Jumat, 02 Maret 2012

POLITISI PARPOL MENGUTAMAKAN PENCITRAAN BUKAN PENDIDIKAN POLITIK RAKYAT

Sejalan dengan beberapa karaketris kepartaian menunjukkan politik kartel, telah muncul pula satu karakteristik relatif baru, yakni politisi Parpol lebih mengunakan pendekatan pencitraan ketimbang penguatan kelembagaan di public, misalnya pendidikan politik kader dan rakyat, atau fasilitasi struktur organisasi hingga ke tingkat “akar rumput” di perdesaan khususnya.

Teori pencitraan didukung kalangan khususnya teoritisi komunikasi politik dan umumnya ilmu politik meyakini penggunaan teori pencitraan terhadap Parpol dapat memiliki peran atau memberi kontribusi di dalam menentukan proses demokratisasi. Dalam perkembangannya, teori pencitraan diperkuat dengan kemunculan teori pemasaran politik (political marketing) didukung kalangan khususnya teoritisi manajemen pemasaran dan umumnya ilmu ekonomi. Pendukung teori pemasaran politik juga meyakini, penggunaan pemasaran politik memiliki kontribusi atau peran di dalam menentukan proses demokratisasi.

Politik parpol megutamakan pembentukan citra (image) , bukan pendidikan politik rakyat atau konstituen. Parpol berlomba-lomba membentuk citra Parpol positif atau baik di mata publik, dan memberi pengetahun sebanyak mungkin serta kepercayaan dan persepsi publik tentang Parpol bersangkutan dan pada gilirannya dapat mendorong publik untuk mendukung dan memberikan suara kepada Parpol tersebut dalam Pemilu. Parpol di era refromasi juga suka menggunakan komunikasi politik melalui kegiatan seperti pemberitaan dan iklan politik terutama di media massa audiovisual. Parpol atau para politisi Parpol menekankan pentingnya membangun pencitraan Parpol agar masyarakat memiliki kepercayaan.

Upaya pencitraan Parpol atau para politisi Parpol sangat menonjolkan “tampilan luar”, yaitu gaya berpidato, ekspresi emosional, pandai bersandiwara, dan pintar membeberkan angka-angka fantastis. Politik pencitraan seakan telah melekat pada diri para politisi Parpol. Para politisi Parpol berupaya secara piawai memerankan politik pencitraan hingga terbangun citra yang meraih empati sekaligus simpati dari publik.
Perilaku pencitraan di Indonesia bisa berupa pengelolaan diri merkea sebagai sosok teraniaya, hingga banyak rakyat menaruh simpati kepadanya. Melalui TV, para politisi Parpol menunjukkan sebagai seorang yang berbicara lembut, aksen sangat teratur. Perilaku pencitraan bisa jadi sampai pada pengubahan potongan rambut, gaya berbusana, menggunakan perlengkapan pakaian tertentu dan berjuang keras menurunkan nada dan tempo suara. Perilaku pencitraan dapat pula berupa penegmbangan pola komunikasi politik di luar keumumam atau kelaziman protokoler politik era rejim sebelumnya, terutama dengan menggunaka media (cetak, elektronik, dan online). Mereka sekan-akan membawa tradisi berpolitik baru. Ketika kebijakan paar politisi Parpol berkuasa diserang oposisi, misalnya, mereka segera mencuri start untuk menjelaskan panjang lebar di media TV dan cetak, khususnya mengenai ketidaktahuan oposisi akan “maksud baik” kebijakan mereka.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda