Jumat, 02 Maret 2012

PARPOL LEBIH MENGUTAMAKAN KOALISI DENGAN PARPOL PEMEGANG KEKUASAAN, BUKAN OPOSISI

Salah satu karakteristik politik kartel kepartaian di Indonesia yakni lebih mengutamakan politik “koalisi” dengan Parpol pemegang kekuasaan, kurang kompetitif (persaingan) dan tidak mengambil peran “oposisi” dalam hubungan dengan kekuasaan eksekutif. Parpol-Parpol peserta Pemilu jika tidak berhasil memperoleh mayoritas anggota legislatif atau kekuasaan eksekutif, lebih mengutamakan koalisi, bukan oposisi. Perilaku oposisi menjadi tidak populer atau telah “menguntungkan” dan acapkali dianggap “merugikaan” karena tidak memperoleh kesempatan atau kekuasaan sebagai sumber dana bagi kepentingan Parpol.

Fenomena mengutamakan koalisi dan mengabaikan oposisi sesungguhnya dapat menjadi satu masalah utama bagi proses percepatan demokratisasi di Indonesia. Oposisi, beroposisi, oponen, oposisional merupakan konsep bentukan dari kata kerja “oppose”, bermakna menolak, melawan dan menentang. Secara umum oposisi dapat dipahami sebagai kelompok kekuatan menolak, melawan dan menentang serta berperan sebagai pengontrol dan penyeimbang pelaksanaan pemerintahan sehingga tidak terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu komponen negara demokrasi membedakan dengan negara bukan demokrasi adalah keberadaan kekuatan oposisi. Oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi kuat. Peran oposisi tetap harus hadir agar demokrasi tetap dalam lajur benar, yakni demokrasi mengabdi kepada kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara. Fungsi oposisi tetap harus dihadirkan bukan saja peran oposisi terhadap pemerintah tapi juga terhadap entitas politik di legislatif. Tanpa adanya oposisi, pemerintah menjadi tidak terkontrol dan dapat melakukan apapun dikehendaki tanpa hambatan berarti. Dalam konteks ini mempertahankan oposisi sejatinya sama dengan mempertahankan demokrasi.

Kekuasaan mempunyai kecenderungan bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itu, pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan. Oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan pengawasan terhadap Pemerintah agar tidak semena-mena. Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkingan salah kebijakan atau salah tindakan tetapi juga menunjukkan apa harus dilakukan dan apa tidak harus dilakukan. Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuai harus atau tidak harus dilakukan. Oposisi diperlukan juga karena apa baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka dan publik. Adalah naif, masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasehat merumuskan sendiri apa perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan.

Oposisi berkewajiban mengemukan titik-titik lemah dari suatu kebijakan Pemerintah sehingga apabila kebijakan itu diterapkan, segala sesuatu dapat merupakan efek samping merugikan sudah lebih dahulu ditekan/dikelola seminal mungkin. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasar, apa pula tujuan dan urgensi dan dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan.

Sejumlah tokoh reformasi sesungguhnya mendukung keberadaan kekuatan posisi Parpol di Indonesia. Salah satu karya menunjukkan beberapa tokoh reformasi menyetujui oposisi dalah Gouzali Saydam (Ed.), Dari balik Suara Ke masa Depan Indonesia: Potret Konflik Politik Pasca Pemilu dan Nasib Reformasi (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Agustus 1999). Di dalam karya ini, Nurcholis Madjid menegaskan, ia sudah lama berteriak mengenai perlunya oposisi, agar mekanisme pengawasan dan pengimbangan terhadap pemerintaahn yang berkuasa bisa berlangsung dengan baik. Bersama mereka, lanjut Madjid, mereka yang berada di luar Parpol dan di luar parlemen juga harus menjadi watch dog yang bertangungjawab, dapat menyoroti berbagai kebijakan Pemerintah dengan adil dan tidak asal menyalahkan. Dalam hal ini saluran utama mereka di luar parpol dan parlemen adalah kehidupan pers dan akademis yang ebbas. ”Menjadi oposisi sama terhormatnya dengan menjadi penguasa”, kilah Madjid.

Sesunggunya perilaku oposisi dalam era reformasi ini dijamin di dalam UUD 45 Perubahan (Amandemen), khususnya Pasal 20A mengatur fungsi dan tugas-tugas`DPR, antara lain memiliki ”hak interpelasi”, ”hak angket” dan ”hak menyatakan pendapat”. Bahkan setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Selain itu, pentingnya kehadiran oposisi di DPR juga untuk mengamankan dan mewujudkan hak-hak rakyat sesuai dengan Pasal 23, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34.


Dalam kenyataannya, kebanyakan Parpol berhasil menempatkan anggota di DPR cenderung menghindari perilaku oposisional terhadap Pemerintah atau kekuasaan eksekutif. Hampir seluruh kekuatan politik di DPR diserap oleh Pemerintah. Semua Parpol besar dan menengah menempatkan wakil di jajaran Kabinet. Parpol terjebak pragmatisme, tidak memerlukan pemikiran matang dan ideologi kokoh. Pragmatisme hanya memperhitungkan keuntungan praktis. Uang dan kursi kekuasaan sering kali menjadi tawaran menarik bagi kaum pragmatis. Hal ini diperkuat lagi proses rekruitmen/penempatan anggota Parpol belum memadai, di samping kualitas pengetahuan sumber daya manusia (SDM) masih rendah dalam politik atau ”miskin” pengalaman politik, dan juga keterbatasan memahami fungsi dan tugas-tugas DPR. Di samping itu, tingkat loyalitas anggota DPR lebih tinggi terhadap kepentingan Parpol ketimbang kepada konstituen/rakyat. Parpol masih memegang kendali kuat atas anggota-anggota Parpol tersebut di DPR.

Ketidakhadiran oposisi politik di DPR akan membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi, yakni watak rezim kekuasaan eksekutif mengarah otoriterianisme. Segala kebijakan Pemerintah akan mudah diterima sekalipun kebijakan berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Mengacu pada sebagian pengamat politik di Indonesia, ketidakhadiran oposisi terlembaga bermakna rezim kekuasaan tidak demokratis, bahkan tergolong negara diktatorial. Karena itu, Parpol tidak dapat ikutserta melakukan upaya percepatan proses demokratisasi.

Sesungguhnya pengalaman Indonesia telah menunjukkan kehadiran oposisi sebagai kekuatan penggerak perubahan sejarah. Sejak awal, Indonesia mengenaial oposisi, baik di lingkungan politik, birokrasi dan masyarakat. Pada dasawarsa 50-an tatkala Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, posisi kelompok oposisi atau penyeimbang dinilai sangatlah penting. Sebagai contoh, Masyumi, PNI, NU maupun PKI pernah mengalami dua fungsi berbeda. Tatakala satu Parpol diberi mandat membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol tersebut berfungsi sebagai kekuatan memerintah. Sebaliknya, tatakala Parpol tertentu tidak dilibatkan dalam membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol dimaksud menjadi kekuatan oposisi atau penyeimbang, melakukan fungsi ”checks and balances”. Bahkan, peristiwa G30S/PKI dapat digolongkan sebagai gerakan oposisi terhadap kekuasaan Pemerintahan.

Kehadiran Parpol oposisional ini menjadi sirna atau menghilang dalam kancah perpolitikan Indonesia sejak tampilnya kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan kekuatan militer anti keberadaan kekuatan oposisi. Selalu hanya Golkar menjadi kekuatan memerintah dan dua kekuatan politik lain seperti PPP dan PDI tidak diberi kesempatan untuk ikut memerintah. Namun, dua Parpol ini juga tidak pernah berperan sebagai kekuatan oposisi atau penyeimbang. Di era Orde Baru, Pemerintah dan legislatif merupakan kekuatan politik konspiratif saling mendukung. Konpirasi itu ternyata belum menghilang di era reformasi ini. Pemerintah dan legislatif saling mendukung tanpa adanya kekritisan (penolakan, perlawanan atau penentangan) dalam konteks fungsi pengawasan.

Untuk menjustifikasi realitas obyektif ini, rezim kekuasaan Orde Baru dan juga sebagian besar petinggi negara di era reformasi menegaskan bahwa budaya politik Indonesia tidak mengenaial oposisi. Penegasan ini bermakna bahwa Indonesia tidak mengenaial Parpol oposisional. Mereka juga menegaskan, sistem presidensial Indonesia tidak mengenaial pelembagaan oposisi. Di lain pihak, kalangan intelektual tahun 70-80an mengimplementasikan ajaran masyarakat integralistik di dalam ruang perpolitikan Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa dan simbol negara kesatuan merupakan tiga kualitas dasar berharga mati ajaran itu. menimbang dan menafsirkan ketiga kualitas dasar itu adalah pemangku kekuasaan negara. Setiap perbedaan dengan timbangan dan tafsiran itu dianggap musuh persatuan dan kesatuan bangsa dan musuh negara kesatuan. Penolakan, perlawanan dan penentangan terhadap kekuasaan identik dengan penghinaan jabatan anugerah Tuhan. Karena itu, perilaku oposisi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Di era reformasi ini, kita juga masih dapat menemukan kalangan intelektual dan politisi memberikan ajaran-ajaran anti oposisi semacam itu.

1.Kasus Golkar

Sebagai contoh, kepartaian pasca Pamilu 2009, sebagian besar dari sembilan Parpol mempunyai kursi di DPR, sekalipun berbeda ideologi dengan Partai Demokrat (Parpol SBY), berkoalisi dengan motip perolehan kekuasaan di Kabinet (jabatan Menteri). Mereka berkoalisi dengan SBY (Partai Demokrat) adalah Golkar, PPP, PAN, PKB, dan PKS. Padahal, ideologi PPP, PAN, PKB dan PKS (Islam) sesungguhnya berbeda dengan ideologi Partai Demokrat (sekuler).

Golkar semula tidak mendukung Pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009. Golkar mendukung Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto, saat Jusuf Kala sebagai Ketua Umum Golkar dan Wiranto Ketua Umum Partai Hanura. Namun, kekalahan Pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dalam Pilpres tidak menyebabkan Golkar juga kehilangan kekuasaan di eksekutif. Golkar berubah sikap menjadi mendukung kekuasaan SBY-Boediono sehingga mendapatkan beberapa jabatan Menteri dalam Kabinet hasil Pilpres 2009. Salah satunya bahkan jabatan strategis, yakni Menteri Kordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) dipegang oleh kader senior Golkar Agung Laksono. Maksudnya, sekalipun mengalami kekalahan dan lawan politik meraih kemenangan, namun Golkar tetap saja berupaya memproleh kekuasaan melalui keanggotaan Koalisi pendukung SBY-Boediono. Posisi Golkar tidak menjadi kekuatan oposisional, melainkan kekuatan koalisi.

2. Kasus PAN

Karakteristik politik kartel di mana elite Parpol mengutamakan koalisi, bukan oposisi, sekalipun tergolong kalah dalam pertarungan perolehan suara dalam Pemilu legislatif, dapat dicontohkan pengalaman PAN saat penentuan dukungan terhadap calon Presiden RI dalam Pilpres 2009. Amien Rais adalah seorang aktor sangat menentukan keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN terutama politik kekuasaan seperti penentuan rekruitmen politik anggota PAN di eksekutif dan juga legislatif. Jabatan formal Amin Rais di PAN saat itu adalah Ketua MPP (Majelis Penasehat Partai) DPP PAN, bukan sebagai Ketua Umum DPP PAN.

Menjelang Pemilu 2009, Amien Rais mengarang buku berjudul, Agenda Mendesak Bangsa: Selamatkan Indonesia! (Yogyakarta, PPSK Press, 2008). Di dalam buku ini, Amien menilai:
a.Indonesia dewasa ini telah semakin dalam menjadi subordinat dari jaringan korporatokrasi internasional, jelas-jelas menguras habis-habisan kekayaan Indonesia. Korporatokrasi adalah sebuah jaringan ekonomi, keuangan, politik, militer, intelektual dan media massa dibangun oleh kekuatan-kekuatan kapitalis dan demokrasi liberal Barat. Kedaulatan nasional kita justru tergadaikan ke berbagai korporasi asing.

b.Pemerintah Indonesia telah menjadi pelayan kepentingan asing, diberi payung hukum dengan perundang-undangan dan berbagai keputusan politik. State capture corruption (korupsi sandera negara), paling berbahaya semakin menjulang. Sejauh ini Pemerintah SBY tidak menunjukkan kemauan dan komitmen politik untuk memberantas korupsi sungguh-sungguh.

c.Pemerintah SBY pada dasarnya telah menjadi “broken gevernment’, pemerintahan kucar kacir, pecah koordinasi dan kepentingan rakyat banyak tidak dilayani, misalnya antrian minyak tanah, makan nasi aking dan raskin, listrik mati di Jawa dan luar Jawa, kenaikan harga BBM sampai lebih dari 100%, kondisi infrastruktur jalan parah penuh berlubang besar.

Berdasarkan beberapa penilaian di atas antara lain, Amien lalu mengajak pembaca untuk tidak lagi memberi kesempatan kepada SBY memimpin Indonesia. Dikatakannya, bila kepemimpinan SBY, atau model kepemimpinan SBY diberi kesempatan memimpin Indonesia 5 tahun lagi sesudah 2009, penjajahan ekonomi asing semakin luas dan mendalam sehingga negeri ini agaknya tidak punya harapan untuk bangkit kembali dan kondisi multi-dimensional semakin terpuruk. Jenis “korupsi sandera negara” menjadi semakin sistematik, melembaga, mengakar makin mendalam dan desktruktif.

Buku Amien Rais ini menjadi populer di kalangan kader PAN dan telah dibedah di bebebapa kota dihadiri dominan kader PAN. Karena itu, apa terkandung di dalam buku ini menjadi acuan bagi para politisi PAN untuk membangun opini positif terhadap PAN baik menjelang maupun saat kampanye Pemilu legislatif tahun 2009 berlangsung. Namun, kandungan buku ini tidak konsisten dipertahankan segera setelah Pemilu legislatif tahun 2009 usai.

Amien mendahului Keputusan DPP PAN dipimpin Ketua Umum Soetrisno Bachir, menyampaikan sepihak pernyataan mendukung SBY menjadi Calon Presiden. Dikesankan, pernyataan ini sebagai keputusan pertemuan silahturahim MPP DPP PAN di Rumahnya sendiri, Yogyakarta. Pernyataan dukungan tidak dihadiri oleh beberapa petinggi DPP PAN, termasuk Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Intinya, dukungan terhadap SBY bukanlah bermula dari prakarsa atau gagasan DPP PAN, melainkan Amien Rais peribadi dikesankan sebagai hasil keputusan MPP DPP PAN.

Setelah Ketua MPP DPP PAN menyatakan dukungan politik itu, terjadilah rekayasa politik internal untuk mengadakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) sepihak di Yogyakarta untuk menjustifikasi/memperkuat pernyataan. Keputusan Rakernas tidak ditandatangani oleh Ketua Umum DPP PAN Soetrisno Bachir. Konflik antara kedua tokoh PAN ini (Amien dan Soetrisno) sempat mencuat. Bahkan Soetrisno sempat menyatakan hendak mundur. Proses pengambilan keputusan harus domain DPP PAN telah diambilalih oleh Amien sang Ketua MPP DPP PAN.

Alasan disampaikan Amien kepada publik mendukung SBY yakni Partai Demokrat telah menjadi Parpol pemenang Pemilu dan SBY masih berpeluang besar untuk menang. Itu setidaknya menjamin pemerintahan ke depan akan lebih kuat dan stabil. “Berkoalisi dengan the losing side, bukan the winning side, itu sebuah kemubaziran,” kilah Amin. Padahal sebelumnya, Amien dikenal publik sebagai pengkritik tajam model kepemimpinan SBY pro korporasi asing.

Kritikan terhadap perilaku politik Amien mendukung SBY datang dari kalangan kader PAN maupun luar PAN. Pendukung Soetrisno menganggap Amien tidak melaksanakan kesepakatan dengan Ketua Umum Sutrisno Bachir. Sesuai dengan kesepakatan, nama tokoh dan arah koalisi belum ditetapkan dan akan dibahas kembali dalam rapat kerja nasional di Jakarta. Selanjutnya, kelompok mengatasnamakan Komunitas Muda Pencinta Buku Amien Rais (Kompibar) akhir April 2009 mendatangani Rumah PAN di Jl. Warung Buncit Jakarta. Mereka sangat kecewa, kesal dan marah atas tindakan Amien meminta kader PAN mendukung SBY. Menurut Kompibar, tindak tanduk Amien sangat bertentangan dengan prinsip anti neoliberalisme digembor-gemborkannya selama ini. Inilah salah satu sebab mungkin, mengapa masyarakat menilai, tingkat konsistensi PAN mempertahankan ideologi (cita-cita) sangat rendah.

3. Kasus Setgab Parpol Koalisi

Koalisi sejumlah Parpol mendukung SBY ini telah secara terang-terangan membentuk suatu wadah/institusi dengan nama Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol pendukung Pemerintahan SBY. Wadah ini dibentuk di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Kamis malam, 6 Mei 2010, dipimpin langsung Presiden SBY (Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat), sementara Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian dan Syarif Hasan (elite Partai Demokrat dan Menteri Koperasi & UKM) sebagai Sekretaris. Kantor Setgab berlokasi di Jl. Diponegoro No. 42 Jakarta Pusat.

Pada rapat pertama kali dipimpin oleh Aburizal Bakrie akhir Mei 2010, terlihat hadir sejumlah Menteri, antara lain Menteri Agama Suryadarma Ali (PPP), Menteri Pembangunan Daerah Terteinggal (PDT) Helmy Faisal (PKS), Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan (P.Demokrat). Di samping itu, hadir juga Ketua Fraksi PKB di DPR, Marwan Djafar. Sesuai rapat, Aburizal Bakrie memberikan keterangan kepada wartawan. Katanya, Setgab bukanlah sebuah upaya melakukan menghambat aspirasi masing-masing anggota Setgab. Hal paling penting dari rapat-rapat ini, terdapat kesepakatan bahwa Setgab akan menjadi garda terdepan dalam mengupayakan penyelesaian berbagai persoalan krusial. Contoh masalah bisa diselesaikan dalam rapat Setgab antara lain pemilihan Kapolri dan UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP).

“Setgab ini akan lebih banyak turun dalam menyikapi masalah-masalah krusial berdampak secara nasional dalam pembangunan berbangsa dan bernegara. Berbagai masalah krusial terjadi dari waktu ke waktu, contohnya soal UU APBNP, penetapan Kapolri dan lain sebagainya,” ujar Aburizal Bakrie. Sembari menambahkan, posisi Setgab saat ini solid.

Aburizal Bakrie juga berkilah, Setgab bukanlah alat negara, sehingga salah alamat jika ada pernyataan bahwa Setgab akan mengeleminir fungsi-fungsi lembaga negara tertentu. “Ini bukan lembaga negara. Sejak awal Setgab ini adalah koalisi sudah lama terbentuk. Di dalam politik, power harus disatukan. Kalau kita sepakat menjadi majority, maka kekuatan majority harus terjaga dengan baik”, ungkapnya.

Sebelumnya, Aburizal Bakrie mengakui, perubahan format koalisi ini dilatarbelakangi perbedaan sikap Parpol Koalisi dalam kasus Bank Century. Sikap Parpol Koalisi terbelah, antara anggota koalisi menilai pemberian dana talangan senilai Rp. 6,7 triliyun itu benar dan tidak melanggar hukum dengan anggota sebaliknya menilai kebijakan itu salah dan melanggar hukum. Perbedaan sikap itu tidak terjadi jika dalam format koalisi, Parpol-Parpol koalisi diajak berbicara dalam setiap pengambilan kebijakan. “Tanpa langkah itu, anggota koalisi sulit untuk mengamankan kebijakan pemerintah”, kilah Aburizal (Seputar Indonesia, 10 Mei 2010).

Senada dengan Aburizal Bakrie. Sekretaris Jeneral (Sekjen) Golkar Idrus Marham menambahkan, format Setgab lebih fokus pada sebuah forum komunikasi membahas masalah-masalah krusial nasional dan mencarikan jalan keluar atas berbagai masalah krusial itu. “Ini adalah forum komunikasi ide, gagasan dari masing-masing anggota,”ujar Marham. Sebelumnya, Marham (Kompas, 12 Mei 2010) menguraikan Koalisi Parpol ini memiliki tiga jenis rapat. Pertama, rapat tertinggi langsung dipimpin Presiden SBY sebagai Ketua Setgab. Rapat ini membicarakan berbagai gagasan strategis dan penting. Kedua, rapat dipimpin Ketua Harian Setgab, Aburizal Bakrie. Rapat untuk membahas kebijakan ini dihadiri pimpinan Parpol, Ketua fraksi, dan atas izin Presiden, juga dapat dihadiri Menteri. Ketiga, rapat operasional dipimpin Sektretaris Setgab, Syarif Hasan (P. Demokrat).

Masih dari politisi Golkar, Agun Gunanjar Anggota Fraksi Golkar di DPR, memprediksi, Setgab tidak mungkin menjadi satu Parpol besar karena ideologi dan platformnya tidak sama. Selain itu, Gunanjar menilai, Setgab juga dibentuk bukan untuk menyeragamkan anggota koalisi. Hal ini juga ditegaskan Aburizal Bakrie, Setgab dibentuk bukan untuk menyeragamkan pemikiran atau sikap anggota. Enam Parpol anggota koalisi diperbolehkan memiliki sikap sendiri. Kebijakan diambil di tiap Parpol dipastikan akan tetap disesuaikan dengan kehendak anggota Parpol sebagai pemilik kedaulatan.

Lebih lanjut, Agun Gunandjar menilai, Setgab hanya bisa menjadi lembaga memosisikan diri dan mengambil alih fungsi Parpol pendukung pemerintah dalam sistem presidensial. “Dalam sistem presidensial itu hanya ada dua kekuatan, yakni kekuatan Parpol pendukung pemerintah dan Parpol di luar pemerintah. Setgab memosisikan diri sebagai kekuatan pendukung pemerintah,”ujarnya. Sembari mengingatkan, Setgab tidak mencederai nilai-nilai demokrasi, terutama kesetaraan. Semua anggota Setgab harus bisa menghargai kedaulatan tiap-tiap Parpol.

Selanjutnya, Pengusung hak Angket Bank Century dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, meminta untuk menghentikan salah tafsir atas Setgab, agar Polri, Kejaksanan Agung dan KPK lebih responsif dan konsisten memproses kasus Bank Century. Kesungguhan itu menjadi bukti bahwa Setgab tidak berniat menutup-nutupi dugaan tindak pidana kasus Bank Century.

Pembelaan pembentukan Setgab kebanyakan datang dari Parpol koalisi. Salah satunya, Marwan Djafar(Ketua Fraksi PKB di DPR) menegaskan (Harian Kompas, 26 Mei 2010), tuduhan berkembangnya oligarki politik dengan pembentukan Setgab merupakan tuduhan spekulatif dan terlalu berlebihan. “Itu justru memutarbalikkan persepsi publik”, katanya. Sembari berkilah, Setgab justru akan mendorong koalisi menjadi lebih solid dan bermartabat serta memperlancar komunikasi antar Parpol. Kelancaran komunikasi itu merupakan modal untuk melaksanakan pembangunan demi kepentingan rakyat.

Sebelumnya, melalui Harian Rakyat Merdeka (24 Mei 2010), Ketua DPP PKB ini juga, menolak pandangan Setgab sebagai monster politik menakutkan. Tetapi, harus dimaknai untuk menyamakan persepsi, visi dan misi untuk menciptakan pemerintahan solid dan tetap mempertahankan “check and balances”, terutama mengenaiai fungsi-fungsi parlemen. Tudingan bahwa Setgab untuk mempertahankan oligarki politik, menurut Marwan, adalah sangat spekulatif dan berlebihan, serta memutarbalikan persepsi publik. Justru dengan adanya Setgab, komunikasi politik antar Parpol koalisi menjadi lancar dan menghindari kesalahpahaman selama itu terjadi. “Setgab untuk mendorong koalisi lebih solid, bermartabat, dan untuk tujuan akselerasi pembangunan strategis demi cita-cita Indonesia mengedepankan kepentingan rakyat.”

Lebih jauh Marwan Djafar menegaskan, Setgab koalisi justru menjadi jembatan emas untuk memaksimalkan program-program pemerintah dengan dimusyawarahkan secara bersama-sama anggota parlemen. “Setgab adalah katalisator kepentingan rakyat dilembagakan dalam bentuk perumusan hal-hal fundamental dan strategis, demi perbaikan dan kebaikan bangsa dan negara”, kilahnya.

Pembelaan lebih kuat datang dari Partai Demokrat, partainya SBY. Salah satunya, Syarief Hasan juga Sekretaris Setgab, menekankan bahwa dalam aplikasinya Setgab tidak mereduksi peran individual anggota DPR. Setgab justru memberikan ruang untuk memaknai “checks and balances”. Karena setiap anggota DPR pasti mempunyai pandangan berbeda. Jika ada perbedaan pandangan antara Parpol koalisi soal program atau kebijakan Pemerintah, maka didiskusikan di Setgab. Perbedaan itu didiskusikan untuk mencari jalan keluar sehingga ada kesamaan atau titik tentu antar Parpol koalisi.

Lebih jauh, Kader senior Partai Demokrat ini menegaskan, Setgab bertujuan untuk mengkomunikasikan dan mendukung program pemerintah. Setgab bukan pengambilan keputusan, melainkan forum diskusi dan komunikasi antar Parpol koalisi untuk menyampaikan persepsi politik. Forum untuk memfasilitasi agar terbangun dukungan bagi program pemerintah dengan tetap menggunakan asas bersamaan dan “checks and balances”. Bukan forum pengambil keputusan! Pengambilan keputusan adalah lembaga eksekutif. Dengan adanya Setgab, maka gejolak politik antar Parpol di DPR dalam menyikapi program dan pemerintah bisa ditekankan seminimal mungkin. Jadi supaya tidak ada gejolak di DPR, semua dikomunikasikan dulu di Setgab. “Tapi kalau disepakati di Setgab di DPR harus kompak”, tandas Menteri Koperasi dan UKM ini.
Seorang Politikus Partai Demokrat lain dan juga Ketua DPR-RI, Marzuki Alie menilai pembentukan Sekretaris Gabungan Partai Politik Koalisi bukan bertujuan untuk menggantikan peran pemerintah. Mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat ini pun membantah pembentukan Setgab sebagai taktik Partai Golkar. "Jadi, Setgab Parpol Koalisi ini bukan menggantikan pemerintahan. Ada pengamat mengatakan kalau hal ini melanggar konstitusi. Kalau berbicara tentang koalisi, itu pun tidak ada di dalam konstitusi. Jadi, mengapa dikait-kaitkan. Setgab ini di luar pemerintahan," kilah Ketua DPR RI ini kepada wartawan di Jakarta (Detik News, Jumat 15 Mei 2010). Marzuki juga membantah, bila pembentukan Setgab itu sebagai taktik dari Partai Golkar. Semua Parpol anggota koalisi ikut ambil bagian dan duduk bersama di dalam Setgab untuk membuat kesepakatan terhadap kebijakan atau isue-isue disikapi pemerintah dan parlemen.

Menurut Marzuki, Setgab Parpol Koalisi bukanlah hal baru, tapi sudah diwacanakan sejak Pemilu 2009 lalu. Setgab Parpol Koalisi ini sebagai wadah komunikasi di antara Parpol koalisi menjadi lancar. "Tujuan Setgab itu supaya komunikasi di antar Parpol koalisi tidak missed. Kebijakaan-kebijakan krusial bisa dibicarakan di forum ini, seperti masalah kenaikan BBM. Tetapi, kalau bukan kebijakan krusial, tidak perlu dibicarakan," jelasnya Sembari menekankan, dalam kontrak politik Parpol koalisi pendukung SBY memang telah disepakati semacam lembaga Sekretariat Gabungan. Hanya, koalisi Parpol terbentuk selama ini kurang mendapat peran sebagai forum komunikasi. Baru ketika muncul kasus Bank Century, Presiden SBY kembali diingatkan agar segera mewujudkan Setgab tersebut sesuai dengan kontrak politikg koalisi Parpol itu. "Jadi, kalau ada perbedaan pandangan dibahas di Setgab. Dengan demikian, kebijakan atau isu itu tidak menimbulkan perdebatan berkepanjangan kalau langsung dibawa ke parlemen," kilah salah seorang Calon Ketua Umum pada Kongres II Partai Demokrat.
Sementara itu, sekalipun PKS tergabung di dalam Setgab, politikus PKS Mahfudz Siddik memberi penilaian kritis. Baginya, pembentukan Setgab masuk di piagam koalisi didukung oleh seluruh Parpol mendukung pasangan SBY-Boediono. Namun, langkah mendirikan wadah itu sudah terlambat (Republika, 10 Mei 2010). Bahkan Ketua Mahfud Siddiq melihat Setgab sebagai bayi dilahirkan dengan efek kontaminasi. "Ibarat bayi, Setgab dilahirkan mestinya setelah pemerintah SBY-Boediono terbentuk, tapi kalau dilahirkan hampir setahun kemudian, bayi ini ya sudah biru-biru karena sudah terkontaminasi racun," ungkap Mahfud dalam sebuah diskusi mingguan sekitar Mei 2010. Menurutnya, kontaminasi pertama adalah kasus Bank Century, kontaminasi kedua adalah ketika SBY menghendaki ketua harian Setgab adalah Aburizal Bakrie, dan kontaminasi ketiga adalah ketika Setgab dibentuk sesaat setelah Sri Mulyani mundur.
PAN adalah Parpol anggota koalisi pendukung SBY. Namun, penilaian anggota Fraksi PAN di DPR tidak harus mendukung begitu saja pembentukan Setgab sebagai misal Wakil Ketua Komisi II DPR dari fraksi PAN Teguh Juwarno. Satu media intenet membeberkan bahwa Teguh Juwarno menyesalkan pembentukan Setgab usai kasus Century dan kemunduran Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia pun menegaskan pembentukan Setgab ini merupakan bukti telah terjadinya politik transaksional dalam pemerintahan SBY. "Sangat kita sesalkan. Ini adalah pembelajaran politik buruk bagi masyarakat. Kita lihat bagaimana dijalankan politik transaksional, bagaimana Golkar awalnya sangat kencang mengkritisi SBY terkait Century, targetnya hanya Sri Mulyani head to head dengan Aburizal Bakrie (Aburizal Bakrie, Ketua Harian Setgab)," paparnya. Ia pun melihat pembentukan Setgab ini sangat tiba-tiba dan sudah melukai masyarakat. "Setelah Sri Mulyani dan kasus Century, sekonyong-konyong dan tiba-tiba, dibentuk Setgab. Setgab benar-benar melukai publik." Lebih jauh lagi, Teguh mengatakan seharusnya pemerintah tidak perlu menggembar-gemborkan pembentukan Setgab ini. Pasalnya, koalisi dinilainya cukup untuk fungsi koordinatif saja dan cukup di dalam saja peranannya.

Teguh Juwarno sesungguhnya meragukan masa depan Setgab ini. Setgab ini hanya untuk kepentingan kedua partai saja, bukan untuk kepentingan rakyat seperti digembar-gemborkan selama ini. "Saya meragukan ke depannya. Dari awal kebenaran sudah menjadi transaksional. Ini terlihat dari Golkar menyatakan kasus Century sudah selesai. Ini sudah tidak sejalan dengan kepentingan rakyat," pungkasnya.
Berbagai penilaian kritis atas Setgab bermunculan bukan saja dari kalangan politisi Parpol non Setgab, pengamat politik, tetapi juga media massa. Mereka pada umumnya menilai Setgab sebagai praktik politik transaksional elite dan kartelisasi tidak mempresentasikan kepentingan rakyat. Salah seorang di antaranya, yakni politisi PDIP Ganjar Pranowo. Ia menggunakan pendekatan politik kartel tatkala menilai keberadaan Setgab. Baginya, pendirian Setgab ini akan menimbulkan kartelisasi politik nasional. Lewat kartelisasi ini, Pemerintah diduga akan mengamankan kebijakan-kebijakannya. Apalagi, ujar Ganjar, terpilih menjadi Ketua Harian adalah Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Golkar. Aroma kartelisasi ini, lanjut Ganjar, sudah tercium lama. Pertama kali terendus ketika skandal Bank Century masuk gedung DPR, hampir semua politikus berbicara keras, termasuk anggota koalisi Pemerintah. Belakangan, ketika Menteri Sri Mulyani dan Wakil Presiden Boediono diimbau mundur, tidak ada satupun mundur. Ini berlanjut ketika skandal Bank Century ditangani KPK. “Pada intinya, proses kartelisasi ini bertujuan untuk mengamankan banyak hal”, lanjut Ganjar.

Penilaian kritis Ganjar Pranowo juga telah dibeberkan di Harian Rakyat Merdeka (24 Mei 2010), menilai pembentukan Setgab sebagai bagian proses kartelisasi antara mereka melakukan negoisasi politik. Konteksnya sebenarnya hanya pragmatisme. “Jika memang alasan dibentuknya Setgab untuk membangun komunikasi, “bukankah sejak awal koalisi bisa melakukan komunikasi? “, tanya Ganjar. Kalau alasan dasar Setgab sebagai alat kontrol Parpol koalisi, “bukankah sudah asa semacam kontrak politik untuk mengontrol?” kilahnya. Sembari menekankan, jika ikuti ritme tertentuknya Setgab akan ada titik menunjukkan Setgab sebagai kartelisasi.

Beberapa indikator diajukan Ganjar untuk menjustifikasi penilaian Setgab sebagai kartelisasi. Pertama, ketika kasus Bank Century bergulir. Kalau pencopotan itu dilakukan ketika DPR menghimbau kepada Sri Mulyani (Menkeu) mundur maka kesan muncul tentu baik karena Presiden mendengarkan keinginan DPR. Kalau Sri Mulyani dianggap Menteri baik, semestinya Presiden meminta agar Sri tidak mengundurkan diri. Karena dia dibutuhkan bangsa ini. Logika Ganjar, Anggito saja (bukan Menteri) ketika ingin mengundurkan diri, Menko Ekuin Hatta Rajasa langsung merespon, ingin Anggito tidak mundur karena dianggap masih dibutuhkan. “Kenapa tidak dilakukan terhadap Sri Mulyani? “, tanya Ganjar Sembari menjawab pertanyaan, Parpol mana terlibat dalam kartelisasi politik, yakni semua Parpol koalisi.

Kartel itu, lanjut Ganjar, kekuasaan berkumpul menjadi satu untuk menentukan arah secara bersama sama. Ketika Sri Mulyani mundur, Setgab terbentuk. Dari teori politik cukup mudah dianalisis, kalau dahulu koalisi dikordinir Hatta Rajasa lalu kini di Setgab dikordinir Golkar. Rumusannya mudah, yakni kuat harus diajak bergabung. Selama ini Golkar merupakan Parpol paling keras, mengkritik kasus Century, bahkan sebelum Setgab terbentuk, politik Golkar ikut menandatangani penggunaan Hak Menyatakan Pendapat di DPR, meskipun belum semua orang Golkar tandatangan. Tetapi, lanjut Ganjar, ketika Sri Mulyani mundur, rencana penggunaan Hak Menyatakan Pendapat dianggap belum penting oleh politisi Golkar. Bahkan, ada menyatakan, sebaiknya kasus Century dipetieskan. “Semua fakta itu tentu mengusik akal sehat kita semua. Fakta-fakta itu telah mendistorsi demokrasi kita,” tandas anggota DPR ini.

Penilaian Setgab sebagai kartelisasi juga datang dari Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani (Harian Seputar Indonesia, Akhir Mei 2010) mengungkapkan, kesan forum baru itu menjadi saluran kepentingan jangka pendek cukup kuat. Muzani memprediksi keberlangsungan Setgab tidak akan lama. Wadah itu hanya akan efektif sebatas kepentingan masing-masing Parpol di dalamnya terpenuhi. “Jika tidak, saya yakin ini akan rontok karena memang bangunan dasarnya kepentingan jangka pendek” ungkapnya. Bahkan, lanjut Muzani, Setgab nantinya akan berantakan jika masing-masing Parpol sudang mengusung tema dianggap populis untuk kepentingan penambahan suara pada Pemilu 2014. “Karena, Parpol pasti tidak akan mempertaruhkan masa depannya hanya untuk kepentingan koalisi”, tandasnya.

Di media cetak sama, Ketua DPP Hanura Yuddy Chrisnandi juga senada dengan penilai kritis sebelumnya. Menurutnya, masyarakat tidak membutuhkan Setgab karena forum mewadahi Parpol koalisi pendukung pemerintah itu tidak membangun demokrasi di Indonesia. Dalam perspektif ini, lanjut Chrisnandi, keberadaan Setgab tidak akan membantu masyarakat. Bahkan, Setgab juga dapat mengancam otoritas Parpol untuk bersikap secara obyektif ketika menghadapi suatu persoalan, dan hanya menjadi tempat bagi kalangan elite politik untuk melakukan tawar-menawar kepentingan. Mantan kader Golkar ini juga tidak sepakat apabila ada pendapatan menyatakan Setgab akan mengurangi otoritas SBY selaku Presiden.

Masih PDIP, politikus Arief Budimanta (Harian Kompas, 15 Mei 2010) menilai, Setgab itu merupakan model baru kroni kapitalisme pada era reformasi. “Ini adalah new model crony capitalism sebenarnya pernah terjadi pada era pemerintahan Soeharto. Saat itu Golkar punya peranan besar”, kata Ketua DPP PDIP ini. Sembari menekankan, pengukuhan koalisi Parpol pendukung pemerintahan itu akan mempertajam dikotomi oposisi dan koalisi pemerintah di parlemen, sebagai kutub pro rakyat dan kutub pro kekuasaan. Dilanjutkannya, keberadaan Setgab ini justru sebagai ancaman demokrasi dan demokratisasi. “Proses demokrasi kaitannya dengan kesetaraan dan keterbukaan tidak akan terwujud. Karena akan ada satu kelompok mengetahui informasi (kebijakan pemerintah) lebih dahulu, lebih banyak dan lebih dalam dibadingkan kelompok lain”, kilahnya.

Berikutnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond Junaidi, mengingatkan pembentukan Setgab jelas mengindikasikan kekuasaan Presiden SBY mulai rapuh. Penyelidikan skandal bailout Rp. 6,7 triliun kepada Bank Century dianggap sebagai awal kegagalan koalisi. Buktinya, Parpol koalisi tidak satu suara dalam memandang kasus ini. Desmon juga memperkirakan, pembentukan Setgab hanya bersifat sementara. “Ini perkawinan sementara saja. Pasti ada perbedaan pandangan. Jika tidak cocok, pasti cerai. Mendekati tahun 2014 pasti akan ribut-ribut lagi,” katanya (Harian Kompas, 12 Mei 2010)

Sementara itu, Pakar politik LIPI Ikrar Nusabhakti menilai adanya Sekretariat tersebut menunjukkan paling tidak dua hal (Harian Seputar Indonesia, 11 Mei 2010). Pertama, Sekretariat ini merupakan kamar kedua dari Kabinet karena setiap kebijakan pemerintah amat krusial harus disetujui dan direkomendasikan oleh Parpol-Parpol koalisi. Kedua, sebagai Presiden dipilih langsung oleh rakyat, SBY akan tidak lagi memiliki otoritas penuh dalam mengenaidalikan pemerintahan

Mengacu penilaian Ikrar ini, Pemerintah SBY tidak lagi memiliki otoritas penuh, dan bergantung pada kompromi politik dihasilkan di dalam forum Sekretariat tersebut. Akibatnya, berbagai upaya penegakan hukum terhadap pelaku ilegal anggota Parpol koalisi dalam memperoleh uang negara atau tindak pidana korupsi akan selalu mendapatkan tantangan dari koalisi karena hal itu akan merugikan Parpol koalisi. Melalui Sekretariat ini akan lebih mudah untuk menghindari penyingkapan korupsi para anggota Parpol koalisi.

Pakar politik LIPI lain, Syamsudin Haris menilai, pembentukan Setgab dengan Aburizal sebagai pelaksana hariannya merupakan kemenangan besar Golkar karena memang itu diinginkan Golkar. Apa dilakukan Golkar ketika Hak Angket Bank Century, memang bertujuan untuk mendapatkan posisi seperti ini. “Ini menunjukkan watak asli Golkar. Jangan salah. Golkar kemarin kencang pada waktu hak angket memang untuk mendapatkan posisi seperti sekarang ini,” ujar Syamsudin (Harian Sinar Harapan, 12 Mei).

Melalui Harian Seputar Indonesia (24 Mei 2010), Syamsudin Haris juga mempertegas penilaiannya, antara lain: Setgab ini berpotensi melahirkan kolusi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan strategis. Karena itu, ia mengajak semua kalangan harus pro aktif mengawasi kebijakan pemerintah jika nantinya DPR hanya menjadi tukang setempel kebijakan. Sebab mengharapkan kekuatan oposisi sangat tidak efektif karena hanya PDIP memiliki kekuatan signifikan. “Harapannya ya publiklah menjadi oposisi agar pemerintahan ini tetap berjalan sesuai harapan. Masyarakat sipil dan media sangat berperan dalam menjaga arah demokrasi ke depan agar sesuai harapan”, ujar ilmuwan pro reformasi dan demokrasi ini.

Senada dengan Syamsudin Haris, Lili Romli juga pakar politik LIPI mempertanyakan hubungan Setgab dengan Pemerintah sembari mengingatkan cikal bakal Setgab itu Parpol sehingga tidak memiliki garis komando dengan pemerintah berkuasa. “Prinsipnya, Setgab itu bukan negara, jadi harus menjaga jarak dengan pemerintah,” ujar Lili. Dia mengingatkan, Setgab ini bukanlah hasil Pemilu, sehingga tidak memiliki kewenangan terlalu jauh, apalagi memanggil Menteri. Sedangkan, pemerintah memiliki legitimasi karena merupakan hasil Pemilu. Untuk membuat garis pemisah tegas antara pemerintah dengan Setgab, maka SBY harus meninggalkan Setgab. Hal itu diperlukan agar ada garis jelas agar Setgab dan pemerintah. “SBY harus tetap fokus pada tugasnya sebagai Presiden”, tandas Lili.
Menurut Lili, ada empat hal harus dilakukan Setgab agar keberadaanya lebih jelas. Pertama, SBY harus keluar dari struktur Setgab. Kedua, tidak boleh ada kewenangan memanggil Menteri. Ketiga, posisi Ketua Harian harus digilir. Keempat, terakhir, Setgab tidak boleh mengeluarkan keputusan sifatnya kebijakan publik. Dari sudut pandang akademis, keberadaan Setgab atau gabungan partai koalisi di sebuah negara ini memang bisa dimengerti. Apalagi di negara menganut sistem multipartai seperti Indonesia. “Namun, seharusnya tidak ada posisi untuk Presiden atau Perdana Menteri di dalamnya,” ujar Lili.
Jika Setgab memiliki kewenangan lebih, seperti mengeluarkan kebijakan atau memanggil Menteri, maka hal itu akan membuat Pemilu menjadi tidak berarti lagi. Menurut Lili, Setgab ini sebenarnya tidak perlu dibentuk jika Parpol memiliki fatsun politik jelas dalam berkoalisi. Setgab idealnya hanya untuk menjalin komunikasi saja.
Pakar Politik lain, khususnya dari Perguruan Tinggi, dapat diambil penilaian Maswadi Rauf (Dosen Fisip UI). Ia berpendapat, keberadaan Setgab bisa membatasi kekuasaan Presiden SBY karena keputusan harus disepakati lebih dulu anggotanya. "Kalau koalisi mau efektif, harus ada forum komunikasi apa pun namanya, seperti Sekber atau Setgab, itu harus ada. Sekretariat Gabungan inilah membicarakan pada tahap awal kebijakan-kebijakan akan dibuat oleh Presiden," ujarnya saat menjadi pembicara dalam satu diskusi di Gedung DPD Jakarta, 15 Mei 2010. Kebijakan Presiden itu, menurut Rauf, harus dibicarakan dengan anggota fraksi sehingga dicapai sebuah kebijakan disetujui oleh semua anggota fraksi. Rauf juga mengakui, keberadaan Setgab itu memang akan membatasi kekuasaan Presiden karena dia tidak bisa lagi membuat keputusan menurut dirinya sendiri, karena harus mendengarkan pula pandangan fraksi setiap Parpol menjadi anggota koalisi.
I Wayan Sudhirta adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bukan anggota DPR dan bukan juga kader Parpol. Ia menilai senada dengan kader Parpol non koalisi seperti PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Bagi Sudhirta, pembentukan Setgab Parpol Koalisi SBY akan menyuburkan kolusi politik dan terjadinya politik transaksional merugikan rakyat dan antidemokrasi. Oleh karena itu, jika praktik politik demikian itu berlanjut, rakyat makin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan DPR sehingga akan memunculkan gerakan politik jalanan. “Saya lihat Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie lebih kuat ketimbang Presiden Yudhoyono dalam mengenaidalikan Setgab. Sebagai contoh benar tidaknya lihatlah kasus Century. Apakah hak menyatakan pendapat dan kasus pajak akan terus berlanjut di DPR? Skandal Century saja sudah akan dipetieskan. Jadi, Setgab lebih banyak negatifnya dan membingungkan rakyat. Kalau DPR mati suri, rakyat pasti akan bergerak,” kata Anggota DPD dari daerah pemilihan Bali ini.

Beberapa Pakar Hukum Tata Negara menilai kritis keberadaan Setgab yakni Refly Harun dan Irmanputra Sidin. Melalui Harian Suputar Indonesia (24 Mei 2010), Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai Setgab merupakan manuver politik bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan. Bahkan, Setgab akan memperarah kerusayan sistem presidensial diterapkan di Indonesia. “Sejak awal sistem presidensial telah rusak, Setgab ini kemudian merusak sistem presidensial lebih parah. Harun mengkhawatirkan, pembentukan Setgab nantinya akan menjadi pintu masuk intervensi kekuasaan dalam pemilihan komisioner beberapa Komisi Negara seperti KPK, KPU dan Komisi lainnya. Jika itu terjadi, lanjut Harun, independensi Komisi dan beberapa lembaga akan terancam. “Kita menyesalkan jika untuk jangka pendek, untuk ranah jabatan publik, seperti Ketua KPK, KPU, Bawaslu dan lain-lain”, tandasnya.

Di lain pihak, Irmanputra Sidin menilai pembentukan Setgab merupakan langkah politik sembrono dan meniadakan konstitusi. Konstitusi telah mengatur jelas bahwa tiap lembaga memiliki tugas sendiri-sendiri. Karena itu, lanjut Irmanputra, Setgab bisa mengaburkan lembaga kepresidenan dan DPR. Dengan adanya Setgab, lembaga kepresidenan dan DPR bisa jadi kabur karena Presiden dan Ketua Parpol, Menteri, maupun anggota Parpol masuk Setgab itu. Setgab secara tidak langsung akan meniadakan fungsi eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan dan fungsi legislaif sebagai pengawasan (Harian Media Indonesia, 12 Mei 2010)

Editorial Harian Media Indonesia (24 Mei 2010) tergolong media massa cetak sangat kritis terhadap eksistensi Setgab ini. Menurut Editorial Media Indonesia, negara ini segera memasuki era pelumpuhan fungsi lembaga-lembaga negara. Sebab berbagai kewenangan institusi negara akan diambil alih Setgab (Sekber) Parpol Koalisi. Setgab ini menjadi instrumen sangat perkasa dan berkuasa; bisa memanggil Menteri, memetieskan kasus seperti kasus Bank Century; menentukan siapa menjadi pimpinan lembaga tertentu. Editorial Media Indonesia mengutip pengakuan Sekjen PKB (anggota Setgab) Edy Lukman tentang adanya agenda untuk mengisi posisi di lembaga-lembaga negara. Setgab membidik siapa pejabat harus memegang kendali di KPK, KY (Komisi Yudisial), MA (Mahkamah Agung) dan Gubernur Bank Indonesia. Semua lembaga ini kini sedang menjaring pemimpin. Karena Sekber menguasai 75 % suara di DPR, Editorial Media Indonesia percaya, segenap kemauan pemerintah akan mudah dikabulkan di parlemen. Enam Parpol koalisi bergabung dalam Setgab akan menjadi “abdi dalam” setia dan penopang paling masif bagi kebijakan pemerintah. Sebaliknya, hanya dengan 25 % suara, serangan kubu oposisi tidak bisa membuat pemerintah harus mendengarkannya, apalagi kelimpungan karenanya. “Terjadilah tirani mayoritas disetir satu markas komando...” tandas Editorial Media Indoensia.

Dengan kekuasaan mutlak, ujar Editorial Media Indonesia ini, Setgab menempatkan diri sebagai lembaga “superpower”. Adapun lembaga-lembaga negara sah, eksistensinya termaktub dalam konstitusi, justru ditempatkan di bawah “ketiak” Setgab. Kekuasaan terpusat di tangan Setgab, jelas menjungkirbalikkan semua nilai ditegakkan “founding fathers”. Kekuasaan sentralistis di Setgab itu sekaligus merupakan penghinaan terhadap konstitusi dan lembaga-lembaga negara. Sebab, kilah Editorial Media Indonesia, institusi-institusi negara menjadi “aksesori” atau sekedar pelaksana keputusan-keputusan Setgab.

Lebih jauh, Editorial Media Indoensia memprediksi, kekuasaan Setgab mutlak ini akan menahan laju pemberantasan korupsi. Tebang pilih penanganan kasus korupsi akan mudah dijumpai. Sahabat, meskipun salah dan korup, akan dibela. Sebaliknya, benar dan jujur, tetapi karena lawan dan musuh, bisa-bisa harus dibui. “Kita perihatin karena demokrasi akan dipukul mundur rezim ... sang superpower...”, tutup Editorial Media Indonesia ini.

Ketika Setgab Koalisi Parpol Pendukung Pemerintahan SBY-Boediono ini telah berlangsung setahun, publik menunjukkan ketidakpuasan terhadap keberadan Setgab. Sebagai contoh, hasil Jajak Pendapat „Kompas“ 5-7 Januari 2011, dari 721 responden berusia minimal 17 tahun, separuh responden (51,9%) menilai keberadaan Setgab saat ini tidak berjalan efektif. Responden dari pemilih Parpol menengah tergabung dalam Setgab cenderung menilai tidak perlu lagi ada Setgab (Kompas, 10 Januari 2011).

Dalam perjalannnya, pada 23 Mei 2011 koalisi Parpol pendukung Pemerintah ini mempertegas kembali kontrak politik baru antara SBY-Boediono dan Parpol-Parpol Koalisi. Kontrak politik Koalisi baru ditandatangani di Wisma Negara, bertujuan ”mengamankan pemerintahan SBY hingga 2014”. Cakupan koalisi adalah legislatif dan eksekutif, beranggotakan Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKS, PKB dan PPP. Penandatangan kontrak dilakukan Presiden SBY dan Wapres Boediono bersama enam pimpinan Parpol koalisi. Dalam penandatangan tersebut, SBY didampingi antara lain Menkopolhukam Djoko Suyanto. Dalam jumpa pers, Djoko menjelaskan latar belakang evaluasi kesepakatan koalisi adalah penilaian bahwa selama 1,5 tahun terakhir, pelaksanaan pemerintahaan dengan partai koalisi di dalamnya belum menunjukkan efektivitas dan komunikasi politik yang baik. Konsentrasi tidak tertuju pada program-program langsung, tetapi lebih diramaikan oleh dinamika politik praktis.

Materi kontrak politik koalisi telah mengalami perubahan dari awal pembentukan (7 Mei 2010) hingga revisi pertama (Maret 2011). Materi kontrak politik awal pembentukan mencakup (Kompas, 24 Mei 2011):
1. Memperkokoh dan mengefektifkan koalisi agar roda pemerintahan
berjalan lebih lancar.
2. Menjamin efektivitas dan produktivitas pemerintah.
3. Membahas dan menyepakati issu-issu dan agenda strategis bagi partai
koalisi.
4. Fokus pada upaya membina demokrasi produktif serta peningkatan
kesejahteraan rakyat.

Sedangkan revisi pertama (Maret 2011) mencakup:
1. Keputusan Setgab harus dipatuhi semua partai koalisi.
2. Pelanggaran terhadap kesepakatan akan berbuah sangsi.
3. Koalisi dalam Setgab adalah pendukung pemerintah baik di eksekutif
maupun di legislatif.
4. Keputusan koalisi mengikat seluruh anggota Setgab Koalisi, kecuali
menyatakan dirinya berbeda (”dissenting opinion”).
5. Menghindari komentar yang saling menyerang antar anggota koalisi.
6. Merevitalisasai peran Setgab dalam mematangkan agenda bersama.
7. Melakukan komunikasi politik untuk menjelaskan kebijakan
pemerintah kepada publik.

Parpol-Parpol tingkat pusat tergabung dalam koalisi pendukung Pemerintah ini sudah menandatangani kontrak kerja baru. Idealnya koalisi terbangun di antara Parpol yang dekat secara ideologis. Karena itu, tidak mengherankan kalau koalisi semacam ini mengalami masalah konsistensi sikap terkait dengan sejumlah issu yang melibatkan sejumlah elite di dalam pemerintahan. Sikap Parpol anggota koalisi tidak konsisten dalam menjalankan perannya sebagai anggota koalisi. Hal ini terlihat dalam kasus Bank Century di DPR. Sejumlah Parpol anggota koalisi bertentangan dengan sejumlah Parpol anggota koalisi lain dalam proses pengambilan keputusan di DPR. Kasus lain yakni Golkar dan PKS terlibat dalam pengusungan hak angket mafia pajak, sementara anggota koalisi lain (Demokrat, PAN, PPP dan PKB) tidak terlibat dan menentang pengusungan hak angket mafia pajak tersebut.

Kasus lain terkait dengan penentuan ambang batas Parlementary Treshold dalam penyusunan RUU tentang Pemilu tahun 2014 di DPR. Sesama anggota Setgab tidak memiliki kespakatan jumlah ambang batas dimaksud, Golkar tetap bertahan pada angka 5 %, demokrat 4 dan Parpol-Parpol anggota Setgab lain (PPP,PAN, PKS dan PKB) maksimal 3 %. Para Parpol menuntut 3 % mempercayai, jika angka 5 % ambang batas maka kemungkinan besar mereka tidak dapat mencapai angka itu dalam Pemilu 2014. Akibatnya, mereka tidak akan memiliki kursi di DPR. Hanya Golkar, Demokrat dan PDIP diperkirakan mampu lolos mencapai 5 % ambang batas. Sementara itu, Ketua Umum Golkar (Aburizal Bakrie) telah menegaskan persoalan ambang batas (PT) ini tidak akan dibicarakan di forum Setgab. Maknanya, Setgab tidak digunakan untuk menyelesaiakn perbedaan sesama anggota Setgab dalam pembuatan kebijakan strategis politik kepartaian ke depan. Perbedaan tuntutan sesama anggota Setgab telah mengambil tempat pada tingkat Badan Legislasi DPR. RUU Pemilu mencantumkan angka beragam untuk ambang batas, tidak ada kesepakatan satu angka, yakni 2, 5 %, 3 %, 4 % dan 5 %. Persoalan ini kemudian dibahas di tingkat Sidang Paripurna DPR.. Sidang Paripurna membahas RUU Pemilu 2014 belum berlangsung tatkala persoalan ambang batas ini ditulis di dalam naskah buku ini. Intinya, Setgab tidak berfungsi menjadi sarana penyamaan tuntutan dan kepentingan anggota tentang angka ambang batas Parlementary Treshold Pemilu 2014 untuk anggota DPR-RI khususnya.

Dengan perkataan lain, Setgab tidak berfungsi sebagai sarana untuk membahas dan menyepakati issu-issu dan agenda strategis bagi Parpol Koalisi sebagaimana ditegaskan di dalam salah satu materi Kontrak Politik awal pembentukan Koalisi (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda