Selasa, 14 Januari 2014

PERMASALAHAN DAN PERTANYAAN ALTERNATIF UNTUK SURVAI PARTAI POLITIK DI INDONESIA

Berbagai hasil survai tentang Partai Politik telah diekspose melalui media massa cetak maupun visual, baik hasil survai pesanan (iklan Partai Politik tertentu) maupun sungguh-sungguh bukan pesanan. Hampir seluruh hasil survai dimaksud diarahkan pada pengungkapan permasalahan kinerja dan elektabilitas Partai Politik di mata masyarakat atau publik. Permaslahan kinerja dimaksud sekedar tingkat persepsi baik negatif maupun positif masyarakat tentang peran dan fungsi Partai Politik. Namun, dapat dikatakan sama sekali belum pernah ada hasil survai tentang Partai Politik yang mengkaitkan perilaku kelembagaan atau aktivis Partai Politik dengan kepatuhan terhadap hukum (negara) baik baik secara procedural maupun subtansial. Pengungkapan permaslahan kepatuhan Partai Politik terhadap hukum ini sangat penting karena Partai Politik Politik merupakan komponen/actor sangat strategis dalam percepatan dan penguatan demokrasi sebagai acuan dalam pencapaian keadilan dan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Demokrasi telah disepekati sebagai acuan untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara sebagaimana tertuang di dalam UUD 1945. Permasalahan Partai Politik di Indonesia dewasa ini, terutama di era reformasi, adalah ketidakpatuhan Partai Politik terhadap penegakan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seberapa jauh permasalahan ini diakui oleh public atau masyarakat, salah satu cara untuk menemukannya adalah pelaksanaan survai opini public baik melalui wawancara langsung (face to face) maupun telepon. Agar supaya public tidak terlena atas hasil survai seputar kinerja dan elektabilitas, maka perlu dibuat pertanyaan-pertanyaan alternatif sehingga publik memahami betul akar permasalahan Partai Politik dalam hubungannya dengan negara. Jika pertanyaan-pertanyaan alternative ini dapat dijawab secara objektif, maka public akan mengetahui bahwa keberadaan Partai Politik di era reformasi ini telah menjadi sumber masalah atau menjadi faktor pernyebab utama tidak berjalannya percepatan demokrasi dan reformasi sebagaimana dicita-citakan oleh kekuatan reformasi yang telah turut menumbangkan rezim otoriterian Soeharto. Di dalam tulisan ini akan diajukan sejumlah pertanyaanpertanyaan alaternatif dan layak disampaikan kepada public untuk mengetahui kiprah Partai Politik, terutama kepatuhan terhadap hukum . PERTAMA, pertanyaan terkait dengan Partai Politik Peserta Pemilu telah memberikan kemudahan mendapatkan informasi publik yang wajib disediakan dan diumumkan. Juga tentang kesediaan Partai Politik Peserta Pemilu menyediakan daftar informasi publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan. Kelompok pertanyaan pertama ini didasari pemikiran bahwa Partai Politik wajib menyediakan informasi public sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi public dimaksud adalah: Asas dan tujuan; Program umum dan kegiatan Partai Politik; Nama, Alamat dan Susunan kepengurusan dan perubahannya; Pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari APBN dan APBD; Mekanisme pengambilan keputusan Partai Politik; Keputusan Partai Politik yang berasal dari hasil muktamar/kongres/munas dan/atau keputusan lainnya yang menurut AD dan ART terbuka untuk umum; dan/atau Informasi lain yang ditetapkan oleh UU berkaitan dengan Partai Politik Mengacu pada UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi dan juga dan Peraturan Komisi Informasi Pusat Nomor: 01 tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, Ada tiga jenis informasi yang wajib disediakan dan diumumkan oleh Badan Publik, yaitu: Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; dan, Informasi yang wajib tersedia setiap saat. A. Informasi yg wajib disediakan dan diumumkan secara berkala. Setiap badan publik wajib mengumumkan informasi publik secara berkala, artinya secara rutin, teratur, dan dalam jangka waktu tertentu. serta dilakukan paling singkat 6 (enam) bulan sekali atau satu kali dalam satu tahun. Informasi publik tersebut meliputi Informasi yang berkaitan dengan badan publik. Yaitu informasi yang menyangkut profile Badan Publik, keberadaan, kepengurusan, maksud dan tujuan, ruang lingkup kegiatan, dan Informasi lainnya tentang Badan Publik yang bersangkutan, yang merupakan Informasi Publik yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, yang sekurang-kurangnya meliputi : (1) Informasi tentang kedudukan atau domisili beserta alamat lengkap, ruang lingkup kegiatan, maksud dan tujuan, tugas dan fungsi Badan Publik beserta kantor unit-unit di bawahnya; (2) Struktur organisasi, gambaran umum setiap satuan kerja, profil singkat pejabat structural; (3) Laporan harta kekayaan bagi Pejabat Negara yang wajib melakukannya yang telah diperiksa, diverifikasi, dan telah dikirimkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ke Badan Publik untuk diumumkan. Ringkasan informasi tentang program dan/atau kegiatan yang sedang dijalankan dalam lingkup Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas: Nama program dan kegiatan; Penanggungjawab, pelaksana program dan kegiatan serta nomor telepon dan/atau alamat yang dapat dihubungi; Target dan/atau capaian program dan kegiatan; Jadwal pelaksanaan program dan kegiatan; Anggaran program dan kegiatan yang meliputi sumber dan jumlah; Agenda penting terkait pelaksanaan tugas Badan Publik; Informasi khusus lainnya yang berkaitan langsung dengan hak-hak masyarakat; Informasi tentang penerimaan calon pegawai dan/atau pejabat Badan Publik Negara; dan, Informasi tentang penerimaan calon peserta didik pada Badan Publik yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan untuk umum. Ringkasan informasi tentang kinerja dalam lingkup Badan Publik, yaitu berupa narasi tentang kondisi Badan Publik yang bersangkutan yang meliputi hasil dan prestasi yang dicapai serta kemampuan kerjanya, tentang realisasi kegiatan yang telah maupun sedang dijalankan beserta capaiannya; informasi mengenai kegiatan dan kinerja badan publik terkait. Ringkasan laporan keuangan yang sekurang-kurangnya terdiri atas: Rencana dan laporan realisasi anggaran; Neraca; Laporan arus kas dan catatan atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku; dan, Daftar aset dan investasi. Ringkasan laporan akses Informasi Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas: Jumlah permohonan Informasi Publik yang diterima; Waktu yang diperlukan dalam memenuhi setiap permohonan Informasi Publik; Jumlah permohonan Informasi Publik yang dikabulkan baik sebagian atau seluruhnya dan permohonan Informasi Publik yang ditolak; Alasan penolakan permohonan Informasi Publik; Informasi tentang peraturan, keputusan, dan/atau kebijakan yang mengikat dan/atau berdampak bagi publik yang dikeluarkan oleh Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas; Daftar rancangan dan tahap pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Keputusan, dan/atau Kebijakan yang sedang dalam proses pembuatan; Daftar Peraturan Perundang-undangan, Keputusan, dan/atau Kebijakan yang telah disahkan atau ditetapkan. Selanjutnya, informasi tentang hak dan tata cara memperoleh Informasi Publik, serta tata cara pengajuan keberatan serta proses penyelesaian sengketa Informasi Publik berikut pihak-pihak yang bertanggungjawab yang dapat dihubungi; Informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran yang dilakukan baik oleh pejabat Badan Publik maupun pihak yang mendapatkan izin atau perjanjian kerja dari Badan Publik yang bersangkutan; Informasi tentang pengumuman pengadaan barang dan jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait; dan, Informasi tentang prosedur peringatan dini dan prosedur evakuasi keadaan darurat di setiap kantor Badan Publik. B. Informasi yang wajib diumumkan secara serta merta. Yakni Badan Publik wajib mengumumkan secara serta merta, suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Yang dimaksud dengan “serta-merta” adalah spontan, pada saat itu juga. Setiap Badan Publik yang memiliki kewenangan atas suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum dan/atau Badan Publik yang berwenang memberikan izin dan/atau melakukan perjanjian kerja dengan pihak lain yang kegiatannya berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum wajib memiliki standar pengumuman informasi serta merta. Informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum tersebut meliputi antara lain: Informasi tentang bencana alam seperti kekeringan, kebakaran hutan karena factor alam, hama penyakit tanaman, epidemik, wabah, kejadian luar biasa, kejadian antariksa atau benda-benda angkasa; Informasi tentang keadaan bencana non-alam seperti kegagalan industri atau teknologi, dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan dan kegiatan keantariksaan; Bencana sosial seperti kerusuhan sosial, konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat dan terror; Informasi tentang jenis, persebaran dan daerah yang menjadi sumber penyakit yang berpotensi menular; Informasi tentang racun pada bahan makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat; dan Informasi tentang rencana gangguan terhadap utilitas publik. Standar pengumuman informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta sekurang-kurangnya meliputi: Potensi bahaya dan/atau besaran dampak yang dapat ditimbulkan; Pihak-pihak yang berpotensi terkena dampak baik masyarakat umum maupun pegawai Badan Publik yang menerima izin atau perjanjian kerja dari Badan Publik tersebut; Prosedur dan tempat evakuasi apabila keadaan darurat terjadi; Cara menghindari bahaya dan/atau dampak yang ditimbulkan; Cara mendapatkan bantuan dari pihak yang berwenang; Pihak-pihak yang wajib mengumumkan informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum; Tata cara pengumuman informasi apabila keadaan darurat terjadi; Upaya-upaya yang dilakukan oleh Badan Publik dan/atau pihak-pihak yang berwenang dalam menanggulangi bahaya dan/atau dampak yang ditimbulkan. C. Informasi yang wajib tersedia setiap saat. Yakni setiap Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik setiap saat, sekurang-kurangnya meliputi: Daftar informasi publik yang berada dibawah penguasaannya, yang memuat : Nomor, Ringkasan isi informasi, Pejabat atau unit/satuan kerja yang menguasai informasi, Penanggungjawab pembuatan atau penerbitan informasi, Waktu dan tempat pembuatan informasi, Bentuk informasi yang tersedia, dan Jangka waktu penyimpanan atau retensi arsip; Hasil keputusan badan publik atau informasi tentang peraturan, keputusan dan/atau kebijakan Badan Publik yang sekurang-kurangnya terdiri atas: Dokumen pendukung seperti naskah akademis, kajian atau pertimbangan yang mendasari terbitnya peraturan, keputusan atau kebijakan; Masukan-masukan dari berbagai pihak atas peraturan, keputusan atau kebijakan; Risalah rapat dari proses pembentukan peraturan, keputusan atau kebijakan tersebut; Rancangan peraturan, keputusan atau kebijakan; Tahap perumusan peraturan, keputusan atau kebijakan; dan Peraturan, keputusan dan/atau kebijakan yang telah diterbitkan; Seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya dari Badan Publik; Rencana kerja (termasuk perkiraan pengeluaran tahunan ) informasi tentang organisasi, administrasi, kepegawaian, dan keuangan, antara lain: Pedoman pengelolaan organisasi, administrasi, personil dan keuangan, Profil lengkap pimpinan dan pegawai yang meliputi nama, sejarah karir atau posisi, sejarah pendidikan, penghargaan dan sanksi berat yang pernah diterima, Anggaran Badan Publik secara umum maupun anggaran secara khusus unit pelaksana teknis serta laporan keuangannya, dan Data statistik yang dibuat dan dikelola oleh Badan Publik; Surat-surat perjanjian dengan pihak ketiga berikut dokumen pendukungnya; Surat menyurat pimpinan atau pejabat Badan Publik dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya; Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan dan/atau dikeluarkan berikut dokumen pendukungnya, dan laporan penaatan izin yang diberikan; Data perbendaharaan atau inventaris; Rencana strategis dan rencana kerja Badan Publik; Agenda kerja pimpinan satuan kerja; Informasi mengenai kegiatan pelayanan Informasi Publik yang dilaksanakan, sarana dan prasarana layanan Informasi Publik yang dimiliki beserta kondisinya, sumber daya manusia yang menangani layanan Informasi Publik beserta kualifikasinya, anggaran layanan Informasi Publik serta laporan penggunaannya; Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang ditemukan dalam pengawasan internal serta laporan penindakannya; Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran yang dilaporkan oleh masyarakat serta laporan penindakannya; Daftar serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan; Informasi Publik lain yang telah dinyatakan terbuka bagi masyarakat berdasarkan mekanisme keberatan dan/atau penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam Pasal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik; Informasi tentang standar pengumuman informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 bagi Badan Publik yang memberikan izin dan/atau melakukan perjanjian kerja dengan pihak lain yang kegiatannya berpotensi mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum; dan, Informasi dan kebijakan yang disampaikan pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum. D. Informasi publik pada BUMN/BUMD dan badan usaha lainnya. Yakni Nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta jenis kegiatan usaha, jangka waktu pendirian, dan permodalan, sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar; Nama lengkap pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris perseroan; Laporan tahunan, laporan keuangan, neraca laporan laba rugi, dan laporan tanggung jawab sosial perusahaan yang telah diaudit; Hasil penilaian oleh eksternal auditor, lembaga pemeringkat kredit dan lembaga pemeringkat lainnya; Sistem dan alokasi dana remunerasi anggota komisaris/dewan pengawas dan direksi; Mekanisme penetapan direksi dan komisaris/dewan pengawas; Kasus hukum yang berdasarkan undang-undang terbuka sebagai informasi public; Pedoman pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan prinsip- prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran; Pengumuman penerbitan efek yang bersifat utang; Penggantian akuntan yang mengaudit perusahaan; Perubahan tahun fiskal perusahaan; Kegiatan penugasan pemerintah dan/atau kewajiban pelayanan umum atau subsidi; Mekanisme pengadaan barang dan jasa; Informasi lain yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah. E. Informasi publik pada organisasi non pemerintah. Yakni Asas dan tujuan, program dan kegiatan organisasi; Nama, alamat, susunan kepengurusan, dan perubahannya; Pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari APBN-APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau sumber luar negeri; Mekanisme pengambilan keputusan organisasi; Keputusan-keputusan organisasi; dan, Informasi lain yang ditetapkan oleh peraturan perundang- undangan. F. Informasi publik pada Partai Politik. Yakni Asas dan tujuan, program umum dan kegiatan Partai Politik.; Nama alamat dan susunan kepengurusan dan perubahannya; Pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari APBN-APBD; Mekanisme pengambilan keputusan Partai Politik; Keputusan Partai Politik: muktamar/kongres/munas/dan keputusan lainnya yang menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Partai Politik terbuka untuk umum; Informasi lain yang ditetapkan oleh undang- undang yang berkaitan dengan Partai Politik. Partai Politik (Partai Politik) wajib menerapkan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) terutama sudah saatnya membuka asal usul penerimaan dan penggunaan dananya kepada publik. Seluruh Partai Politik wajib transparan dalam akuntabilitas dana kampanye, termasuk memberikan informasi sumber dana hingga alokasi penganggarannya. Transparansi ini merupakan implementasi dari UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Partai Politik adalah bagian dari badan publik yang wajib mempertanggungjawabkan akuntabilitasnya. Partai Politik wajib mengumumkan informasi ke publik secara berkala, serta merta, tersedia setiap saat dan informasi publik yang dikecualikan. Rencana program, laporan keuangan dan APBD wajib diumumkan ke publik melalui media atau lewat webside. Ketentuan tersebut diperkuat oleh pasal 37, 38, dan 39 dalam UU No 22 tahun 2008 jo tahun 2011 tentang Partai Politik yang menegaskan bahwa Partai Politik wajib membuat laporan keuangan dan mempublikasikan kepada publik. Bukan hanya keuangan yang bersumber dari APBN seperti yang diasumsikan Partai Politik selama ini, tapi juga terbuka terhadap semua hal dana yang dikumpulkan. Selain Partai Politik, yang termasuk pada badan publik dari lembaga legislatif, lembaga eksekutif, yudikatif, dan LSM atau ormas yang menjalankan tugas dan fungsi yang dananya bersumber dari APBN/APBD dan sumbangan dana publik wajib menyampaikan transparansi akuntabilitasnya. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah meminta kepada sejumlah Partai Politik memberikan informasi laporan keuangan. Hal ini dilakukan lantaran banyaknya praktik korupsi yang dilakukan para politisi dari Partai Politik, dan mendorong keterbukaan dalam pengelolaan dana Partai Politik, dan sejumlah kasus korupsi politik bermula dari ketertutupan dana politik ICW pun melayangkan surat kepada sembilan Partai politik yang duduk di kursi legislatif. Surat itu ditunjukkan kepada sekretariat jenderal melalui sekretariat di Jakarta. Kesembilan Partai Politik itu di antaranya: Demokrat, Golongan Karya, Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Amanat Nasional (PAN), Keadailan Sejahtera (PKS), Kebangkitan Bangsa (PKB), Keadilan Sejahtera (PKS), Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Politik Hati Nurani Rakyat (Hanura) Tujuan dari permintaan ini untuk menguji akses laporan keuangan Partai Politik, yang selama ini tertutup, tidak transparan, dan minim akuntabilitas. Padahal sesuai dengan Pasal 15 huruf (d) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pengelolaan dan penggunaan dana yang bersumber dari APBN merupakan informasi publik yang harus disediakan oleh Partai Politik. Selain itu, menurut ICW, dalam Undang-undang Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011 Pasal 34 A, bahwa Partai Politik wajib menyampaikan hasil audit penerimaan dan pengeluaran Partai Politik yang bersumber dari APBN," ucap Apung. Dengan permintaan tersebut dapat membongkar informasi laporan keuangan Partai Politik dan bisa diakses oleh publik sebagai konstituen. Dalam perkembangannya, 3 (tiga) Partai Politik yakni PKS, PKB dan Gerindra telah memberikan informasi program dan laporan keuangan yang telah diaudit pada saat proses mediasi di KIP (Komite Informasi Publik). Sementara 3 Partai Politik lain yakni Golkar, PDIP, dan Hanura menyatakan akan memberikan informasi tersebut setelah laporan keuangan Partai Politik selesai diaudit. Sedangkan 3 Partai Politik yakni PPP, Partai Politik Demokrat dan PAN, harus menempuh proses sidang ajudikasi di KIP. Hasil sidang ajudikasi Majelis Komisioner Keterbukaan Informaasi Publik (KIP) memerintahkan PPP,PAN dan Partai Politik Demokrat untuk membuka laporan keuangannya kepada ICW. MAjelis Komisioner KIP dalam putusannya antara lain memutuskan, informasi laporan keuangan Partai Politik yang berasal dari selain APBN merupakan informasi terbuka berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik pasal 15 huruf g, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Partai Politik), dan Pasal 38 UU Partai Politik menyatakan bahwa, "Hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk diketahui masyarakat. KEDUA, pertanyaan selanjutnya layak diajukan dalam survai kepatuhan Partai Politik terhadap hukum yakni apakah Partai Politik Peserta Pemilu telah menggunakan bantuan keuangan dari APBN/APBD benar-benar untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat? Menurut UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal 34 ayat (3a) berbunyi, bantuan keuangan dari APBN/APBD diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. Partai Politik (Partai Politik) wajib menggunakan 60 persen bantuan keuangan dari APBN/APBD (Bantuan Partai Politik) diwajibkan untuk kegiatan pendidikan politik. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 83 Tahun 2012 Tentang Bantuan Keuangan Partai Politik mengganti Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2009. Dalam aturan ini, intinya cuma dalam pelaksanaan kalau waktu yang lalu tidak ada batasan dalam dua pembagian seperti pendidikan politik dan operasional sekretariat, kalau dulu tidak dibilang berapa persen untuk dua kegiatan ini, sekarang kalau diaturan baru harus 60 persen untuk pendidikan politik. Di dalam PP ini dijelaskan, bahwa Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran bantuan keuangan yang bersumber dari dana APBN dan APBD kepada BPK secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diperiksa paling lambat 1 (satu) bulan setelah anggaran berakhir. Menurut ICW (Indonesian Corruption Watch), dari sembilan Partai Politik yang mendapatkan subisidi dana dari APBN, tiga Partai Politik diantaranya tidak menganggarkan untuk biaya pendidikan Partai Politik. Tiga Partai Politik yang tidak menganggarkan dana subsidi APBN untuk kepentingan pendidikan politik itu yakni Partai Politik Golkar, PDIP dan PPP. Data yang diperoleh ICW, dana yang diperoleh PDIP dari APBN mencapai Rp1,574 miliar, Partai Politik Golkar mencapai Rp1,623 miliar, PPP mencapai Rp598 juta, Partai Politik Demokrat sebesar Rp2,338 miliar, PKS sebesar Rp886 juta, PAN sebesar Rp677 juta, PKB sebesar Rp 556 juta, Partai Politik Gerindra sebesar Rp 517 juta dan Partai Politik Hanura sebesar Rp 501 juta. Berdasarkan pasal 22, menurut ICW (Indonesian Corruption Watch), dari sembilan Partai Politik yang mendapatkan subisidi dana dari APBN, tiga Partai Politik diantaranya tidak menganggarkan untuk biaya pendidikan Partai Politik. Tiga Partai Politik yang tidak menganggarkan dana subsidi APBN untuk kepentingan pendidikan politik itu yakni Partai Politik Golkar, PDIP dan PPP. Bantuan keuangan Partai Politik digunakan sebagai penunjang kegiatan Partai Politik dan operasional sekretariat Partai Politik. Namun ketiga Partai Politik tersebut lebih banyak menghabiskan subsidi dari APBN itu untuk membayar staff sekretariat dan operasional sekretariat. Hal tersebut dinilai melanggar Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 24 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik. Pengeluaran terbesar Partai Politik Golkar, PKS, PDIP dan PAN digunakan untuk biaya telepon, sementara Partai Politik Demokrat untuk rapat internal Sekretariat, PKB untuk biaya pemeliharaan data dan arsip serta pengeluaran terbesar PPP dan Gerindra untuk gaji pegawai. Namun, PKS, PAN, PKB, Partai Politik Gerindra, dan Demokrat masih menyisihkan subsidi APBN tersebut untuk pendidikan politik. Porsinya pun masih terhitung sedikit. Sementara Partai Politik Hanura tidak menyerahkan laporan penggunaan subsidi APBN itu kepada publik. Menurut ICW berdasarkan Permendagri itu seharusnya dana APBN digunakan untuk kepentingan Partai Politik, bukan sebagian besar digunakan untuk operasional Sekretariat. PAN menganggarkan dana untuk pendidikan politik paling besar dibandingkan Partai Politik lainnya. Sementara itu, ICW menyayangkan sikap Partai Politik Hanura yang tidak menyerahkan laporan penggunaan dana APBN kepada publik. KETIGA, pertanyaan layak diajukan dalam survai kepatuhan Partai Politik terhadap hukum yakni: apakah pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran Partai Politik Peserta Pemilu bersumber dari dana bantuan APBN dan APBD kepada BPK telah akurat, benar dan tepat waktu? Menurut UU No. 2 TAhun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal 34A ayat (1), Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan APBN dan APBD kepada BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Bantuan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota bagi Partai Politik harus membuat laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Bantuan keuangan kepada Partai Politik dari APBN atau APBD yang diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah setiap tahun, bantuan ini diberikan kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPR Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Adapun bantuan keuangan tersebut, diberikan secara profesional yang sesuai dipenghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara hasil Pemilu secara nasional, yang telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bantuan keuangan kepada Partai Politik digunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat Partai Politik , selain itu juga, dana ini digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. Sehingga, Partai Politik wajib membuat pembukuan dan memelihara bukti penerimaan dan pengeluaran atas dana bantuan keuangan. Dengan bukti yang lengkap dan sah. Laporan pertanggungjawabannya disampaikan kepada BPK, dan setelah diperiksa oleh BPK, laporan pertanggungjawaban terbuka untuk diketahui masyarakat. Pentingnya peran Partai Politik harus diimbangi dengan aturan main yang memadai agar hasil yang dicapai sesuai dengan harapan dan keinginan rakyat. Dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana terakhir diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011, telah diatur tentang pengelolaan Partai Politik, mulai dari tujuan, fungsi, pembentukan Partai Politik, serta pengelolaan keuangan dan sumber dana Partai Politik. Dalam Undang-Undang tersebut, sumber-sumber pendanaan Partai Politik sudah dinyatakan secara jelas. Hal-hal yang diatur antara lain meliputi dari mana saja dana Partai Politik tersebut berasal, pembatasan jumlah sumbangan yang bisa diterima oleh Partai Politik dari masing-masing sumber dana, serta pertanggungjawabannya. Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk menguatkan pelaksanaan demokrasi dan sistem kePartai Politikan yang efektif, dengan mendasarkan kepada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik. Partai Politik merupakan institusi publik yang mempunyai peran besar dalam menjaga demokrasi dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, jujur, dan bebas korupsi. Karena itu, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan Partai Politik menjadi hal penting untuk diperhatikan guna mewujudkan pemerintahan bersih, transparan, dan akuntabel. Dalam pemikiran sederhana, upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel berawal dari pengelolaan Partai Politik yang juga bersih, transparan, dan akuntabel. Terrmasuk dalam hal ini pengelolaan keuangan Partai Politik. Tugas BPK sebagaimana amanat Pasal 23 E UUD 1945 adalah memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. BPK melaksanakan tugas tersebut untuk menjaga agar pengelolaan keuangan negara ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pendirian BPK bertujuan untuk mengamankan pencapaian tujuan bernegara yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Salah satu bagian dari keuangan negara yang menjadi obyek pemeriksaan BPK adalah penerimaan dana Partai Politik yang berasal dari bantuan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Sesuai ketentuan dalam Pasal 34 A UU Nomor 2 Tahun 2011, secara tegas dinyatakan Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Wewenang yang diamanatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 ini sejalan dengan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dimana dalam UU tersebut BPK mempunyai wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab Keuangan Negara. Peran BPK-RI dalam memeriksa pengelolaan dana Partai Politik dirasa penting karena pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel diawali dari Partai Politik yang juga bersih, transparan dan akuntabel. Namun, perlu disadari bahwa yang lebih mempunyai kewajiban untuk mewujudkan pengelolaan keuangan Partai Politik yang bersih, transparan dan akuntabel adalah Partai Politik itu sendiri. Untuk itu Partai Politik perlu mendapatkan pemahaman yang memadai tentang bagaimana pengelolaan dana Partai Politik yang baik. Partai Politik berkewajiban memahami batasan-batasan mengenai sumber-sumber dana yang mereka terima, penggunaanya dan proses pertanggungjawabannya. KEEMPAT, pertanyaan berikutnya terkait dengan janji-janji kampanye Partai Politik kepada konstituen; mekanisme pertanggungjawaban Partai Politik Peserta Pemilu terhadap konstituen secara khusus; dan pertanggungjawaban Partai Politik Peserta Pemilu terhadap kontituen berakibat pembubaran Partai Politik itu sendiri? Menurut UU Nomor 8 Tahun 2012 ttg Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pasal (77), kampanye Pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggungjawab. Pasal 81 berbunyi, materi kampanye Partai Politik Peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD Provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/kota meliputi visi, misi, dan program Partai Politik. Dalam proses Pemilu, perolehan suara dalam Pemilu sangat ditentukan oleh dukungan massa pemilih terhadap pilihan Partai Politik-Partai Politik peserta Pemilu. Dukungan pemilih sangat ditentukan oleh kualitas dari program Partai Politik tertuang dalam manifesto politiknya. Sehingga, setiap Partai Politik dalam kampanyenya selalu memberikan janji-janji berisikan kebijakan-kebijakan sekiranya bisa menarik simpati masyarakat. Berbagai ragam janji Partai Politik untuk memikat hati para rakyat dari Pemilu ke Pemilu, janji para Partai Politik selalu tentang kemiskinan dan kesejahteraan. Pertanyaan pokok: apakah janji-janji selama kampanye itu bisa ditepati saat telah menjadi wakil rakyat dan telah menduduki kursi kekuasaan di lembaga legislatif baik national maupun Provinsi, Kabupaten dan Kota? Bukan lagi rahasia umum, para wakil rakyat dahulunya menjadi panutan bagi rakyat namun, setelah mendapatkan kedudukan malah lupa terhadap dukungan para rakyat. Dahulu mereka manfaatkan demi kekuasaan mereka. Ketika mereka telah meraih kemenangan dalam Pemilu, seolah-olah janji-janji dulu mereka suarakan hanya merupakan omong kosong belaka. Di saat menjelang Pemilu, maka muncullah Partai Politik saling bersaing untuk berebut tempat di lembaga legislatif. Persaingan itu terlihat sangat jelas pada masa-masa kampanye. Pada dasarnya, kegiatan kampanye sama halnya dengan kegiatan komunikasi bertujuan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat, mempersuasikannya dan kemudian membentuk sikap masyarakat untuk bersedia memilih Partai Politiknya. Bertindak sebagai komunikator adalah Partai Politik, kandidat, dan tenaga profesional kampanye. Pesan disampaikan merupakan pesan-pesan kampanye dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan atau wacana. Sedangkan komunikannya adalah masyarakat (pemilih dalam Pemilu). Untuk akhirnya terjadi efek berupa jumlah perolehan suara signifikan. Kampanye merupakan strategi kontrol sosial dalam rangka mengarahkan psikologi dan perilaku pemilih untuk menyesuaikan dan pada saatnya menuruti apa diprogramkan oleh Partai Politik. Ujud paling nyata kegiatan kampanye politik sebagai strategi kontrol sosial adalah provokasi. Kegiatan kampanye Pemilu adalah proses mempersuasi khalayak untuk bersedia menerima, mendukung dan akumulasinya adalah memilih Partai Politik atau kandidat dikampanyekan. Dalam kenyataannya, komunikasi politik dalam hal ini adalah kampanye dapat dikategorikan sebagai pemasaran sosial memperkenalkan ide, gagasan atau wacana sebagai produk dipasarkan. Oleh karena itu, tidak heran jika masing-masing Partai Politik muncul selalu memperkenalkan ide atau gagasannya dalam bentuk janji-janji politik. Janji-janji ditawarkan tersebut tak ubahnya seperti produk-produk dipasarkan. Sehingga masyarakat sebagai pemilih dalam Pemilu harus pandai memilah Partai Politik mana sekiranya memberikan janji konkrit. Atau Partai Politik mana sekiranya hanya berani mengumbar janji tanpa ada realisasi. Namun, ketika riuh rendah Pemilu usia, tugas Partai Politik pemenang Pemilu tinggal mewujudkan janji-janji politiknya itu. Janji, sebuah penangguhan sementara atas kewajiban pemenuhannya di masa mendatang. Tidak banyak perbedaan antara janji Partai Politik dengan janji perorangan. mendasar, janji Partai Politik selalu bersifat politis dan mempunyai syarat tertentu, misal, menunggu kemenangan Partai Politik bersangkutan. Pada dasarnya tidak ada persoalan Partai Politik mengeluarkan “janji politik” berupa program atau berbagai macam tawaran perbaikan. Bahkan, dalam rangka pendidikan “janji politik” harus diberikan. justru patut dipermasalahkan, pertama, sejauh apa janji itu realistis untuk diwujudkan. Kedua, bagaimana atau dalam situasi apa janji itu disampaikan. Dan ketiga, komitmen Partai Politik bersangkutan dalam menepati janjinya. Janji Partai Politik disampaikan saat kampanye, seperti perbaikan kondisi ekonomi, pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), perubahan struktur politik ke arah demokrasi, dan reformasi hukum lebih menjamin keadilan, ternyata tidak terpenuhi. Sebaliknya, korupsi di mana-mana, praktik kekerasan negara dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) semakin membabi buta, utang kian menumpuk, dan penggusuran terhadap rakyat marjinal menjadi-jadi. Partai Politik lupa pada nasib pemilihnya. Harus dicermati dari sekian janji ideal itu, sejauh mana janji-janji atau program-program itu realistis? Bagi masyarakat, kita membutuhkan analisis mendalam untuk melihat kemungkinan janji tersebut bisa diwujudkan. Partai Politik bersangkutan memberikan rasionalisasi mencukupi tentang bagaimana cara merealisasikannya. Selanjutnya, “janji politik” harus disampaikan melalui komunikasi politik sehat. Sangat penting untuk memperhatikan bagaimana caranya “janji politik” itu dikomunikasikan. Faktanya, seringkali “janji politik” disampaikan sepintas lalu dalam ajang kampanye berbentuk pesta musik dangdut dan sebagainya. Cara ini tentu saja sama sekali tidak efektif. Mengeluarkan janji dalam kesempatan ini sama dengan “mengumbar janji” sifatnya mubadzir. Oleh karenanya, “janji politik” seyogyanya disampaikan dalam situasi kondusif, dimana konstituen mau dan mampu untuk menalar seabrek janji itu. Semua “janji politik” tidak akan berfaedah tanpa adanya komitmen politik. Tentu saja konstituen harus mengawal dan mendampinginya. Seyogyanya konstituen mendesak Partai Politik untuk menandatangani kontrak politik. Bagi Partai Politik bersangkutan, celah untuk menciderai janji menjadi semakin kecil. Mengingat, kontrak politik tentu saja “hitam di atas putih”, suatu tempo bisa digugat dan bisa mempengaruhi track record Partai Politik bersangkutan. Sangat disesalkan, mengumbar janji-janji manis saat berkampanye, agaknya sudah dirasa sesuatu lazim dan sebagai suatu kewajiban oleh Partai Politik. Soalnya, tiap Partai Politik dan anggotanya masih beranggapan untuk merebut simpati rakyat dan memenangkan Pemilu, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan membuat janji, meski pada akhirnya tak bisa dipenuhi. Janji politik selama ini hanya jadi pemanis bibir saja, tanpa pernah keluar menjadi élan perjuangan politisi sesungguhnya. Jatuh bangunnya kebijakan publik ada di Indonesia lebih banyak diwarnai oleh tawar-menawar "politik saat ini dan di sini", ketimbang hasil sebuah perjalanan panjang karir politik seorang anggota parlemen. Janji politik seharusnya lebih mencerminkan sistem kePartai Politikan pluralis. Sebab dengan berbagai dasar ideologi dan paradigma berbeda-beda, seyogyanyalah masing-masing Partai Politik memiliki keragaman program operasional akan mereka perjuangkan sesuai dengan platform Partai Politik mereka. Pemilu usai maka kejadian politik paling seru adalah ketika masing-masing Partai Politik memperjuangkan program operasionalnya itu, tawar-menawar sengit antara program operasional Partai Politik satu dengan lain adalah tontonan tak kalah mengasyikkan ketimbang Pemilu itu sendiri. Namun kenyataannya terjadi di Indonesia Pemilu tetap merupakan pesta demokrasi dan ketika pesta selesai, yang ada hanyalah sepi. Undang-undang Pemilu No. 12 tahun 2003 jika dikaji secara saksama, sebenarnya menawarkan niat baik untuk melindungi hak-hak rakyat. UU itu pada hakikatnya tidak hanya ingin mengajak masyarakat agar tidak lagi ”membeli kucing dalam karung”, karena bisa memilih nama secara langsung, tetapi juga mengajak Partai Politik untuk berbuat jujur. Pertama, digunakannya sistem daerah pemilihan, sebenarnya adalah untuk menjembatani agar wakil rakyat itu benar-benar paham dengan problem daerah dan masyarakat diwakilinya. Untuk itu, kendala apa sedang dihadapi daerah, juga keperluan apa dibutuhkan masyarakat, para wakil rakyat ini seharusnya sudah mengetahui sejak awal. Kedua, diberikannya hak rakyat untuk menentukan pilihannya pada nama orang secara langsung, sebenarnya adalah untuk menjembatani agar rakyat tidak lagi membeli ”kucing dalam karung”. Artinya, rakyat diberikan kebebasan untuk menilai siapa baik dan pantas menjadi wakilnya, dan siapa jelek (busuk) dan tidak pantas menjadi wakilnya. Satu hal mungkin selalu luput dari pengamatan masyarakat adalah kurangnya sanksi terhadap Partai Politik. Terutama bagi Partai Politik setelah Pemilu ternyata ingkar janji. Padahal, saat berkampanye, para juru kampanye itu mengumbar janji-janji dengan sangat bersemangat dan meyakinkan. Sudah saatnya rakyat bertindak tegas terhadap Partai Politik membohonginya itu. Indikator terpenting dalam penegakan hukum, memang pada political will pemimpin nasional. Tetapi tidak hanya di tangan presiden, pimpinan Partai Politik anggotanya duduk di legislatif dan eksekutif, juga harus bertindak tegas. Setidaknya memberikan sanksi bagi mereka melanggar janjinya digembor-gemborkannya saat kampanye. Tetapi, kenyataannya sejauh ini memang tak ada sanksi khusus bisa dijatuhkan kepada Partai Politik atau anggotanya tidak menepati janji-janji itu. Hanya ada sanksi politik, namun juga tak akan berjalan kalau kesadaran politik masyarakat masih lemah. Untuk itu, tidak ada salahnya jika kita mengetuk nurani para elite Partai Politik, bahwa kampanye pada hakikatnya adalah sarana untuk mentransfer pesan-pesan politik,bukan mengobral janji. Jadikanlah kampanye sebagai sarana untuk melakukan pendidikan politik. Tunjukkan pada masyarakat bahwa bukti politik lebih penting daripada janji politik. Pun demikian harus disadari, bahwa masyarakat pemilih bukanlah ”obyek”, mereka adalah ”subyek” politik itu sendiri. Kalau selama ini masyarakat diam, itu bukan berarti masyarakat tidak paham, masyarakat hanya malu untuk berteriak bahwa mereka sebenarnya ”lapar”! Mengapa? Karena masyarakat sebenarnya masih punya harga diri, tidak mau menjadi pengemis atau peminta-minta. Partai Politik memiliki peranan sangat penting dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Keberadaannya tidak hanya sebagai media atau sarana bagi warga dalam partisipasi politik, namun juga menentukan siapa saja berhak menjadi penyelenggara negara. Partai Politik memiliki lima fungsi dasar yaitu fungsi artikulasi kepentingan, fungsi agregasi kepentingan, fungsi sosialisasi politik, fungsi rekrutmen politik, dan fungsi komunikasi politik. Kampanye merupakan bentuk komunikasi politik dimana dalam proses kampanye Partai Politik menyampaikan pesan-pesan politiknya dalam berbagai bentuk seperti ide, gagasan ataupun wacana guna memperoleh simpati dari masyarakat sebagai pemilih dalam Pemilu. Masa kampanye adalah masa dimana Partai Politik saling mengumbar janji pada akhirnya tidak ada realisasi berarti. Karena tiap Partai Politik dan anggotanya masih beranggapan untuk merebut simpati rakyat dan memenangkan Pemilu, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Termasuk dengan membuat janji, meski pada akhirnya tak bisa dipenuhi. Untuk menyikapinya diperlukan undang-undang melindungi hak masyarakat dalam memilih serta harus ada sanksi terhadap Partai Politik hanya berani mengumbar janji. KELIMA, pertanyaan tentang Partai Politik Peserta Pemilu dalam kenyataannya benar-benar telah memenuhi persyaratan “Berstatus badan hukum sesuai UU tentang Partai Politik”? Menurut UU Nomor 8 Tahun 2012 tenteng Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, pasal (2), Partai Politik, yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau Partai Politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan, antara lain: “Berstatus badan hukum sesuai UU tentang Partai Politik” (ayat a). Fungsi Partai Politik dalam proses pemilihan umum lebih kepada fungsi-fungsi administrasi. Paling peran Partai Politik sebatas menjalankan fungsi-fungsi administrasi saja. Jadi tidak lagi substansif. Terjebaknya Partai Politik hingga menjadi institusi pengurus administrasi itu karena internal Partai Politik berjalan tidak demokrasi. Partai Politik hanya membuat surat untuk para calon yang diperintahkan oleh DPP ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Tidak ada perdebatan, tidak ada argumentasi dan tidak ada musyawarah mufakat. Yang ada hanya instruksi bahkan sering terjadi transaksi. Kondisi ini telah menjadikan Partai Politik sebagai satu-satunya lembaga publik yang paling tidak demokratis di Indonesia. Semua keputusan harus menunggu ketua umum dan elit Partai Politik. Siapa yang melanggar sistem feodalistik ini langsung dipecat dari Partai Politik. KEENAM, pertanyaan tentang perubahan AD dan ART Partai Politik Peserta Pemilu yang dididaftarkan ke Kementerian Hukum & HAM benar, akurat dan sesuai forum pengambilan keputusan tertinggi pada Partai Politik bersangkutan. Selanjutnya pertanyaan tentang Partai Politik Peserta Pemilu telah mendaftarkan AD/ART yang tidak benar dan tidak akurat kepada Kementerian Hukum dan HAM. Menurut UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, Pasal 1 ayat (2), AD Partai Politik adalah peraturan dasar Partai Politik. Kemudian, Pasal 3 ayat (1) berbunyi, Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi Badan Hukum. Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai: Akta Notaris pendirian Partai Politik. Selanjutnya, pasal 5 ayat (1) berbunyi, AD dan ART dapat diubah sesuai dengan dinamika dan kebutuhan Partai Politik. Perubahan AD dan ART harus didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut. Pendaftaran perubahan dimaksud menyertakan akta notaris mengenai perubahan AD dan ART. Partai Politik mesti didaftarkan secara administratif di Departemen Hukum dan HAM (Depkumham) untuk kemudian disahkan menjadi badan hukum jika memenuhi syarat. Untuk itu diDepkumham dilakukan verifikasi administratif. Jika sudah menjadi badan hukum, maka Partai Politik akan diverifikasi secara faktual oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk bisa ikut ke putaran pemilihan umum. Agar Partai Politik dapat didaftarkan di Depkumham untuk disahkan menjadi badan hukum, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: A. Tingkat Dewan Pimpinan Pusat: (1) Kutipan akta notaris pembentukan dan pendirian Partai Politik yang memuat: Daftar pendiri min. 50 orang WNI min. 21 tahun dan min. 30% di anta perempuan, Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART), Kepengurusan tingkat pusat min. 30% di antaranya perempuan; (2) Nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik sebangak dua asli dan lima fotokopi. Nama, lambang, dan tanda gambarnya tidak mempunyai kesamaan dengan Partai Politik lainnya yang telah dipakai secara sah; (3) Alamat kantor tetap, dengan:Surat keterangan domisili Partai Politik dari lurah/kepala desa setempat, Bukti-bukti sah status kantor berupa sertifikat, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pinjam pakai atau perjanjian lain; (4) Bukti rekening atas nama Partai Politik dari Bank B. Tingkat Provinsi: Daftar kepengurusan Partai Politik min. 60% dari jumlah provinsi. Saat ini Indonesia mempunyai 33 provinsi. Untuk itu daftar kepengurusan Partai Politik minimal 20 provinsi. Daftar ini disertai: Surat Keputusan tentang Kepengurusan Provinsi;Surat keterangan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi ybs yang menyatakan bahwa kepengurusan Partai Politik itu benar telah dilaporkan keberadaannya; Fotokopi KTP yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atas nama Ketua, Sekretaris dan Bendahara Partai Politik tersebut; Surat pernyataan bahwa yang bersangkutan benar pengurus dari Partai Politik tersebut dan tidak menjadi anggota atau pengurus Partai Politik lain; Surat keterangan domisili Partai Politik dari lurah/kepala desa setempat; bukti-bukti sah status kantor berupa sertifikat, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pinjam pakai atau perjanjian lain. C. Tingkat Kabupaten/Kota: Daftar kepengurusan Partai Politik paling sedikit 50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi tersebut disertai: Surat Keputusan tentang kepengurusan kab./kota; Surat keterangan dari Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kab./Kota ybs yang menyatakan bahwa kepengurusan Partai Politik itu benar telah dilaporkan keberadaannya; Fotokopi KTP yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atas nama Ketua, Sekretaris dan Bendahara Partai Politik tersebut; Surat pernyataan bahwa yang bersangkutan benar pengurus dari Partai Politik tersebut dan tidak menjadi anggota atau pengurus Partai Politik lain; Surat keterangan domisili Partai Politik dari lurah/kepala desa setempat; Bukti-bukti sah status kantor berupa sertifikat, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pinjam pakai atau perjanjian lain. D. Tingkat Kecamatan: Daftar kepengurusan Partai Politik paling sedikit 25% dari jumlah kecamatan pada setiap kab./kota tersebut disertai: Surat Keputusan tentang pengurus Partai Politik kecamatan; Surat keterangan dari camat ybs yang menyatakan bahwa kepengurusan Partai Politik itu benar telah dilaporkan keberadaannya; Fotokopi KTP yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atas nama Ketua, Sekretaris dan Bendahara Partai Politik tersebut; Surat pernyataan bahwa yang bersangkutan benar pengurus dari Partai Politik tersebut dan tidak menjadi anggota atau pengurus Partai Politik lain; Surat keterangan domisili Partai Politik dari lurah/kepala desa setempat; bukti-bukti sah status kantor berupa sertifikat, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian pinjam pakai atau perjanjian lain; Jika sudah memenuhi persyaratan di atas, maka Partai Politik didaftarkan di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umun (Ditjen AHU) Depkumham. Jika Partai Politik lolos verifikasi administratif, maka Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) akan mengeluarkan Surat Keterangan kepada Partai Politik yang mensahkan Partai Politik tersebut menjadi badan hukum. Di samping itu, juga akan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI). Dalam perjalanan kehidupan kePartai Politikan era reformasi di Indonesia, pernah terdapat satu kasus popular tentang pemalsuan AD/ART PAN. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar perkara perdata pada peradilan tingkat pertama dan mengabulkan gugatan Hamid Husein, seorang Pendiri PAN dan Anggota Badan Arbitrateg DPP PAN. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa Akta Notaris Nomor 1 Juni 2005 bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum, Putusan ini diucapkan pada Selasa, 20 Januari 2009 dalam peridangan terbuka untuk umum, dan dituangkan ke dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor II29/PDtG/2008/PNJktSel tangga 5 Februari 2009 (Putusan Pengadilan Negeri dimaksud, TERLAMPIR). Karena itu, AD/ART PAN yang didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM tidak sama dengan AD/ART hasil Kongres II PAN di Semarang tahun 2005. Pengadilan telah membuktikan adanya penambahan dan perubahan di sana sini daru AD/ART PAN hasil Kongres II Tahun 2005 Semarang. Butir-butir pemalsuan itu antara lain, 6 ayat pada tiga pasal di AD dan 22 pasal di ART. Setelah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dikeluarkan, Departemen Hukum dan HAM, A.n. Direktur Jenderal Administarsi Hukum Umum Diektur Tata Negara, Dr. Aidir Amin Daud, SH,MH, mengajukan surat kepada DPP PAN (01 Januari 2009) agar mengirimkan AD/ART PAN hasil Kongtes II April 2005 di Semarang yang telah dituangkan dalam Akta Notaris untuk diproses sesuai dengan ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Namun, DPP PAN hingga kini mengabaikan surat tersebut. Dokumen AD/ART yang dipalsukan tetap belum diganti dengan AD/ART asli. Apa sebabnya? Konon, jika diserahkan yang asli, maka pelaku pemalsu (diduga Ketua Umum, Sekjen dan Tim Formatur hasil Kongres II Semarang) akan terkena hukuman tindak pidana. (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda