Minggu, 04 April 2010

IMPLIKASI IMPEACHMENT DALAM KONTEKS SISTEM PRESIDENSIAL

------------------------------------------------------------------------------------\
Keterangan Redaksi:
Pada hari Kamis, 11 Maret 2010, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) IARMI (Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia) telah menyelenggarakan Seminar Nasional di Hotel Kartika Candra, Jakarta. Salah satu topik seminar adalah "Implikasi Impeachment dalam Konteks Sistem Presidensial".Tulisan ini merupakan Acuan Seminar untuk topik ini (Muchtar Effendi Harahap)
-------------------------------------------------------------------------------------



I. MAKNA IMPEACHMENT
Polemik seputar impeachment atau pemakzulan Presiden RI di Indonesia terus berjalan seiring dengan perjalanan Panitia Angket DPR-RI tentang Skandal Bank Century dan dinamika politik yang relatif ”tinggi” khususnya setelah Kabinet Indonesia Bersatu II dibentuk oleh Presiden SBY. Sangat penting untuk mencoba mencari jawaban lebih argumentatif dan lengkap dalam perspektif hukum, politik dan sosiologis melalui dialog/diskusi dan penelitian seksama. Pertanyaan lanjut seyogyanya diajukan sebagai berikut: apa yang dapat menjadi justifikasi hukum, politik dan sosiologis atas pemakzulan (impeachment) Presiden RI? Jika terjadi impeachment, apa implikasinya terhadap sistem presidensial yang secara konstitusional berlaku di Indonesia?
Impeachment atau sangat popular diterjemahkan sebagai pemakzulan adalah sebuah proses dari sebuah badan legislatif yang secara resmi menjatuhkan dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Impeachment bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan, tetapi hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah pertama menuju kemungkinan pemecatan. Saat pejabat tersebut telah diimpeach (dimakzulkan), ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan suara legislatif, yang kemudian menyebabkan pemecatan sang pejabat.
Di banyak Negara, kata pemakzulan berlaku di bawah konstitusi seperti Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Filipina dan juga Indonesia.
Di Indonesia, konstitusi (UUD 45) tidak mengenal kata pemakzulan. Yang dikenal kata “pemberhentian”. Walaupun begitu, kata “pemberhentian” dalam UUD 45 memiliki makna yang sama dengan kata pemakzulan (impeachment).
II. IMPEACHMENT DALAM UUD 45 PERUBAHAN
Sekalipun telah terjadi beragam pemikiran/pendapat, namun terdapat kesamaan bahwa berdasarkan UUD 45 Perubahan, terutama Pasal 7B ayat (1), di Indonesia memungkinkan terjadinya pemakzulan (impeachment) Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden dapat ”dilengserkan” dengan dua sebab:
Pertama, melakukan pelanggaran hukum (lima jenis). Kedua, tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lima jenis pelanggaran hukum dimaksud yakni:
1. Pengkhianatan terhadap negara..
2. Korupsi.
3. Penyuapan.
4. Tindak pidana berat lainnya, atau
5. Perbuatan tercela.
Sesungguhnya jenis pelanggaran hukum tidak terlalu memunculkan masalah, kecuali frasa ”perbuatan tercela” karena sangat interpretative atau multitapsir.

Masalah utama dalam polemik publik yakni: “mungkinkah Presiden RI dimakzulkan?” Masalah utama ini telah mendapat jawaban, yang berdasarkan pertimbangan politik kekuasaan, menyatakan “tidak mungkin”. Salah satu alasannya, sekarang mekanisme pemakzulan Presiden tidak semudah masa Gus Dur masih menjadi Presiden. Pasalnya? Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, mekanisme pemakzulan berubah. Jika ditemukan pelanggaran dari Pemerintah atas kebijakan tertentu, DPR bisa menggunakan “hak menyatakan pendapat”. Level hak menyatakan pendapat ini jauh lebih tinggi ketimbang hak angket. Sebagaimana Tata Tertib DPR mengatur, tindak lanjut atas keputusan DPR tentang penggunaan hak angket ialah menyampaikan ”hak menyatakan pendapat” atas keputusan hasil penyelidikan melalui penggunaan hak angket.
Dengan perkataan lain, telah diatur hak menyatakan pendapat untuk menduga, ”Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Untuk menggunakan hak menyatakan pendapat, DPR akan membentuk Pansus lagi dan menyatakan bakal memakzulkan Presiden.
Tapi, dalam memutuskan pemakzulan atau tidak, masih menunggu rekomendasi MK (Mahkamah Konstitusi). MK telah mengesahkan tata cara pemakzulan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Hukum Acara Pemakzulan pada 31 Desember 2009. Dalam aturan ini dijelaskan pemakzulan terhadap Presiden maupun Wakil Presiden dapat dilakukan secara terpisah atau bersama-sama.
Peraturam Mahkamah Konstitusi (PMK) itu mengatur bahwa pemakzulan diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kepada Mahkamah Konstitusi (MK), baik secara langsung atau melalui wakil yang ditunjuk. Akan tetapi, keputusan MK dalam hal ini hanya menyatakan Presiden atau Wakil Presiden termakzul bersalah atau tidak. MK tidak punya wewenang memberi sanksi maupun melepas jabatan. Wewenang itu sepenuhnya berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Terdapat dua pokok penting dalam PMK tentang Hukum Acara Pemakzulan tersebut. Pokok pertama adalah proses hukum pidana kepada pihak termakzul tetap dapat berlangsung selama proses pemakzulan berlangsung di MK. Seperti keputusan lainnya, proses pemakzulan di MK paling lama memakan waktu 90 hari. Hal ini karena proses pemakzulan dan proses hukum pidana merupakan dua jalur yang berbeda. Pemakzulan merupakan proses hukum tatanegara yang merupakan keputusan politis dan tidak berkaitan dengan hukum pidana maupun perdata.
Adapun pokok penting kedua, yakni maupun Wakil yang sedang dalam proses pemakzulan dapat diwakilkan. Apabila proses pemakzulan berakhir dengan pencopotan jabatan, maka MPR harus segera menunjuk gantinya paling lama dalam waktu 60 hari.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 sesungguhnya belum pernah dipraktekkan dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Kalau pendapat DPR bahwa benar hal itu terjadi maka MK yang harus memutuskan apakah pendapat itu terbukti atau tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti, DPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk meneruskan usul pemakzulan dan/atau Wakil kepada MPR (Pasal 7B ayat 5 UUD 1945 juncto Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR).
Faktor sangat menentukan pemakzulan adalah proses politik di sidang majelis MPR. Sekalipun investigasi Panitia Angket DPR berhasil mengajukan data dan fakta, lalu MK memutuskan bahwa telah melanggar hukum sesuai dengan UUD 1945, terutama Pasal 7B ayat (1), namun bisa saja proses politik di MPR memutuskan tidak memakzulkan/mencopot . Alasan berikutnya diajukan berkaitan dengan UUD, pemakzulan sulit didasarkan pada “pengambilan kebijakan”.
III. SISTEM PRESIDENSIAL DALAM UUD 45 PERUBAHAN
Dalam dunia akademis, suatu negara dapat menganut sistem pemerintahan
parlementer atau presidensial. Dalam sistem pemerintahan presidensial, terdapat pemisahan dan perimbangan kekuasaan eksekutif dan legislatif atau parlemen. Sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer, kekuasaan parlemen lebih tinggi dari eksekutif atau sering disebut sebagai supremasi parlemen.

Sesungguhnya penerapan sistem presidensial atau parlementer berbeda-beda antara satu negara dan negara lain. Di Indonesia, sebelum amandemen UUD 45, sistem pemerintahan Indonesia dinilai tidak tegas menganut presidensial apalagi parlementer. Keadaan ini mulai berubah sejak adanya kesepakatan dasar dalam Pembukaan UUD 45 oleh MPR pada Sidang Umum MPR 1999, yakni ”sepakat untuk mempertegas sistem presidensial.

Tindak lnjut kesepakatan dasar terwujud melalui perubahan ketentuan terkait dengan kekuasaan Presiden dan parlemen dalam UUD 45. Terjadi perubahan mendasar, yakni konstruksi konsep kedaulatan dan kelembagaan MPR yang mengakibatkan MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat. Presiden tidak lagi merupakan mandataris MPR dan tidak lagi dipilih MPR, tapi dipilih langsung oleh rakyat. Karena itu, Presiden bertanggungjawab secara langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilu periode berikutnya, dan tidak bertanggungjawab kepada MPR.

Dalam UUD 45 Perubahan, sistem presidensial terlihat dari kedudukan sederajat Presiden dan DPR. Perimbangan kedudukan diwujudkan dalam ketentuan, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 45 (Pasal 4 ayat 1), sedangkan DPR memegang kekuasaan membentuk UU (Pasal 20 ayat 1). Kedudukan presiden tidak tergantung pada perlemen sepertri sistem parlementer.

DPR atau MPR tidak dapat dengan mudah memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya kecuali karena melakukan pelanggaran hukum tertentu yang harus diputuskan terlebih dahulu melalui mekanisme hukum dalam forum Makamah Konstitusi (MK). Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat dijatuhkan karena kebijakan yang diambil seperti pembubaran kabinet dalam sistem parlementer. Di samping itu, Presiden dan Wakil Presiden mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat sehingga memiliki hak untuk menentukan kebijakan apa yang akan dijalankan. Kebijakan dan program itulah yang menjadi pertimbangan rakyat memilihnya menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

IV. IMPLIKASI IMPEACHMENT

Sebagaimana telah diuraikan, menurut UUD 45 Perubahan memungkinkan untuk dilakukan impeachment terhadap Presiden RI. Namun, di lain fihak, UUD 45 Perubahan itu pula mempertegas pemberlakuan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Berdasarkan sistem presidensial ini, DPR atau MPR tidak dapat dengan mudah memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya kecuali karena melakukan pelanggaran hukum tertentu yang harus diputuskan terlebih dahulu melalui mekanisme hukum dalam forum Makamah Konstitusi (MK).

Namun, jika terjadi juga impeachment terhadap Presiden RI karena skandal Bank Century misalnya, apa implikasinya dalam konteks sistem presidensial berlaku di Indonesia menurut UUD 45 Perubahan? Mungkinkah impeachement di dalam sistem pemerintahan presidensial?

Di harapkan Seminar Nasional Sesi Ketiga ini dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas secara seksama sehingga diperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang impeachement/pemakzulan dan sistem pemerintahan presidensial menurut UUD 45 Perubahan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda