Jumat, 02 Maret 2012

JANJI-JANJI PARPOL DALAM PEMILIHAN TIDAK DIREALISASIKAN

Salah satu karakteristik lain politik kartel melanda kepartaian era reformasi adalah janji-janji kampanye Parpol tidak direalisasikan secara konsisten dan konsekuen di legislatif atau eksekutif. Acapkali terjadi “pengkhianatan” Parpol terhadap konstituen. Kepentingan konstituen dan elite Parpol terputus. Elite Parpol cenderung melayani diri sendiri.

Setiap Parpol didirikan pasti memiliki cita-cita dan tujuan pendirian, dan berupaya menjamin terlaksananya cita-cita dan tujuan pendirian tersebut. Namun, tatkala cita-cita dan tujuan pendirian sudah dicapai sebagaimana diakui sudah menjadi Parpol, sudah diakui negara, sudah menjadi peserta Pemilu, mendapatkan kursi di legislatif bahkan jabatan Menteri, maka setiap Parpol cenderungan menjadi tujuan dalam dirinya sendiri dilengkapai dengan sasaran-sasaran dan kepentingan sendiri. Pada gilirannya, Parpol melepaskan diri dari massa anggota/konstituen diwakili. Kepentingan massa anggota/konstituen menjadi sesuatu menghilang dan sirna !

Terjadi keterputusan antara kehendak konstituen dan elite Parpol. Saat akan mendulang suara konstituen, Parpol berupaya mendengung-dengungkan apa bisa membangkitkan sentimen konstituen atau calon pemilih, misalnya sentimen keagamaan, kebangsaan, kelas atau cita-cita politik demokrasi, dll. Namun, usai memperoleh suara konstituen, elite Parpol pun cenderung mengejar kepentingan diri sendiri, dan kemudian bersama-sama elite Parpol lain bernegosiasi untuk memenuhi kepentingan sesama elite Parpol berbeda-beda. Sebagai contoh, setiap usai Pemilu legislatif era reformasi, para elite Parpol menang maupun kalah, melakukan negoisasi tentang siapa akan menjadi Ketua dan Wakil Ketua DPR, Ketua dan Wakil Ketua Komisi di DPR, bahkan Ketua dan Wakil Ketua MPR. Lebih jauh lagi, tingkat penyusunan kabinet di eksekutif, para elite Parpol ini bernegosiasi tentang siapa menduduki posisi Menteri. Semuanya hasil “tawar-menawar” antar elite Parpol.

PDIP, contohnya, sekalipun secara vokal menyatakan dirinya Parpol “oposisi” atau “penyeimbang” terhadap Pemerintahan SBY, namun Parpol ini juga di legislatif telah memperoleh posisi Wakil Ketua Pimpinan DPR, Ketua atau Wakil Ketua Komisi di DPR hasil negoisasi elite Parpol dimaksud. Posisi Ketua Komisi XI (Keuangan dan Pebankan) digunjingkan kalangan anggota DPR sebagai “Komisi basah” dipegang oleh seorang kader PDIP. Pada saat pembentukan pimpinan MPR hasil Pemilu 2009, bahkan Taufik Kemas (elite penting PDIP) mendapatkan posisi tertinggi Ketua MPR juga hasil negosiasi sesama elite Parpol.

Satu indikator lain untuk karakteristik ini adalah hasil Pemilu Legislatif 2009. Sebanyak 49.677.076 orang (29,01%) pemilih terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tidak menggunakan hak pilihnya. Jumlah itu lebih besar dari perolehan suara Partai Demokrat sebagai pemenang Pemilu yaitu 21.703.137 suara. Fakta dan data ini menunjukkan, masyarakat tidak mudah percaya dengan janji-janji seperti penghentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran, biaya pendidikan dan kesehatan gratis, atau peningkatan jaminan sosial, apalagi janji penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.

Survei Forum Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menemukan, rakyat tidak merasa terwakili oleh anggota DPR. Bahkan mayoritas rakyat tidak mengenaial anggota DPR menjadi wakil mereka. Survei dilakukan 13 Januari-7 Februari 2011 dengan metode “proporsional random sampling”. Responden 564 orang, dengan sebaran Kecamatan Cilincing (287). Tebet (144) dan Pasar Minggu (133) masiang-masing Kecamatan di wilayah DKI Jakarta. Menurut Koordinator Formappi, Sebastian Salang, dari hasil survei sebenarnya bisa disimpulkan bahwa terdapat gejala kesenjangan hubungan antar anggota DPR dan konstituennya. “Makin hari kesenjangan ini sepertinya makin jauh. Konstituen merasa percuma mereka punya wakil, tetapi tak memperjuangkan kepentingannya,” ujar Sebastian (Kompas, 22 Maret 2011). Dari pertanyaan tentang dukungan terhadap Parpol serta ingatan terhadap wakil rakyat dan keterwakilan di DPR, 71 % tidak mendukung Parpol tertentu. Sebanyak 14 % responden mendukung Parpol tertentu menyebutkan nama Parpol didukung secara terbuka. Sebanyak 72 % responden tak ingat siapa wakilnya. 93 % responden tidak merasa terwakili oleh DPR. Jumlah responden ingat siapa wakilnya dan merasa terwakili hanya 14 % (Kompas, 22 Maret 2011) (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda