Rabu, 03 Mei 2017

MENGAPA DUKUNGAN TERHADAP KPK KIAN MEROSOT?

Rapat Paripurna DPR formal telah memutuskan persetujuan penggunaan Hak Angket, beberapa hari lalu. Proses berlangsung ricuh. Fraksi Gerindra, Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKB menyatakan menolak hak angket. Namun, meski ada interupsi, pemimpin sidang Fahri Hamzah tetap mengetuk palu tanda persetujuan. Hal ini membuat anggota dewan dari ketiga fraksi itu memutuskan untuk walkout sebagai bentuk protes. Makna Hak Angket DPR, yaitu sebuah hak DPR utk melakukan penyelidikan atas pelaksanaan suatu UU dalam kebijakan Pemerintah berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sementara ini, penggunaan Hak Angket DPR, juga dinilai sejumlah pakar hukum "ilegal", diusulkan Komisi Hukum DPR RI agar KPK mau membuka rekaman pemeriksaan politikus Hanura, Miryam S. Haryani, dalam perkara korupsi E-KTP. Pasalnya, Miryam mengaku ditekan enam orang anggota Komisi Hukum DPR agar menyampaikan keterangan palsu. Pd kasus penggunaan hak angket DPR kali ini tidak banyak muncul publik membela dan mendukung KPK. Berbeda dan kontras dgn kasus Cicak Vs Buaya, publik berbondong-bondong hingga aksi demo jalanan mendukung dan membela KPK. Setiap ada upaya DPR mengevaluasi UU ttg Tipikor atau KPK, misalnya, publik spontan membangun opini dan mengklaim, DPR berusaha memperlemah KPK memberantas korupsi. Sebelumnya dukungan publik besar terhadap KPK. Satu pertanyaan pokok yakni: mengapa publik mendukung dan membela KPK pd kasus penggunaan hak angket DPR kali ini tidak sebanyak atau sebesar kasus2 sebelumnya? Dengan perkataan lain, mengapa dukungan publik terhadap KPK semakin merosot? Inilah jawaban atas pertanyaan ini antara lain: Pertama, satu segmen masyarakat berkurang mendukung KPK datang dari klas menengah perkotaan muslim. Mereka menilai, KPK selama ini dijadikan kekuatan non Islam politik untuk membunuh karakter politisi atau tokoh politik berbasis Islam. Satu persatu tokoh Islam dari PPP, PKS, dll. dijadikan tersangka dan diekspose besar2an oleh media massa yang punya kepentingan sama dgn KPK. Penilaian klas menengah muslim perkotaan ini membangun citra negatif publik ttg KPK. Kedua, klas menengah kota dan terpelajar dari kampus menilai KPK bersikap "tebang pilih" atau mengerjakan "pesanan" Rezim kekuasaan. Beraninya cuma pelaku2 level APBN dan juga APBD yang lemah pengaruh parpol pendukung mereka. KPK dianggap tebang pilih, tidak kredible dgn beragam contoh. Yakni kasus korupsi BLBI era Rezim Megawati, Kasus Bank Century dan Recovery Migas era Rezim SBY, kasus pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras DKI era Gubernur Ahok dukungan PDIP, kasus penerimaan suap dana/suap triliunan rupiah Reklamasi Teluk Jakarta oleh Ahok, kasus penerimaan dana CSR miliyaran rupiah dari Pengembang di luar pendapatan daerah atau penerimaan dana APBD DKI (off budgeting), kasus pembelian tanah milik Pemprov DKI sendiri di Cengkareng, dll. Khusus kasus Gubernur Ahok ini tidak dituntaskan KPK diduga publik karena dilindungi Rezim Jokowi bersama sejumlah Konglomerat Pengembang Cina. Padahal kasus2 ini sudah menjadi issue publik DKI khususnya dan nasional umumnya. Ketiga, paling menyakitkan bagi kelompok penentang Ahok, kasus korupsi pembelian tanah RS Sumber Waras, juga tidak ditindaklanjuti. Bahkan, KPK menilai Ahok tidak punya "niat" untuk korupsi. Penilaian KPK ini mendapat banyak kritik dan kecaman dari publik, termasuk kalangan ahli hukum dan praktisi hukum. Intinya, kepercayaan dan dukungan publik terhadap KPK semakin merosot. Keempat, persepsi negatif publik semakin banyak ttg KPK ini terkait dengan prosedur pemilihan anggota Komisi KPK terakhir ini dinilai tidak jujur, tidak transparan dan tidak akuntabel. Pemilihan anggota Komisi diklaim hasil rekayasa politik Rezim Jokowi. Klaim ini terus berlaku pada KPK, menjadi sasaran penggunaan hak angket DPR. Bagaimana menumbuhkan kepercayaan publik terhadap KPK sekarang ini? Menurut saya, KPK harus menuntaskan kasus BLBI, Bank Century dan kasus dugaan keterlibatan Ahok korupsi pembelian tanah RS Sumber Waras, pembangunan pulau palsu/reklamasi, dan pembelian tanah milik Pemprov DKI sendiri di Cengkareng. Tentu saja juga menuntaskan dugaan korupsi kader Parpol anggota DPR terkait E-KTP. Jangan berhenti hanya pernyataan Jaksa Tipikor di pengadilan. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda