberapa aktivitas positif tidak berhubungan dengan kegagalan). 4)Mencoba untuk merubah ekspektasi eksternal tentang kinerja. 5)Teori legitimasi dalam bentuk umum memberikan pandangan penting terhadap praktek pengungkapan sosial perusahaan. Kebanyakan inisiatif utama pengungkapan sosial perusahaan bisa ditelusuri pada satu atau lebih strategi legitimasi. Sebagai misal, kecenderungan umum bagi pengungkapan sosial perusahaan untuk menekankan pada poin positif bagi perilaku organisasi dibandingkan dengan elemen negatif. KETIGA, Teori Kontrak Sosial (Social Contract Theory). Teori ini muncul karena adanya interelasi dalam kehidupan sosial masyarakat, agar terjadi keselarasan, keserasian, dan keseimbangan, termasuk dalam lingkungan. Perusahaan merupakan kelompok orang memiliki kesamaan tujuan dan berusaha mencapai tujuan secara bersama adalah bagian dari masyarakat dalam lingkungan lebih besar. Keberadaannya sangat ditentukan oleh masyarakat, di mana antara kedua saling pengaruh-mempengaruhi. Untuk itu, agar terjadi keseimbangan (equality), maka perlu kontrak sosial baik secara tersusun baik secara tersurat maupun tersirat, sehingga terjadi kesepakatan saling melindungi kepentingan masing-masing. Social Contract dibangun dan dikembangkan, salah satunya untuk menjelaskan hubungan antara perusahaan terhadap masyarakat (society). Di sini, perusahaan atau organisasi memiliki kewajiban pada masyarakat untuk memberi manfaat bagi masyarakat. Interaksi perusahaan dengan masyarakat akan selalu berusaha untuk memenuhi dan mematuhi aturan dan norma-norma berlaku di masyarakat, sehingga kegiatan perusahaan dapat dipandang legitimate. Dalam perspektif manajemen kontemporer, teori kontrak sosial menjelaskan hak kebebasan individu dan kelompok, termasuk masyarakat dibentuk berdasarkan kesepakatan saling menguntungkan anggota. Hal ini sejalan dengan konsep legitimacy theory bahwa legitimasi dapat diperoleh manakala terdapat kesesuaian antara keberadaan perusahaan tidak menganggu atau sesuai (congruence) dengan eksitensi sistem nilai dalam masyarakat dan lingkungan. Konsep kontrak sosial (social contract) bahwa untuk menjamin kelangsungan hidup dan kebutuhan masyarakat, kontrak sosial didasarkan pada : a)Hasil akhir (output) secara sosial dapat diberikan kepada msayarakat luas. b)Distribusi manfaat ekonomis, sosial, atau pada politik kepada kelompok sesuai dengan kekuatan dimiliki. Mengingat output perusahaan bermuara pada masyarakat, serta tidak adanya power institusi bersifat permanen, maka perusahaan membutuhkan legitimasi. Di situ, perusahaan harus melebarkan tanggungjawab tidak hanya sekedar economic responsibility lebih diarahkan kepada shareholder (pemilik perusahaan), namun perusahaan harus memastikan bahwa kegiatannya tidak melanggar dan bertanggungjawab kepada Pemerintah dicerminkan dalam peraturan dan perundang-undangan berlaku (legal responsibility). Di samping itu, perusahaan juga tidak dapat mengesampingkan tanggungjawab kepada masyarakat, dicerminkan lewat tanggung jawab dan keberpihakan pada berbagai persoalan sosial dan lingkungan timbul (societal respobsibility). KEEMPAT, Teori Ekonomi Politik. Dua varian teori ekonomi politik: klasik (biasanya sebagian besar berhubungan dengan Marx) dan Bourgeois (biasanya sebagian besar berhubungan dengan John Stuart Mill dan ahli ekonomi berikutnya). Perbedaan penting antara keduanya terletak pada tingkat analisis pemecahan, yakni konflik struktural dalam masyarakat. Ekonomi politik klasik meletakkan konflik struktural, ketidakadilan dan peran negara pada analisis pokok. Sedangkan Ekonomi politik Bourgeois cenderung menganggap hal-hal tersebut merupakan suatu given. Karena itu, hal-hal tersebut tidak dimasukkan dalam analisis. Hasilnya, ekonomi politik Bourgeois cenderung memperhatikan interaksi antar kelompok dalam suatu dunia pluralistic (sebagai misal, negosiasi antara perusahaan dan kelompok penekan masalah lingkungan, atau dengan pihak berwenang). Ekonomi politik Bourgeois bisa digunakan dengan baik untuk menjelaskan tentang praktek pengungkapan sosial. Sedangkan Ekonomi politik klasik hanya sedikit menjelaskan praktek pengungkapan sosial perusahaan, mempertahankan bahwa pengungkapan sosial perusahaan dihasilkan secara sukarela. Ekonomi politik klasik memiliki pengetahuan tentang aturan pengungkapan wajib, dalam hal ini biasanya negara telah memilih untuk menentukan beberapa pembatasan terhadap organisasi. Ekonomi politik klasik akan menginterpretasikan hal ini sebagai bukti bahwa negara bertindak "seakan-akan" atas kepentingan kelompok tidak diuntungkan (sebagai misal, orang tidak mampu, ras minoritas) untuk menjaga legitimasi sistem kapitalis secara keseluruhan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda