Jumat, 02 Maret 2012

ELITE PARPOL MENGHINDARI PENYINGKAPAN KASUS KORUPSI

Salah satu karakteristik fenomena politik kartel dalam politik kepartaian adalah sesama elite Parpol dalam koalisi baik di legislatif maupun eksekutif menghindari penyingkapan praktek penggunaan dana negara secara ilegal (tergolong tindak pidana korupsi). Parpol berperan penting dalam memperlambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka khawatir pemberantasan korupsi masif akan mengancam kader-kader Parpol.

Penilaian semacam ini muncul dari berbagai pengamat politik dan juga perilaku korupsi di Indonesia. Arif Nur Alam, Direktur Eksekutif Indonesia Budget Centre (IBC), misalnya, telah muncul memberi penilaian bahwa Parpol memiliki kepentingan besar untuk menghambat pemberantasan korupsi secara masif di negeri ini. Salah satu sebab, bagi Arif, hampir semua kasus korupsi besar melibatkan kader-kader Parpol. Indikasi ini bisa dilihat dari perilaku Parpol saling memberi perlindungan terhadap kader-kader mereka terlibat kasus korupsi. Bahkan, lanjut Arif, banyak orang bermasalah sengaja masuk ke Parpol untuk mencari tempat perlindungan dari proses hukum. “Parpol hanya akan mendorong penuntasan kasus korupsi sepanjang itu tidak menyinggung kader-kader mereka,” lanjutnya (Harian Kompas, 8 Juli 2010).

Pengamat lain, Teten Masduki mengatakan, perilaku korupstif di Parpol ini bersumber pada tiadanya independensi dalam pembiayaan Parpol. “Dana Parpol hampir semuanya berasal dari sumber korup,” ujar Sekretaris Jenderal Transparansy International Indonesia ini. Pada kesempatan sama, juga Kordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh mengatakan, selama ini sumber pendanaan perorangan banyak diterima dari politisi. Sumbangan perorangan itu diterima dari potongan gaji politisi. Politisi itu kemudian mencari sumber dana tambahan.

Lebih jauh, Ibrahim menegaskan, dukungan dana dari pengusaha untuk Parpol bisaanya bertujuan untuk membangun patron. Tujuannya, agar penguasaha ini mendapatkan proteksi dan akses terhadap anggaran publik. Kader Parpol di DPR kemudian menjadi broker proyek atau terjun ke proyek itu. Ibrahim mencontohkan kasus menjerat mantan anggota DPR, Bulyan Boyan, tersangkut kasus suap dalam proses lelang pengadaan kapal patroli Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan lalu. “Kasus lain, misalnya, dugaan adanya anggota DPR memiliki bisnis pemondokan dan katering haji,” ujar Ibrahim (Harian Kompas, 8 Juli 2010)

Terkait dengan karakteristik kelima ini, di mata masyarakat keterlibatan Parpol masih tergolong kecil dalam mendukung gerakan anti KKN (Korupsi, Kolusi dan nepotisme). Sebagaimana telah ditunjukkan hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Mei 2010, terdapat 51,2 % publik responden merasa tidak puas atas kinerja Parpol dalam mendukung gerakan anti KKN. Hanya 44,3 % merasa puas, dan 1,5% tidak tahu/tidak jawab.

Untuk data dan fakta adanya penghindaran penyingkapan praktek penggunaan dana negara secara ilegal di lembaga legislatif (DPR), dapat ditunjukkan pada beberapa pengalaman berupa permintaan anggota DPR kepada penegak hukum untuk menutup kasus korupsi dilakukan anggota Parpol.

Kasus pertama yakni sebuah rapat Badan Musyawarah DPR (3 Oktober 2006) gabungan Komisi II dan III DPR, meminta agar Presiden menegur keras Jaksa Agung karena tidak tepat menggunakan dasar hukum dalam menangani sejumlah kasus korupsi melibatkan anggota DPRD (Kabupaten atau Kota) terkait dengan APBD (Anggaran Pembangun dan dan Belanja Daerah). Karena tekanan itu, kasus-kasus korupsi APBD dimaksud menghilang begitu saja. Kalaupun ada kasus dilimpahkan ke pengadilan, putusan Majelis Hakim cenderung membebaskan para pelaku. Alasan pokok digunakan DPR untuk mendesak menghentikan kasus korupsi atas anggota DPRD ini yaitu “kriminalisasi politik kebijakan pemerintahan daerah”.

Kasus kedua berikutnya terjadi dalam acara RDP (Rapat Dengar Pendapat) antara Komisi III DPR dan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Harian Koran JAKARTA (3 Mei 2010) mengkhabarkan, pada hari pertama (Rabu, 28 April 2010), RDP tersebut hanya sedikit membahas skandal Bank Century menghabiskan uang negara Rp. 6,7 triliyun. Sebagian anggota Komisi Hukum tersebut hanya mempertanyakan mengapa Sri Mulyani dan Boediono tidak diperiksa di gedung KPK. lebih memperhatinkan, ujar Koran JAKARTA, adalah kasus BLBI tidak menjadi perhatian sama sekali. Perkembangan kasus BLBI memang masuk draft pertanyaan. Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto menjawab pendek dan normatif, semua anggota DPR terlihat puas.

RDP hari kedua, Kamis 29 April 2010, makin terlihat aneh. RDP dimulai sekitar pukul 20.00 WIB bahkan tidak membahas kasus Bank Century sama sekali. Tidak ada seorang pun anggota DPR menanyakan hasil pemeriksaan KPK terhadap Sri Mulyani dan Boediono baru saja dilangsungkan. Namun, di penghujung rapat, setelah mencecar kinerja KPK, Komisi III DPR meminta KPK menghentikan penanganan sejumlah kasus korupsi melibatkan rekan mereka dari sejumlah Parpol. Situasi rapat digambarkan Harian Koran JAKARTA, sebagian anggota Komisi III DPR terlihat asyik mempermasalahkan tindakan KPK menahan Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo. Anggota Fraksi Demokrat Ruhut Sitompul pertama kali mempermasalahkan hal tersebut pada siang hari sebelumnya.

Yusak Yaluwo adalah kader Partai Demokrat. Yusak Yaluwo sebagai Bupati Kabupaten Bouven Digul dijadikan tersangka oleh KPK karena diduga telah merugikan keuangan negara sebesar Rp. 49 miliyar terkait dengan penyalahgunaan dana otonomi khusus APBD 2005-2007 Kabupaten Boven Digul. Menurut Wakil Ketua KPK Chandra Martha Hamzah, kasus korupsi APBD Boven Digul disangkakan kepada Yusak Yaluwo telah diselidiki KPK sejak tahun 2008. Setelah ditetapkan sebagai tersangka, KPK telah memanggil Yusak Yaluwo untuk diperiksa. Namun, Yusak Yaluwo telah mangkir dari panggilan, karena itu KPK kemudian menangkap Yusak ketika sedang berada di Bandara Soekarno-Hatta. KPK menduga Yusak akan lari ke luar negeri.

Dalam RDP antara Komisi III dan KPK itu, Wakil Ketua KPK Chandra membantah bermain politik dalam penanganan perkara itu. Walaupun dia telah memberikan penjelasan, beberapa anggota Komisi III DPR tetap memprotes penangkapan tersebut. Menurut pantauan Harian Koran JAKARTA, anggota Komisi III DPR tersebut di antaranya Nasir Djamil (Fraksi PKS), Setia Permana (Fraksi PDIP), Nudirman Munir dan Azis Syamsuddin (Fraksi Fraksi Golkar), Pieter Zulkifli dan Edi Ramly Sitanggang (Fraksi P.Demokrat), Ahmad Yani (Fraksi PPP), dan Syarifuddin Sudding (Fraksi P. Hanura). Mereka mengulang-ulang pertanyaan dan pernyataan menilai KPK telah melakukan intervensi politik terhadap Pilkada dalam menangkap Yusak. Bahkan beberapa orang sempat menyatakan Boven Digul akan rusuh apabila Yusak tidak dibebaskan.

Selanjutnya, Komisi III DPR mempersoalkan tindakan KPK terhadap Syamsul Arifin, Gubernur Sumatera Utara, kini Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Sumatera Utara. Azis Syamsuddin (Fraksi Golkar) angkat bicara, mempersoalkan kasus dugaan korupsi APBD Langkat dengan tersangka Syamsul Arifin ini. Aziz mempersoalkan KPK hanya menyidik Syamsul Arifin dan menyerahkan tersangka lainnya ditangani oleh kejaksanaan Tinggi (Kejati) Sumatera Utara.

KPK telah menetapkan Syamsul Arifin sebagai tersangka tindak pidana korupsi atas dugaan penyelewenangan APBD Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, pada tahun 2000-2007. Korupsi terjadi saat Syamsul menjabat Bupati Kabupaten Langkat. Jumlah dugaan kerugian keuangan negara dalam kasus ini semula Rp. 102.7 miliyar. Tapi, dalam proses pengusutan, konon Syamsul mengembalikan uang sekitar Rp. 61 miliar sehingga kerugian negara menjadi sekitar Rp. 41 miliyar. Syamsul selama ini telah menjadi kader Golkar diusung oleh PKS, PPP, PBB dan sejumlah partai kecil, terpilih sebagai Gubernur Sumatera Utara pada Juni 2008. Pada tahun 2009 ia merapat ke Partai Golkar dan terpilih sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Golkar Sumatera Utara. Pengadilan Tipikor akhirnya pada Medio Agustus 2011 menjatuhkan hukuman (vonis) 2,5 tahun penjara.

Komisi III saat itu juga mempersoalkan kasus pengadaan sapi impor, mesin jahit dan sarung di Kementerian Sosial dengan tersangka mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, politikus senior PPP. Anggota Komisi III DPR dan Fraksi PPP Ahmad Yani menilai penetapan Bachtiar, sebagai tersangka tidak sah. Bachtiar dijadikan tersangka oleh KPK pada Februari 2010. Saat sebagai Menteri Sosial diduga pada tahun 2006-2007 telah melakukan tindak pidana korupsi atas tiga kasus, yakni 1. kasus pengadaan sarung tahun 2006-2007; 2. kasus pengadaan sapi impor tahun 2006; dan, 3. kasus pengadaan mesin jahit tahun 2004. Untuk kasus pengadaan sapi impor dan mesin jahit, diduga Bachtiar Chamsyah telah merugikan keuangan negara Rp. 37,8 miliyar. Untuk kasus pengadaan sarung, KPK masih menghitung angka kerugian negara. Bachtiar Chamsyah adalah seorang anggota elite terpuncak PPP, dan tatakala dijadikan tersangka menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat (MPP) PPP.

KPK telah memeriksa anggota DPR Amrun Daulay dari Fraksi P. Demokrat dalam kaitan dengan kasus menimpa Bachtiar Chamsyah. Amrun Daulay diperiksa sebagai saksi dalam kapasitas sebagai Direktur Jenderal Jaminan dan Bantuan Sosial Departemen Sosial saat Bachtiar sebagai Menteri di Departemen tersebut. Amrun Daulay pada April 2011 telah dijadikan sebagai “tersangka” oleh KPK.

Terakhir 22 Maret 2011, Majelis Hakim Pengadikan Tipikor memvonis Bachtiar dengan 1 tahun 8 bulan dari tuntutan 3 tahun. Bachtiar terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyetujui penunjukan langsung dalam pengadaan mesin jahit dan sapi impor. Manjelis Hakim menilai, Bachtiar terbukti melanggar Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Namun, Majelis Hakim menegaskan bahwa Bachtiar tidak terbukti menikmati uang hasil tindak pidana korupsi dimaksud.

Dalam RDP itu Komisi III DPR juga mendesak KPK menghentikan skandal penyuapan dan gratifikasi pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom. Sejumlah anggota DPR diduga telah terlibat, beberapa sudah dan sedang diproses di pengadilan Tipikor, yakni Hamka Yandhu (kader Golkar), Dudhie Makmun Murod (kader PDIP), Udju Djuhaeri (mantan anggota Fraksi TNI/Polri) dan Endhin Soefihara (kader PPP). Hamka Yandhu mantan anggota DPR dari Fraksi Golkar dalam suatu sidang pengadilan Tipikor Jakarta (11 Mei 2010) menyampaikan pembelaan. Ia mengaku, telah menerima sepuluh lembar cek perjalanan/pelayat dan membagi-bagikan kepada teman-temannya di Fraksi Golkar. “Saya akui menerima cek perjalanan senilai Rp. 1,5 miliar dibagi-bagikan ke teman-teman.” Anggota DPR menilai bahwa lebih baik menyelesaikan kasus Bank Century terlebih dahulu, baru kemudian kasus-kasus lainnya.

RDP antara Komisi III DPR dengan KPK ini telah mengundang kritikan dan kecaman dari berbagai fihak, termasuk aktivis demokrasi dan media massa. Menurut Koran JAKARTA (3 Mei 2010), Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman menilai, tindakan sejumlah anggota Komisi III DPR meminta KPK menghentikan sejumlah kasus sudah merupakan bentuk makelar kasus. “Patut diduga ada titipan pada pertanyaan-pertanyaan para anggota DPR tersebut. Kalau satu partai jelas memiliki kepentingan. Kalau beda partai, diduga titipannya uang”, kata Boyamin.

Sementara itu, Editorial Harian Media Indonesia (3 Mei 2010) antara lain mengecam, pembelaan terhadap tersangka kasus korupsi itu semakin memperlihatkan DPR bukan hanya lembaga terkorup, sebagaimana penilaian dilansir oleh “Transparancy International Indonesia” pada 2009, tetapi juga lembaga “bunker” bagi maling uang negara. “Kasus-kasus korupsi dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai dilakukan anggota DPR,” tandas Editorial Media Indonesia ini.

Penilaian negatif atas perilaku Komisi III DPR di atas umumnya terkait dengan intervensi politik DPR terhadap KPK melanggar peraturan perundang-undangan antara lain UU No. 30 tahun 2012 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, khususnya pasal 3; dan, UU No. 27 tahun 2009 tentang MPR,DPR, DPD dan DPRD, khususnya pasal 69. Disadari atau tidak, anggota DPR sedang melakukan intervensi politik terhadap KPK dikhawatirkan dapat menjadi preseden buruk di DPR. Padahal, UU No. 30 tahun 2002,pasal 3, menyatakan bahwa KPK adalah lembaga negara dalam melaksanakan tugas dan wewenang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Karena itu, intervensi dalam bentuk apapun terhadap KPK bertentangan dengan UU.

Di lahin pihak, DPR telah melewati batas kewenangan sebagai pengawas. UU No. 27 tahun 2009, pasal 68 ayat 1 dengan jelas menyatakan tiga fungsi DPR, yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Pelaksanaan fungsi ketiga inilah menjadi sorotan publik, mengkhawatirkan sebagai justifikasi untuk intervensi atau campurtangan belebihan. Intervensi DPR terhadap KPK soal penanganan kasus korupsi ini pada dasarnya sudah keluar dari jalurnya. DPR telah melewati batas kewenangannya sebagai pengawas.

Data dan fakta lain karakteristik perolehan dana ilegal dalam perspektif politik kartel adalah kasus pengambilan keputusan DPR tentang skandal korupsi Bank Century. Sesungguhnya Indonesia terus tercatat sebagai “juara” di antara negara-negara tingkat korupsinya tinggi di dunia. Bahkan, fenomena “state capture corruption”, korupsi sandera negara, telah mengambil tempat semakin meluas, terutama di bawah era reformasi ini. Jenis korupsi “paling berbahaya” ini sedang melumpuhkan kemampuan bangsa Indonesia mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kekuasaan negara seperti Pemerintah (eksekutif), DPR (legislatif) dan Mahkamah Agung (yudikatif) secara sadar atau tidak telah membuat keputusan-keputusan merugikan negara dan publik (korupsi) dalam rangka menghamba pada kepentingan korporasi lokal maupun asing (korporatokrasi internasional). Dengan perkataan lain, sebuah korporasi atau gabungan korporasi asing (korporatokrasi internasional) lewat pemerintah sedang berkuasa mampu membeli peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah, mendiktekan kontrak karya di bidang-bidang seperti perbankan, pertambangan, pertanian, kehutanan, pendidikan, pertahanan, dll. Akibatnya pemerintah sendiri hanya sekedar kepanjangan tangan korporasi-korporasi besar dan asing.

Menelaah secara cermat skandal korupsi aliran dana publik dari dari LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ke Bank Century dapat menyimpulkan bahwa skandal ini tergolong “state capture corruption”, korupsi sandera negara, terjadi dalam era pemerintahan SBY (tahun 2004-2009). Sebagai tergolong korupsi raksasa, bagaimanapun, telah melibatkan sejumlah ‘aktor”, termasuk aktor-aktor tertentu dalam pemerintahan (terutama eksekutif dan legislatif), disamping korporasi lokal dan asing. Kebijakan pemerintah tentang aliran dana publik dari LPS ke Bank Century sebesar Rp. 6,7 triliyun tanpa persetujuan DPR-RI dan dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Masalah ini, disamping terkait dana Rp. 6,7 triliyun, menurunkan masalah lain yakni tindak pidana korupsi dalam proses pelaksanaan kebijakan. Diduga, dana tersebut mengalir kepada fihak-fihak sesungguhnya tidak berhak untuk menerima. Bahkan dalam sorotan publik diduga sebagian dana “talangan” itu telah digunakan untuk keperluan kampanye pasangan SBY-Boediono dalam Pemilu Pilpres 2009.

Tindak lanjut issu Bank Century ini terbentuk suatu Pansus Bank Century di DPR, mengundang sorotan publik paling besar sepanjang tahun 2009 dan awal 2010. Puncaknya adalah pemungutan suara rapat paripurna DPR untuk menentukan dua opsi, yakni opsi A dan opsi C.

Opsi A adalah kebijakan ‘bail out” dan aliran dana tidak bermasalah.
Opsi C adalah kebijakan “bail out” dan aliran dana diduga terdapat penyimpangan sehingga diserahkan kepada proses hukum.

Hasil “voting “ rekomendasi DPR menunjukkan pemilih opsi C lebih banyak ketimbang pemilih opsi A.

Hasil pemungutan suara anggota DPR menentukan pilihan pada prinsipnya tidak satu pun kader Parpol tertuang dalam catatan hasil rekomendasi sebagai sasaran penegakan hukum. Dengan perkataan lain, tidak ada nama kader Parpol baik di DPR maupun luar DPR direkomendasikan untuk dijadikan sasaran penegakan hukum atau diproses secara hukum karena terkait dugaan tindak pidana korupsi Bank Century.

Nama-nama akan diperiksa oleh penegak hukum hanyalah nama pejabat birokrasi, dominan pegawai Bank Indonesia notabenenya bukan kader Parpol. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Wapres Boediono sebagai sasaran penegakan hukum sebagaimana rekomendasi DPR bukan juga anggota Parpol. Padahal, sebelumnya beberapa anggota Pansus mengungkapkan, adanya dugaan kader Parpol telah menggunakan dana bailout Bank Century. Dugaan sebagian dana “talangan” telah digunakan untuk keperluan kampanye pasangan SBY-Boediono dalam Pemilu Pilpres 2009 menjadi tidak ada jalan untuk membuktikannya karena memang tidak ada kader Parpol pendukung SBY-Boediono direkomendasikan DPR untuk diperiksa oleh penegak hukum (KPK, Kepolisian dan Kejaksanaan). Dengan perkataan lain, DPR berupaya menghindar dari penyingkapan keterlibatan kader Parpol dalam skandal korupsi Bank Century ini. Bagaimanapun, politik kartel telah mewarnai proses pengambilan keputusan DPR tentang skandal korupsi Bank Century.

Setelah skandal korupsi Bank Century mencuat di publik dan DPR mengambil keputusan melalui sidang paripurna terkait dengan rekomendasi/opsi pemecahan masalah, persoalan penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi menimpa kalangan anggota DPR dari Koalisi Parpol pendukung Pemerintah SBY dan juga PDIP nampaknya kurang mencuat ke publik. Kalaupun ada, mengikat kasus anggota DPR dari Fraksi PKS, Misbakhun dan salah seorang dari 9 (sembilan) penggagas Pansus Hak Angket Bank Century di DPR. Misbakhun diduga melakukan penyelewengan dokumen melalui LC fiktif terkait dengan Bank Century. Bahkan setelah Keputusan DPR diambil dan Sri Mulyani mengundurkan diri sebagai Menteri Keuangan RI, tiba-tiba para Pejabat DPP Golkar menilai diperpanjang menunjukkan bahwa masalah Bank Century sudah selesai. Maknanya adalah Golkar telah berupaya menghindari penyingkapan kasus korupsi Bank Century. Satu cara lain penghindari penyingkapan kasus korupsi ini adalah tidak mendukung anggota DPR menggunakan “Hak Menyatakan Pendapat untuk tindak lanjut Keputusan DPR tentang kasus Bank Century.

Sementara itu, masih ada kasus-kasus lain melibatkan kalangan anggota DPR, jauh lebih besar dan penting bagi negara seperti “Cost Recovery PT. Pertamina EP merugikan negara Rp. 21,85 triliun” dan dugaan korupsi keberangakatan haji nyaris tak terdengar lagi. Jika dibandingkan kasus Bank Century, hanya Rp. 6,7 triliun, maka kasus cost recovery ini jauh lebih besar merugikan negara dan melibatkan bukan saja kalangan eksekutif dan korporasi, tetapi juga anggota DPR terlibat membuat keputusan sehingga negara dirugikan. Kasus Cost Recovery PT. Pertamina EP telah dianalisis dan disimpulkan oleh Marwoto Mitrohardjono (Almarhum), Anggota DPR RI dari Fraksi PAN sebagai berikut:

1.Klaim cost recovery PT. Pertamina EP sebesar Rp. 21,85 triliun untuk tahun 2004 sampai dengan 2008 tidak dapat dipertanggungjawabkan baik secara akuntansi maupun secara legalitas (hukum) sehingga merugikan negara sebesar Rp. 21,85 triliun. Menurut Marwoto, temuannya tentang kesalahan akuntansi ini telah diakui baik oleh wakil-wakil dari Departemen Keuangan, Departemen ESDM, BP Migas maupun PT Pertamina (Persero) dalam rapat Panitia Anggaran DPR pada waktu itu.

2.Cost recovery telah dibayarkan melalui APBN tahun anggaran 2004, 2005, 2006 dan 2007 dengan perhitungan sejak penetapan aktiva PT Peramina (Persero) perposisi tanggal 17 September 2003 belum diaudit/unaudited sampai dengan 31 Desember 2007 mencapai sebesar US$ 2,327 juta (dua miliyar tiga ratus dua puluh tujuh juta dolar). Terkait dengan masalah ini, Marwoto mengusulkan agar cost recovery telah terlanjur dibayarkan sebesar US$ 2,327 juta tersebut segera ditarik kembali ke APBN secepatnya. Tetapi, menurut Marwoto, usulannya ini tidak mendapat persetujuan sepenuhnya dalam rapat Panitia Anggaran DPR.

3.Tidak tertutup kemungkinan penyimpangan akuntansi maupun legalitas (hukum) dalam masalah klaim cost recovery oleh KPS-KPS lain selain PT Pertamian EP potensial bisa merugikan negara. Untuk ini, Marwoto menganggap perlu dilakukan audit investigasi juga.

Kasus dugaan korupsi keberangkatan haji sudah muncul menimpa DPR belum usai suasana lebaran Oktober 2008. Salah seorang anggota DPR, Soeripto, membeberkan kasus ini kepada wartawan Detikcom (Oktober 2008). Menurut Soeripto, korupsi untuk masalah haji ini terbilang dahsyat. Selain nominalnya besar, paling utama para pelakunya tidak mempunyai belas kasihan terhadap rakyat kecil sudah susah mengumpulkan uang. Kasus korupsi ini telah melibatkan anggota DPR, dilakukan secara besar-besaran setiap tahunnya. “Saya menilai ini sudah keterlaluan sekali karena menipu rakyat sudah mengumpulkan uang demi kepingin berangkat haji”, tandas Anggota Komisi III DPR periode 2004-2009 dari Fraksi PKS ini sembari ingin mengetuk pintu hati kawan-kawan anggota DPR di Komisi VIII untuk tidak tergoda dengan permainan mafia haji.

Soeripto menyatakan, korupsi ini terjadi di Komisi VIII karena komisi tersebut merupakan pengawas pelaksanaan haji. Data korupsi ini hanya untuk ONH (Ongkos Naik haji) saja, bukan ONH Plus. Ada 187 ribu orang menunaikan ibadah haji. Jika ONH saja dikenakan Rp. 40 juta, berapa mereka terima jika sebenarnya harga ONH tersebut hanya separuhnya?. Untuk lebih jelasnya, Soeripto mengajak untuk membandingkan dengan Malaysia. Karena ONH di Malaysia tidak berbeda jauh dengan di sini namun karena banyak catutan maka jadi membengkak dua kali lipat. “Kalau tidak salah di Malaysia untuk ONH sekitar Rp. 20 juta”, kilahnya. Hingga kini, issue korupsi penyelenggaraan haji melibatkan anggota Komisi VIII sebagaimana dimaksud Soeripto masih juga belum terkuak di pengadilan atau ditangani penegak hukum.

Data dan fakta di atas menunjukkan DPR menerapkan standar ganda. Di satu sisi, sangat keras menuntut agar kasus korupsi dibongkar, tetapi di sisi lain cenderung menjadi “pembela” koruptor. DPR sangat gencar mendorong KPK mengusut Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani, tetapi dalam kasus dugaan korupsi melibatkan kader Parpol, DPR cenderung membela, bahkan secara resmi meminta KPK menghentikan pengusutan kasus korupsi melibatkan anggota Parpol. Sikap DPR semacam ini oleh sebagian pengamat politik, memperlihatkan parlemen masih menjadi bungker koruptor dari Parpol.

Sikap resistensi sejumlah fraksi di DPR menjadikan aktor paling menghambat pemberantasan korupsi yakni DPR. Hasil pencatatan dan pengamatan ICW dari tahun ke tahun menunjukkan setidaknya enam argumen mendukung pernyataan ini, yakni:

Pertama, sikap serangan balik dan bahkan rencana revisi kewenangan penyadapan pada UU KPK pasca mulai banyak anggota DPR diperiksa dalam kasus korupsi.

Kedua, penghapusan eksistensi Hakim Ad Hoc pada revisi kedua UU Mahkamah Agung.

Ketiga, soal BPK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan audit.

Keempat, sikap pro status quo mayoritas fraksi untuk memperpanjang usia pensiun Hakim Agung menjadi 70 tahun, sama saja sebagai sikap anti perubahan, anti regenerasi dan perbaikan kekuasaan kehakiman.

Kelima, upaya mempertahankan klausal kewajiban adanya izin pemeriksanaan bagi anggota MPR,DPR, DPD dan DPRD dalam proses pemeriksaan tindak pidana. Berlindung di balik logika “imunitas legislatif” sikap itu justru menganulir asas semua orang dianggap sama di depan hukum dan mengarah pada strategi kebal hukum.

Keenam, lembatnya pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Kasus berikutnya terkait upaya menghindarkan penyingkapan dugaan korupsi politisi Parpol adalah pimpinan DPR memanggil pimpinan KPK sekaligus pimpinan Badan Anggaran, termasuk pimpinan Kepolisian RI dan Jaksa Agung setelah KPK memanggil pimpinan Badan Anggaran sebagai saksi kasus korupsi Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. KPK tidak memenuhi panggilan pimpinan DPR karena KPK ingin menjaga integritas KPK dengan alasan bahwa UU KPK mensyaratkan pimpinan KPK tidak boleh bertemu dengan pihak terkait dengan perkara yang ditangani KPK.

Tekanan politik politisi Parpol di DPR dilakukan untuk menghindarkan pengungkapan korupsi ditandai antara lain dengan tudingan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa KPK adalah pangkal masalah karena memanggil pimpinan Badan Anggaran DPR. Politisi Partai Demokrat itu menegaskan, “Ini hampir Rp. 1.300 triliun, apalah artinya KPK hanya mengejar beberapa miliyar.” Sebelumnya, pimpinan Badan Anggaran yang didukung pimpinan DPR mengancam akan menghentikan pembahasan RAPBN 2012 yang besarnya mencapai Rp. 1.300 triliun. Ancaman Badan Anggaran ini sesungguhnya merupakan tindakan inkonstitusional. Dalam kasus ini, pimpinan Badan Anggaran sebagai individu terkait perkara yang ditangani KPK. Sikap pimpinan Badan Anggaran yang terkesan tidak mau diperiksa KPK dapat bermakna sebagai upaya menghindarkan penyingkapan dugaan korupsi politisi Parpol di DPR (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda