Kamis, 19 April 2018

KINERJA JOKOWI URUS ENERJI DAN SUMBER DAYA MINERAL



Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)

Salah satu urusan pemerintahan harus diselenggarakan oleh Presiden RI Jokowi yakni bidang " enerji dan sumber daya minera (SDM)".

 Studi evaluasi ini utk mendeskripsikan kondisi kinerja Presiden Jokowi urus enerji dan sumber daya nineral. Bukan studi kinerja Menteri ESDM sbg Pembantu Presiden.

Ada beberapa dasar standar kriteria evaluasi. Pertama,  standar kriteria evaluasi berdasarkan  janji2 lisan  kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 terkait bidang enerji dan sumber daya mineral. Beberapa janji lisan kampanye yakni:

1. Tidak akan menghapus subsidi BBM. "Keinginan utk subsidi BBM saya kira tidak ada masalah. Subsidi bagi rakyat kecil adalah sebuah  keharusan, " ujar Jokowi. Faktanya, baru beberapa bulan jadi Presiden, Jokowi langsung mengurangi subsidi BBM.
2. Akan menurunkan tarif dasar listrik (TDL)  jika mendapatkan amanah utk memimpin negeri ini.Sekarang ini jangankan turun tarif TDL, malahan naik mencekik. Pd 2017 Pemerintah resmi berkali kali  menaikkan  tarif listrik 900 VA. Jokowi telah ingkar janji lisan  kampanye Pillres 2014.
3. Akan mengalihkan penggunaan BBM ke Gas dlm waktu 3 tahun. Tidak terbukti walau sudah lebih tiga tahun Jokowi  jadi Presiden.

Kedua, standar kriteria evaluasi berupa  janji2 tertulis kampanye Jokowi pd  Pilpres 2014 tertuang  di dlm dokumen NAWA CITA yang diserahkan kepada KPU. Jokowi berjanji akan al.:

1.Mewujudkan kedaulatan enerji  melalui kebijakan pengurangan impor enerji minyak dgn meningkatkan eksplorasi dan  eksploitasi Migas di dlm dan luar negeri.
2. Meningkatkan efisiensi usaha BUMN penyedia enerji di Indonesia, misalnya Pertamina, PLN, PGN.
3.Membangun pipa gas.
4. Mengembangkan enerji terbarukan.
5. Mengutamakan pemakaian batubara dan gas utk meningkatkan produksi listrik dlm negeri guna melayani kebutuhan rumah tangga dan industri.

Janji2 tertulis ini masih perlu dibuktikan. Data, fakta dan angka resmi setelah 3 tahun Jokowi sbg Presiden terkait janji2 ini  masih ditunggu.

Ketiga, standar kriteria evaluasi berupa  butir2 tertentu bidang enerji dan sumber daya mineral tertuang di dlm RPJMN 2015-2019 diterbitkan Presiden Jokowi. Sesuai RPJMN ini  sasaran utama al.:
1. Produksi minyak bumi 700-900 barel perhari.
2. Produksi gas bumi 1.225-1 295 SBM dgn pemanfaatan di dlm negeri 51-64 %.
3. Produksi batu bara 400-442 juta ton dgn pemanfaatan di dlm negeri 24-60 %.
4. Pembangunan kilang minyak 1 unit total kapasitas 300ribu barel per hari.
5. Penambahan kapasitas penyimpanan BBM 2,7 juta KL dan LPG 42 ribu ton.
6. Pembangunan floating Storage Regasification Unit (PSRU)/LNG terminal 7 unit.
7. Pembangunan pipa gas sekitar 6.300 km.
8. Pembangunan SPBG 118 unit.

Apakah setelah 3 tahun Jokowi jadi Presiden, target atau sasaran di atas tercapai? Masih kita tunggu dara,fakta dan angka resmi dari Pemerintah. Tetapi,
satu sumber mencatat, sejak 2015 produksi minyak Indonesia hanya mencapai 786 ribu barel perhari atau menurun 70 % dibandingkan produksi 2005. Pd 2016 produksi minyak hanya 831 ribu barel perhari. Pd 2017 produksi 825 ribu barel. Maknanya, Jokowi belum  mampu mencapai target produksi minyak hingga 900 ribu barel perhari.

Keempat, standar kriteria tertuang  di dlm Renstra Kementerian ESDM 2015-2019. Pd dasarnya target capaian 2019 mengacu pd RPJMN. Beberapa target yakni:
1.Produksi minyak bumi baseline 2014, 789 ribu bpd; 2019, 700 ribu bpd.
2. Produksi gas bumi baseline 2014, 1.221 ribu boepd;  2019, 1.295 boepd.
3. Produksi Batubara baseline 2014, 435 juta ton; 2019, 400 juta ton.
Sejauh ini melalui LAKIP, Menteri ESDM klaim, telah berhasil mencapai target produksi ini. Bahkan, melebihi 100 %.

Jokowi menggagas Proyek Strategis Nasional (PSN) mencakup 245 proyek dan 2 program pembangunan lain, yakni ketenagalistrikan dan pengembangan industri pesawat terbang yang total nilainya sekitar Rp 4.417 triliun. Khusus ketenagakerjaan, Jokowi memasukkan Proyek 35.000 MW sebagai PSN dgn menerbitkan Perpres No. 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Perpres No. 3 Tahun 2016 ttg Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Berdasarkan Laporan Perekonomian Indonesia tahun 2017 yang dirilis BI, realisasi PSN   selesai 2017 baru mencapai 2% dan 59% berada dalam tahap konstruksi (13/4/2018).

Pada program ketenagalistrikan, penyelesaian proyek baru mencapai 3% dari target 35.000 MW, dan sebanyak 46% berada dalam tahap konstruksi. Dapat dinilai, dati indikator program 35.000 MW, kinerja Jokowi urus enerji dan SDM tergolong buruk karena tidak mampu mencapai target.

Di pihak lain, kita didapat menemukan penilaian beragam ekonom kritis. Mereka menilai  bidang enerji dan SDM ini mengalami penurunan. Salah satunya,  kapitalisasi pasar pertambangan dari  Rp. 216 triliun 2014 menjadi Rp. 140 triliun 2015. Total investasi tambang menurun 31 % dari US$ 7,4 miliar 2014 menjadi US$ 5,2 miliar 2015.  Survey Fraser Insyitute, Februari 2017,  mencatat, ranking Indonesia dlm investasi tambang menurun dari urutan 91 menjadi 99 dari 194 negara. Kontribusi sektor tambang thdp GDP menurun 6,14 % 2011 menjadi 4,23 % 2016.Kontribusi tambang  thdp total penerimaan ekspor menurun dari 17 % 2013 menjadi 13 % 2014-2017. Kontribusi minyak thdp penerimaan negara menurun 79% dari Rp. 216 triliun 2014 menjadi Rp. 45 triliun 2016.

Kita tunggu saja data, fakta dan angka berbeda dati beragam ekonom Di atas. Masih ada waktu 1,5 tahun bagi Jokowi membuktikan dia berhasil urus enerji dan SDM.




Sumber data baru:

1.*35 Ribu Megawatt, Potret Gagal Jokowi dan Lahan Subur Korupsi*

_Oleh : Ferdinand Hutahaean_

Sesaat setelah pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Jokowi memulai mengarungi lautan pemerintahan sejak oktober 2014, *Presiden (Saya duga tidak paham ttg Listrik) bicara lantang, gagah dan berapi api akan membangun Listrik sebesar 35 Ribu Megawatt.* Sebuah mega proyek dengan nilai ribuan trilliun dan sebuah gagasan yang tidak tepat dan patut dievaluasi karena berlebihan. *Berlebihan dari sisi kebijakan, berlebihan dari sisi jumlah dan berlebihan sari sisi narasi. Begitulah gaya khas pemerintah ini, selalu besar dalam kata-kata, tapi kecil dalam tindakan.*

Proyek listrik 35 Ribu Megawatt ini sejak awal menjadi kontroversi dan polemik ditengah masyarakat. Bila mengacu pada pertumbuhan listrik kita secara nasional yang rata-rata 5 ribu Megawatt setiap tahun, maka bila pertumbuhan ekonomi tumbuh setidaknya sama dengan era pemerintahan SBY yaitu diatas 6%, maka pertumbuhan 5 ribu Megawatt itu akan tumbuh dan tidak turun. *Namun bila pertumbuhan ekonomi turun seperti sekarang yang hanya rata-rata 4,8%, maka pertumbuhan listrik itu tentu akan turun seiring penurunan daya beli masyarakat. Ditambah lagi dengan kebijakan rakyat yang mengurangi penggunaan liatrik albat mahalnya TDL dan dicabutnya subsidi.* Maka prediksi pertumuhan 5 ribu MW itu dipastikan turun. Maka kesimpulan, 35 Ribu MW itu over, berlebihan sari segala sisi.

_*Hingga saat ini, tidak ada data jelas berapa MW yang sudah dicapai pemerintah. Tidak jelas berapa MW yang akan selesai hingga 2019 dan berapa ME yang sudah beroperasi.*_ Semu, tidak jelas, bahkan Presiden tidak pernah lagi menyinggung proyek ini karena asik dengan pembangunan beton jalan toll yang lebih mudah dan standar kemampuan biasa.

*35 Ribu MW kemudian hilang dari narasi-narasi pencitraan Presiden Jokowi, lenyap. Sekarang yang tersisa adalah berita korupsi yamg menggema. Proyeknya tidak jelas, korupsinya meraja lela.* Dugaan korupsi pada sewa Pembangkit Listrik Kapal (MVPP) yang disewa dari Turki berbau sengit korupsi. Pengadaan listrik PLTU Riau 1 berbau amis korupsi bahkan KPK melakukan OTT atas perkara ini. *Memeriksa dan menggeledah Dirut PLN dan Mensos Idrus Marhan.* Bahkan beberapa bulan lalu berdar rekaman yang diduga percakapan Sofyan Baasir dengan Rini Soemarno menteri BUMN yang membahas bagi-bagi fee proyek. Sungguh peristiwa itu membuat mata kita terbelalak atas boboroknya rejim ini dalam mengelola negara. *Saya sendiri meyakini semua proyek pembangkit di 35 Ribu ME ini patut diduga menyimpan bau amis korupsi.*

Korupsi merajalela, prestasi minim ditutupi dengan narasi-narasi berbagai macam cerita hebatnya pemerintahan ini meski cerita itu berbanding terbalik dengan situasi faktual dan kondisi sebenarnya.

*Baiklah kita pertanyakan sekarang potret gagal Jokowi atas listrik 35 Ribu MW yang hilang lenyap dan tersisa berita korupsinya. Semua tau kedekatan Jokowi dengan Rini Soemarno, adakah korupsi ini terkait logistik pilpres 2019?* Spertinya Jokowi harus buka suara atas kasus ini.

*35 Ribu MW ini sekarang menjadi karma atas narasi proyek mangkrak masa lalu yang dijadikan narasi menutupi minimnya prestasi pemerintah ini.*

Pak Jokowi, jelaskanlah...!!!!

Jakarta, 27 Juli 2018

2.Politik
Sampai Kapan Jokowi Salahkan Kebijakan Masa Lalu Di Tengah Kegagalan Pemerintah Sekarang?
SELASA, 15 MEI 2018 | 20:49 WIB | OLEH: FERDINAND HUTAHAEAN
 

PRESIDEN Jokowi hari ini memberikan pernyataan yang cukup teramat lucu dan terkesan tidak memahami niaga BBM yang ada. Saat menghadiri Workshop Anggota DPRD PPP hari ini, Presiden Jokowi berpidato membahas BBM dan meminta masyarakat membandingkan  kebijakan BBM era SBY.

Entah apa yang mendasari Presiden bicara perbandingan kebijakan BBM diacara workshop partai dan di tengah kedukaan bangsa yang dalam atas peristiwa penyerangan bom oleh teroris. Sesungguhnya presiden jadi layak dipertanyakan, apakah masalah teroris itu hal biasa hingga lebih memilih bicara BBM dan mengurus partai politik pendukung?

Saya mengutip pernyataan Presiden Jokowi yang dimuat di salah satu media online sebagai berikut  "Dulu subsidi Rp.340 Trilliun kenapa harga nggak bisa sama. Ada apa? Kenapa engga ditanyakan? Sekarang subsidi sudah engga ada untuk BBM, tapi harga bisa disamakan disini. Ini yang harus ditanyakan. Tanyanya ke saya, saya jawab nanti. Ini yang harus juga disampaikan ke masyarakat,” Ujar Jokowi.

Bagi saya pernyataan ini betul betul menunjukkan Presiden Jokowi tidak mengerti niaga BBM seperti apa. Saya jelaskan supaya, dulu era SBY harga minyak dunia menyentuh harga rata-rata diatas USD 120 / barel. Sekarang harga minyak dunia ada di level sekitar USD 70/ barel bahkan 2 tahun berada di level USD 35/ barel.
Anda tahu berapa harga Premium / liter dengan harga minyak dunia USD 120/ barel? Premium akan berada di harga kisaran Rp.15.000/ liter. Bila harga ini tidak di subsidi oleh pemerintahan SBY, maka dalam sekejap jumlah orang miskin akan bertambah pesat, lapangan kerja tertutup karena industri bangkrut, ekonomi akan terganggu.

Bedakan dengan sekarang, harga minyak dunia rendah, subsidi dicabut, justru ekonomi makin terpuruk dan lapangan kerja susah. Lantas apa yang mau dibanggakan oleh Presiden Jokowi? BBM 1 Harga? Dari dulu juga harga sama di SPBU. Jawa Bali Madura (Jamali) itu satu harga. Non Jamali juga satu harga. Kalau di pengecer beda, tentu itu lumrah karena pengecer mencari untung. Ini terkait penyediaan SPBU di papua yang jumlahnya memang terbatas.

Selain harga Minyak mentah yang selisihnya jauh pada era SBY dengan era Jokowi, kondisi Pertamina juga jauh lebih baik dulu dibanding sekarang. Pertamina itu babak belur karena menanggung kewajiban pemerintah. Pemerintah jangan menutupi inilah, Pertamina menjual BBM dibawah harga keekonomian, subsidinya ditanggung pertamina. Tapi karena Pertamina mulai babak belur, maka Premium dan Solar mulai langka dipasar, akhirnya rakyat terpaksa beli Pertalite pengganti Premium dan Dexlite Pengganti Solar. Ini kan kebijakan retorik dan menyusahkan rakyat. Kebijakan siasah, pemerintah bersiasah kepada rakyat.

Jadi kalau pak Jokowi bilang dulu subsidi Rp.340 T tidak bisa satu harga, itu membuat saya tertawa. Yang buat subsidi itu tingggi karena harga minyak mentah dulu tinggi, beda dengan sekarang yang rendah. Subsidi Rp.340 Trilliun itupun adalah total dari beberapa subsidi termasuk Gas didalamnya, listrik, itu total subsidi energi. Inipun harus diketahui.

Yang terakhir, sudah hampir 5 tahun dan akan pemilu lagi untuk mencari presiden baru, tapi Jokowi masih sibuk menyalahkan kebijakan masa lalu. Mungkin untuk menutupi kegagalannya memimpin Indonesia, saya tidak tahu, mungkin saja itu.

Ditambah lagi sekarang situasi negara sedang berkabung, kok malah ngomongin dan nyalahin kebijakan BBM masa lalu? Kenapa pak Jokowi tidak bandingkan penanganan teroris era SBY yang sukses menggulung teroris kelas dunia seperti Noordin M Top dan Dr Azahari dengan cara penanggulangan teroris era Jokowi yang kelimpungan bahkan menghadapi sel teroris kecil?

Presiden masing-masing punya kebijakan. SBY memberikan subsidi karena ingin membantu rakyat. Merasakan beban rakyat dan harus diringankan. Dan itu bentuk kewajiban negara memelihara rakyatnya. Hasilnya nyata, ekonomi tumbuh rata-rata 6 persen, lapangan kerja banyak terbuka, kemiskinan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda