Minggu, 04 April 2010

Kembali ke UUD 45: Kemajuan atau Kemunduran?

KEMBALI KE UUD 45: KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN?

-------------------------------------------------------------------------------------
Pengantar Redaksi:
Pada Pada hari Kamis, 11 Maret 2010, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) IARMI (Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia) telah menyelenggarakan seminar nasional dengan topik: “Kembali ke UUD 45: Kemajuan atau Kemunduran?” Tulisan ini merupakan Acuan Seminar topik dimaksud.
-------------------------------------------------------------------------------------


I. PENGANTAR
Salah satu peristiwa politik besar menyangkut kehidupan bangsa Indonesia dalam era reformasi adalah Amandemen UUD 1945 oleh MPR-RI hasil Pemilu tahun 1999. Sebelum Amandemen, acap kali muncul penilaian kritis tentang UUD 1945, antara lain “Presiden dan MPR terlalu berkuasa” sehingga kekuasaan mereka perlu dikurangi.

Pada mulanya dekumen UUD 1945 terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan. Amandemen menghasilkan Pembukaan tetap, Batang Tubuh berubah di sana-sini, dan Penjelasan ditiadakan. Proses Amandemen ini sendiri mencakup 4 (empat) tahap perubahan, pertama (1999); kedua (2000); ketiga (2001); dan keempat (2002). Dari sekian banyak materi ketentuan dirumuskan dalam naskah konsolidasi (consolidated text) UUD, ada beberapa materi masih asli, namun sebagian besar telah berubah secara mendasar jika dibandingkan naskah aslinya. Agenda Amandemen selama 4 (empat) tahun dapat dituntaskan dengan disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 dalam Sidang Tahunan (ST) MPR, Agustus 2002.

Paling tidak terdapat 3 (tiga) perspektif dalam menilai Amandemen UUD 1945. Pertama, perspektif penilaian pada dasarnya pro (mendukung) Amandemen dalam beragam argumentasi, namun mempunyai kesepakatan tentang masih perlunya penyempurnaan di sana-sini. Kedua, perspektif penilaian pada dasarnya kontra (menolak) Amandemen UUD 1945. Mereka pada umumnya menyetujui perubahan namun cukup ditampung melalui Undang-undang. Perspektif ini pada dasarnya menuntut “kembali ke UUD 1945”. Ketiga, perspektif penilaian tidak keduanya (tidak pro, tidak kontra), lebih menekankan proses pengambilan keputusan atas Amandemen itu sendiri. Menurut Perspektif ketiga ini, perdebatan atau polemik tentang Amandemen ini riil dan berpotensi melemahkan untuk menentukan pilihannya secara langsung atas konstitusi mereka sendiri. Karena itu, perlu diadakan “referendum” menanyakan langsung kepada rakyat untuk memilih UUD 1945 versi mana, yang asli atau hasil Amandemen.

II. KEMBALI KE UUD 1945
Sidang Tahunan (ST) MPR Tahun 2002 menunjukkan munculnya kelompok kontra Amandemen UUD 1945, mencakup anggota dan bukan anggota MPR. Kelompok ini menjadi suatu kekuatan menuntut agar “Kembali ke UUD 1945”. Mereka tergolong perspektif kedua, yakni menolak Amandemen UUD 1945, menyetujui perubahan melalui Undang-undang.

Sikap kontra Amandemen bermula dari 199 anggota MPR lintas fraksi (7 November 2001), bermula menolak masuknya DPD (Dewan Perwakilan Daerah) dalam pemerintahan, dan mengklaim ada usaha sengaja mengubah sistem bikameral dalam bentuk DPD. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar UUD 1945 hanya mengenal mono-kameral. Bagi mereka, tugas MPR dalam Sidang Tahunan, lanjut mereka, untuk menyempurnakan UUD 1945 dalam rangka memperkukuh NKRI sesuai tuntutan reformasi, tidak merombak UUD 1945, tidak membentuk UUD baru, tidak merubah hal-hal sangat mendasar, seperti merubah sistem pemerintahan negara. Kalau mau merubah, harus meminta izin lebih dahulu dari rakyat. Atas alasan ini, mereka menolak dan menyatakan tidak bertanggungjawab atas usaha perombakan UUD 1945.

Kelompok penolak Amandemen lain, Forum Pembela Negara Kesatuan RI (FP-NKRI). Sekitar 110 anggota menandatangani pernyataan penolakan Amandemen. Menurut kelompok ini, MPR tidak memiliki kewewenangan konstitusional untuk mengubah dan menetapkan UUD karena telah dihasilkan dan telah berlaku serta merta sejak 9 November 2001 perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) berbunyi: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Kekuasaan negara tertinggi tidak lagi di tangan MPR pasca perubahan ketiga. Pada dacarnya, Kedompok ini tidak menietujui dilaksanakannyA perubahan/Amandemen UUD 1945 tahap IV.

Perilaju kontra Amandemen juga ditandai beberapa `eristi7a intrupsi saat Sidang Paripurna PR. Sebagai misal, Sukono (Wak.Sak. Fraksi PDIP MPR), menegaskan dalam instrupsinya( kalau sidang tahunan mau dilaksanakan PR, maka Amand%men ketiga harus Dicabut. Cebab Pasal&1 ayat (2) dihasilkan Amandemen ketiga lalu sudah mengubah fungsi MPR. Senada dengan Sukono, Amin Arjoso menilai Amandemen sudah kebablasan dan konyol. Ia berkilah, mereka tidak menolak Amandemen an sich, tetapi menolak proses Amandemen kebablasan. Amandemen malah membuat masalah baru. Banyak terjadi kekonyolan dan akhirnya malah akan menciptakan krisis konstitusi.

Beberapa bulan sebelum ST MPR (Agustus 2002), sejumlah kecil anggota DPR tergolong politisi senior dari FPDIP telah menyuarakan penolakan Amandemen UUD 1945 baik melalui media massa maupun konferensi press di Gedung DPR/MPR. Senada dengan pernyataan sikap 18 DPD di atas, kelompok kecil ini pada dasarnya menolak diberlakukannya sistem pemilihan Presiden langsung dan bertahan dengan sistem pemilihan lama, yakni melalui MPR. H. Amin Aryoso, salah seorang anggota, kerap mengklaim, “Amandemen sudah kebablasan”.

Di luar MPR, sekitar 200 purnawirawan jenderal militer tergabung di dalam Front Pembela Proklamasi secara terbuka dan tegas menolak Amandemen. Mantan ketua DPR/MPR, Syaiful Sulun, bertindak sebagai Sekjen Front ini, menyatakan secara tertulis, rumusan Amandemen UUD 1945 telah menyimpang dari cita-cita Proklamsi 17 Agustus 1945, mengubah drastis sistem dan struktur ketatanegaraan serta tidak berlandaskan lagi pada Pancasila, melainkan pada liberalisme individualisme. Dalam proses perumusannya merupakan hasil “konspirasi sistematis dengan elemen liberalisme kapitalisme” di Indonesia.

Aksi kontra Amandemen semakin mendapatkan dukungan dari komponen PDIP. Pada 18 Juli 2002, saat berlangsung rapat pimpinan nasional DPP PDIP di Denpasar, Bali, sebanyak 18 DPD PDIP membuat pernyataan sikap menolak Amandemen. Kelompok ini berasal antara lain dari Provinsi Sumbar, Irian Jaya, Kalsel, NTT, Kaltim, Lampung, Jabar, banten, NTB, DIY, Sultra, Aceh, Sulteng, Kalbar, Sumut dan Sulut. Menurut mereka, kewewenangan MPR makin menyempit sehingga tidak merefleksikan lagi kedaulatan rakyat dan pemilihan Presiden langsung bertentangan dengan Sila IV Pancasila. Namun, aksi 18 DPD ini tidak berhasil mempengaruhi keputusan rapat. Diputuskan, DPP PDI mendukung Amandemen.

Jumlah anggota FPDIP di MPR menentang Amandemen telah mencapai 109 orang, sekitar 75 % dari total 153 anggota. Sekalipun mayoritas mutlak anggota kelompok kontra Amandemen berasal dari FPDIP, namun formalitas bukan merupakan sikap FDIP. Munculnya berkembangnya kelompok kontra Amandemen ini merupakan suatu realitas obyektif bertentangan dengan realitas subyektif dalam pengertian bahwa Amandemen telah menjadi tuntutan demokratisasi dan reformasi konstitusi telah disepakati dan menjadi agenda kekuatan reformasi 1997/98.

Untuk kelompok kontra Amandemen, suatu pertanyaan dasar menarik untuk dicari jawaban : mengapa mereka menolak Amandemen UUD 1945?

Segera setelah berakhirnya Pemilu 2004 dan ditetapkannya Pasangan SBY-JK menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, dan awal 2005 mulai muncul lagi suara kontra Amandemen baik melalui buku, media cetak maupun diskusi publik. Amandemen UUD 1945 masih menimbulkan polemik atau kontroversi, terutama masih munculnya suara-suara kontra berkepanjangan. Beberapa aktor tergolong masih pada posisi kontra, yakni Muhamad Achadi, Amin Aryoso (Yayasan Kepada Bangsaku), ASS Tambunan, Ali Sadikin, dll. Kerangka berfikir Muhamad Achadi dan Amin Aryoso melalui karya mereka, Demokrasi Model Barat & Amerika Serikat Apakah Cocok untuk Bangsa Indonesia? (Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, Januari 2005):

1.UUD 1945 sebagai dasar untuk pengaturan negara dan pemerintahan untuk melaksanakan cita-cita Proklamasi tidak bisa dirubah mengarah dan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Mukadimah dan Pancasila.
2.Amandemen dilaksanakan demi kejelasan pasal-pasal diperlukan bagi pelaksanaannya serta Amandemen hanya bisa dilakukan dalam rangka menerapkan pasal-pasal untuk disesuaikan dengan perkembangan bagi suksesnya pelaksanaan dan pasal-pasal tsb.
3.Amandemen kelewat batas-batas tsb. perlu dicabut karena akan membahayakan arah dan cita-cita Proklamasi.

Selanjutnya, ASS Tambunan dalam karnyanya, Demokrasi Indonesia (Jakarta: Yayasan Kepada bangsaku, Januari 2005):

1.Pengertian Barat mengenai demokrasi bersifat formal.
2.Pengertian bangsa Indonesia tentang demokrasi bukan hanya bersifat formal atau prosedural, tetapi bersifat materiil, bukan cuma proses saja tetapi juga substansial sehingga meliputi isi dan tujuannya.
3.Pengertian bangsa Indonesia tentang demokrasi terlukis pada Sila IV, yaitu “kerakyatan dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Kerakyatan berarti “kebersamnaan” atau “kekeluargaan” at`u “gotongroyong”, terkandung di dalamnya asas toleransi, saling menghArgai dan saling memberi, kerjasama atau koPerasi.
4.MPR telah merUbah UUD 1945 menj`di UUD 2002, menibu AS mengenai pengertian knnstitusi., yakni sistematika UUD dirombak, sekalipun Pembukaan UUD 1945 sacara resmi mAsih tetap diperThankan, namun hanya secara harafiah karena isI UUD seharusnya merupakan pelaksanaan atau terjemahan dari Pembukaan sudahþsama sekali lain.
5.PR iembuat Andonesia tidak lagi berdasarkan Pancasila tetapi dengan mencontoh AS, yakni berdasarkan HAM dan kebebasan.
6.Kita bukan lagi “negara kebangsaan” seperti dinyatakan dalam Pembukaan UUD 1945, tetapi telah berubah menjadi suatu “corporate state”.
7.Tujuan negara sekarang ini bukan lagi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
8.Ekonomi kekeluargaan diidam-idamkan sudah terperangkap arus globalisasi disponsori AS.
9.Untuk dapat menyelamatkan bangsa dan negara ini dari kehancuran, maka kita harus meninggalkan “UUD 2002” lahir dari kebudayaan asing, kembali kepada UUD 1945 lahir dari rahim kebudayaan bangsa sendiri.
10.Semua tindakan diambil setelah UUD 1945 dirubah dan merugikan bangsa dan negara harus dibatalkan.
11.Semua perundang-undangan ada sekarang harus dikaji ulang dan dibuatlah UU pelaksanaan UUD 1945 dibutuhkan.
12.Pengorganisasian pemerintahan mirip dengan AS, yakni (1) pemisahan kekuasaamn, 2). Kekuasaan membentuk UU berada di tangan DPR, 3) MPR terdiri dari dua kamar a) DPR dan b) DPD, 4). Hak-hak manusia, 5). Anggota DPR, DPD, Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
13.Adanya dan diberikannya kepada DPD wewenang untuk mencampuri pembuatan UU menyangkut daerah seperti otonomi daerah maupun urusan keuangan, anggaran, opajak daerah, maka pada hakekatnya negara sudah bersifat federal setidaknya ke arah negara federal.

Ali Sadikin di lain fihak, mengakui rumusan UUD 1945 perlu dilengkapi dan disempurnakan, tetapi tidak boleh mengubah filosofi dasar menjadikan landasan pokok UUD 1945. Baginya, rumusan bersifat melengkapi dan menyempurnakan batang tubuh UUD 1945 hanya bersifat adendum, bukannya mengubah filosofi dan karakter dasar dari pembukaan UUD 1945. Karena itu, harus dilakukan pelurusan kembali UUD 1945 dengan terlebih dahulu “Kembali ke UUD 1945 seperti disahkan oleh PPKI, 19 Agustus 1945”. Sesudah itu, baru dipikirkan tahap selanjutnya, jika diperlukan adanya penyempurnaan UUD 1945. Ia juga berkilah, tuntutan Amandemen UUD 1945 disuarakan mahasiswa dahulu tidak pernah menuntut perubahan UUD 1945 menjadi seperti sekarang. Tuntutan utama mahasiswa sebenarnya, lanjut Sadikin, adalah pembatasan masa jabatan Presiden (Tabloid Cita-Cita, Edisi 11, Juni 2005, hal. 12).

Ada juga alasan terkait tidak sinkronnya Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal diamandemen. Amandemen tanpa mempelajari sejarah dan konsep berdirinya NKRI yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Amandemen itu berdasarkan ”emoosi sesat” akibat gerakan reformasi kebablasan, telah menurunkan nilai-nilai kemerdekaan NKRI. Akibatnya fatal, yakni hilangnya kedaulatan politik dan ekonomi NKRI.

Fenomena kontar amandemen berikutnya menggunakan realitas obyektif Indonesia sebagai alasan:

Pertama, amandemen telah menghilangkan peran MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, mengubah system MPR menjadi bicameral, yang terdiri dari DPR dan DPD yang dipilih lewat pemilihan langsung sehingga dianggap mengarah pada federalisme dan menghilangkan eksistensi utusan golongan dan utusan daerah.

Ketiga, hilangnya eksistensi MPR dianggap sebagai upaya mengubah sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”

Keempat, alasan paling populer terkait Pasal 33 UUD 1945 yang didalamnya tercantum tiga ayat disusun sebagai satu kesatuan, yaitu:

(!) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara dan
(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Menurut kontra amandemen, cita-cita ekonomi kerakyatan dalam UUD 1945 ini pelan-pelan telah berubah wujud menjadi system ekonomi neoliberal, telah berhasil melahirkan konglomerasi besare dengan cepat dan rakus mengakumulasi modal dan kekayaan guna mengeksploitasi sumber daya alam. Pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” bergeser menjadi sangat sempit yaitu hanya dalam bentuk pajak dan royalty yang ditarik oleh Pemerintah. Cita-cita ekonomi kerakyatan, bermakna rakyat menggerakkan perekonomian, telah berubah makna, yaitu konglemerat menggerakkan perekonomian. Ini dibuktikan dengan kenyataan penguasaan asing dominant atas minyak NKRI.


III. PERTANYAAN UNTUK KONTRA
Khusus suara kontra, telah menyajikan sejumlah argumentasi dan alasan, dapat mengundang pertanyaan sebagai berikut:

1.Mengapa muncul kembali suara kontra Amandemen UUD 1945, padahal penetapan/keputusan telah diambil oleh MPR hasil Pemilu 1999 diakui masih berdasarkan Pancasila, bukan mencontoh AS?

2.Demokrasi Barat berdasarkan individualisme, pengertiannya bersifat formal saja, sementara Indonesia formal dan materiil. Mengapa pengertian demokrasi menurut Barat tidak bersifat materiil? Apakah prinsip Good Governance (GG) atau Good Corporate Governance (GCG) seperti partisipasi, kesetaraan, transparansi, akuntabilitas publik, supremasi hukum, orientasi konsensus, dll. dalam demokrasi Barat bukan bersifat materiil?

3.Keputusan rapat dalam bangsa Barat diambil berdasarkan suara terbanyak, yakni 50 % + 1 saja sudah menjadi penentu, mengalah yang 49 %. Suara yang 49 sama sekali tidak dihargai. Bukan kebersamaan diutamakan tetapi kepentingan orang perorangnya. Apakah hanya bangsa Barat saja mengenal keputusan rapat berdasarkan suara terbanyak? Apakah masyarakat Indonesia tidak mengenal keputusan semacam itu?

4.Kekuasaan rakyat di bidang kenegaraan dan pemerintahan di Eropa Barat dipelopori dan dikendalikan oleh penguasa-penguasa kekuatan ekonomi (Business Corporation). Apakah dalam perspektif sejarah dan batas-batas tertentu fenomena semacam ini juga tidak berlaku di Indonesia?

5.Budaya dan peradaban Indonesia adalah gotong royong, kerakyatan, kebersamaan terkandung toleransi, saling menghargai dan memberi, kerjasama dan kekeluargaan sebagai prinsip serta cara-cara melaksanakan maupun menyelesaikan persoalan. Apakah budaya dan peradaban Barat tidak melaksanakan prinsip “gotong royong” atau “kebersamaan” semacam itu?

6.Mekanisme membela kebersamaan hendaknya berbentuk musyawarah untuk mufakat dan bukan pengambilan voting. Partisipasi dalam pemerintahan hendaknya diikuti golongan-golongan fungsional sehari-hari bergulat dengan bidang-bidang kekaryaannya, misalnya buruh tani, guru, cendikiawan, nelayan,dll. Dalam kenyataannya, siapa sesungguhnya wakil golongan fungsional tsb, bukan elite kekuasaan, ekonomi dan militer?


IV.KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN ?
Terakhir, sebuah pertanyaan mendasar bagi kontra amandemen, yakni: jika Indonesia kembali ke UUD 1945, apakah langkah itu bermakna kemajuan atau kemunduran?

Bagi kelompok kontra amandemen, sumber masalah bangsa Indonesia baik aspek sosial ekonomi, sosial politik, maupun sosial budaya karena amandemen UUD 1945. Karena itu, agar bisa dipecahkan sesuai dengan cita-cita Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945, maka harus kembali ke UUD 1945. Karena itu, jika kembali ke UUD 1945, bangsa Indonesia akan mengalami kemajuan !

Dilain fihak, kelompok pro amandemen menilai kembali ke UUD 1945 berarti kemunduran dengan beragam alasan:

Pertama, kembali ke UUD 1945 berarti kita kembali ke era lama, zaman susah, tidak realistis, mustahil, setback, bertentangan dengan agenda reformasi, kembali ke era sentralisasi kekuasaan tidak terkendali, zaman otoriter, nostalgia atau sindrom pada kekuasaan otoriter dan totaliter pernah dinikmati di masa lampau dan merasa ”kehilangan” atau tidak bisa eksis lagi untuk membangun kekuatan politik. Dunia ini berputar dan berubah, tiada sesuatu yang tetap kecuali Tuhan. Amandemen harus berkelanjutan dan sesuatu keniscayaan.

Kedua, kembali ke UUD 1945 akan berdampak terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia karena akan menghapus pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung, Pilkada, Komisi Konstitusi (MK), DPD, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung yang mandiri terlepas dari Departemen Kehakiman, dll. Tidak ada pilihan lain selain melanjutkan agenda reformasi apalagi sebagian agenda reformasi itu sudah berhasil dikerjakan termasuk mengamandemen UUD 1945.

Ketiga, sekalipun mengandung beberapa kelemahan, UUD 1945 hasil amandemen jauh lebih demokratis ketimbang UUD 1945 lama; menghasilkan check and balances; menghilangkan sentralisasi kekuasaan; memberikan jaminan HAM yang lebih lengkap; jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka, pemilihan presiden secara langsung dll.

Keempat, kembali ke UUD 1945 telah melawan semangat zaman dan juga menolak adanya pembaruan dalam praktik ketatanegaraan, membalik roda zaman kepada kehadiran sistem pemerintahan otoriterian-birokratik. Yang harus diupayakan bukan kembali ke UUD 1945 tetapi melanjutkan perubahan untuk menyempurnakan hasil amandemen UUD 1945. Tuntutan kembali ke UUD 1945 tidak beralasan karena proses amandemen pertama sampai keempat UUD 1945 dilakukan secara terbuka dengan melibatkan para pakar dari dalam dan luar negeri serta berbagai elemen masyarakat, termasuk unsur LSM.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda