Senin, 14 Juni 2010

MENYOAL SETGAB PARPOL KOALISI DAN OPOSISI POLITIK

MENYOAL SETGAB PARPOL KOALISI DAN
OPOSISI POLITIK

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Yayasan NSEAS = Network for South East Asian Studies)



Salah satu issue politik nasional tahun 2010 adalah pembentukan Setgab Koalisi Parpol pendukung Pemerintahan SBY. Berbagai fihak telah menyoal pembentukan Setgab dalam berbagai sudut pandang. Salah satunya menyoal keberadaan Setgab dalam kaitannya dengan kehadiran Parpol dan kekuatan bukan Parpol yang berfungsi sebagai oposisi politik terhadap Pemerintahan SBY. Tulisan ini berupaya mendeskripsikan berbagai fihak yang menyoal pembentukan Setgab dan juga oposisi politik. Asumsi dasar, pembentukan Setgab menyebabkan semakin sirnanya oposisi politik di level Parpol dan legislatif sehingga proses demokratisasi di Indonesia semakin tidak berjalan sebagai mestinya.

Pembentukan dan Pembelaan Setgab

Koalisi sejumlah Parpol mendukung SBY ini telah secara terang-terangan membentuk suatu wadah/institusi dengan nama Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol pendukung Pemerintahan SBY. Wadah ini dibentuk di kediaman SBY, Puri Cikeas, Bogor, Kamis malam, 6 Mei 2010, dipimpin langsung Presiden SBY (Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat), sementara Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian dan Syarif Hasan (elite Partai Demokrat dan Menteri Koperasi & UKM) sebagai Sekretaris. Kantor Setgab berlokasi di Jl. Diponegoro No. 42 Jakarta Pusat.

Pada rapat yang pertama kali dipimpin oleh Aburizal Bakrie akhir Mei 2010, terlihat hadir sejumlah Menteri, antara lain Menteri Agama Suryadarma Ali, Menteri PDT Helmy Faisal, Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan. Di samping itu, hadir juga Ketua Fraksi PKB di DPR, Marwan Djafar. Sesuai rapat, Ical memberikan keterangan kepada wartawan. Katanya, Setgab bukanlah sebuah upaya melakukan menghambat aspirasi masing-masing anggota Setgab. Hal yang paling penting dari rapat-rapat ini, terdapat kesepakatan bahwa Setgab akan menjadi garda terdepan dalam mengupayakan penyelesaian berbagai persoalan krusial. Contoh masalah yang bisa diselesaikan dalam rapat Setgab antara lain pemilihan Kapolri dan UU APBNP.

“Setgab ini akan lebih banyak turun dalam menyikapi masalah-masalah krusial yang berdampak secara nasional dalam pembangunan berbangsa dan bernegara. Berbagai masalah krusial yang terjadi dari waktu ke waktu, contohnya soal UU APBNP, penetapan Kapolri dan lain sebagainya,” ujar Ical. Sembari menambahkan, posisi Setgab saat ini solid.

Ical juga berkilah, Setgab bukanlah alat negara, sehingga salah alamat jika ada pernyataan yang menyampaikan bahwa Setgab akan mengeleminir fungsi-fungsi lembaga negara tertentu. “Ini bukan lembaga negara. Sejak awal Setgab ini adalah koalisi yang sudah lama terbentuk. Di dalam politik, power harus disatukan. Kalau kita sepakat menjadi majority, maka kekuatan majority harus terjaga dengan baik”, ungkapnya.

Sebelumnya, Ical mengakui, perubahan format koalisi ini dilatarbelakangi perbedaan sikap Parpol Koalisi dalam kasus Bank Century. Sikap Parpol Koalisi terbelah, antara anggota koalisi yang menilai pemberian dana talangan senilai Rp. 6,7 triliyun itu benar dan tidak melanggar hukum dengan anggota sebaliknya menilai kebijakan itu salah dan melanggar hukum. Perbedaan sikap itu tidak terjadi jika dalam format koalisi, Parpol-parpol koalisi diajak berbicara dalam setiap pengambilan kebijakan. “Tanpa langkah itu, anggota koalisi sulit untuk mengamankan kebijakan pemerintah”, kilah Aburizal (Seputar Indonesia, 10 Mei 2010).

Senada dengan Ical. Sekjen Golkar Idrus Marham menambahkan, format Setgab lebih fokus pada sebuah forum komunikasi yang membahas masalah-masalah krusial nasional dan mencarikan jalan keluar atas berbagai masalah krusial itu. “Ini adalah forum komunikasi ide, gagasan dari masing-masing anggota,”ujar Marham. Sebelumnya, Marham (Kompas, 12 Mei 2010) menguraikan Koalisi Parpol ini memiliki tiga jenis rapat:

Pertama, rapat tertinggi yang langsung dipimpin Presiden SBY sebagai Ketua Setgab. Rapat ini membicarakan berbagai gagasan strategis dan penting.

Kedua, rapat yang dipimpin Ketua Harian Setgab, Aburizal Bakrie. Rapat untuk membahas kebijakan ini dihadiri pimpinan Parpol, Ketua fraksi, dan atas izin Presiden, juga dapat dihadiri menteri.

Ketiga, rapat operasional yang dipimpin Sektretaris Setgab, Syarif Hasan.

Masih dari politisi Golkar, Agun Gunanjar Anggota Fraksi Golkar di DPR, memprediksi, Setgab tidak mungkin menjadi satu Parpol besar karena ideologi dan platformnya tidak sama. Selain itu, Gunanjar menilai, Setgab juga dibentuk bukan untuk menyeragamkan anggota koalisi. Hal ini juga ditegaskan Aburizal Bakrie, Setgab dibentuk bukan untuk menyeragamkan pemikiran atau sikap anggota. Enam Parpol anggota koalisi diperbolehkan memiliki sikap sendiri. Kebijakan yang diambil di tiap Parpol dipastikan akan tetap disesuaikan dengan kehendak anggota Parpol sebagai pemilik kedaulatan.

Lebih lanjut, Agun Gunandjar menilai, Setgab hanya bisa menjadi lembaga yang memosisikan diri dan mengambil alih fungsi Parpol pendukung pemerintah dalam sistem presidensial. “Dalam sistem presidensial itu hanya ada dua kekuatan, yakni kekuatan parpol pendukung pemerintah dan Parpol di luar pemerintah. Setgab memosisikan diri sebagai kekuatan pendukung pemerintah,”ujarnya. Sembari mengingatkan, Setgab tidak mencederai nilai-nilai demokrasi, terutama kesetaraan. Semua anggota Setgab harus bisa menghargai kedaulatan tiap-tiap Parpol.

Selanjutnya, Pengusung hak Angket Bank Century dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, meminta untuk menghentikan salah tafsir atas Setgab, agar Polri, Kejaksanan Agung dan KPK lebih responsif dan konsisten memproses Bank Century. Kesungguhan itu menjadi bukti bahwa Setgab tidak berniat menutup-nutupi dugaan tindak pidana kasus Century.

Pembelaan pembentukan Setgab kebanyakan datang dari Parpol koalisi. Salah satunya, Marwan Djafar menegaskan (Harian Kompas, 26 Mei 2010), tuduhan berkembangnya oligarki politik dengan pembentukan Setgab merupakan tuduhan spekulatif dan terlalu berlebihan. “Itu justru memutarbalikkan persepsi publik”, katanya. Sembari berkilah, Setgab justru akan mendorong koalisi menjadi lebih solid dan bermartabat serta memperlancar komunikasi antar Parpol. Kelancaran komunikasi itu merupakan modal untuk melaksanakan pembangunan demi kepentingan rakyat.

Sebelumnya, melalui Harian Rakyat Merdeka (24 Mei 2010), Ketua DPP PKB ini, menolak pandangan Setgab sebagai monster politik yang menakutkan. Tetapi, harus dimaknai untuk menyamakan persepsi, visi dan misi untuk menciptakan pemerintahan yang solid dan tetap mempertahankan “check and balances”, terutama mengenai fungsi-fungsi parlemen. Tudingan bahwa Setgab untuk mempertahankan oligarki politik, menurut Marwan, adalah sangat spekulatif dan berlebihan, serta memutarbalikan persepsi publik. Justru dengan adanya Setgab, komunikasi politik antar Parpol koalisi menjadi lancar dan menghndari kesalahpahaman yang selama itu terjadi. “Setgab untuk mendorong koalisi lebih solid, bermartabat, dan untuk tujuan akselearsi pembangunan yang strategis demi cita-cita Indonesia yang mengedepankan kepentingan rakyat.”

Menurut Ketua Fraksi PKB di DPR ini, Setgab koalisi justru menjadi jembatan emas untuk memaksimalkan program-program pemerintah dengan dimusyawarahkan secara bersama-sama anggota parlemen. “Setgab adalah katalisator kepentingan rakyat yang dilembagakan dalam bentuk perumusan hal-hal yang fundamental dan strategis, demi perbaikan dan kebaikan bangsa dan negara”, kilahnya.

Pembelaan lebih kuat datang dari Partai Demokrat, partainya SBY. Salah satunya, Syarief Hasan yang juga Sekretaris Setgab, menekankan bahwa dalam aplikasinya Setgab tidak mereduksi peran individual para anggota DPR. Setgab justru memberikan ruang untuk memaknai “chekcs and balances”. Karena setiap anggota DPR pasti mempunyai pandangan berbeda. Jika ada perbedaan pandangan antara Parpol koalisi soal program atau kebijakan Pemerintah, maka didiskusikan di Setgab. Perbedaan itu didiskusikan untuk mencari jalan keluarnya sehingga ada kesamaan atau titik tentu antar Parpol koalisi.

Lebih jauh, Kader senior Partai Demokrat ini menegaskan, Setgab bertujuan untuk mengkomunikasikan dan mendukung program pemerintah. Setgab bukan pengambilan keputusan, melainkan forum diskusi dan komuniikasi antar Parpol koalisi untuk menyampaikan persepsi politik. Forum untuk memfasilitasi agar terbangun dukungan bagi program pemerintah dengan tetap menggunakan asas bersamaan dan “checks and balances”. Bukan forum pengambil keputusan! Penambilan keputusan adalah lembaga eksekutif. Dengan adanya Setgab, maka gejolak politik antar Parpol di DPR dalam menyikapi program dan pemerintah bisa ditekankan seminimal mungkin. Jadi supaya tidak ada gejolak di DPR, semua dikomunikasikan dulu di Setgab. “Tapi kalau disepakati di Setgab di DPR harus kompak”, tandas Menteri Koperasi dan UKM ini.
Politisi Partai Demokrat lain, Marzuki Alie menilai pembentukan Sekretaris Gabungan Partai Politik Koalisi bukan bertujuan untuk menggantikan peran pemerintah. Mantan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat ini pun membantah pembentukan Setgab sebagai taktik Partai Golkar. "Jadi, Setgab Parpol Koalisi ini bukan menggantikan pemerintahan. Ada pengamat yang mengatakan kalau hal ini melanggar konstitusi. Kalau berbicara tentang koalisi, itu pun tidak ada di dalam konstitusi. Jadi, mengapa dikait-kaitkan. Setgab ini di luar pemerintahan," kilah Ketua DPR RI ini kepada wartawan di Jakarta (Detik News, Jumat 15 Mei 2010). Marzuki juga membantah, bila pembentukan Setgab itu sebagai taktik dari Partai Golkar. Semua parpol anggota koalisi ikut ambil bagian dan duduk bersama di dalam Setgab untuk membuat kesepakatan terhadap kebijakan atau isue-isue yang disikapi pemerintah dan parlemen.

Menurut Marzuki, Setgab Parpol Koalisi bukanlah hal baru, tapi sudah diwacanakan sejak Pemilu 2009 lalu. Setgab Parpol Koalisi ini sebagai wadah komunikasi komunikasi di antara Parpol koalisi menjadi lancar. "Tujuan Setgab itu supaya komunikasi di antar Parpol koalisi tidak missed. Kebijakaan-kebijakan yang krusial bisa dibicarakan di forum ini, seperti masalah kenaikan BBM. Tetapi, kalau bukan kebijakan krusial, tidak perlu dibicarakan," jelasnya Sembari menekankan, dalam kontrak politik Parpol koalisi pendukung SBY memang telah disepakati semacam lembaga Sekretariat Gabungan. Sayangnya, koalisi parpol yang terbentuk selama ini kurang mendapat peran sebagai forum komunikasi. Baru ketika muncul kasus Bank Century, Presiden SBY kembali diingatkan agar segera mewujudkan Setgab tersebut sesuai dengan kontrak politik koalisi Parpol itu. "Jadi, kalau ada perbedaan pandangan dibahas di Setgab. Dengan demikian, kebijakan atau isu itu tidak menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan kalau langsung dibawa ke parlemen," kilah salah seorang Calon Ketua Umum pada Kongres II Partai Demokrat.
Sementara itu, sekalipun PKS tergabung di dalam Setgab, politikus PKS Mahfudz Siddik memberi penilaian kritis. Baginya, pembentukan Setgab masuk di piagam koalisi yang didukung oleh seluruh Parpol yang mendukung pasangan SBY-Boediono. Namun, langkah mendirikan wadah itu sudah terlambat (Republika, 10 Mei 2010). Bahkan Ketua Mahfud Siddiq melihat Setgab sebagai bayi yang dilahirkan dengan efek kontaminasi. "Ibarat bayi, Setgab dilahirkan mestinya setelah pemerintah SBY-Boediono terbentuk, tapi kalau dilahirkan hampir setahun kemudian, bayi ini ya sudah biru-biru karena sudah terkontaminasi racun," ungkap Mahfud dalam sebuah diskusi mingguan sekitar Mei 2010. Menurutnya, kontaminasi pertama adalah kasus Bank Century, kontaminasi kedua adalah ketika SBY menghendaki ketua harian Setgab adalah Aburizal Bakrie, dan kontaminasi ketiga adalah ketika Setgab dibentuk sesaat setelah Sri Mulyani mundur.
PAN adalah Parpol anggota koalisi pendukung SBY. Namun, penilaian anggota Fraksi PAN di DPR tidak harus mendukung begitu saja pembentukan Setgab sebagai misal Wakil Ketua Komisi II DPR dari fraksi PAN Teguh Juwarno. Satu media intenet membeberkan bahwa Teguh Juwarno menyesalkan pembentukan Setgab usai kasus Century dan kemunduran Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia pun menegaskan pembentukan Setgab ini merupakan bukti telah terjadinya politik transaksional dalam pemerintahan SBY. "Sangat kita sesalkan. Ini adalah pembelajaran politik yang buruk bagi masyarakat. Kita lihat bagaimana dijalankan politik transaksional, bagaimana Golkar yang awalnya sangat kencang mengkritisi SBY terkait Century, targetnya hanya Sri Mulyani yang head to head dengan Ical (Aburizal Bakrie, Ketua Harian Setgab)," paparnya.
Ia pun melihat pembentukan Setgab ini sangat tiba-tiba dan sudah melukai masyarakat. "Setelah Sri Mulyani dan kasus Century, sekonyong-konyong dan tiba-tiba, dibentuk Setgab. Setgab benar-benar melukai publik." Lebih jauh lagi, Teguh mengatakan seharusnya pemerintah tidak perlu menggembar-gemborkan pembentukan Setgab ini. Pasalnya, koalisi dinilainya cukup untuk fungsi koordinatif saja dan cukup di dalam saja peranannya.
Teguh Juwarno sesungguhnya meragukan masa depan Setgab ini. Setgab ini hanya untuk kepentingan kedua partai saja, bukan untuk kepentingan rakyat seperti yang digembar-gemborkan selama ini. "Saya meragukan ke depannya. Dari awal kebenaran sudah menjadi transaksional. Ini terlihat dari Golkar yang menyatakan kasus Century sudah selesai. Ini sudah tidak sejalan dengan kepentingan rakyat," pungkasnya.

Penilaian Kritis

Berbagai penilaian kritis atas Setgab bermunculan bukan saja dari kalangan politisi Parpol non Setgab, pengamat politik, tetapi juga media massa. Mereka pada umumnya menilai Setgab sebagai praktik politik transaksional elite dan kartelisasi yang tidak mempresentasikan kepentingan rakyat. Salah seorang di antaranya, yakni politisi PDIP Ganjar Pranowo. Ia menggunakan pendekatan politik kartel tatkala menilai keberadaan Setgab. Baginya, pendirian Setgab ini akan menimbulkan kartelisasi politik nasional. Lewat kartelisasi ini, Pemerintah diduga akan mengamankan kebijakan-kebijakannya. Apalagi, ujar Ganjar, yang terpilih menjadi Ketua Harian adalah Aburizal Bakrie, Ketua Umum DPP Partai Golkar. Aroma kartelisasi ini, lanjut Ganjar, sudah tercium lama. Pertama kali terendus ketika skandal Bank Century masuk gedung DPR, hampir semua politikus berbicara keras, termasuk anggota koalisi Pemerintah. Belakangan, ketika Menteri Sri Mulyani dan Wakil Presiden Boediono diimbau mundur, tidak ada satupun mundur. Ini berlanjut ketika skandal Bank Century ditangani KPK. “Pada intinya, proses kartelisasi ini bertujuan untuk mengamankan banyak hal”, lanjut Ganjar.

Penilaian kritis Ganjar Pranowo juga telah dibeberkan di Harian Rakyat Merdeka (24 Mei 2010), menilai pembentukan Setgab sebagai bagian proses kartelisasi antara mereka yang melakukan negoisasi politik. Konteksnya sebenarnya hanya pragmatisme. “Jika memang alasan dibentuknya Setgab untuk membangun komunikasi, “bukankah sejak awal koalisi bisa melakukan komunikasi? “, tanya Ganjar. Kalau alasan dasar Setgab sebagai alat kontrol Parpol koalisi, “bukankah sudah asa semacam kontrak politik untuk mengontrol?” kilahnya. Sembari menekankan, jika ikuti ritme tertentuknya Setgab akan ada titik yang menunjukkan Setgab sebagai kartelisasi.

Beberapa indikator diajukan Ganjar untuk menjustifikasi penilaian Setgab sebagai kartelisasi. Pertama, ketika kasus Bank Century bergulir. Kalau pencopotan itu dilakukan ketika DPR menghimbau kepada Sri Mulyani (Menkeu) mundur maka kesan yang muncul tentu baik karena Presiden mendengarkan keinginan DPR. Kalau Sri Mulyani dianggap Menteri baik, semestinya Presiden meminta agar Sri tidak mengundurkan diri. Karena dia dibutuhkan bangsa ini. Logika Ganjar, Anggito saja (bukan Menteri) ketika ingin mengundurkan diri, Menko Ekuin Hatta Rajasa langsung merespon, ingin Anggito tidak mundur karena dianggap masih dibutuhkan. “Kenapa tidak dilakukan terhadap Sri Mulyani? “, tanya Ganjar Sembari menjawab pertanyaan, Parpol mana yang terlibat dalam kartelisasi politik, yakni semua Parpol koalisi.

Kartel itu, lanjut Ganjar, kekuasaan yang berkumpul menjadi satu untuk menentukan arah secara bersama sama. Ketika Sri Mulyani mundur, Setgab terbentuk. Dari teori politik cukup mudah dianalisis, kalau dahulu koalisi dikordinir Hatta Rajasa lalu kini di Setgab dikordinir Golkar. Rumusannya mudah, yakni yang kuat harus diajak bergabung. Selama ini Golkar merupakan Parpol yang paling keras, mengkritik kasus Century, bahkan sebelum Setgab terbentuk, politik Golkar ikut menandatangani penggunaan Hak Menyatakan Pendapat di DPR, meskipun belum semua orang Golkar tandatangan. Tetapi, lanjut Ganjar, ketika Sri Mulyani mundur, rencana penggunaan Hak Menyatakan Pendapat dianggap belum penting oleh politisi Golkar. Bahkan, ada yang menyatakan, sebaiknya kasus Century dipetieskan. “Semua fakta itu tentu mengusik akal sehat kita semua. Fakta-fakta itu telah mendistorsi demokrasi kita,” tandas anggota DPR ini.

Penilaian Setgab sebagai kartelisasi juga datang dari Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani (Harian Seputar Indonesia, Akhir Mei 2010) mengungkapkan, kesan forum baru itu menjadi saluran kepentingan jangka pendek cukup kuat. Muzani memprediksi keberlangsungan Setgab tidak akan lama. Wadah itu hanya akan efektif sebatas kepentingan masing-masing parpol di dalamnya terpenuhi. “Jika tidak, saya yakin ini akan rontok karena memang bangunan dasarnya kepentingan jangka pendek” ungkapnya. Bahkan, lanjut Muzani, Setgab nantinya akan berantakan jika masing-masing Parpol sudang mengusung tema yang dianggap populis untuk kepentingan penambahan suara pada Pemilu 2014. “Karena, Parpol pasti tidak akan mempertaruhkan masa depannya hanya untuk kepentingan koalisi”, tandasnya.

Di media cetak yang sama, Ketua DPP Hanura Yuddy Chrisnandi juga senada dengan penilai kritis sebelumnya. Menurutnya, masyarakat tidak membutuhkan Setgab karena forum yang mewadahi Parpol koalisi pendukung pemerintah itu tidak membangun demokrasi di Indonesia. Dalam perspektif ini, lanjut Chrisnandi, keberadaan Setgab tidak akan membantu masyarakat. Bahkan, Setgab juga dapat mengancam otoritas Parpol untuk bersikap secara obyektif ketika menghadapi suatu persoalan, dan hanya menjadi tempat bagi kalangan elite politik untuk melakukan tawar-menawar kepentingan. Mantan kader Golkar ini juga tidak sepakat apabila ada pendapatan yang menyatakan Setgab akan mengurangi otoritas SBY selaku Presiden.


Masih PDIP, politikus Arief Budimanta (Harian Kompas, 15 Mei 2010) menilai, Setgab itu merupakan model baru kroni kapitalisme pada era reformasi. “Ini adalah new model crony capitalism yang sebenarnya pernah terjadi pada era pemerintahan Soeharto. Saat itu Golkar punya peranan besar”, kata Ketua DPP PDIP ini. Sembari menekankan, pengukuhan koalisi Parpol pendukung pemerintahan itu akan mempertajam dikotomi oposisi dan koalisi pemerintah di parlemen, sebagai kutub pro rakyat dan kutub pro kekuasaan. Dilanjutkannya, keberadaan Setgab ini justru sebagai ancaman demokrasi dan demokratisasi. “Proses demokrasi yang kaitannya dengan kesetaraan dan keterbukaan tidak akan terwujud. Karena akan ada satu kelompok yang mengetahui informasi (kebijakan pemerintah) lebih dahulu, lebih banyak dan lebih dalam dibadingkan kelompok lain”, kilahnya.

Berikutnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Desmond Junaidi, mengingatkan pembentukan Setgab jelas mengindikasikan kekuasaan Presiden SBY mulai rapuh. Penyelidikan skandal bailout Rp. 6,7 triliun kepada Bank Century dianggap sebagai awal kegagalan koalisi. Buktinya, Parpol koalisi tidak satu suara dalam memndang kasus ini. Desmon juga memperkirakan, pembentukan Setgab hanya bersifat sementara. “Ini perkawinan sementara saja. Pasti ada perbedaan pandangan. Jika tidak cocok, pasti cerai. Mendekati tahun 2014 pasti akan ribut-ribut lagi,” katanya (Harian Kompas, 12 Mei 2010)

Sementara itu, Pakar politik LIPI Ikrar Nusabhakti menilai adanya Sekretariat tersebut menunjukkan paling tidak dua hal (Harian Seputar Indonesia, 11 Mei 2010):

Pertama, Sekretariat ini merupakan kamar kedua dari Kabinet karena setiap kebijakan pemerintah amat krusial harus disetujui dan direkomendasikan oleh parpol-parpol koalisi.

Kedua, sebaai Presiden dipilih langsung oleh rakyat, SBY akan tidak lagi memiliki otoritas penuh dalam mengendalikan pemerintahan
Mengacu penilaian Ikrar ini, Pemerintah SBY tidak lagi memiliki otoritas penuh, dan bergantung pada kompromi politik yang dihasilkan di dalam forum Sekretariat tersebut. Akibatnya, berbagai upaya penegakan hukum terhadap pelaku ilegal anggota Parpol koalisi dalam memperoleh uang negara atau tindak pidana korupsi akan selalu mendapatkan tantangan dari koalisi karena hal itu akan merugikan Parpol koalisi. Melalui Sekretariat ini akan lebih mudah untuk menghindari penyingkapan korupsi para anggota Parpol koalisi.

Pakar politik LIPI lain, Syamsudin Haris menilai, pembentukan Setgab dengan Aburizal sebagai pelaksana hariannya merupakan kemenangan besar Golkar karena memang itu yang diinginkan Golkar. Apa yang dilakukan Golkar ketika Hak Angket Bank Century, memang bertujuan untuk mendapatkan posisi seperti ini. “Ini menunjukkan watak asli Golkar. Jangan salah. Golkar kemarin kencang pada waktu hak angket memang untuk mendapatkan posisi seperti sekarang ini,” ujar Syamsudin (Harian Sinar Harapan, 12 Mei).

Melalui Harian Seputar Indonesia (24 Mei 2010), Syamsudin Haris juga mempertegas penilaiannya, antara lain: Setgab ini berpotensi melahirkan kolusi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan strategis. Karena itu, ia mengajak semua kalangan harus pro aktif mengawasi kebijakan pemerintah jika nantinya DPR hanya menjadi tukang setempel kebijakan. Sebab mengharapkan kekuatan oposisi sangat tidak efektif karena hanya PDIP yang memiliki kekuatan signifikan. “Harapannya ya publiklah yang menjadi oposisi agar pemerintahan ini tetap berjalan sesuai harapan. Masyarakat sipil dan media sangat berperan dalam menjaga arah demokrasi ke depan agar sesuai harapan”, ujar ilmuwan pro reformasi dan demokrasi ini.
Senada dengan Harris, Lili Romli juga pakar politik LIPI mempertanyakan hubungan Setgab dengan Pemerintah sembari mengingatkan cikal bakal Setgab itu Parpol sehingga tidak memiliki garis komando dengan pemerintah yang berkuasa. “Prinsipnya, Setgab itu bukan negara, jadi harus menjaga jarak dengan pemerintah,” ujar Lili. Dia mengingatkan, Setgab ini bukanlah hasil pemilu, sehingga tidak memiliki kewenangan terlalu jauh, apalagi memanggil menteri. Sedangkan, pemerintah memiliki legitimasi karena merupakan hasil pemilu. Untuk membuat garis pemisah yang tegas antara pemerintah dengan Setgab, maka SBY harus meninggalkan Setgab. Hal itu diperlukan agar ada garis yang jelas agar Setgab dan pemerintah. “SBY harus tetap fokus pada tugasnya sebagai Presiden”, tandas Lili.
Menurut Lili, ada empat hal yang harus dilakukan Satgas agar keberadaanya lebih jelas: Pertama, SBY harus keluar dari struktur Setgab. Kedua, tidak boleh ada kewenangan memanggil menteri. Ketiga, posisi ketua harian harus digilir. Keempat, terakhir, Setgab tidak boleh mengeluarkan keputusan yang sifatnya kebijakan publik.
Dari sudut pandang akademis, keberadaan Setgab atau gabungan partai koalisi di sebuah negara ini memang bisa dimengerti. Apalagi di negara yang menganut sistem multipartai seperti Indonesia. “Namun, seharusnya tidak ada posisi untuk Presiden atau Perdana Menteri di dalamnya,” ujar Lili.
Jika Setgab memiliki kewenangan lebih, seperti mengeluarkan kebijakan atau memanggil Menteri, maka hal itu akan membuat pemilu menjadi tidak berarti lagi. Menurut Lili, Setgab ini sebenarnya tidak perlu dibentuk jika Parpol memiliki fatsun politik yang jelas dalam berkoalisi. Setgab idealnya hanya untuk menjalin komunikasi saja.
Pakar Politik lain, khususnya dari Perguruan Tinggi, dapat diambil penilaian Maswadi Rauf (Dosen Fisip UI). Ia berpendapat, keberadaan Setgab bisa membatasi kekuasaan Presiden SBY karena keputusan harus disepakati lebih dulu anggotanya. "Kalau koalisi mau efektif, harus ada forum komunikasi apa pun namanya, seperti Sekber atau Setgab, itu harus ada. Sekretariat Gabungan inilah yang membicarakan pada tahap awal kebijakan-kebijakan yang akan dibuat oleh Presiden," ujarnya saat menjadi pembicara dalam satu diskusi di Gedung DPD Jakarta pada 15 Mei 2010. Kebijakan Presiden itu, menurut Rauf, harus dibicarakan dengan anggota fraksi sehingga dicapai sebuah kebijakan yang disetujui oleh semua anggota fraksi.
Rauf juga mengakui, keberadaan Setgab itu memang akan membatasi kekuasaan Presiden karena dia tidak bisa lagi membuat keputusan menurut dirinya sendiri, karena harus mendengarkan pula pandangan fraksi setiap Parpol yang menjadi anggota koalisi.
I Wayan Sudhirta adalah anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), bukan anggota DPR dan kader Parpol. Ia menilai senada dengan kader Parpol non koalisi seperti PDIP, Partai Hanura dan Partai Gerindra. Bagi Sudhirta, pembentukan Setgab parpol Koalisi SBY akan menyuburkan kolusi politik dan terjadinya politik transaksional yang merugikan rakyat dan antidemokrasi. Oleh karena itu, jika praktik politik yang demikian itu berlanjut, rakyat makin kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan DPR sehingga akan memunculkan gerakan politik jalanan. “Saya lihat Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie lebih kuat ketimbang Presiden Yudhoyono dalam mengendalikan Setgab. Sebagai contoh benar tidaknya lihatlah kasus Century. Apakah hak menyatakan pendapat dan kasus pajak akan terus berlanjut di DPR? Skandal Century saja sudah akan dipetieskan. Jadi, Setgab lebih banyak negatifnya dan membingungkan rakyat. Kalau DPR mati suri, rakyat pasti akan bergerak,” kata Anggota DPD dari daerah pemilihan Bali ini.
Beberapa Pakar Hukum Tata Negara yang menilai kkritis mkeberadaan Setgab yakni Refly Harun dan Irmanputra Sidin. Melalui Harian Suputar Indonesia (24 Mei 2010), Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menilai Setgab merupakan manuver politik yang bertujuan untuk bagi-bagi kekuasaan. Bahkan, Setgab akan memperarah kerusakan sistem presidensial yang diterapkan di Indonesia. “Sejak awal sistem presidensial telah rusak, Setgab ini kemudian merusak sistem presidensial lebih parah. Harun mengkhawatirkan, pembentukan Setgab nantinya akan menjadi pintu masuk intervensi kekuasaan dalam pemilihan komisioner beberapa Komisi negara seperti KPK, KPU dan Komisi lainnya. Jika itu terjadi, lanjut Harun, independensi Komisi dan beberapa lembaga akan terancam. “Kita menyesalkan jika untuk jangka pendek, untuk ranah jabatan publik, seperti Ketua KPK, KPU, Bawaslu dan lain-lain”, tandasnya.

Di lain pihak, Irmanputra Sidin menilai pembentukan Setgab merupakan langkah politik sembrono dan meniadakan konstitusi. Konstitusi telah mengatur jelas bahwa tiap lembaga memiliki tugas sendiri-sendiri. Karena itu, lanjut Irmanputra, Setgab bisa mengaburkan lembaga kepresidenan dan DPR. Dengan adanya Setgab, lembaga kepresidenan dan DPR bisa jadi kabur karena Presiden dan Ketua Parpol, Menteri, maupun anggota Parpol masuk Setgab itu. Setgab secara tidak langsung akan meniadakan fungsi eksekutif sebagai pelaksana pemerintahan dan fungsi legislaif sebagai pengawasan (Harian Media Indonesia, 12 Mei 2010)

Editorial Harian Media Indonesia (24 Mei 2010) tergolong media massa cetak yang sangat kritis terhadap eksistensi Setgab ini. Menurut Editorial, negara ini segera memasuki era pelumpuhan fungsi lembaga-lembaga negara. Sebab berbagai kewenangan institusi negara akan diambil alih Setgab (Sekber) Parpol Koalisi. Setgab ini menjadi instrumen yang sangat perkasa dan berkuasa; bisa memanggil Menteri, memetieskan kasus seperti kasus Bank Century; menentukan siapa yang menjadi pimpinan lembaga tertentu. Editorial mengutip pengakuan Sekjen PKB (anggota Setgab) Edy Lukman tentang adanya agenda untuk mengisi posisi di lembaga-lembaga negara. Setgab membidik siapa pejabat yang harus memegang kendali di KPK, KY (Komisi Yudisial), MA (Mahkamah Agung) dan Gubernur Bank Indonesia. Semua lembaga ini kini sedang menjaring pemimpin. Karena Sekber menguasai 75 % suara di DPR, Editorial percaya, segenap kemauan pemerintah akan mudah dikabulkan di parlemen. Enam Parpol koalisi bergabung dalam Setgab akan menjadi “abdi dalam” yang setia dan penopang paling masif bagi kebijakan pemerintah. Sebaliknya, hanya dengan 25 % suara, serangan kubu oposisi tidak bisa membuat pemerintah harus mendengarkannya, apalagi kelimpungan karenanya. “Terjadilah tirani mayoritas yang disetir satu markas komando...” tandas Editorial.

Dengan kekuasaan yang mutlak, ujar Editorial ini, Setkab menempatkan diri sebagai lembaga “superpower”. Adapun lembaga-lembaga negara yang sah, yang eksistensinya termaktub dalam konstitusi, justru ditempatkan di bawah ketiak Setgab. Kekuasaan terpusat di tangan Setgab, jelas menjungkirbalikkan semua nilai yang ditegakkan “founding fathers”. Kekuasaan yang sentralistis di Setgab itu sekaligus merupakan penghinaan terhadap konstitusi dan lembaga-lembaga negara. Sebab, kilah Editorial, institusi-institusi negara menjadi “aksesori” atau sekedar pelaksana keputusan-keputusan Setgab.

Lebih jauh, Editorial memprediksi, kekuasaan Setgab yang mutlak ini akan menahan laju pemberantasan korupsi. Tebang pilih penanganan kasus korupsi akan mudah dijumpai. Sahabat, meskipun salah dan korup, akan dibela. Sebaliknya, yang benar dan jujur, tetapi karena lawan dan musuh, bisa-bisa harus dibui. “Kita perihatin karena demokrasi akan dipukul mundur rezim ... sang superpower...”, tutup Editorial ini.

Di fihak lain, fenomena mengutamakan koalisi meminimalkan atau mengabaikan oposisi. Fenomena mengutamakan koalisi dan mengabaikan oposisi sesungguhnya dapat menjadi satu masalah utama bagi proses percepatan demokratisasi di Indonesia. Oposisi, beroposisi, oponen, oposisional merupakan konsep bentukan dari kata kerja “oppose”, bermakna menolak, melawan dan menentang. Secara umum oposisi dapat dipahami sebagai kelompok kekuatan yang menolak, melawan dan menentang serta berperan sebagai pengontrol dan penyeimbang pelaksanaan pemerintahan sehingga tidak terjerumus dalam penyalahgunaan kekuasaan. Salah satu komponen negara demokrasi yang membedakan dengan negara bukan demokrasi adalah keberadaan kekuatan oposisi. Oposisi adalah salah satu elemen penting untuk membangun negara demokrasi yang kuat. Peran oposisi tetap harus hadir agar demokrasi tetap dalam lajur benar, yakni demokrasi mengabdi kepada kesejahteraan rakyat, bangsa dan negara. Fungsi oposisi tetap harus dihadirkan bukan saja peran oposisi terhadap pemerintah tapi juga terhadap entitas politik di legislaif. Tanpa adanya oposisi, pemerintah menjadi tidak terkontrol dan dapat melakukan apapun dikehendaki tanpa hambatan berarti. Dalam konteks ini mempertahankan oposisi sejatinya sama dengan mempertahankan demokrasi.

Sirnanya Oposisi Politik

Kekuasaan mempunyai kecenderungan bukan saja untuk memperbesar dan memperkuat tetapi juga memusatkan dirinya. Karena itu, pemikiran demokratis tentang kekuasaan selalu menekankan pembagian kekuasaan dan keseimbangan kekuasaan. Oposisi dibutuhkan pertama-tama sebagai kritik kepada kekuasaan dan pengawasan terhadap Pemerintah agar tidak semena-mena. Oposisi tidak saja bertugas memperingatkan pemerintah terhadap kemungkingan salah kebijakan atau salah tindakan tetapi juga menunjukkan apa harus dilakukan dan apa tidak harus dilakukan. Adalah kewajiban oposisi untuk melakukan kualifikasi apakah sesuai harus atau tidak harus dilakukan. Oposisi diperlukan juga karena apa yang baik dan benar dalam politik haruslah diperjuangkan melalui kontes politik dan diuji dalam wacana politik terbuka dan publik. Adalah naif, masih percaya bahwa pemerintah bersama semua pembantu dan penasehat merumuskan sendiri apa yang perlu dan tepat untuk segera dilakukan dalam politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan kebudayaan.

Oposisi berkewajiban mengemukan titik-titik lemah dari suatu kebijakan Pemerintah sehingga apabila kebijakan itu diterapkan, segala sesuatu yang dapat meruakan efek samping merugikan sudah lebih dahulu ditekan/dikelola seminal mungkin. Kehadiran oposisi membuat pemerintah harus selalu menerangkan dan mempertanggungjawabkan mengapa suatu kebijakan diambil, apa dasar, apa pula tujuan dan urgensi dan dengan cara bagaimana kebijakan itu akan diterapkan.

Sesunggunya perilaku oposisi dalam era reformasi ini dijamin di dalam UUD 45 Perubahan (Amandemen), khususnya Pasal 20A yang mengatur fungsi dan tugas-tugas`DPR, antara lain memiliki ”hak interpelasi”, ”hak angket” dan ”hak menyatakan pendapat”. Bahkan setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Selain itu, pentingnya kehadiran oposisi di DPR juga untuk mengamankan dan mewujudkan hak-hak rakyat sesuai dengan Pasal 23, Pasal 27, Pasal 31, Pasal 33 dan Pasal 34.

Dalam kenyataannya, kebanyakan Parpol yang berhasil menempatkan anggota di DPR cenderung menghindari perilaku oposisional terhadap Pemerintah atau kekuasaan eksekutif. Hampir seluruh kekuatan politik di DPR diserap oleh Pemerintah. Semua Parpol besar dan menengah menempatkan wakil di jajaran Kabinet. Parpol terjebak pragmatisme, tidak memerlukan pemikiran matang dan ideologi kokoh. Pragmatisme hanya memperhitungkan keuntungan praktis. Uang dan kursi kekuasaan sering kali menjadi tawaran menarik bagi kaum pragmatis. Hal ini diperkuat lagi proses rekruitmen/penempatan anggota Parpol belum memadai, di samping kualitas pengetahuan sumber daya manusia (SDM) masih rendah dalam politik atau ”miskin” pengalaman politik, dan juga keterbatasan memahami fungsi dan tugas-tugas DPR. Di samping itu, tingkat loyalitas anggota DPR lebih tinggi terhadap kepentingan Parpol ketimbang kepada konstituen/rakyat. Parpol masih memegang kendali kuat atas anggota-anggota Parpol tersebut di DPR.

Ketidakhadiran oposisi politik di DPR akan membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi, yakni watak rezim kekuasaan eksekutif mengarah otoriterianisme. Segala kebijakan Pemerintah akan mudah diterima sekalipun kebijakan berpotensi merugikan kepentingan rakyat. Mengacu pada sebagian pengamat politik di Indonesia, ketidakhadiran oposisi yang terlembaga bermakna rezim kekuasaan tidak demokratis, bahkan tergolong negara diktatorial. Karena itu, Parpol tidak dapat ikutserta melakukan upaya percepatan proses demokratisasi.

Sesungguhnya pengalaman Indonesia telah menunjukkan kehadiran oposisi sebagai kekuatan penggerak perubahan sejarah. Sejak awal, Indonesia mengenal oposisi, baik di lingkungan politik, birokrasi dan masyarakat. Pada dasawarsa 50-an tatkala Indonesia menganut sistem pemerintahan parlementer, posisi kelompok oposisi atau penyeimbang dinilai sangatlah penting. Sebagai contoh, Masyumi, PNI, NU maupun PKI pernah mengalami dua fungsi yang berbeda. Tatakala satu Parpol diberi mandat membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol tersebut berfungsi sebagai kekuatan yang memerintah. Sebaliknya, tatakala Parpol tertentu tidak dilibatkan dalam membentuk Kabinet/Pemerintah, Parpol dimaksud menjadi kekuatan oposisi atau penyeimbang, melakukan fungsi ”checks and balances”. Bahkan, peristiwa G30S/PKI dapat digolongkan sebagai gerakan oposisi.

Kehadiran Parpol oposisional ini menjadi sirna dalam kancah perpolitikan Indonesia sejak tampilnya kekuasaan rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Selalu hanya Golkar yang menjadi kekuatan yang memerintah dan dua kekuatan politik lain seperti PPP dan PDI tidak diberi kesempatan untuk ikut memerintah. Namun, dua parpol ini juga tidak pernah berperan sebagai kekuatan oposisi atau penyeimbang. Pada masa Orde Baru ini, Pemerintah dan legislatif merupakan kekuatan politik konspiratif yang saling mendukung. Konpirasi itu ternyata belum menghilang di era reformasi ini. Pemerintah dan legislatif saling mendukung tanpa adanya kekritisan (penolakan, perlawanan atau penentangan) dalam konteks fungsi pengawasan.

Untuk menjustifikasi realitas obyektif ini, para petinggi Orde Baru dan juga sebagian petinggi era reformasi menegaskan bahwa budaya politik Indonesia tidak mengenal oposisi, yang bermakna tidak mengenal Parpol oposisional. Mereka juga menyimpulkan, sistem presidensial Indonesia tidak mengenal pelembagaan oposisi. Kalangan intelektual tahun 70-80an mengimplementasikan ajaran masyarakat integralistik di dalam ruang perpolitikan Indonesia. Persatuan dan kesatuan bangsa dan simbol negara kesatuan merupakan tiga kualitas dasar berharga mati ajaran itu. Yang menimbang dan menafsirkan ketiga kualitas dasar itu adalah pemangku kekuasaan negara. Setiap perbedaan dengan timbangan dan tafsiran itu dianggap musuh persatuan dan kesatuan bangsa dan musuh negara kesatuan. Penolakan, perlawanan dan penentangan terhadap kekuasaan identik dengan penghinaan jabatan anugerah Tuhan. Karena itu, perilaku oposisi bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Di era reformasi ini, kita juga masih dapat menemukan kalangan intelekjtual dan politisi memberikan ajaran-ajaran anti oposisi

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda