Kamis, 05 April 2018

KINERJA JOKOWI URUS PERDAGANGAN



Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)


Bidang perdagangan  salah satu urusan pemerintahan harus diselenggarakan Presiden Jokowi. Tim Studi  NSEAS menilai kritis kinerja Jokowi urus perdagangan  berdasarkan standar kriteria:

1. Janji lisan kampanye Jokowi saat Pilpres 2014.
2. Janji tertulis kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 tertuang  di dlm dokumen NAWACITA yang diserahkan kepada KPU.
3. RPJMN 2015-2019 yang disusun dan diterbitkan Presiden Jokowi.
4. Renstra Kemendag tahun 2015-2019.

Saat kampanye lisan Pilpres 2014, Jokowi berjanji akan:

1. Secepatnya mewujudkan swasembada pangan dan lepas jeratan dari impor beras, daging, garam, dan komoditas lainnya.
Janji ini ternyata masih belum ditepati. Tiga tahun lebih usia Pemerintahan Jokowi-JK swasembada pangan masih belum terwujud. Masih membuka lebar impor pangan. Ironisnya,  BPK menilai,  pengelolaan tata niaga impor pangan oleh Kemendag era Jokowi ini menunjukkan ada ketidakpatuhan beberapa pihak terhadap aturan perundang-undangan.
2. Menurunkan harga sembako, meningkatkan kualitas dan program Raskin (beras bersubsidi utk org miskin). Hingga kini harga sembako terus menaik, tidak pernah menurun. Sementara itu,
masih ada penyelenggara negara mempertanyakan kualitas Raskin, dari mulai anggota DPR, Gubernur dan juga Bupati. Mereka mempertanyakan soal kualitas Raskin dari Bulog disalurkan kepada masyarakat.
3. Perbaikan 5000 pasar tradisional. Setelah 3,5 tahun jadi Presiden, Jokowi baru mampu merealisasikan janji ini hanya 1000 pasar.

Mengacu janji tertulis kampanye Pilpres 2014 Jokowi-JK tertuang di dlm NAWACITA, mereka berjanji al.:

1. Peningkatan daya saing produk nasional melalui peningkatan kualitas, pencitraan, harga dan servis. Masih kita tunggu realisasinya.
2. Prioritas akses modal bagi UMKM. Belum ada data realisasi keberpihakan terhadap UMKM. Apakah ada peningkatan penyaluran modal UMKM, masih kita tunggu jawabannya dari Pemerintah. Kondisi permodalan UMKM dapat digunakan penilaian anggota Komisi VI DPR, Darmadi Durianto. Ia menilai,  masih sulit akses permodalan UMKM saat ini. Hal ini berisiko, membuat UMKM nasional  sulit bersaing di era Masyarakat Ekonomi ASEAN, atau MEA saat ini (VIVA, 8 Maret 2018).
3. Renovasi atau revitalisasi 5.000 pasar tradisional umur lebih 25 tahun. Baru terealisir sekitar 20 %.
4. Memberantas penyelundupan barang dari luar negeri ke pasar dlm negeri. Masih kita tunggu realisasinya.
5.Meningkatkan efisiensi perdagangan antar daerah dan pulau. Hasil kegiatan ini masih belum ditemukan data, fakta dan angkanya.

Rencana kegiatan sektor perdagangan juga tercatat di dlm RPJMN 2015-2019, al.:

1. Pertumbuhan ekspor produk non migas rata2 19,5 % pertahun.
2. Rasio ekspor jasa thdp PDB rata2 3,0 % pertahun.
3. Peningkatan pangsa ekspor produk manufaktur menjadi 65 %.
4.Menurunkan rasio biaya logistik thdp PDB 5 % pertahun sehingga mencapai 19,2 % pd 2019.
5. Menurunkan rata2 selling time menjadi 3-4 hari.
6.Terjaganya kofisien variasi harga barang kebutuhan pokok antar waktu di bawah 9 % dan antar wilayah rata2 di bawah 13,6 % pertahun.

Seberapa lebar kesenjangan antara target capaian  dengan realisasi, masih menunggu data, fakta dan angka resmi dari Pemerintah. Diharapkan tahun ke-4 Jokowi jadi Presiden sudah terpublikasikan.

Selanjutnya RENSTRA Kemendag tahun  2015-2019 mencatat Pemerintah akan melaksanakan al.:

1. Pertumbuhan ekspor non migas target 2015 9,9 %.
2. Kontribusi produk manufaktur terhadap total ekspor target 2015 47 %.
3. Pertumbuhan ekspor jasa target 2015 13-16 %.
4. Pertumbuhan ekspor non migas produk (komoditi) utama dan prospektif.
5. Pertumbuhan produk non migas ke pasar utama dan pasar prospektif.
6. Meningkatkan promosi citra ekspor.
7. Pendirian Lembaga/Kantor Perwakilan/Pusat promosi di dalam dan luar negeri.

Kita tunggu data, fakta dan angka resmi realisasi dari Kemendag. Seberapa jauh Kemendag ini telah mencapai target tercatat di Renstra. Diharapkan setelah tahun ke-4 hasil realisasi sudah terpublikasi, tidak semata melalui LAKIP Mendag.

Jokowi sendiri memberi  tiga tugas kepada Mendag  Enggartiasto Lukita:
1.  Menjaga stabilitas harga bahan pokok.
2. Meningkatkan ekspor dan menjaga neraca perdagangan.
3. Membangun dan merevitalisasi pasar rakyat.

Mampukah Mendag melaksanakan tugas  ini ?  Fakta membuktikan, harga bahan pokok terus melonjak. Nilai ekspor terus merosot. Meskipun Januari 2018
Kemendag mencatat capaian nilai ekspor naik  USD14,45 miliar. Tetapi, kenaikan hanya  7,86 % dibandingkan  periode sama di 2017.

Jokowi sendiri mengakui,  ekspor Indonesia masih jauh di kawasan ASEAN. Bahkan kini ekspor Vietnam telah mengalahkan Indonesia.
Nilai ekspor Thailand telah mencapai US$ 231 miliar, kemudian disusul Malaysia  US$ 184 miliar dan Vietnam US$ 160 miliar. Sedangkan nilai ekspor Indonesia saat ini baru sekitar US$ 145 miliar. "Ini fakta, negara sebesar kita ini kalah dengan Thailand yang penduduknya 68 juta, Malaysia 31 juta penduduknya, Vietnam 92 juta, dengan resource, dengan SDM yang sangat besar kita kalah," ujarnya  (31/1/2018).
 Sedangkan pasar rakyat baru mampu 1.000 lokasi   direvitalisasi dari 5.000 pasar.

Pemerintah klaim, pd 2015  telah mengkucurkan
Rp. 1,362,800,000,000,- dan direalisasikan untuk 182 pasar. Lalu kucuran melalui DAK Rp. 1,075,900,000,000,- untuk pembangunan 770 pasar tradisional. Selain itu ada dana revitalisasi pasar melalui Kementerian Koperasi dan UKM Rp. 78 milyar untuk 65 unit.

Pd  2016, dana revitalisasi pasar rakyat  digelontorkan Rp. 1.466,500,000 untuk 168 unit pasar dan melalui DAK Rp 1,006,995,080,000 utk membangun 710 unit pasar rakyat.

Mendag Enggartiasto Lukita, mengatakan,‎ pada 2016, Kemendag merevitalisasi 878 pasar rakyat. Ini terdiri dari 168 pasar melalui Dana Tugas Pembantuan dan 710 pasar melalui DAK.
Di lain pihak, Mendag mengakui, saat ini baru mampu menuntaskan sekitar 1.000 lokasi pasar rakyat (17 Oktober 2017).

Target 5.000 pasar  hingga 2019 berarti setelah 3 tahun Jokowi jadi Presiden, tercapai realisasi  minimal 3.000 lokasi. Padahal pengakuan Mendag baru 1.000 pasar terealisir. Baru sekitar 35 % dari target 3.000 lokasi utk 3 tahun atau hanya 20 % dari target 5.000 lokasi utk 5 tahun. Waktu tinggal 1,5 tahun lagi.  Ini bermakna kinerja Jokowi sangat buruk urus revitalisasi pasar rakyat.

Jokowi  terbuka mengkritik kinerja Kemendag (21/02/2017). Dimata
Jokowi,  pejabat Kemendag terlalu nyaman bekerja di zona aman, sehingga tidak mau membuat terobosan. Ia menyoroti beberapa hal  harus diperbaiki jajaran Kemendag.  Salah satunya adalah pasar baik dalam maupun luar negeri.

Jokowi berpendapat, pejabat atase perdagangan dan Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) selama ini bekerja tanpa membawa terobosan terutama dalam mengggarap pasar-pasar di luar negeri.ITPC gitu-gitu saja. Pameran juga tidak ada pembaruan. Pasar-pasar baru  banyak sekali yang tidak pernah diurus.

Jokowi menyadari, Amerika Serikat, Jepang, China, dan Eropa merupakan pasar besar. Namun, masih banyak negara lain berpotensi besar dan dapat 'digarap' Indonesia.
Salah satunya Afrika. Nilai potensi pasar di Afrika mencapai US$550 miliar. Namun, Indonesia hingga kini baru menguasai pasar ekspor senilai US$4,2 miliar di sana. Indonesia bahkan tidak mencapai US$1 miliar di pasar Eurasia yang berpotensi hingga US$251 miliar.

Intinya, Jokowi mengakui, Pemerintah belum bekerja optimal untuk meningkatkan pasar ekspor.

Kondisi perdagangan global Indonesia juga menunjukkan merosot. Sumber World Economic Forum menunjukkan, indeks daya saing global Indonesia sempat di peringkat 54 thn 2009. Menaik ke peringkat 44 thn 2010. Kembali turun ke 46 thn 2011 dan ke 50 thn 2012. Kembali naik ke 38 thn 2013.Thn  2014 kembali naik ke  34, tetapi di era Jokowi 2015 kembali turun ke 37 dari 140 negara.

Thn 2016 merosot drastis ke 41  dari 138 negara. Thn 2017 Indonesia menaik  menempati  ke-36 dari 137 negara. Jika dihitung per tahun era Jokowi, maka berada pd peringkat ke-37 (2015), 41 (2016) dan 36 (2017). Rata2 peringkat ke- 38. Angka 38 ini menunjukkan peringkat daya saing global era Jokowi  merosot atau lebih rendah dibandingkan era SBY yg pernah peringkat ke-34. Adalah keliru pernyataan,  daya saing global era Jokowi meningkat jika dibandingkan era SBY.

Tiga tahun Pemerintahan Jokowi-JK,  kinerja ekspor Indonesia juga cenderung menurun. Hal ini ditekankan Ekonom senior INDEF Didik J. Rachbini (TEMPO.CO, 20 Juli 2017).  Menurut Didik,  empat tahun lalu Indonesia  berhasil mencapai US$ 200 miliar, sekarang (2017) hampir US$ 117 miliar, separuh tergerus.  Padahal, nilai ekspor merupakan tanda pemerintahan hidup. Saat ini terjadi de-konsumsi dan de-ekspansi dilakukan pemerintah. Hal itu  menunjukkan pemerintah tidak mengerjakan pekerjaan untuk bersaing di tingkat internasional.

Kondisi neraca perdagangan tiga bulan terakhir ini juga memprihatinkan.  Sebagaimana diungkapkan Mantan Menkeu, Fuad Bawazier, neraca perdagangan Indonesia   cenderung defisit dalam tiga bulan terakhir ini yaitu dari Desember 2017 sampai dengan Februari 2018. Total  defisit  neraca perdagangan  USD1,1 miliar atau rata2 defisit perbulan USD364 juta.

Tim Studi NSEAS sementara ini berkesimpulan:
1. Dari sisi peningkatan daya saing global, kinerja Jokowi buruk karena capaian  lebih rendah ketimbang era SBY.
2. Dari sisi revitalisasi pasar rakyat, kinerja Jokowi tergolong lebih buruk karena cuma mampu mencapai sekitar 35 % dari total target tiga tahun 3.000 lokasi. Jika dibandingkan target 5 tahun, Jokowi baru mampu merealisasikan sekitar 20 %. Sisa waktu tinggal 1,5 tahun lagi bagi Jokowi.
3. Dari sisi ekspor, kinerja Jokowi juga buruk karena tidak berhasil menaikkan nilai ekspor.
4. Dari sisi pengendalian harga kebutuhan pokok, juga kinerja Jokowi buruk  karena harga tetap menaik, tidak turun.

Mengapa kinerja Jokowi buruk urus perdagangan?  Pertanyaan ini sangat penting dijawab Rezim Jokowi agar diperoleh solusi utk diimplementasikan demi kesuksesan urus perdagangan.

SUMBER DATA BARU;

1.Jokowi Setuju Badan Ekonomi Indonesia Sedang Lemah

Akhirnya Presiden Jokowi mengakui bahwa kondisi “badan” perekonomian Indonesia memang sedang lemah. Mantan Walikota Solo ini dua hari yang lalu (26/7), di hadapan para kepala daerah di Istana Bogor, menyatakan bahwa terdapat masalah dalam fundamental ekonomi Indonesia. Masalah itu adalah defisit transaksi berjalan dan defisit perdagangan, yang menyebabkan Indonesia rentan terpengaruh gejolak ekonomi dunia.

Padahal beberapa saat sebelumnya Tim Ekonomi pemerintah, yang disuarakan terutama oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani --si Menteri Terbaik di Dunia, masih terus menyatakan bahwa fundamental ekonomi kita kuat, kondisi fiskal prudent, dll. Bahkan, beberapa hari yang lalu, Sri Mulyani masih berani katakan, bahwa APBN untung dengan adanya kondisi pelemahan kurs Rupiah. Minggu lalu juga Menko Perekonomian Darmin Nasution masih menyatakan bahwa pelemahan kurs Rupiah merupakan hal biasa.

Sebaliknya, ekonom senior Rizal Ramli (RR) sejak akhir tahun lalu, diulang di berbagai kesempatan, terus mengingatkan pemerintah tentang kondisi lampu kuning (setengah merah) perekonomian Indonesia. Lemahnya kondisi ini disebabkan oleh berbagai defisit seperti dalam neraca perdagangan dan transaksi berjalan.  RR memberi analogi yang sangat sederhana untuk mengibaratkan perekonomian dan kondisi eksternal.  Bila badan kita sedang lemah, virus-virus akan mudah menyerang sehingga menyebabkan kita sakit. Namun bila badan kita kuat, virus apapun tidak akan mampu menyakiti. Tapi peringatan RR ini malah terus dibantah oleh para buzzer pemerintah termasuk juga oleh juru bicara Sri mulyani di Kemenkeu dan oleh Deputi Darmin di Kemenko Perekonomian.

Sampai kemudian dua hari lalu, Jokowi seakan mengakui dan menerima peringatan RR tentang buruknya fundamental ekonomi kita. Tim Ekonomi pemerintah yang sebelumnya menolak peringatan RR, akhirnya ramai-ramai mengakui bahayanya pelemahan nilai tukar dan tergopoh-gopoh mencari solusi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan dan defisit neraca perdagangan. Barulah kemarin lusa juga (26/7), malamnya setelah acara bersama para Kepala Daerah, Jokowi mengumpulkan 40 taipan terkaya di Indonesia dan meminta para eksportir kelas kakap ini untuk membawa kembali seluruh devisa hasil ekspor mereka. Pada hari yang sama juga Sri Mulyani menyatakan akan menghentikan impor yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur. Setelah itu kemarin (27/7) juga terjadi rapat mendadak di Istana, Jokowi meminta para menteri terkait untuk membahas  pencabutan harga khusus batubara yang selama ini dinikmati pengusaha wajib pasok DMO (Domestic Market Obligation)..

Lalu apakah artinya ini? Ekonom-ekonom pemerintah telah gagal mengendalikan situasi. Tim ekonomi pemerintah telah gagal memperkirakan atau gagal melakukan forecasting situasi ekonomi nasional- yang seharusnya menjadi kompetensi utama mereka. Dulu menjanjikan pertumbuhan ekonomi 7%, nyatanya Cuma dapat 5%. Kini bilang ekonomi kita akan baik-baik saja, ternyata toh ada masalah yang cukup fundamental seperti duo defisit yang disampaikan Presiden Jokowi dua hari yang lalu.

Sementara, manipulasi garis kemiskinan sudah semakin terang benderang, angka kemiskinan BPS terlalu rendah. Rp 11 ribu yang dijadikan acuan garis kemiskinan tidak relevan lagi. Terlebih setelah seorang wartawan dari Vice melakukan riset lapangan untuk hidup di Jakarta bermodal Rp 20 ribu sehari, ternyata tidak cukup! Bubble pencitraan pun pecah. Namun, bila pun memandang penurunan kemiskinan versi BPS berbagai zaman kepresiden, dari  selama apa menjabat dan seberapa persen penurunan kemiskinan, bukan terjadi pada masa Jokowi. Data menyebutkan setelah Reformasi, laju penurunan kemiskinan era Habibie adalah 1,1% /tahun. Gus Dur adalah 5,01% dalam 2 tahun, atau lajunya 2,5%/tahun. SBY periode pertama 2,5% dalam 5 tahun, atau lajunya 0,5%/tahun. SBY periode kedua 3,46% selama 5 tahun, atau lajunya 0,69%. Sedangkan Jokowi adalah 1,1% dalam 4 tahun, atau lajunya 0,28%/tahun. Jelas, angka laju penurunan kemiskinan era  Jokowi adalah yang terkecil dan Gus Dur (tim ekonomi adalah RR dan Kwik Kian Gie) memiliki angka laju penurunan kemiskinan yang tertinggi versi BPS. ***

2.Defisit Neraca Perdagangan Juli 2018 Terparah Dalam 5 Tahun

 CNBC Indonesia
MARKET 15 August 2018
 
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai ekspor dan impor pada Juli 2018. Pada periode tersebut, ekspor Indonesia tembus US$ 16,24 miliar atau tumbuh 19,33% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara impor naik 31,56% YoY menjadi US$18,27 miliar. Sehingga defisit neraca perdagangan bulan lalu mencapai US$2,03 miliar.

Defisit itu jauh lebih besar daripada konsensus CNBC Indonesia yang meramal defisit sebesar US$640 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia kepada sejumlah ekonom, impor diprediksikan hanya tumbuh sebesar 13,4% YoY, sementara ekspor diperkirakan naik 11,3% YoY.

Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya mengatakan nilai impor melesat dipengaruhi barang konsumsi. "Impor bahan konsumsi melesat 60,75% YoY. Di antaranya beras, apel dari China, daging dari India, dan beberapa jenis obat-obatan. Itu yang menyebabkan barang impor konsumsi kita naik" kata Suhariyanto.


Sementara itu, impor barang modal dan bahan baku masing-masing meningkat sebesar 24,81% YoY dan 30,07% YoY. Secara kumulatif, total impor Januari-Juli naik 24,48% YoY menjadi US$107,32 miliar.

Apabila ditarik secara historis, defisit neraca perdagangan bulan lalu merupakan yang terparah dalam 5 tahun terakhir, atau sejak Juli 2013. Sepanjang tahun ini (hingga bulan Juli 2018), defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,1 miliar.

Berikut abstraksi ekspor dan impor Juli 2018 :

Ekspor
Nilai ekspor Indonesia Juli 2018 mencapai US$16,24 miliar atau meningkat 25,19 persen dibanding ekspor Juni 2018. Demikian juga dibanding Juli 2017 meningkat 19,33 persen.

Ekspor nonmigas Juli 2018 mencapai US$14,81 miliar, naik 31,18 persen dibanding Juni 2018. Demikian juga dibanding ekspor nonmigas Juli 2017, naik 19,03 persen.

Secara kumulatf, nilai ekspor Indonesia Januari-Juli 2018 mencapai US$104,24 miliar atau meningkat 11,35 persen dibanding periode yang sama tahun 2017, sedangkan ekspor nonmigas mencapai US$94,21 miliar atau meningkat 11,05 persen.

Peningkatan terbesar ekspor nonmigas Juli 2018 terhadap Juni 2018 terjadi pada kendaraan dan bagiannya sebesar US$285,6 juta (67,50 persen), sedangkan penurunan terbesar terjadi pada bijih, kerak, dan abu logam sebesar US$86,0 juta (15,99 persen).

Menurut sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari-Juli 2018 naik 6,80 persen dibanding periode yang sama tahun 2017, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya naik 37,43 persen, sementara ekspor hasil pertanian turun 7,50 persen.

Ekspor nonmigas Juli 2018 terbesar adalah ke Tiongkok yaitu US$2,19 miliar, disusul Jepang US$1,59 miliar dan Amerika Serikat US$1,56 miliar, dengan kontribusi ketganya mencapai 36,09 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa (28 negara) sebesar US$1,46 miliar.

Menurut provinsi asal barang, ekspor Indonesia terbesar pada Januari-Juli 2018 berasal dari Jawa Barat dengan nilai US$17,40 miliar (16,69 persen), diikut Jawa Timur US$10,98 miliar (10,53 persen) dan Kalimantan Timur US$10,76 miliar (10,32 persen)

Impor
Nilai impor Indonesia Juli 2018 mencapai US$18,27 miliar atau naik 62,17 persen dibanding Juni 2018, demikian pula jika dibandingkan Juli 2017 meningkat 31,56 persen.

Impor nonmigas Juli 2018 mencapai US$15,66 miliar atau naik 71,54 persen dibanding Juni 2018, demikian juga jika dibanding Juli 2017 naik 29,28 persen.

Impor migas Juli 2018 mencapai US$2,61 miliar atau naik 22,20 persen dibanding Juni 2018 dan meningkat 47,09 persen dibanding Juli 2017.

Peningkatan impor nonmigas terbesar Juli 2018 dibanding Juni 2018 adalah golongan mesin dan


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda