Minggu, 04 April 2010

NEOLIBERALISME VERSUS PEREKONOMIAN RAKYAT DALAM UUD 45 PERUBAHAN

OLEH
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP




I. PENGANTAR
Pada hari Kamis, 11 Maret 2010 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) IARMI (Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia) telah menyelenggarakan seminar nasional. Salah satu topik seminar, yakni: “’Neoliberalisme versus Perekonomian Rakyat dalam UUD 45 Perubahan”. Tulisan ini merupakan Acuan Seminar dengan Topik dimaksud.ACUAN SEMINAR ini hanyalah sebagai referensi awal bagi peserta Seminar agar berhasil mencapai kesimpulan-kesimpulan relevan dengan maksud dan tujuan Seminar (MUCHTAR EFFENDI HARAHA.


II. DEMOKRASI EKONOMI DALAM UUD 45 PERUBAHAN
Amandemen UUD 45, disebut sebagai UUD 45 Perubahan, sesungguhnya realisasi dari Agenda Reformasi yang dicanangkan mahasiswa dan kekuatan pro-reformasi sekitar 1997/98. Berdasarkan UUD 45 Perubahan, terjadi perubahan politik dan ekonomi nasional. Dalam bidang politik, sejumlah perubahan kelembagaan pemerintahan

Dalam era UUD 45 Perubahan ini, paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara telah mengubah, yakni “dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi langsung”. Bahkan telah memasukkan Bab khusus tentang HAM, terdiri dari 10 pasal. Komisi independent sebagai komponen demokrasi telah terbentuk, antara lain Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), KPU (Komisi Pemilihan Umum), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dll. Pemilihan Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota yang semula dipilih oleh lembaga legislatif, kini langsung dipilih rakyat.

Sekalipun diakui ada perubahan politik nasional di sana-sini dalam era UUD 45 Perubahan lebih mengarah kehidupan demokratis dan penegakan HAM, namun kalangan pengkritik menekankan, perubahan politik itu tidak sejalan perubahan ekonomi nasional, terutama kepentingan nasional dan kesejahteraan rakyat kebanyakan. Kebijakan perekonomian dalam era UUD 45 Perubahan bukanlah pro rakyat dalam pengertian pengurangan berarti kelompok kaum miskin dan pengangguran. Bahkan, kecenderungan perekonomian pro asing atau korporasi asing semakin terlihat jelas jika kita menjadikan keadaan antara lain pasar domestik, perbankan, struktur usaha (korporasi, menengah dan mikro), utang luar negeri, minyak, sumber daya alam (SDA) lainnya dan pelayaran sebagai indikator.

Tatkala Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, dengan tegas perkoperasian ditulis di dalam UUD 45. M. Hatta berusaha memasukkan rumusan perkoperasian di dalam ”konstitusi”. Sejak kemerdekaan itu pula koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan lebih baik. Pasal 33 UUD 45 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya, disebutkan bahwa bangunan perekonomian sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUD 45 tersebut diatur pula di samping koperasi, peranan BUMN dan Swasta.
Memasuki era reformasi (UUD 45 Perubahan), Indonesia tetap mengusung azas demokrasi ekonomi, sekalipun kabur karena adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 45. Pikiran di belakang ayat baru itu, oleh pengkritik, adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme. Kata “koperasi “ dalam UUD 45 Perubahan telah hilang. Hilangnya kata ”koperasi” sebagai bentuk operasional perekonomian rakyat atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 45, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal 4, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan, bagi pengkritik, jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa neoliberalisme.

Pasal 33 UUD 45 seharusnya tidak dapat dibaca hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan perekonomian rakyat. Kemakmuran ekonomi rakyat bukan hanya perwujduan pasal 33 UUD 45. Pasal 33 hanya salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat martabat manusia.

Tahun 2010 ini masih menggunakan UUD 45 Perubahan, yang bermakna dasar hukum tertinggi mengatur pengelolaan perekonomian Indonesia. Karena itu, secara konstitusional pengelolaan perekonomian Indonesia haruslah mengacu pada UUD 45 Perubahan, yang didasari Pancasila sebagai identitas asli perekonomian. UUD 45 Perubahan mengharuskan perekonomian Indonesia mengacu pada ketentuan mengutamakan koperasi sebagai sokoguru dan demokrasi ekonomi sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 UUD 45.


III. PEREKONOMIAN RAKYAT.

Tugas utama negara INDONESIA, memerdekakan warga dari kemiskinan. Pasal 27 UUD’45 menegaskan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian. Artinya, tiap2 warganegara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak. Juga UUD’45 memerintahkan agar fakir miskin dan anak2 terlantar dipelihara oleh negara (Pasal 34).

Setiap rezim pemerintahan, baik masa Gus Dur, Megawati maupun SBY, selalu mengklaim kebijakan perekonomian yang diambil adalah pro rakyat. Mereka acapkali menekankan perekonomian rakyat berdasarkan UUD 45 baik sebelum maupun setelah amandemen. Saat kampanye pasangan Presiden/Wakil Presiden pada Pilpres 2009, semua pasangan mengklaim jika terpilih akan mengambil kebijakan perekonomian pro rakyat.

Prinsip perekonomian rakyat dipercaya dapat membawa Indonesia keluar dari krisis karena bertumpu pada sektor kekuatan ekonomi rakyat yang semuanay dijalankan oleh Pemerintah. Pemerintah memegang peranan dalam prinsip ekonomi ini.

Secara akademis, perekonomian rakyat seperti ekonomi Pancasila versi Mubyarto, suatu sistem ekonomi Pancasila yang bermoral, manusiawi, nasionalistik, kerakyatan/demokratis, dan bertekad mewujudukan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, penghisapan oleh pemodal dan manapun termasuk pemodal nasional harus ditolak. Ekonomi Pancasila melawan ekonomi yang menghisap (eksploitatif). Ekonomi Pancasila bersifat partisipatif yang lebih menghargai manusia dibandingkan alat atau teknologi, lebih-lebih modal uang.

Mengacu pada UUD 45 Perubahan dan ekonomi Pancasila sebagaimana dikembangkan Mubyarto, perekonomian Indonesia harus berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila, yaitu moral agama, kemerataan sosial, nasionalisme ekonomi, kerakyatan, dan keadilan sosial. Ekonomi Pancasila melawan ekonomi menghisap (eksploitasi), bersifat partisipatif yang lebih menghargai manusia dibandingkan alat atau teknologi, lebih-lebih modal uang. Ekonomi Pancasila yang pro rakyat ini sesungguhnya bukan sekedar rumah tangga konsumen, melainkan rumah tangga produksi, tentu saja mampu melakukan investasi.

Karena itu, perekonomian rakyat bermakna memberikan ruang bagi tumbuhnya usaha menengah, kecil dan mikro (UMKM) serta koperasi . Pemerintah dalam era UUD 45 Perubahan selalu memberikan dukungan kelembagaan terhadap UMKM serta koperasi, mulai dari Kementerian Koperasi dan Usaha Menengah Kecil, Departemen Perindustriaan, Departemen Perdagangan, Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Lembaga-lembaga ini bekerja untuk pertumbuhan usaha menengah dan kecil sesuai wewenanga masing-masing. Juga beragam lembaga masyarakat dalam bentuk LSM dam asosiasi pemberdayaan usaha kecil tidak kurang memberikan berbagai program untuk trumbuhynya usaha menengah dan kecil. Telah diterbitkan berbagai kebijakan, sebagai misal kewajiban penyisihan dana keuantungan BUMN 1%-5% untuk pembinaan usaha kecil dan koperasi (SK Menku), berbagai aturan BI untuk penyaluran kredit bagi usaha kecil dan menengah, serta puluhan program pengutan usaha kecil.

Gambaran perekonomian rakyat dapat ditunjukkan melalui data BPS, 2006, yakni usaha menengah kecil dan mikro mencapai 49,93 juta unit (99,9%) dari total pelaku usaha nasional. Dari jumlah itu, 26,2 juta unit di antaranya bergerak di sektor perdagangan, hotel, dan restoran (58 % atau 13 juta unit usaha). Pada 2006 sektor UMKM menyumbang 53,28 % produk domestik bruto nasional, 15,44% dari total penyerapan tenaga kerja nasional (Kom,pas, Februari 2008). Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, sektor UMKM sebagian besar di wilayah informal mampu menjadi pengaman perekonomian nasional denganm menyediakan lapangan kerja dan output yang besar.

Sampai akhir tahun 2008, menurut Kementerian Negara Kopearsi dan UKM (Juli 2009), sampai akhir 2008 telah terwujud 42.267 unit koperasi berkualitas yang tersebar di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Koperasi sebagai sokoguru adalah menifestasi dari demokrasi ekonomi sebagaimana digariskan dalam Pasal 33 UUD 45. Dalam demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Meskipun kenyataan tersebut masih jauh cari cita-cita, namun semangat untuk menjadikan koperasi sebagai tuan rumah di negeri sendiri tidak akan pernah padam. Masyarakat koperasi bertekad dan berkeinginan untuk eingkatkan peran dan kontribusi terhadap ketahanan perekonomian nasional dalam dinamika peruabahan global, dengan lebih bersungguh-sunguh, kuat, dan profesional di berbagai sektor sehingga mampu memenuhi kepentingan ekonomi anggota dan masyarakat lingkungannya. Prinsip-prinsip koperasi mengharuskan koperasi sebagai pengejawantahan institusional dari gerakan anti kapitalisme, yang merupakan anak kandung globalisasi. Karena itu, membesarkan koperasi berarti membendung efek negatif globalisasi.

Uraian di atas menunjukkan, perekonomian Indonesia harus berdasarkan Pancasila dan UUD 45 Perubahan. Dalam perspektif ekonomi Pancasila, peran perekonomian rakyat sangat strategis. Namun, apakah dalam realitas obyektif kebijakan perekonomian rakyat telah mengambil tempat khususnya dalam era UUD 45 Perubahan? Indikator kemiskinan dan pengangguran, pendapatan rakyat, barang kebutuhan pokok rakyat, dapat menjadi pertimbangan untuk menjawab pertanyaan di atas.

a.Kemiskinan dan Pengangguran

Pada awal menjadi Presiden, SBY menjanjikan penurunan jumlah orang miskin dan pengangguran dalam lima tahun. Mereka menargetkan angka kemiskinan menjadi 8 % dari jumlah penduduk pada 2009. Sedangkan angka pengangguran 5,1 % dari jumlah penduduk. Namun, janji itu telah gagal ditepat. Jika digunakan definisi Bank Dunia (miskin jika berpenghasilan kurang 2 dollar AS/hari), maka jumlah orang miskin mencapai 49,5% dan jumlah penganggur lebih 40 juta orang. Versi BPS, Jumlah penduduk miskin tahun 2009 sekitar tercatat sekitar 14 % dari total penduduk. Pada 2009 Jumlah penggangguran masih tergolong tinggi yakni sekitar 8,14 %.

Jajak Pendapat Litbang Kompas (6-7 Mei 2008) dengan 871 responden berdomisli di 11 kota, menunjukkan bahwa 75 % responden menyatakan kondisi kesejahteraan rakyat saat ini jauh lebih buruk dibanding 10 tahun lalu. Setiap 8 dari 10 responden juga menyatakan, kondisi perekonomian lebih buruk dibanding satu dekade lalu. Sebanyak 50,4 % responden menganggap reformasi telah gagal membawa perubahan positif di bidang perekonomian, dan 16,5 % menilai gagal memperbaiki kondisi sosial dan kesejahteraan

Gambaran kondisi kemiskinan dan pengangguran semakin meningkat kini tak dapat dipungkiri.. Pertumbuhan eonomi meningkat hanya pada sektor yang banyak dinikmati kelas menengah ke atas, sedangkan sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak cenderung menurun. Peningkatan devisa negara dikarenakan masuknya investasi asing ke Indonesia mencapai hingga 70 %. Kebijakan Pemerintah masih belum dapat mengurangi tingkat kemiskinan yang mendera rakyat. Menurut Faisal Basri, Kompas,29 Des. 2007,. selama tahun 2007 ketimpangan ekonomi meningkat dari 0,34 % menjadi 0,37 %. Pertumbuhan orang kaya per tahun mencapai 16 %. Ketimpangan ini menununjukkan melebarnya jurang kemiskinan.

Selanjutnya ECONIT’s Economic Outlook 2008 menunjukkan, selama tiga tahun terakhir, pengeluaran untuk program anti-kemiskinan naik 2,8 kali, tetapi jumlah orang miskin nyaris tidak berkurang (40 juta jiwa). Kontradiski ini menunjukkan dua hal penting: pertama, efektivitas program anti-kemiskinan sangat rendah; kedua, proses pemiskinan struktural akibat kebijakan jauh lebih cepat dan ganas dibandingkan dengan program anti-kemiskinan. Beberapa contoh akibat kebijakan dimaksud sbb: 1. Ketidakmampuan Pemerintah melakukan stabilisasi harga kebutuhan pokok sejak dua tahun terakhir, telah mengakibatkan kemerosotan daya beli dan peningkatan kemiskinan jutaan orang. 2. Kebijakan pro-pasar bebas ugal-ugalan dalam bentuk pembebasan ekspor rotan mentah oleh Menteri Perdagangan telah mengakibatkan ratusan pengusaha kerajinan rontan bangkrut dan mengakibatkan ratusan ribu orang menganggur. 3. Keputusan Menteri Perdagangan yang memberikan izin peningkatan alokasi ekspor pupuk telah mengakibatkan kebaikan harga pupuk 40 % di beberapa daerah dan banyaknya pupuk palsu. Kebijakan ini akan menurunkan produktivitas dan pendapatan petani.

Di lain fihak Laporan Kompas, 11 Februari 2008 menunjukkan, dari jumlah penganggur yang terdata, penganggur dari kalangan terdidik menunjukkan kecenderungan meningkat. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 oleh BPS menunjukkan, angka pengangguran terbuka berkurang menjadi 9,75 % dibandingkan dengan periode Agustus 2006 sebesar 10,28%. Meskipun menurun, menurut Kompas, jumlah penganggur dari kalangan perguruan tinggi justru meningkat. Jika Agustus 2006 penganggur dari kalangan ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 %, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7,02 %. Tren kenaikan ini sudah terlihat sejak tahun 2003. Padahal, tahun-tahun sebelumnya penganggur terdidik sempat berkurang setelah pada tahun 1999 mencapai angka tertinggi, yakni 9,2 %. Sedangkan status pekerjaan lulusan perguruan tinggi dominan buruh, karyawan pegawai (75,29 %).

Data BPS (Mei 2008) menunjukkan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian sebenarnya relatif tidak banyak berubah dalam tiga tahun terakhir. Pada Februari 2006, pertanian menyerap 42,32 juta tenaga kerja, sedangkan Februari 2007 terdapat 42,61 juta orang masih bekerja di sektor pertanian. Pada Februari 2008. sektor pertanian yang lebih banyak bersifat informal menyerap 42,69 juta tenaga kerja dari total penduduk yang bekerja (102,05 juta orang); hanya sekitar 28,52 juta (sekitar 25 %) sebagai buruh/karyawan di sektor formal. Industri adalah penyedia lapangan kerja formal terbesar.

Akhir Mei 2008 terjadi kenaikan harga BBM. Akibatnya, menurut LIPI (Harian TEMPO, 29 Mei 2008), jumlah penduduk miskin 2008 akan bertambah 4,5 juta orang. Total orang miskin diperkirakan mencapai 41,7 juta jiwa atau 21,92 % dari total penduduk, jauh lebih tinggi ketimbang perkiraan pemerintah sebesar 14,8 – 15 %. Jumlah penduduk miskin tahun lalu tercatat 37,2 juta jiwa (sekitar 16,58 % dari total penduduk). Kenaikan harga BBM juga akan menambah terbuka baru, sehingga akhir 2008 jumlahnya akan mencapai 9,7 juta jiwa (8,6%) dari total penduduk. Angka pengangguran ini lebih tinggi dari kondisi Februari 2008, yakni 8,43 %.

Sesungguhnya Indonesia masih belum dapat keluar dari krisis ekonomi yang terjadi sejak 1997 (era Orde Baru). Pengangguran masih relatif besar dan belum dapat dikurangi secara berarti; sekitar 27 %. Bahkan diperkirakan, 40 % penduduk Indonesia masih tergolong miskin (versi Bank Dunia, minimal 2 $ US per hari pendapatan). Kini telah terjadi peningkatan kemiskinan yang drastis. Pengangguran juga semakin meningkat, bahkan kini penangguran dari kalangan terdidik telah meningkat: sekitar 800 ribu orang.

Sementara itu, harga barang kebutuhan pokok terus meningkat ke tahun (2005, 2006, 2007, 2008). Sedangkan daya beli masyarakat masih belum terangkat. Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) dan Friedrich Ebert Stiftung (FES) telah melaksanakan survei, Januari-April 2008, dengan 910 pekerja (responden) dengan tingkat upah di bawah Rp. 1 juta hingga di atas Rp.15 juta per bulan di Jakarta, Medan, Surabaya dan Bandung (Kompas, 2 Mei 2008).

b. Pendapatan Rakyat.

Hasil survei menunjukkan pendapatan pekerja tak mencukupi. Upah minimum pekerja masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi inti. Rata2 pekerja mencukupi kebutuhannya dengan berutang. Di sisi lain, kepercayaan terhadap kepastian kerja relatif rendah. Kondisi upah yang bahkan nyaris tidak mampu menutupi kebutuhan paling pokok: makan. Hal ini tergambar pada indeks daya beli dan indeks persepsi pekerja. Rata2 upah minimum yang ditetapkan di empat kota tsb Rp. 900.000,- per bulan. Angka ini jelas defisit bagi pekerja karena, misalnya, survei indeks daya beli menunjukkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi inti, seseorang pekerja lajang yang mengontrak rumah membutuhkan biaya minimum Rp. 1,82 juta per bulan. Sementara pekerja berkeluarga yang mencicil rumah membutuhkan upah minimum Rp. 3,12 juta sebulan. Indeks daya beli tersebut menunjukkan, upah minimum yang ditetapkan di keempat kota tsb tidak sesuai dengan pemenuhan kebutuhan riil minimum.

Lebih jauh dilaporkan, ekspektasi pekerja untuk memiliki tempat tinggal, memenuhi kebutuhan transportasi, pangan, kesehatan, pendidikan, kepastian kerja, dan jaminan sosial. Indeks terendah terdapat pada ekspektasi terhadap kepastian kerja, disusul pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Kenaikan harga pangan dan biaya transportasi akan sulit ditanggung pekerja karena alokasi terbesar pendapatan pekerja sudah diperuntukkan bagi dua komponen pengeluaran tersebut.

Sebelumnya, hasil Jajak Pendapat Litbank Kompas (20-30 April 2008) dengan 622 responden berdomisili di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Padang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, dan Jayapura (Kompas, 5 Mei 2008) menunjukkan bahwa penetapan upah minimum masih menguntungkan pengusaha (80,3%), pekerja (10,9%), tidak tahu (8,8%). Selanjutnya, Aturan/kebijakan di bidang ketenagakerjaan juga menunjukkan yang sama, yakni mentuntungakn pengusaha (86,7%), pekerja (7,8%) dan tidak tahu (6,1%).

Sementara itu, pengangguran terdidik menunjukkan kecenderungan meningkat. Jika tahun 1998 hanya sekitar 450.000 orang, meningkat pada Agustus 2006 menjadi 673.628 orang, kemudian setengah tahun kemudian naik menjadi 740.206.

Pengangguran menurut jenjang pendidikan tinggi selama kurun 2004-2007 menunjukkan pengangguran sarjana mencapai lebih dari 50 % jika dibandingkan dengan pengangguran lulusan diploma I/II dan akademi /diploma III. Lebih dari 80% sarjana memilih karyawan, dan hanya sekitar 6 % yang bekerja sendiri (Kompas, 11 Nov. 2008).

c. Barang Kebutuhan Pokok Rakyat.

Indikator lain terkait dengan harga barang kebutuhan pokok rakyat. Dari tahun ke tahun, setidaknya sejak tahun 2005 ke 2007, harga 26 barang kebutuhan pokok justru mengalami kenaikan yang tinggi sehingga memperberat beban kehidupan rakyat. Kenaikan harga kebutuhan pokok ini terus berlanjut hingga tahun 2009. Gambaran kenaikan harga kebutuhan pokok dari 2005 s/d 2007 sbb (Sumber: DISPERINDAG DEPARTEMEN PERDAGANGAN RI):

KENAIKAN HARGA KEBUTUHAN POKOK
NO. NAMA BARANG SATUAN RATA2 RATA2 RATA2
2005 2006 2007
1 Beras Kg 3.333 4.375 5.071
2 Gula Pasir Impor Kg 5.714 6.339 6.634
3 Gula pasir Lokal Kg 5.675 6.319 6.636
4 M.Goreng Kemasan 620 ml 5.158 5.299 6.914
5 M.Goreng Curah Kg 5.145 5.335 8.116
6 Daging Sapi Kg 39.988 45.952 50.036
7 Daging Ayam Broiler Kg 14.136 15.183 16.649
8 Daging Ayam kampung Kg 24.760 26.171 30.078
9 Telor Ayam Ras Kg 9.133 9.424 10.623
10 Telor Ayam Kampung Kg 21.118 20.914 24.207
11 Susu kental manis 397 gr 5.951 6.116 6.851
12 Susu Bubuk 400 gr 18.467 18.358 20.186
13 Jagung Pipilan Kg 2.151 2.338 2.864
14 Garam Beryodium (bata) buah 538 550 565
15 Garam yodium (halus) Kg 1.966 2.120 2.243
16 Tepung Terigu Kg 3.970 4.115 4.905
17 Kacang Kedelai Impor Kg 4.593 4.748 5.199
18 Kacang Kedelai Lokal Kg 4.881 5.082 5.406


Selama reformasi berlangsung, perubahan politik ternyata tidak sejalan dengan perubahan ekonomi, terutama kesejahteraan rakyat kebanyakan. Yang terjadi justru semakin miskin dan banyaknya pengangguran dan dominasi asing atas sumberdaya ekonomi Indonesia. Indonesia semakin tidak bermartabat, kepentingan modal/perusahaan asing lebih diutamakan ketimbang kepentingan rakyat. Bisa jadi kondisi ekonomi nasional yang tidak membaik ini akibat perubahan struktur kekuasaan yang tidak mendapatkan tekanan publik baik dari dalam maupun luar struktur kekuasaan.

Pertanyaan berikutnya: apakah Pemilu 2009 akan menghasilkan perubahan ekonomi nasional, terutama tingkat kemiskinan, pengangguran dan hargabarang kebutuhan pokok rakyat? Lima tahun pasca Pemilu 2009 tidak akan terjadi perubahan ekonomi, terutama kesejahteran ekonomi rakyat. Bisa jadi, tingkat kemiskinan semakin menaik dan jumlah pengangguran semakin banyak

Kemiskinan dan pengangguran itu diperkuat lagi dengan utang luar negeri sudah sangat besar hingga nilainya nyaris dengan PDB (2001-2005). Kewajiban pembayaran utang Indonesia dari tahun ke tahun telah menguras devisa. Bunga utang telah terakumulasi hingga menyita 1/3 pembayaran utang sehingga menjadi beban tersendiri. Dalam 20 tahun terakhir, cicilan pokok dan bunga utang telah menyedot hampir ½ pengeluaran rutin dalam anggaran pembangunan. Untuk menutupi defisit APBN Rp. 73,4 triliyun (2007), Pemerintah telah mengeluarkan obligasi yang diperdagangkan. Negara asing telah memiliki obligasi dimaksud dalam setahun meningkat Rp.23,7 triliyun dari Rp. 54,9 triliyun akhir 2006 menjadi 78,6 triliyun pada 2007. Sementara itu, belum juga dilaksanakan secara konsekuen Pasal 31, Ayat 4 UUD hasil Amandemen, yakni sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD untuk pengelolaan pendidikan nasional.

Situasi buruk ini diperkuat lagi dengan kebijakan alokasi anggaran baik APBN maupun APBD, memperlihatkan oligarki elite lebih mementingkan pembiayaan politiknya daripada pemenuhan hak-hak dasar orang miskin sebagaimana dilaporkan Sekretaris Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Arif Nur Alam (Rakyat Merdeka, 19 Sep.2008). Menurut perhitungan FITRA, bantuan seluruh APBD selama 5 tahun anggaran di 33 propinsi dan 434 kabupaten/kota untuk partai politik berdasarkan kursi telah menyedot anggaran sebesar Rp. 306 miliyar per tahun atau Rp. 1,5 triliyun selama 5 tahun. Sedangkan untuk APBN sebesar Rp., 57 miliyar selama 5 tahun. Sehingga total anggaran APBD dan APBN selama 54 tahun yang digrogoti partai politik sekitar Rp. 1,59 tiliyun.

Dana bantuan untuk partai sekitar Rp. 1,59 trilyun pada umumnya dipakai oleh orang partai untuk membangun infrastruktur partai seperti pembangun dan penyewaan gedung atau operasionalisasi kantor partai. Bagi FITRA, seharusnya partai menggunakan dana tersebut untuk memberikan pendidikan politik kepada para konstituen.

Lebih jauh FITRA menunjukkan, separuh APBD 2008 (52%) di daerah habis untuk membiayai belanja pegawai dan 3 % -nya untuk belanja bantuan sosial yang nota bene belanja politik. Sementara belanja modal yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 22 %. Tidak berbeda dengan potret APBN, 13 % dialokasikan untuk pegawai, sementara belanja modal hanya 8 %.

Alokasi anggaran yang tidak pro rakyat tersebut mengakibatkan hak dasar rakyat memperoleh pendidikan dan kesehatan masih terabaikan. Berdasarkan temuan FITRA pada APBD 2008, rata2 belanja langsung pendidikan baru mencapai 7 % (termauk DAK pendidikan). Sementara belanja langsung kesehatan mencapai 9 % (termasuk DAK).


IV. PEREKONOMIAN NEOLIBERALISME

Menurut ECONIT, Econimic Outlook 2010, pemulihan ekonomi Indonesia telah menganut Washington Censencus. Hal ini menghancurkan tahapan industrialisasi tengah berjalan selama ini. Privatisasi, liberalisasi, stabilitas makro, dll menggeser arah kebijakan ekonomi Indonesia dari ekonomi yang menuju kemandirian menuju ekonomi liberal yang penuh ketergantungan. Gabungan kebijakan monetaris yang menyelessaikan berbagai masalah perekonomian dengan pendekatan moneter dan kebijakan neoliberal telah membawa industrialisasi di Indonesia tidak hanya mendeg tetapi berantakan. Sebagai contoh, asset produktif negara justru dijual lewat privatisasi yang membabi buta. Sektor energi adalah sektor strategis yang semestinya menjadi sumber daya saing Indonesia, namun dipriotitaskan untuk diprivatisasi. Biaya transportasi paling ekonomis adalah kereta api, tetapi Indonesia justru memprivatisasi BUMN yang terkait dengan transportasi kereta api dalam waktu bersamaan yakni Karakatau Steel, PT Inka dan PT. KAI

Fenomena ini diwarnai liberalisasi ekonomi atau oleh pengkritik disebut sebagai neoliberalisme, telah dilakukan sejak 25 tahun terakhir, sekalipun belum dilakukan amandemen UUD 45. Liberalisasi di Indonesia bukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau kekuatan ekonomi nasional, tetapi sebagai langkah kesepakatan internasional yang terlepas dari kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat luas. Istilah neoliberalisme tetap dipakai untuk menunjukkan kinerja ekonomi pasar bebas dalam coraknya yang lebih ektrim. Para ekonom pasar liberal ini justru diyakini memiliki kemampuan mengurus dirinya sendiri tanpa adanya intervenmsi dari negara dalam mengurusi perekonomian. Neoliberal tidak lebih dari kumpulan pemikiran anti intervensi pemerintah dalam perekonomian. Semua kontrol ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar (fihak swasta), termasuk keluar masuk devisa. Negara tidak perlu membatasi, semua berdasarkan hukum permintaan dan penawaran.

Kaum pengeritik menuduh perekonomian neoliberal selama ini sebagai sistem yang tidak pro job, pro rakyat, tidak pro kemiskinan, tetapi lebih condong kepada pengurus orang kaya, kaum kapitalis, dan para pelaku rente ekonomi ketimbang memajukan kesejahteraan masyarakat.

a. Pasar Domestik Dikuasai Asing

Kepemilikan atau dominasi pemodal asing atas industri nasional semakin kuat, yang dapat menyebabkan perekonomian nasional pincang dan pertumbuhan ekonomi stagnan atau bahkan terpuruk dan pada gilirannya akan membawa dampak negatif/masalah terhadap kehidupan sosial. Sektor2 yang didominasi asing terutama adalah retail, terlihat dari menjamurnya pasar swalayan skala besar dan pusat belanja baru milik investor asing di berbagai kota. Selain itu, industri rokok dan batik yang dulu dikuasai industri lokal, kini dikuasai asing.

Dominasi asing itu terjadi karena antara lain regulasi pemerintah yang membuka peluang terlalu besar dan kurang selektif dalam memberikan izin investasi. Investor asing lebih memilih investasi yang padat modal dan teknologi, bukan padat karya. Akibatnya, investasi itu tidak membuka lapangan kerja yang luas bagi masyarakat.

Keberadaan pasar tradisional beberapa tahun belakangan ini semakin tergilas oleh maraknya hipermarket dan minimarket yang tumbuh subur. Kondisi pasar tradisional lagi sekarat, harus berhadapan dengan pasar moderen,hipermarket, hypermart, dan sejenisnya demikian perkasa, tidak hanya dalam modal, teknologi, sistem dan jaringan, tetapi juga lobi2 ke pembuat keputusan. Di Jakarta, misalnya, sekitar 80% pedagang tradisional saat ini tidak mampu tumbuh, bahkan tidak untung, karena kalah bersaing dengan pasar moderen. Bahkan, beberapa pasar regional, kota dan wilayah saat ini dikuasai produk impor.

Data konsentrasi pasar retail di Indonesia masih langka. Namun, karena retail transnasional seperti Carrefour dan Giant (Hongkong) sudah operasi lama di negeri ini, mereka menjadi jawarah pasar. Indikatornya, banyaknya produk impor yang dijual di retail moderen. Menurut Bank Dunia, tidak ada supermarket di manbapun di dunia begitu bergantung pada produk impor seperti di Indonesia. Sekitar 60% sayur sayuran dan buah-buahan yang dijual di jaringan supermarket di Indonesia berasal dari impor (Natawidjaja, 2006). Angka ini 2-3 kali lebih besar dari produk impor di supermarket di Thailand, Meksiko, Cina dan Guatemala.

Ironi tergambar nyata ketika dengan bangga Pemerintah menunjukkan angka ekspor komoditas primer yang melimpah di negeri ini, sementara industri pengolahan yang bertahan justru terhantam kelangkaan bahan baku atau menjerit karena ketergantungan pada bahan baku impor. Sesungguhnya Indonesia mengalami ketergantungan pada impor semakin meningkat. Pertumbuhan impor melaju lebih cepat dari pertumbuhan. Pada Januari-Oktober 2007 nilai impor meningkat 19, 31% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Khusus untuk komoditas nonmigas, pertumbuhan impor melaju hingga 26, 12%. Sementara total nilai ekspor tumbuh 13,36 % ( 17,31%) khusus untuk ekspor nonmigas. Ketergantungan industri pengolahan pada bahan baku impor demikian besar. Industri kramik, misalnya mengimpor tanah lihat hingga bahan pelapis. Lebih dari 90 % kapas untuk industri tekstil juga diimpor. Industri sepatu yang diandalkan untuk menyerap tenaga kerja pun membutuhkan kulit impor.

Ketergantungan impor juga terjadi pada besi, baja, plastik, produk turunan minyak bumi, dan permesinan. Industri makanan dan minuman olahan juga masih bergantung pada impor tepung gandum, susu, produk daging, kedelai, hingga gula. Untuk komoditas primer yang melimpah di negeri ini, seperti gas, kayu dan rotan sekalipun, industri pengolahannya masih meneriakkan kelangkaan bahan baku. Sebaliknya, industri kayu dan rotan di Cina dan Vietnam yang tidak memiliki sumber bahan baku justru maju pesat.

Daya saing yang rendah dari produk manufaktur nasional akan mendorong percepatan deindustrialisasi dan banjirnya produk impor yang lebih kompetitif. Produk Indonesia tidak hanya kalah bersaing di pasar ekspor tetapi juga di pasar domestik. Tidak hanya untuk produk manufaktur dengan teknologi yang tidak lagi kompetitif tetapi juga produk dengan teknologi rendah. Tidak heran bila bukan hanya produk elektronik sepertti handpone dll yang membanjiri pasar domestik tetapi juga produk seperti bawang putih, bawang merah, apel, jeruk, dll., selama ini menjadi pasar bagi usaha mikro dan kecil.

b. Kepemilikan Perbankan di tangan Asing

Dalam era UUD 45 Perubahan, perbankan nasional swasta telah dihegemoni oleh pemodal/investor asing. Pada tahun 2007 saja sudah sekitar 65% kepemilikan perbankan swasta nasional di tangan asing. Porsi kepemilikan asing pada industri perbankan nasional (ditambah kepemilikan asing pada Bank Asing dan campuran) menjadi 43,07 %, dan terus meniingkat dari tahun ke tahun. Adapun kepemilikan Pemerintah tinggal 35 %. Dominasi asing ini bisa membawa resiko terhadap perekonomian, misalnya pelarian dana ke luar negeri.


DAFTAR BANK YANG DIMILIKI FIHAK ASING*
NO. KELOMPOK BANK ASING NO. KELOMPOK BANK CAMPURAN
1 ABN Amro Bank 1 ANZ Panin Bank
2 American Express Bank Ltd. 2 Bank BNP Paribas Indonesia
3 Bank of America NA 3 Bank Capital Indonesia
4 Bank of China Limited 4 Bank China Trust Indonesia
5 The Bank of Tokyo Mitsubishi UFJ Ltd. 5 Bank Commonwealth
6 Citibank NA 6 Bank DBS Indonesia
7 Deutsche Bank AG 7 Bank Finconesia
8 The Hongkong & Shanghai BC 8 Bank KEB Indonesia
9 JP Morgan Chase Bank MA 9 Bank Maybank Indocorp
10 Standard Chartered BAnk 10 Bank Mizuho Indonesia
11 The Bangkok Bank Company Ltd. 11 Bank Multicir Tbk
12 BCA 12 Bank OCBC Indonesia
13 Danamon 13 Bank Rabobank Int.Ind.
14 BII 14 Bank Resona Perdana
15 Niaga 15 Bank Sumitomo Mitsui Ind.
16 Lippo 16 Bank UOB Indonesia
17 NISP 17 Bank Woori Indonesia
18 Permata 18
*Belum termnasuk kelompok Bank jenis lainnya.
Sumber: Indonesian Banking Directori 2007-2008


c. Struktur Usaha: Lebih Memihak Korporasi

Kucuran kredit dalam era UUD 45 Perubahan lebih memihak kepada usaha korporasi ketimbang usaha mikro. Tabel di bawah ini menunjukkan, struktur usaha berdasarkan kuucuran kredit di Indonesia (Data INDEF, Agustus 2006) yang mengutamakan korporasi ( Rp. 630 triliun), UKM (Rp. 120 triliun), dan mikro (hanya Rp. 3 triliyun). Padahal daya serap (orang) korporasi hanya 280 ribu , UKM 12 juta, dan mikro 120 juta orang.


STRUKTUR USAHA DI INDONESIA
URAIAN KORPORASI UKM MIKRO
Jumlah (Unit) 2.234 61,89% 42,3 Juta
Persentase 0.001% 0,01 % 99,9%
Kucuran Kredit Rp. 630 triliun Rp. 120 triliun Rp. 3 triliun
Daya Serap (Orang) 280 ribu 12 Juta 120 juta
Sumbangan ke PDB 46% 54 %
NPL 8% 1,2 %
Suku Bunga 13% - 16 % 17%-19%
Daya Serap Kredit 100 % 30% 1%

Sumber: INDEF Agustus 2006.

Bank semakin jauh dari kredit UMKM yang sifatnya produktif. Kredit UMKM terdiri dari kredit menengah (pinjaman Rp. 500 juta-Rp. 5 miliar), kredit kecil (Rp. 50 juta-Rp. 500 juta), dan kredit mikro (di bawah Rp. 50 juta). Data BI (Bank Indonesia) per akhir Desember 2007 menunjukkan, posisi kredit UMKM secara nasional mencapai Rp. 502,79 triliyun (50,2 %) terhadap total kredit perbankan nasional sebesar Rp. 1.000,02 triliyun. Porsi kredit UMKM menurun, sementara perbankan agresif menyalurkan kredit untuk korporasi. Dari 45 juta pelaku UMKM di negeri ini, baru sekitar 15 juta yang mendapatkan pembiyaan dari Bank Dalam setahun terakhir, kredit korporasi tumbuh lebih cepat mencapai 30,2 % dibandingkan dengan kredit UMKM yang meningkat 22,5%.(Kompas, 25-02-08).

d. Utang Luar Negeri

Utang luar negeri Indonesia sudah sangat besar hingga nilainya nyaris dengan PDB (2001-2005). Kewajiban pembayaran utang dari tahun ke tahun telah menguras devisa. Bunga pinjaman telah terakumulasi hingga menyita 1/3 pembayaran utang sehingga menjadi beban tersendiri. Dalam 20 tahun terakhir CICILAN POKOK dan BUNGA UTANG telah menyedot hampir 1/2 pengeluaran rutin dalam anggaran pembangunan. Namun, Pemerintah telah gagal mengurangi utang luar negeri, bahkan membuat semakin banyak. Dalam menutupi defisit APBN Rp. 73,4 triliyun ( 2007), Pemerintah mengeluarkan obligasi yang diperdagangkan.

Negara asing telah memiliki obligasi dimaksud dalam setahun meningkat Rp. 23,7 triliyun, dari Rp. 54,9 triliyun pada akhir 2006 menjadi 78,6 triliyun pada Des. 2007 Kepemilikan SUN (surat utang negara) oleh asing hingga akhir Des. 2007 mencapai 16,36 % dari total SUN yang diperdagangkan (Rp. 477,75 triliyun). Sebelumnya, Nov. 2007, SUN yang dimiliki asing Rp. 76,68 triliyun, atau 16, 15 %, dari total SUN yang diperdagangkan.

Bahkan tahun 2009 ini, Pemerintah menunjukkan peningkatan berarti. Utang Pemerintah sampai Januari 2009 meningkat 31 % dalam 5 tahun terakhir. Posisi Utang pada Desember 2003 sebesar Rp. 1.257 triliyun. Adapun posisi Utang Januari 2009 sebesar Rp. 1.667 triliyun atau naik Rp. 392 triliyun. Total utang Pemerintah hingga 29 Mei 2009 mencapai Rp. 1.700 triliyun, yakni pinjaman luar negeri Rp. 732 triliyun dan SBN (Surat Berharga Negara) Rp. 968 triliyun. Jumlah ini meningkat ketimbang 2008 yang hanya Rp. 1.636 triliyun dan SBN Rp. 906 truliyun (Kompas, 15 Juni 2009). Tahun 2004 Utang perkapita Indonesia Rp. 5,8 juta per kepala, pada Februari 2009 utang per kapita menjadi Rp. 7,7 juta per kepala. Pemerintah semakin bersikap anti subsidi. Pada 2004 jumlah subsidi masih sebesar 6,3 % dari PDB, namun sampai 2009 jumlah subsidi kepentingan rakyat tinggal 0,3 % dari PDB.

e. Indonesia Sudah Menjadi Pengimpor Minyak

Pemerintrah gagal mempertahankan Indonesia sebagai pengekspor (Mentah dan Produk) minyak. Kini Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak melain sudah menjadi negara pengimpor minyak, mudah terkena dampak negatif kenaikan harga minyak dunia.

TRADE BALANCE OF OIL AND OIL PRODUCTS (MILIYAR US $)

2002 2003 2004 2005 2006 Jan-Jun 2006 Jan-Jun 2007
Crude Oil
Exports 5,228 5,621 6,241 8,146 8,169 4,199 4,069
Imports 3,217 3,928 5,831 6,797 7,853 3,954 3,833
(X - M) 2,011 1,694 410 1,349 316 245 236
Oil Products
Exports 1,308 1,548 1,654 1,932 2,837 1,017 977
Imports 3,309 3,583 5,892 10,646 11,093 5,069 5,470
(X - M) -2,001 -2,035 -4,238 -8,714 -8,256 -4,052 -4,493
Total
Exports 6,535 7,169 7,896 10,078 11,006 5,216 5,046
Imports 6,526 7,510 11,724 17,443 18,945 9,023 9,303
(X - M) 10 -342 -3,828 -7,365 -7,939 -3,807 -4,257


Sistem Kontrak Karya dengan Korporasi Asing tidak adil dan merugikan harta negara. 89 % produksi ( eksplorasi dan eksploitasi) Migas dikuasai asing, sisanya hanya 11 % dikuasai kontraktor nasional , termasuk Pertamina. Penguasaan investor asing akan sumber daya alam takterbarukan Indonesia, semakin banyak seiring dibukanya keran liberalisasi. Diperkirakan keterpurukan Indonesia akan migas bakal berlangsung lama.

Data Petro Energy Semester Pertama 2007, perusahaan migas asal AS, Chevron Pasific Indonesia (CPI) menempati peringkat pertama dengan total pproduksi mencapai 412,10 juta barel minyak per hari (million barrel oil perday/mbopd). Selain Chevron, enam perusahaan asing menempati peringkat atas, yakni Conoco Philips (AS), Total Indonesie (Perancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Kodeco) dari Korea Selatan dan Chevron Indonesia Company. Sisanya, tiga poerusahaan lokal, yakni Pertamina Eksploirasi dan Produksi (EP), Medco EP Indonesia, dan Badan Operasi Pusako-Pertamina.

Hingga akhir 2008, sebanyak 89 % sumber minyak di Indonesia telah dikuasai asing. Sekitar 60 Kontraktor Migas yang menguasai ladang migas di Indonesia. Ke-60 kontraktor tersebut dikategorikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, super major, terdiri dari Exxon Mobile, Total Fina ELF, BP Amoco Arco, dan Texaco yang menguasai cadangan minyak 70 % dan gas 80% Indonesia. Kedua, major, terdiri dari Conooco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex dan Japex yang menguasai cadngan minyak 18 % dan gas 15 %. Ketiga, perusahan independen, menguasai cadngan minyak 12 % dan gas 5%.

Dengan dikuasainya sumber minyak oleh asing ini, membuktikan Pemerintah masih tunduk terhadap pemilik modal asing. Persoalannya, Pemerintah Indonesia masih menganut paham ekonomi neo liberal. Sebanyak 329 lebih blok migas di tangan asing. Jika diletakkan titik-titik pada peta Indonesia, maka Indonesia sudah digadaikan. Indonesia tidak berkedaulatan lkagi did alam sektor migas. Telah terjadi kolonialisasi di dalam sektor energi di Indonesia, dan Pemerintah Indonesia sungguh2 dibawah kontrol korporasi melalui ADB, World Bank, maupun USAID.

Pemerintah tidak punya kedaulatan dalam rangka pengelolan perusahaan-perusahaan asing itu. Ladang-ladang minyak itu harus segera direvitalisasi dengan menggerakkan, akses dan di bawah kontrol rakyat. Menasionalisasikan tapi yang mengawasi pemerintah sama saja seperti BUMN, yang disebut komprador.

Produksi migas lebih ditujukan untuk ekspor. Lebih 58% produksi gas diekspor, baik dalam bentuk LNG maupun pipa. Kelangkaan dan defisit gas di dalam negeri mencapai 2.036,64 MMSCFD (Berdasarkan neraca gas Ditjen Migas 2007). Lebih dari 40 % produksi minyak mentah masih diekspor, padahal kebutuhan dalam negeri yang mencapai 1,4 juta barel per hari sudah jauh melebihi kemampuan produksi yang hanya 1 juta per hari dibandingkan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Masih terpeliharanya perburuan rente ekonomi yang merugikan kepentingan migas nasional. Indonesia mengekspor minyak mentah tetapi nengimpornya kembali dengan harga 0,38 – 3,95 USD/barel lebih mahal. Impor minyak mentah sebenarnya tak perlu dilakukan seandainya ekspor tak dilakukan. Produksi minyak mentah KPS dapat dibeli pemerintah dan dapat diolah di kilang dalam negeri. Biaya pengadaan BBM dalam negeri menjadi mahal. Negara dirugikan Rp. 3-4 triliun per tahun.

Sub-sektor MINERBA, dominasi perusahaan asing dalam eksplorasi dan eksploitasi . Produksi Minerba lebih ditujukan untuk ekspor. Penerimaan negara dari sub-sektor Minerba relatif kecil (tidak signifikan). Rata-rata kurang 3% dari total penerimaan negara (Data: DESDM). Lebih kecil dibandingkan penerimaan dari devisa (remittance) TKI, mencapai Rp. 30 triliun pada 2006 (Data Depnakertrans). Divisa dari minerba hanya Rp. 20,9 triliun (Data DESDM).

PT Freeport Indonesia dan Newmont Nusa Tenggara menguasai 100% produksi konsentrat tembaga di Indonesia. Dua perusahaan ini menguasai lebih 86% produksi emas dan perak. Royalti emas dan perak (utk Freeport) hanya 1% dari gross revenue, sedang royalti tembaga (untuk Freeport) hanya 3,5 % (Data PT FI). Lebih 67% produksi batubara dihasilkan oleh kontraktor batubara asing (Arutmin,Adaro, Kaltim Prima Coal, Kideco). Lebih 95% produksi beragam mineral diekspor. Lebih 95% produksi beragam mineral diekspor. Lebih 70% produksi batubara diekspor juga.

f. Minyak Sawit Mentah (CPO): Pelayan Luar Negeri

Pemerintah lebih melayani permintaan luar negeri minyak sawit mentah (CPO) ketimbang kepentingan dalam negeri. Demi melayani permintaan CPO Eropa yang terus naik, tahun lalu, 53 % CPO diekspor ke Eropa. Akibatnya, minyak goreng langka dan harga di dalam negeri melonjak. Potret ini wujud ketidakadilan di tingkat negara hingga petani.

Kasus CPO ini dapat dijadikan indicator bahwa ekspor bahan baku dan bahan mentah sudah terlihat dengan porsi ekspor Indonesia yang didominasi oleh ekspor komoditas primer. Dengan menurunnya daya saing produk manufaktur, maka produk ekspor Indonesia yang memiliki daya saing tinggi hanyalah sumber daya alam. Bila terus berlanjut, maka akhirnya akan mendorong Indonesia kembali focus spesialis eksportir berbagai sumber daya alam sebagai bahan baku untuk industri Negara ini.

g. Perusahaan Pelayaran Dominan Milik Asing

Seluruh Pelabuhan dan kapal Indonesia dinilai tidak aman sehingga terancam DIBOIKOT ASING (Peringatan US Coast Guard). Hal ini disebabkan adanya penilaian bahwa masih banyak perusahaan pelayaran dan pelabuhan di Indonesia yang belum melakukan kode keamanan maritim ISPS CODE (harus diimplementasikan sejak 1 Juli 2004). Disamping itu, tidak akan ada kapal asing memasuki pelabuhan di Indonesia. Dalam perhitungan volumen lalu lintas barang, Resiko ini jadi hambatan bagi ekspor dan impor sebesar 400 juta ton/ thn.

Kepemilikan saham/modal, perusahaan pelayaran di Indonesia dominan oleh Pihak Asing. Kepemilikan dan/atau penguasaan kapal dominan oleh korporasi asing (Perusahaan Pelayaran Asing). Sejak dikeluarkannya Inpres No. 5 Thn 2005, terjadi peningkatan jumlah kapal nasional. Data per 31 Desember 2005: jumlah armada laut naional naik dari 6.041 kapal menjadi 6.689 kapal (naik 10,7 %). Inpres ini juga menegaskan setiap barang dibiayai APBN atau barang BUMN wajib menggunakan kapal berbendera Indonesia. Namun, kini jasa angkutan laut antar pulau (lokal dan interinsuler) maupun tujuan mancanegara masih didominasi kapal bendera asing yang dioperasikan perusahaan pelayaran mancanegara.

Pelayaran nasional tidak berdaya dalam peta kekuatan transportasi laut yang didominasi oleh korporasi asing (pelayaran asing) baik dalam rute luar negeri maupun dalam negeri. Thn 2005, pangsa kapal nasional untuk angkutan dalam negeri bagi 13 komoditi utama hanya 55,47 % dari jumlah muatan 206, 335 juta ton. Sementara untuk muatan angkutan laut tujuan luar negeri 94,95% dikuasai kapal asing. Sisanya, 5,05 % ditangani kapal bendera nasional dari total muatan tujuan luar negeri sebesar 492,97 juta ton.


V. NEOLIBERALISME ATAU PEREKONOMIAN RAKYAT ?

Dalam era UUD 45 Perubahan telah banyak terjadi perubahan politik dan ekonomi, menuju masyarakat demokratis. Namun, dalam perekonomian, perubahan terjadi terutama sejak 25 tahun adalah liberalisasi ekonomi, acapkali disebut oleh pengkritik sebagai neoliberalisme.

Pertanyaan dalam era UUD 45 Perubahan: apakah perekonomian Indonesia lebih mengutamakan kepentingan nasional dan rakyat kebanyakan (pro rakyat) sunguh-sungguh ditegakkan? Atau, sebaliknya, perekonomian Indonesia telah mengalami perubahan sesuai dengan perspektif neoliberalisme yang mengutamakan kepentingan korporasi atau negara asing?

Dengan perkataan lain, satu pertanyaan utama perlu mendapat jawaban lebih seksama: “apakah perekonomian Indonesia dalam era UUD 45 Perubahan berdasarkan paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme, tidak lagi berdasarkan demokrasi ekonomi di mana koperasi sebagai sokoguru?” Diharapkan di dalam Sesi Kedua Seminar Nasional ini, pertanyaan utama di atas mendapat jawaban lebih seksama dari para peserta Seminar.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda