Selasa, 01 Mei 2018

KINERJA JOKOWI URUS SOSIAL


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)

Presiden Jokowi harus menyelenggarakan urusan pemerintahan nasional. Salah satu urusan pemerintahan dimaksud adalah  bidang sosial. Presiden dibantu seorang Menteri yg memimpin Kementerian Sosial. Pada level Kementerian Sosial, bidang sosial ini mencakup: 1.  Rehabilitasi sosial; 2.  jaminan sosial; 3.  Pemberdayaan sosial; 4.  Perlindungan sosial; dan,5.  Penanganan fakir miskin.

Studi evaluasi kritis ini ditujukan utk menilai kinerja Presiden Jokowi urus sosial, bukan kinerja Menteri Sosial sbg Pembantu Presiden.  Pertanyaan pokok: apa kondisi kinerja Jokowi urus sosial? Berhasil atau gagalkah Jokowi mencapai target rencana kegiatan bidang sosial?

Utk menjawab pertanyaan di atas, salah satu standar kriteria evaluasi kritis ini dapat menggunakan janji2 lisan  Jokowi dlm kampanye Pilpres 2014. Diantaranya, Jokowi berjanji  akan:

1. Meningkatkan anggaran penanggulangan kemiskinan termasuk memberi subsidi Rp1 juta per bulan untuk keluarga pra sejahtera sepanjang pertumbuhan ekonomi di atas 7%.
2.Menyelesaikan masalah korban lumpur Lapindo.
3.Menurunkan pengangguran dengan menciptakan 10 juta lapangan kerja baru selama lima tahun.
4.  Mengurangi kesenjangan sosial,  diukur dengan “gini ratio” 0,30. Angka ini ternyata dirubah ke dalam RPJMN 2015-2019 menjadi 0,36. Jokowi telah ingkar janji sejak dari perencanaan pembangunan.
5.Meningkatkan kualitas dan kuantitas program raskin.
6. Alokasi Rp 1,4 miliar untuk setiap desa.

Sebagaimana janji2 lisan Jokowi di bidang2 pemerintahan lain, pd bidang sosial ini juga Jokowi tidak merealisasikan atau memenuhi janji2 tsb alias ingkar janji. Utk standar kriteria janji2 lisan Kampanye Pilpres 2014 ini, kondisi kinerja Jokowi sangat buruk.

Janji2 tertulis kampanye Pilpres 2014 Jokowi tertuang di dlm dokumen NAWA CITA. Janji2 tertulis Jokowi ini bisa dijadikan standar kriteria  penilaian kritis  kondisi kinerja Jokowi urus sosial. Beberapa janji tertulis Jokowi, yakni:

1. Peningkatan akses penduduk miskin pd pendidikan formal dan pelatihan keterampilan gratis melalui upaya penurunan tingkat kemiskinan menjadi 5-6 %.
2.Implementasi sistem jaminan  sosial secara merata di seluruh Indonesia.
3. Ketersediaan air bersih.
4. Menjaga daya beli masyarakat miskin dan menjamin stabilitas harga kebutuhan pokok.
Janji2 tertulis di dlm NAWA CITA ini hanya tercatat. Sudah lebih 3,5 tahun,  belum menjadi realitas obyektif. Kinerja buruk dan ingkar janji.

Mengacu  RPJMN 2015-2019, sasaran bidang kesejahteraan masyarakat yakni:
1. Tersedianya layanan publik serta lingkungan dan sistem sosial inklusif bagi penyandang disabilitas  dan lanjut usia.
2. Meningkatnya jumlah kabupaten/kota memiliki regulasi utk pengembangan akses lingkungan inklusif bagi penyandang disabilitas dan lanjut usia.
3. Terbangunnya sistem sosial dan tata kelola layanan dan rehabilitasi sosial terintegrasi dan partisipatif melibatkan pemerintah daerah, masyarakat dan swasta.

Apakah sasaran ini tercapai atau tidak? Kita masih menunggu data, fakta dan angka resmi Pemerintah, sudah seberapa jauh realisasi dari tiga sasaran tsb.

Standar kriteria evaluasi kinerja Jokowi urus sosial dapat juga bersumber Renstra Kementerian Sosial 2015-2019. Sasaran strategis Kementerian ini hanya dua butir, yakni:
1. Meningkatkan kemampuan keluarga miskin dan rentan serta PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial) lain dlm memenuhi kebutuhan dasar.
2. Pengembangan kapasitas SDM dan kelembagaan  kesejahteraan sosial.

Data, fakta dan angka realisasi sasaran ini masih ditunggu. Bahkan berapa sesungguhnya jumlah fakir miskin di Indonesia belum ada jawaban dari Pemerintah. Bisa jadi, membuat rencana kegiatan penanganan fakir miskin selama ini tanpa pertimbangan data real  jumlah fakir miskin.

Di publik ada sejumlah penilaian masalah sosial belum terpecahkan Rezim Jokowi. Beberapa diantaranya:

Pertama, Sebuah survei opini publik menemukan (Nopember 2017)  lima masalah sosial era Jokowi kini. Yakni  harga bahan pokok  tinggi, jumlah pengangguran, kemiskinan, biaya pendidikan dasar, dan biaya berobat/kesehatan. Bagi publik, 5 hal ini masih menjadi masalah. Rezim Jokowi dinilai belum mampu mengatasinya.

Kedua, jpnn.com, Bogor, 9 September 2017,  membeberkan, Mantan Presiden RI SBY mengungkap lima masalah serius di era pemerintahan Jokowi-JK dirasakan rakyat.
Tiga masalah diantaranya:
1.Sebagian rakyat masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Padahal orang  menganggur pasti tidak punya penghasilan dan akhir hidupnya susah.
2.Sebagian rakyat tidak cukup memiliki daya beli untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Meskipun harga barang dan jasa tidak terus meningkat, tapi kalau tidak punya uang,  tidak ada bisa dibeli.
3. Rakyat bisa menilai kesejahteraan dan kemakmuran makin tidak merata. Yang kaya dianggap menjadi semakin kaya, sedangkan yang miskin jalan di tempat.

Ketiga, VIVA 30 April 2018 membeberkan, Dana Desa mandek, tercatat baru dicairkan Rp134,65 miliar atau hanya 2,9 % dari total tersimpan di Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) sebesar Rp 5,2 triliun pd Maret  lalu.

Keempat,  revolusi mental Jokowi  masih sebatas jargon belaka. Konsep revolusi mental ini  masih abstrak. Gagasan revolusi mental hanya berakhir sebagai proyek mengeruk uang negara melalui iklan. Sesungguhnya  paling mendesak dibenah,  mental pemegang kekuasaan  negara, terutama Jokowi, JK dan para Menteri. Mereka harus tidak lagi rendah diri (inferior) di hadapan bangsa asing dan ketergantungan terhadap modal asing. Harus terbebas dari mentalitas tidak percaya pada kekuatan dan kemampuan bangsa sendiri.

Kelima, di era pemerintahan Jokowi terjadi rakyat di Papua kehilangan hak dasar menerima pelayanan kesehatan. Ada  kematian massal anak  karena kekurangan gizi.Sangat tragis! Selama era reformasi, baru terjadi di era Jokowi ini.  Padahal Jokowi gembor2  membangun dari pinggiran, dlm hal ini termasuk Papua.

Kondisi kemiskinan di era Jokowi ternyata tidak ada perubahan lebih baik. BPS merilis angka kemiskinan bertambah., mencapai 27,7 juta orang pada Maret 2017.Ada penambahan   sekitar 6.900 orang dibandingkan jumlah September 2016. Secara persentase, jumlah angka kemiskinan  menurun dari 10,70 % menjadi 10,64 %  karena  kenaikan total jumlah penduduk Indonesia. Di Perkotaan pd September 2016 - Maret 2017, jumlah penduduk miskin naik sebanyak 188.190 orang dari 10,49 juta orang  September 2016 menjadi 10,67 juta orang Maret 2017.

Juga ketimpangan sosial tidak ada perubahan berarti. Kinerja Jokowi buruk dan gagal mencapai target gini rasio dijanjikan 0,30 saat kampanye Pilpres 2014  dan 0,36 di dlm RPJMN 2015-2019. Setelah hampir 4 tahun berkuasa,  Jokowi hanya mampu menciptakan gini rasio masih jauh dari target,  sekitar  0,40 rata2.Versi BPS, September 2017, Gini Ratio sebesar 0,391.

Tidaklah berlebihan,  jika Tim Studi NSEAS menilai setelah 3,5 tahun kondisi kinerja Jokowi urus sosial tergolong buruk. Sejumlah parameter target capaian gagal diraih Rezim Jokowi.

Mengapa Jokowi gagal meraih  target? Pertanyaan ini harus terlebih dahulu terjawab oleh Rezim Jokowi utk dapatkan solusi. Jika belum, mustahil kinerja Jokowi bisa bagus tahun 2019.

Sumber data baru:

SIARAN PERS
Jakarta, 26 Juni 2018

BOM WAKTU KESENJANGAN SOSIAL:
Struktur Gaji Pejabat Harus di Koreksi



Untuk pertama kalinya, Presiden Joko Widodo memberikan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 untuk para pensiunan. Sebelumnya, THR sudah diberikan sejak tahun 2016 kepada para aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri sipil (PNS). Total yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembayaran gaji ke-13 dan THR adalah Rp. 35,76 triliun atau 69% lebih banyak dari jumlah tahun lalu.

Kementerian Keuangan mengklaim, pembayaran gaji ke-13 dan THR tahun 2018 diharapkan bisa menyumbang sektor riil dan ekonomi Indonesia. Harapannya, pemberian THR yang berbarengan dengan libur panjang bisa mendongkrak belanja masyarakat dan mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi. 

Apakah dengan kebijakan populis ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi? Artinya, masyarakat semakin sejahtera dari efek peningkatan konsumsi yang menggerakan pertumbuhan ekonomi. Belum tentu. Faktanya, pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding lurus dengan penurunan tingkat kesenjangan sosial di masyarakat. 

Memang, dalam beberapa tahun terjadi pertumbuhan ekonomi meski dalam kondisi stagnan. Tapi selama ini yang banyak menikmati hanya sejumlah kecil, yakni kelompok elite masyarakat. Kue pertumbuhan ekonomi tidak bisa dinikmati secara merata. Berdasarkan studi World Bank, selama satu dekade s/d tahun 2015 yang menikmati pertumbuhan ekonomi hanya 20% masyarakat dan meninggalkan 80% yang lain. 

Mayoritas rakyat tidak bisa merasakan pertumbuhan ekonomi tersebut, sehinggga taraf hidupnya semakin menurun bukannya makmur, yang ada justru banyak mendapakan tekanan beban hidup dari berbagai sektor. Penikmat pertumbuhan ekonomi ini hanya kelompok kecil saja akibat struktur sosial di Indonesia yang sejak zaman kolonial hingga pasca reformasi tidak berubah signifikan. Bahkah melahirkan raja-raja kecil paska berlakuknya otonomi daerah karena mental birokrat yang masih feodal dan koruptif. Nah, masih kentalnya sistem feodalistik dalam tatanan politik dan ekonomi negara ini menjadi pangkal masalahnya. 

Dominan dalam kelompok kecil ini di antaranya  adalah pejabat negara, kalangan militer, politikus, dan tentunya para konglomerat. Kelompok ini satu sama lain saling menyokong dan mengamankan kepentingannya masing-masing. Tak ayal, meski reformasi sudah bergulir, pertumbuhan ekonomi lagi-lagi hanya memberikan manfaat kepada kelompok kecil tersebut, yang secara bergantian leluasa mengakses sumber daya ekonomi. Sementara kelas menengah-bawah dan kalangan UMKM sulit naik kelas karena keterbatasan terhadap akses sumber daya ekonomi akibat dikuasai segelintir elite dan kroni-kroninya.

Mengutip laporan dari majalah internasional The Economist, Farouk menyebutkan bahwa Indonesia berada di peringkat tujuh dunia dalam Crony Capitalism Index. Walaupun bukan sebuah indeks yang sempurna, indeks ini paling tidak menggambarkan sejauh mana sebuah negara memberikan kesempatan ekonomi yang lebih terbuka dan merata kepada warganegara-nya. Kondisi ekonomi yang belum benar-benar terbuka ini membuat ketimpangan sosial di Indonesia semakin parah dan akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak, hanya menanti momentum pemicunya. Berdasarkan studi Credit Suisse (2016) Indonesia adalah negara terburuk ke empat dalam hal ketimpangan ekonomi.

Lembaga internasional OXFAM juga memperingatkan, ketimpangan ekonomi di Indonesia sangat darurat. Dalam laporannya, OXFAM (2016)  menyebutkan total harta empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar US$ 25 miliar setara dengan gabungan kekayaan sekitar 100 juta orang atau 40% dari total penghasilan masyarakat terbawah. Menurut laporan yang sama, pada tahun 2016, satu persen orang terkaya ini memiliki 49% atau hampir setengahnya dari total kekayaan populasi di tanah air. Hebatnya, hanya dalam sehari saja seorang konglomerat terkaya bisa mendapatkan bunga deposito 1.000 kali lebih besar dari pengeluaran 10% penduduk miskin Indonesia untuk setahun.  Bahkan, jumlah uang yang diperolehnya setiap tahun dari kekayaan itu cukup untuk mengentaskan lebih dari 20 juta warga keluar dari jurang kemiskinan.
Merujuk data BPS, per September 2017, jumlah masyarakat miskin Indonesia adalah sekitar 26,6 juta, atau sekitar 10.12% dari total jumlah penduduk. Persoalannya adalah parameter penduduk miskin ini menggunakan batas garis kemiskinan yang sangat kecil, yakni Rp. 400.995 untuk masyarakat perkotaan dan Rp 370.910 untuk warga pedesaan.

Tapi jika menggunakan indikator Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan, yaitu pendapatan sebesar US$ 2 per hari per orang, maka penduduk miskin Indonesia masih sangat tinggi, yakni di perkirakan mencapai 47% atau 120 juta jiwa dari total populasi. Batasan garis kemiskinan Rp 400.000 ini terlalu rendah, karena orang kota dengan penghasilan Rp 500.000 sudah dianggap tidak miskin, yang bahkan belum tentu cukup untuk kebutuhan dasar. Padahal kebutuhan manusia itu bukan makan saja tapi juga pakaian, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, juga rekreasi dan hiburan. 

Tingkat kesenjangan sosial ini berpotensi semakin dalam ketika sekelompok kecil elite semakin kaya, sedangkan kebanyakan rakyat banyak menanggung beban ekonomi. Sikap pemerintah yang menganak emaskan birokrat dengan kenaikan gaji, tunjangan, dan bonus bisa jadi berimbas pada semakin parahnya kesenjangan sosial. Sebab rakyat biasa pada umumnya tidak mengalami peningkatan pendapatan yang memadai setiap tahun. Sedangkan gaji para pejabat negara di pemerintahan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, direksi dan komisaris BUMN, serta lembaga negara lainnya yang fantastik justru akan berpotensi memantik konflik dan kecemburuan sosial. 

Struktur penggajian institusi negara sebenarnya juga memperburuk kondisi ketimpangan sosial, bayangkan saja, gaji pejabat negara seperti direktur utama BPJS Kesehatan, gubernur Bank Indonesia, pimpinan Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan yang sudah menyentuh diatas Rp 200 juta per bulan. Bahkan pernah di sinyalir bahwa penghasilan Gubernur BI melebihi penghasilan dari Federal Reserve Chairman Amerika Serikat. Padahal GDP per kapita Indonesia hanya sekitar 6.6% dari GDP per kapita Amerika Serikat. Belum lagi struktur penggajian yang fantastis dari banyak direktur dan komisaris BUMN. Bahkan belum lama ini juga mencuat polemik penggajian Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang mencapai Rp 100 juta per bulan, belum lagi kasak kusuk total remunerasi kalangan anggota dewan di Senayan, yang dalam setahun bisa mencapai miliaran.

Sebagian mungkin berpendapat bahwa besarnya gaji sebanding dengan posisi vital dan beban tanggung jawab yang dipikul sangat berat dan rawan konflik kepentingan. Namun, yang harus dilihat adalah besarnya penghasilan itu apa sudah sebanding dengan produktivitas kinerjanya? Sejauh mana dampak manfaatnya untuk masyarakat banyak? dan yang tidak kalah penting sejauh mana pendapat per kapita masyarakat secara menyeluruh di bandingkan penghasilan para elite tersebut?. Jika tidak berdampak besar terhadap kinerja dan kemaslahatan secara umum, tentunya sebuah penghianatan yang memboroskan angggaran negara. 

Ke depannya, perlu ada evaluasi terhadap struktur penggajian dalam kaitannya dengan persoalan ketimpangan sosial ini. Mungkin penentuan gaji institusi publik kedepannya perlu menggunakan dasar perbandingan pendapatan per kapita penduduk, ataupun mungkin dari penghasilan terendah anggota masyarakat yang ada.  Cara perhitungan ini untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana amanat konstitusi dan falsafah Pancasila. Pejabat negara yang bergaji besar tapi tidak ada manfaatnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat sama artinya melanggar setidaknya empat pasal dalam Pancasila.

Lebih jauhnya, dalam kondisi beban utang negara yang besar, kondisi ekonomi rakyat secara umum masih berat, pekerja migran non-skill kita yang masih tinggi (belum lagi yang irregular), pemerintah bisa mengambil langkah solidaritas meski tidak populer, yakni memangkas gaji segenap pejabat negara, direksi dan komisaris BUMN untuk efisiensi anggaran. Di Malaysia, Mahathir Mohammad berani memotong gaji para menterinya demi menunjukkan rasa keadilan bagi rakyatnya.

Dalam hal ini, pejabat negara dan BUMN dengan gaji yang sangat besar dituntut serius bekerja sesuai dengan bagiannya masing-masing dalam mengupayakan perbaikan taraf hidup masyarakat. Segenap birokrat sepatutnya berfikir untuk terus memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, termasuk pelaku ekonomi dengan di antaranya pro-aktif melakukan pemangkasan segala macam perizinan dan aturan. Pada akhirnya, mendapatkan tanggung jawab di pemerintahan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif juga di BUMN dan segenap institusi negara adalah untuk menjalankan fungsi negara  dalam mengupayakan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, bukan mencari kesejahteraan sendiri untuk meningkatkan status sosial.  Artinya, pendapatan naik kalau penghasilan rakyat secara menyeluruh juga bertambah. Jika tidak, gaji elite semakin besar tapi kesejateraan rakyat secara umum tidak meningkat. Ujung-ujungnya, kita akan tetap menjadi negara dunia ketiga yang mengekalkan struktur kolonial dan feudal.

Farouk Abdullah Alwyni (FAA)
Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)
www.cisfed.org
www.faroukaalwyni.com

Berhubungan dengan FAA:

- Facebook: aabdullahfarouk
- Instagram: faroukabdullah.a
- Twitter: @faraalw

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda