Jumat, 02 Maret 2012

ELITE PARPOL BERUSAHA MEMPEROLEH DANA ILEGAL/KORUPSI

Salah satu karakteristik fenomena politik kartel dalam kehidupan politik kepartaian di Indonesia era reformasi adalah para elite Parpol berusaha memperoleh dana/uang bersumber dari negara/pemerintahan melalui “perburuan rente” dengan cara bersaing merebut jabatan politik di parlemen dan eksekutif/kabinet. Kecenderungan anggota Parpol melakukan tindakan ilegal memperoleh dana/uang negara (tindak pidana korupsi) menjadi berlaku baik untuk keperluan Parpol maupun perubahan pola hidup semakin “mewah” anggota Parpol itu sendiri. Akibatnya, elite Parpol diharapkan anti korupsi menjadi pro korupsi. Salah satu sebab tindakan ilegal ini adalah ketidakmandirian Parpol dalam menggalang/memperoleh dana.

Menjelang Pemilu 2009, DPR telah menerbitkan UU No. 2 tahun 2008 tentang Parpol. UU ini juga mengatur sumber keuangan Parpol dan besaran sumbangan. Sementara, dana kampanye diatur dalam UU No. 10 Tahun 2008 tengang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Namun, ketentuan UU itu tidak mudah dilaksanakan atau kurang efektif. Harian Kompas (Maret 2010) pernah mewawancarai pimpinan atau bendahara sembilan Parpol, menyimpulkan bahwa hampir tidak ada dapat menjelaskan secara rinci kondisi keuangan Parpol. Mereka hanya mengungkapkan sumber dana Parpol sesuai ketentuan diatur UU No. 2 Tahun 2008. Penerimaan dana Parpol berasal dari iuran anggota; dari sumbangan; dan, dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sumber dana dari hasil tindak pidana korupsi anggota tidak pernah diakui oleh pimpinan atau pengurus Parpol ke publik.

UU No. 2 Tahun 2008 dimaksud juga sangat minim mengatur hal-ikhwal akuntabilitas (pertanggungjawab) publik dan tidak transparansi Parpol. Akibatnya, praktik pendanaan Parpol tidak akuntabel dan transparan menjadi berkelanjutan. UU ini memberi kelonggaran dalam pengelolaan keuangan menjadi urusan internal Parpol. UU ini sangat mengecilkan makna akuntabilitas publik. Publik tidak memiliki kesempatan untuk mengetahui berapa sebenarnya jumlah sumbangan masuk ke Parpol, terutama dari pihak lain selain Pengurus dan kader Parpol bersangkutan. Kualitas pengaturan keuangan Parpol lebih buruk UU No. 2 Tahun 2008 ketimbang UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol. UU No. 2 Tahun 2008 tidak lagi mewajibkan Parpol melaporkan hasil audit dana Parpol bersangkutan setiap tahun ke KPU; memberi peluang lebih besar bagi Parpol untuk menerima dana ilegal. Hal ini diperkuat lagi, UU No. 2 Tahun 2008 meniadakan audit eksternal selama ini dijalankan oleh akuntan publik. Akibatnya, tidak ada standar baku model pencatatan, pelaporan dan audit keuangan Parpol.

Pasal 39 UU No. 2 Tahun 2008 menggeser urusan standar pengelolaan keuangan Parpol menjadi hanya urusan internal Parpol lewat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Parpol itu sendiri. Parpol tidak wajib diaudit oleh ouditor eksternal terkait sumbangan individu atau perusahaan. Diaudit hanya dana subsidi anggaran negara oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). Bahkan, Paket UU Politik dirancang untuk mengatur Pemilu 2009 (disebut sebagai UU Bidang Politik) secara umum tidak bicara banyak hal-ikhwal pendanaan politik dan persyaratan dalam hal akuntabilitas dan transparansi. Parpol tidak di bawah pengawasan publik dalam hal pendanaan kampanye dan dana digunakan oleh Parpol.

UU No. 2 Tahun 2008 telah mengalami perubahan menjadi UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.2 Tahun 2008 tentang Parpol. Menurut Penjelasan atas perubahan UU itu, Parpol sebagai pilar demokrasi perlu ditata dan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik demokratis guna mendukung sistem presidensiil efektif. Penataan dan penyempurnaan Parpol diarahkan pada dua hal utama. Pertama, membentuk sikap dan perilaku Parpol terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Parpol memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan memadai serta mengembangkan sistem perkaderan dan kepemimpinan politik kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Parpol baik fungsi Parpol terhadap negara maupun fungsi Parpol terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan perkaderan serta rekrutmen politik efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin memiliki kemampuan di bidang politik.

Lebih lanjut dijelaskan, upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensil, paling tidak dilakukan pada empat hal. Pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana. Kedua, mendorong terciptanya pelembagaan Parpol demokratis dan akuntabel. Ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan demokratis dan akuntabel. Keempat, mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat. Salah satu hal pokok diatur dalam penataan dan penyempurnaan Parpol menurut perubahan UU ini adalah pengelolaan keuangan dan kemandirian Parpol.

Pasal 34 UU No. 2 tahun 2011 telah mengalami perubahan, terutama tentang penggunaan bantuan keuangan dari APBN /APBD. Semula Pasal 34 menetapkan keuangan Parpol bersumber dari iuran anggota; sumbangan syah menurut hukum; dan, bantuan keuangan dari APBN/APBD (ayat 1). Sumbangan dapat berupa uang, barang dan/atau jasa (ayat 2). Bantuan keuangan dari APBN/APBD diberikan secara proporsional kepada Parpol mendapatkan kursi di DPR, DPRD Propinsi, Kabupaten dan Kota. Perhituangannya berdasarkan jumlah perolehan suara (ayat 3). Pasal ini menetapkan bahwa bantuan keuangan dari APBN/APBD diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Parpol dan masyarakat (ayat 3a). Pendidikan politik dimaksud adalah pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI); pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan, pengkaderan anggota Parpol secara berjenjang dan berkelanjutan. Bantuan keuangan dan laporan penggunaan bantuan keuangan kepada Parpol dari APBN/APBD diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (pasal 4).

Maraknya kasus korupsi melibatkan kader Parpol menuntut aturan keuangan atau pendanaan Parpol direvisi. Harus ada pembatasan biaya pengeluaran Parpol, penetapan besaran sumbangan anggoat Parpol dan perusahaan serta penerapan sanksi secara tegas. Pasal 34 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan, keuangan Parpol berasal dari tiga sumber, yaitu iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan APBD/APBN. Besaran iuran anggota ditentukan secara internal oleh Parpol, sementara perorangan anggota Parpol diatur dengan AD/ART Parpol bersangkutan. Sumbangan sah menurut hukum dapat berupa uang, barang, fasilitas dan atau jasa. Bantuan itu disalurkan lewat APBD untuk DPRD dan APBN untuk DPR. Nilai nominal untuk sumbangan dari anggota dan bukan anggota serta perusahaan dan atau badan juga sudah secara eksplisit disebutkan, yakni pertahun sebesar Rp. 1 miliyar untuk perorangan dan Rp. 7,5 miliyar untuk perusahaan dan badan. Parpol tidak dibenarkan memiliki perusahaan. Sementara, tradisi „fund raising“ dalam kegiatan Parpol belum melembaga. Untuk sumber dana iuran anggota, APBD dan APBN, dan perseorangan anggota Parpol, tidak ada perubahan antara UU No. 2 Tahun 2008 dan UU No. 2 Tahun 2011. Perubahan terjadi hanya pada Perusahaan/badan usaha, dari Rp. 4 miliyar menjadi Rp. 7,5 miliyar paling banyak dalam satu tahun anggaran.

Terkait pengelolaan keuangan Parpol dalam pasal 39, UU No. 2 tahun 2011 ini mengalami perubahan sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:

(1) Pengelolaan keuangan Partai Politik dilakukan secara transparan dan
akuntabel.
(2) Pengelolaan keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diaudit oleh akuntan publik setiap 1 (satu) tahun dan diumumkan
secara periodik.
(3) Partai Politik wajib membuat laporan keuangan untuk keperluan audit
dana yang meliputi:
a. laporan realisasi anggaran Partai Politik.
b. laporan negara; dan,
c. laporan arus kas.

Yang dimasud „Akuntan Publik“ adalah Akuntan terdaftar dalam organisasi profesi Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Sedangkan „diumumkan secara periodik“ bermakna dipublikasikan setiap tahun sekali melalui media massa.

Pasal 39 UU No. 2 Tahun 2011 telah menetapkan urusan standar pengelolaan keuangan Parpol wajib diaudit oleh akuntan publik. Sudah tidak ada lagi ketentuan dalam Pasal 39 bahwa pengelolaan keuangan Parpol diatur lebih lanjut dalam AD dan ART. Diharapkan, perubahan Pasal 39 ini akan meningkatkan akuntabelitas Parpol dalam hal pengelolaan keuangan di masa mendatang.

Anggota Parpol baik di legislatif maupun di eksekutif setelah Pemilu usai harus tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai realitas subyektif karena para pemimpin Parpol secara formal telah menandatangani “Piagam Deklarasi Antikorupsi Partai Politik”, 25 Februari 2009, di Gedung KPK Jakarta. Ada 38 Parpol nasional, beberapa di antaranya Parpol lokal Aceh, peserta Pemilu 2009 menandatangani Piagam Deklarasi. Kandungan Piagam dimaksud sebagai berikut:

“Dengan rahmat Tuhan Maha Esa, Kami partai politik Indonesia menyadari: Korupsi adalah kejahatan luar bisaa menghancurkan bangsa dan menyengsarakan rakyat Indonesia.

Kami, partai politik Indonesia bertekad: mewujudkan kehidupan berpolitik Indonesia bebas praktik korupsi dan menjadikan Indonesia sebagai negeri bersih dari korupsi.

Kami partai politik Indonesia berjanji: berperan serta secara aktif dalam gerakan pemberantasan korupsi dan tidak melakukan korupsi.”

Jakarta, 25 Februari 2009.

Penandatangan Piagam ini dapat bermakna sebagai antara lain:

1.Dukungan terhadap KPK menangani perkara korupsi selama proses Pemilu 2009.
2.Komitmen Parpol untuk melaksanakan Pemilu bersih dan pemberantasan korupsi.
3.Pencegahan terjadinya korupsi dan menciptakan Pemilu sehat.
4.Komitemen Parpol agar saat berkuasa akan menjalankan pemerintahan bersih.
5.Salah satu bentuk kepedulian mereka atas terciptanya pemerintahan anti korupsi dan Pemilu sehat.

KPK memprakarasi acara ini meminta Parpol menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda utama harus diusung dalam Pemilu 2009. “Bangsa ini perlu Parpol bersih dari korupsi” ujar Ketua KPK Antasari Azhar saat menyampaikan sambutan di hadapan perwakilan Parpol pada acara pendandatangan Piagam Deklarasi itu. Saat ini KPK tengah menangani sejumlah kasus korupsi melibatkan tokoh Parpol. Pelajaran ini dipetik KPK agar di musim Pemilu tidak ada lagi tokoh Parpol terlibat korupsi karena menggunakan uang negara untuk kepentingan politik. “Parpol harus punya komitmen agar Pemilu nanti bersih”, tandas Antasari. Sembari menekankan, Pemilu merupakan momen sangat rawan politik uang. Karenannya, KPK merasa perlu untuk menegaskan, menjadi ranah KPK adalah ketika digunakan uang negara. “Jika sumber dana diberikan kepada konstituen berasal dari APBD atau APBN, KPK akan menindak”, sambungnya. Ia menambahkan, kalau memberi sesuatu terhadap konsituen masuk delik Pemilu, dan KPK tidak akan masuk di wilayah ini.

Acara Penandatangan Piagam Deklarasi Anti Korupsi ini dihadiri antara lain Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, Presiden PKS Tifatul Sembiring, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir, Ketua Umum PPP Suryadharma Ali, Ketua Umum Partai Patriot Yapto Suryosumarno, Ketua Umum PBR (Partai Bintang Reformasi) Bursa Zarnubi, Ketua dan Sekjen DPP Partai Demokrat masing-masing Amir Syamsudin dan Marzuki Ali, Ketua Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) Roy BB Janis, Ketua Umum PKPI Meutia Hatta, Ketua Umum PBB MS Kaban, dan sejumlah elite Parpol lain.

Dalam kesempatan itu, para elite Parpol hadir menyatakan dukungan atas deklarasi tersebut. Bahkan mereka dengan semangat berlomba-lomba memberikan usulan dan pemikiran tentang pemberantasan korupsi. Misalnya, Agung Laksono, Wakil Ketua Umum Partai Golkar menegaskan pihaknya siap mendukung upaya KPK” Deklarasi ini harus didukung sepenuhnya hingga tidak ada tensi politik”, ujar Agung Sembari menekankan, tidak ada lagi resistensi politik, termasuk di kalangan legislatif, eksekutif bahkan fraksi di Dewan. Sementara itu, Sekjen PDIP Pramono Anung menyatakan tidak akan menoleransi kader partai terlibat korupsi. “PDIP takkan melindungi kadernya terlibat korupsi. Sanksi dari internal partai tetap akan diberikan”. Pramono kemudian menekankan, tidak ada lagi klaim politik soal kesuksesan KPK, meskipun pembentukan KPK di tahun 2002 dilakukan saat pemerintahan Presiden Megawati. “Jangan ada klaim kesuksesan KPK merupakan keberhasilan partai tertentu,” tandasnya.

Selanjutnya, Ketua DPP Partai Demokrat Amir Syamsudin menegaskan, membasmi korupsi itu jangan pandai berorasi dan beretorika, tapi tidak melaksanakan. “Membasmi korupsi itu tidak karena kita pandai berorasi, perlu dilakukan adalah tindakan nyata” ujar Amir. Ia juga mendukung soal pembuktian terbalik merupakan suatu ide cerdas. Lebih kocak datang dari pidato Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir. “PAN itu sejak dulu antikorupsi. PAN, Partai Anti Norupsi (no korupsi), “ ujarnya disambut gelak tawa hadirin.

Ketua Umum Partai Hanura Wiranto juga menyampaikan pidato. “Saya datang ke acara deklarasi ini, berarti saya setuju. Yaitu setuju untuk melawan tindak korupsi”, ujarnya.

Di lain fihak, di tempat sama, Ketua Umum PBB MS Kaban mengingatkan semua pihak agar perlawanan terhadap korupsi bukan hanya seremonial. Ia berharap, ada strategi dan arah jelas untuk membumihanguskan perilaku korup para pejabat publik. “Jadi jangan hanya banyak bicara tanpa ada realisasi, “ kilahnya Sembari mengingatkan, ada menilai deklarasi melawan korupsi ini tidak relevan.

Berbagai tanggapan positif bermunculan di publik atas penandatangan Piagam Deklarasi Anti Korupsi ini, namun beberapa di antaranya menunjukkan nada pesimistik. Belum sampai sebulan Piagam Deklarasi ditandatangani, salah satu kader Parpol justru tertangkap basah oleh KPK, yakni Abdul Hadi Djamal. Kasus ini mencoreng deklarasi. Bersama Kabag Umum Distrik Navigasi Tanjung Priok Darmawati dan Komisaris PT Kurniadjaya Wirabhakti Surabaya, Hontjo Kurniawan, Abdul Hadi ditangkap KPK sekitar pukul 22.12 WIB, 2 Maret 2009. Abdul Hadi adalah anggota DPR Komisi V dari Fraksi PAN.

Sementara itu, terdapat nada kritis negatifsaya menekankan acara penandatangan Piagam Deklarasi ini sekedar acara seremoni. Ada kekhawatiran acara itu justru menjadi kampanye gratis Parpol menjelang Pemilu 2009. Nada kritis ini kemudian mengingatkan, bukan hanya sekedar deklarasi, janji dan kata-kata saja diperlukan, tapi tindakan konkrit dan nyata lebih mengenaia untuk mengaet suara rakyat. “Rakyat butuh bukti, bukan acara seremonial.” Mereka berharap, acara itu tidak menjadi sekedar klaim pemberantasan dari Parpol menjelang Pemilu. Parpol harus menunjukkan komitmen mengingat masih lemahnya pengaturan mekanisme keuangan Parpol dalam UU No. 2 tahun 2008 tentang Parpol.

Masyarakat juga tidak percaya tentang jumlah dana diterima Parpol menjelang Pemilu sama besar seperti dinyatakan dalam iklan. Jajak Pendapat Litbang Kompas (17-19 Maret 2010) dengan 1.079 responden di 33 Ibukota Provinsi seluruh Indonesia menunjukkan, sebesar 73,3 % responden tidak percaya, hanya 11,2 % percaya, 1.7% tidak tahu dan 0.8 % tidak jawab. Intinya, di mata masyarakat, Parpol tidak menegakkan prinsip transparansi tentang penerimaan dana.

Anggota DPR notabenenya anggota Parpol juga, harus tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai realitas obyektif dapat juga digunakan argumentasi acara pengucapan sumpah/janji. Setiap anggota DPR pasti mengikuti acara pengucapan sumpah/janji dipimpin oleh Ketua MA (Mahkamah Agung). Acara pengucapan sumpah/janji tersebut dilakukan sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing. Sumpah dan janji diucapkan memiliki tanggungjawab besar terhadap seluruh bangsa dan negara Indonesia sesuai dengan amanat dari Pancasila dan UUD 1945. Sumpah/janji merupakan sumpah/janji terhadap Tuhan Maha Esa dan kepada manusia harus ditepati dengan segala keikhlasan dan kejujuran . Intinya, sumpah/janji jabatan diucapkan anggota Parpol ketika dilantik menjadi anggota DPR adalah setia dengan Pancasila dan UUD 1945. Setia dengan Pancasila dan UUD bermakna tidak akan melakukan korupsi dan memperoleh dana negara secara ilegal. Anggota DPR juga harus taat dan mematuhi semua peraturan perundang-undangan di bawahnya seperti UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Pancasila dan UUD 45 sama sekali tidak mengenaidaki perilaku korup, bahkan melarang setiap pejabat dan penyelenggara negara temasuk anggota DPR untuk menerima uang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan berlaku.

Bahkan, perilaku gratifikasi juga dilarang sebagaimana diatur di dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor. Gratifikasi merupakan pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma dan fasilitas lainnya. Pasal 12 B UU itu menyatakan bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Korupsi penyakit terparah bangsa ini, telah menjadi wabah di semua institusi negara. Bahkan legislatif/parlemen berisi para wakil rakyat mengemban aspirasi dan kedaulatan rakyat justru menjadi sarang korupsi. Sudah banyak anggota DPR masuk bui karena suap dan manipulasi atau tindak pidana korupsi. Banyak pula anggota legislatif di pusat dan daerah masih aktif kini menjadi saksi dan berkelit di persidangan suap tanpa merasa bersalah.

Menurut data ICW, pada 2009 anggota DPR menempati urutan pertama pejabat menjadi tersangka korupsi. Setelah itu, disusul oleh pejabat Departemen. Anggota DPR/DPRD menjadi tersangka atau terpidana korupsi sebanyak 18,95 %, kemudian disusul oleh pejabat eselon/pimpro 17, 89%, Duta Besar/Pejabat Konsulat/Imigrasi 13,68 % dan Kepala Daerah (Gubernur, Walikota dan Bupati) 12,63 %. Sisanya ada pejabat di level Komisi Negara, Dewan Gubernur, BUMN, Aparat Hukum dan BPK, prosentase sebaran tersangka hanya di bawah 10 %. Hasil pengamatan ICW juga menunjukkan, dari 11 Komisi di DPR periode 2004-2009, hampir semuanya dijadikan sumber korupsi. Komisi dinilai rentan adalah Komisi VI (Bidang Perdagangan dan Industri), Komisi VII, Komisi VIII (Agama), Komisi X (Pendidikan) dan Komisi bidang Keuangan dan Perbankan.

Untuk perbandingan Indonesia dengan negara-negara lain, dapat digunakan hasil Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) diadakan setiap tahun oleh “Transparency International tahun 2009. Hasilnya menunjukkan IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, lebih baik daripada skor pada 2008 (mencapai 2,6), berada di urutan 111 dari 180 negara. Pada 2008 Indonesia berada di urutan pada 126 dari 180 negara. Indonesia termasuk negara tingkat korupsi sangat parah dan di kawasan ASEAN masih berada di bawah Singapura, Malaysia, Thailand dan Vietnam. Semua upaya Pemerintah SBY ternyata tidak mampu mengubah persepsi negatif. Bahkan, pada 2010 IPK Indonesia masih tetap 2,8, berada di urutan ke-110 dai 178 negara, tidak ada perubahan berarti dibandingkan 2009.

Political & Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) adalah suatu perusahaan konsultan berbasis di Hongkong mengeluarkan hasil studi tahunan tentang tingkat korupsi di negara-negara tujuan investasi di kawasan Asia Pasifik. Hasil studi PERC tahun 2007 menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Hasil studi ini menunjukkan, Indonesia naik satu peringkat dari posisi sebelumnya menempati peringkat pertama negara terkorup di Asia. Studi ini dilaksanakan pada Januari dan Februari, melibatkan 1.476 pelaku bisnis asing (responden) di 13 negara Asia. Hasil studi ini kemudian digunakan untuk membuat peringkat mengenaiai persepsi terhadap tindakan korupsi dan penanganannya di Asia, menggunakan sistem skor 0-10. Negara dinilai bersih dari korupsi mendapat skor 0, sedangkan paling buruk mendapat skor 10. Indonesia bersama Thailand menduduki peringkat kedua dengan skor 8,03, setingkat di bawah Filipina mendapat nilai 9,40. Bagi Indonesia, hasil ini sedikit lebih baik setelah tahun lalu. Indonesia mendapat nilai 8,16.

Meski sudah mengindikasikan hasil positif, namun pada hasil studi PERC Maret 2009, memposisikan Indonesia naik ke peringkat teratas kembali sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 8,32 dari nilai 10. Sementara Thailand memproleh skor 7,63, disusul Kamboja dengan skor 7,25, India 7,21 dan Vietnam 7,11. Sedangkan Filipina menjadi negara terkorup tahun 2008 mendapatkan skor 7,0 atau menempati peringkat enam sebagai negara terkorup di Asia. Sementara Singapura (1,07), Hongkong (1,89) dan Australia (2,4) menempati tiga besar negara terbersih, meskipun ada dugaan kecurangan sektor privat. Amerika Serikat menempati urutan keempat dengan skor 2,89.

Hasil studi PERC tahun 2010 tetap memposisikan Indonesia sebagai negara terkorup dengan mencetak skor 9,07 dari nilai 10. Angka ini naik dari 7,69 poin tahun lalu. Studi ini mencakup 2.174 responden eksekutif bisnis tingkat menengah dan senior di Asia, Australia dan Amerika Serikat. Hasil studi PERC dimaksud memposisikan Indonesia kembali terpuruk dalam peringkat korupsi antara negara. Dari 16 negera sasaran studi, menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup, diikuti Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia dan Singapura. Skor Indonesia adalah 9,27 dalam skala 0-10 di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat korup, turun cukup signifikan dari skor tahun lalu, yaitu 8,32. Pada tingkat Asean, Indonesia tingkat korupsi hampir sempurna dan lebih buruk daripada Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), malaysia (6,47) dan Singapura (1,42).

Studi ini melihat bagaimana korupsi berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik dan pamong praja serta lembaga-lembaga utama. Studi ini juga mencakup penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap lingkungan bisnis secara keseluruhan. Menurut PERC, dengan merajalelanya korupsi di semua level di Indonesia, perang korupsi dilakukan Presiden SBY telah terhambat politisasi issue dilakukan pihak merasa terancam oleh aksi dilakukan SBY. “(Hasil) korupsi digunakan oleh para koruptor untuk melindungi mereka sendiri dan untuk melawan reformasi. Seluruh perang terhadap korupsi terancam bahaya”, ujar Laporan PERC.

Mirip dengan penilaian Laporan PERC, sebelumnya Reuters melihat bahwa kasus Bank Century merupakan pertarungan antara kubu reformasi dan anti-reformasi. Menkeu Sri Mulyani telah melakukan reformasi birokrasi untuk membersihkan para pejabat korup di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai berada di bawah kementerian dipimpinnya. Dengan mengutip seorang investor AS di Indonesia, Reuters membeberkan, para investor sangat khawatir dengan para politisi Indonesia lebih tertarik untuk bertarung memperebutkan kekuasaan daripada mendukung proses reformasi. “Kehilangan seorang reforman akan membuat investor khawatir bahwa Indonesia akan kembali ke kapitalisme kroni, akan sangat menyakitkan bagi para investor dan sebagian besar bangsa Indonesia, setidaknya bagi mereka bukan dari bagian para taipan atau secara politis berhubungan baik ataupun keduanya”, ungkap Investor tersebut.

Menurut PERC, Indonesia adalah negara terkorup dibandingkan negara-negara lain distudi. Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi Pemerintahan SBY untuk lebih serius dalam usaha pemberantasan korupsi. Turunnya skor Indonesia dalam studi PERC, dikhawatirkan menjadi kecenderungan bagi studi-studi lain mengukur kinerja dan performa pemberantasan korupsi di Indonesa, tatkala tahun 2009 dapat dikatakan memang mengalami keterpurukan akibat beragam persoalan antara lain: Cicak vs. Buaya, politisasi kasus Bank Century, dan usaha-usaha kriminalisasi dan pelemahan KPK.

Untuk perbandingan antar lembaga pemerintahan dan masyarakat sipil, dapat digunakan hasil studi lembaga Transparency International Indonesia (TII) dalam beberapa tahun terakhir. Hasilnya masih menempatkan DPR sebagai salah satu lembaga terkorup di negeri ini. Korupsi sudah merusak cara berpikir anggota DPR sedemikian rupa. Kasus-kasus korupsi dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai. Artinya korupsi di DPR dilakukan sistemik dan melembaga. Selama empat tahun (2003,2004, 2007 dan 2008) menempatkan Parpol dan parlemen pada peringkat ketiga besar lembaga terkorup dalam persepsi publik di Indonesia.

Hasil studi TII tahun 2003 menempatkan Parpol pada posisi kedua sebagai lembaga terkorup di negeri ini setelah lembaga peradilan. Hasil studi TII tahun 2004 menempatkan Parpol dan Parlemen menjadi lembaga terkorup pertama. Bahkan pada tahun sama, Transparency International (TI) mengumumkan, sebanyak 36 dari total 62 negara sepakat menyatakan Parpol adalah lembaga terkorup. Hasil studi TII tahun 2007 menempatkan Parpol menjadi membaik, berada di urutan ketiga setelah Kepolisian dan lembaga Peradilan. Sementara, Parlemen menjadi terkorup pertama. Hasil studi TII tahun 2008 menunjukkan posisi Parpol menurun kembali, berada di urutan kedua sebagai lembaga terkorup setelah Parlemen.

Resistensi anggota DPR juga cukup kuat terhadap kritik-kritik keras dialamatkan kepada mereka. Pada 2006, DPR rupayanya dibikin “gerah” oleh kritik pedas disuarakan Kelompok Musik Slank lewat lagu berjudul “Gosip Jalanan”. “Mau tau gak mafia di Senayan?” Kerjanya tukang buat peraturan. Bikin UUD, ujung-ujungnya duit.” Petikan syair itulah membikin para wakil rakyat gerah. Bahkan, Badan Kehormatan DPR sempat berniat memperkarakan kelompok musik Slank ini dan pencipta lagunya, meski kemudian dibatalkan.

Resistensi atau penolakan anggota DPR cukup kuat terhadap terutama hasil survei TII tahun 2007 memotret persepsi publik tentang korupsi di lembaga-lembaga negara. Banyak anggota DPR, termasuk sang Ketua, mengaku tersinggung atas hasil menyebutkan lembaga tempat mereka “mengabdikan diri” sebagai lembaga paling banyak korupsinya. Namun, kalangan pengamat Parpol, berdasarkan hasil studi TII ini, sepakat bahwa Parpol sebagai fihak paling bertanggungjawab dalam menumbuhsuburkan korupsi di negeri ini. Diandaikan, korupsi politik seperti lingkaran setan dan Parpol berada di titik pusatnya. Dengan perkataan lain, Parpol sebagai sarana terpenting mencapai kekuasaan politik menjadi “episentrum” korupsi. Di dalam Parpol koruptor dididik dan kemudian membangun jaringan untuk melakukan korupsi berjemaah!

Fenomena politik kartel terutama perilaku korupsi politisi baik di legislative maupun eksekutif menggiring citra positif politisi di Indonesia semakin buruk. Salah satu hasil jajak pendapat menunjukkan citra politisi Parpol semakin buruk adalah Lingkar Survei Indonesia (LSI) dibeberkan dalam jumpa pers di Jakarta, 2 Oktober 2011 (Kompas, 3 Oktober 2011). Menurut LSI, citra positif politisi di mata masyarakat melorot drastis, yakni 23,4 %. Di kalangan mahasiswa dan alumnus pendidikan tinggi bahkan hanya 18 % citar positif politisi. “Telah terjadi penurunan 20 % dari survey terakhir LSI”, ujar Ardian Sopa Kordinator Survei LSI.

Menurut LSI, citra semakin buruk politisi karena begitu maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh politisi di semua lini, baik lembaga legislative maupun eksekutif sebagai kepala daerah dan pejabat penting lainnya. Ia menilai bahwa penangkapan 125 kepala daerah dan mantan kepala daerah saat ini merupakan rekor terbanyak di Indonesia sepanjang sejarah (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda