Kamis, 23 Maret 2017

SITUASI EKONOMI POLITIK DUNIA DAN IMPLIKASI TERHADAP INDONESIA*

I. KONSEP DASAR KEPENTINGAN NASIONAL Kerangka teoritis Makalah ini menggunakan konsep dasar “kepentingan nasional”. Kerangka teoritis menjelaskan, politik luar negeri suatu negara dipengaruhi “kepentingan nasional” sebagai “tujuan” mendasar dan paling menentukan. Pencapaian kepentingan nasional menyebabkan kehidupan negara akan berlangsung stabil dan baik dari segi politik, ekonomi, sosial, pertahanan, keamanan, dll. Selanjutnya, teoritisi politik internasional acapkali menyamakan kepentingan nasional sebagai upaya negara mengejar “power” atau “kekuasaan”. Power atau kekuasaan bermakna, segala sesuatu dapat mengembangkan dan memelihara kontrol satu negara terhadap negara lain baik secara individual maupun kolektif. Hubungan kekuasaan dan pengendalian ini dapat melalui cara halus (kerjasama) atau kasar (paksaan). Kekuasaan nasional dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan suatu negara untuk “bertahan hidup” dalam politik internasional. Dalam memahami level analisis dalam politik internasional, kepentingan nasional sebagai dasar tujuan politik luar negeri suatu negara dapat dianalisis berdasarkan level analisis “negara bangsa”. Intinya, aktor politik luar negeri suatu negara adalah negara bangsa berdasarkan kepentingan nasional. Di lain fihak, salah satu level analisis lain yakni “sistem internasional” sebagai penentu. Level analisis ini mengenal konsep “polar” sebagai pesebaran power, yaitu: 1. Sistem Uniporal untuk satu pusat power/kekuasaan . 2. Sistem Bipolar untuk dua pusat power. 3. Sistem Multipolar untuk tiga atau lebih pusat power. Jenis sistem ini sangat bergantung pada persebaran power negara di suatu kawasan atau seluruh dunia. Satu hal paling penting dari teori sistem multipolar (tiga atau lebih pusat power/kekuasaan) yakni mengacu pada konsep “negara-bangsa”. Teori ini menunjukkan, negara-bangsa adalah fenomena eurocentrik dan mekanik, pada skala lebih besar, "globalis" dalam tahap awal. Seluruh ruang dunia saat ini dipisahkan menjadi wilayah negara-bangsa merupakan konsekuensi langsung dari penjajahan, imperialisme, dan proyeksi model Barat atas seluruh umat manusia. Konsep negara bangsa ini mengalami “kemerosotan” dan “pengerusan” akibat berkembangnya perspektif “globalisasi” dalam studi hubungan internasional. Perspektif globalisasi berupaya meminimalkan “peran” negara bangsa. Globalisasi dapat diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional ke arah negara bangsa tetap mempertahankan masing-masing identitas, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain. Globalisasi juga dapat bermakna sebagai “internasionalisasi”, “liberalisasi”, “universalisasi”, “westernisasi”, dan “hubungan transplanetori dan suprateritorial”. Globalisasi sebagai sebuah proyek diusung oleh negara-negara adikuasa (superpower). Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk paling mutakhir. Negara-negara kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti sosial politik, budaya, juga agama dll. Dinamika politik ekonomi di Asia Tenggara ditentukan persaingan antara AS dan sekutunya (Barat) dengan Cina-Rusia dan sekutunya (Timur). Persaingan antar dua kekuatan raksasa ini sesungguhnya dipengaruhi kepentingan nasional masing-masing negara terlibat sebagai sarana dan sekaligus tujuan untuk “bertahan hidup” dalam politik internasional. II. DERSKRIPSI ASIA TENGGARA Posisi dan letak geografis kawasan Asia Tenggara berada di antara Benua Australia dan Samudera Pasifik dengan iklim tropis. Adapun batas kawasan Asia Tenggara, yakni: 1) Utara : Negara Cina. 2) Selatan : Negara Timor Leste, Benua Australia dan Samudra Hindia. 3) Barat : Negara India, Bangladesh, dan Samudra Hindia. 4) Timur : Negara Papua Nuigini dan Samudera Pasifik. Asia Tenggara menjadi strategis karena berada di antara dua samudera, menghubungkan negara-negara Barat dan Timur. Luas wilayah daratan dari Asia Tenggara sekitar 4.817.000 KM2. Perairan laut sekitar 5.060.100 KM2. Asia Tenggara terdiri beberapa negara kepulauan, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darussalam. Myanmar, Laos, Kampuchea, Vietnam dan juga Timor Leste. Indonesia adalah negara terbesar dan terluas, termasuk daratan. Terkecil adalah Singapura. Semua negara Asia Tenggara terhimpun ke dalam organisasi ASEAN. Timor Leste sebelumnya merupakan bagian dari Indonesia telah mengajukan diri menjadi anggota ASEAN walaupun oleh beberapa pihak, atas alasan politis, negara ini dimasukkan ke kawasan Pasifik. Secara geografis (dan juga secara historis) sebenarnya Taiwan dan pulau Hainan juga termasuk Asia Tenggara, sehingga diikutkan pula. Namun, karena alasan politik Taiwan, dan pulau Hainan lebih sering dimasukkan ke kawasan Asia Timur. Kepulauan Cocos dan Pulau Christmas, terletak di selatan Jawa, oleh beberapa pihak dimasukkan sebagai Asia Tenggara meskipun secara politik berada di bawah administrasi Australia. Sebaliknya, Pulau Papua dimasukkan sebagai Asia Tenggara meskipun secara geologi sudah tidak termasuk benua Asia. Asia Tenggara, terutama Indonesia, berada pada” ring of fire” atau cincin api: suatu jalur di muka bumi dimana di area tersebut terdapat sejumlah besar gunung api aktif dan kejadian gempa bumi sebagai hasil dari aktifitas tektonik atau pergerakan lempeng-lempeng tektonik di muka bumi. Sebagai area sangat dipengaruhi oleh aktifitas tektonik maka daerah ini merupakan daerah rawan gempa bumi dan mayoritas gempa merusak terjadi di sepanjang jalur ini. Terdapat dua Jalur cincin api atau ring of fire di muka bumi, yaitu Circum Pacific Ring of Fire dan Circum Mediterranea Ring of Fire. Asia Tenggara terkena jalur Circum Pasific Ring of Fire. Secara demografi, penduduk Asia Tenggara multiras, multietnis dan multikultural. Menurut para Antropog, suku bangsa tinggal di kawasan Asia Tenggara merupakan keturunan dari dua ras: Pertama, Ras Negroid menempati Semenanjung Melayu dan wilayah Negara Filipina. Kedua, Ras Mongoloid, menempati Kepulauan Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Ras Mongoloid ada di Indonesia dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Proto Melayu (Melayu Tua), menurunkan suku Batak, Dayak, Toraja; 2) Deutro Melayu (Melayu Muda), menurunkan suku Bali, Jawa, dan Minangkabau. Di Asia Tengara ditemukan sangat banyak macam suku sebagai berikut: 1. Kampuchea: Khmer (94 %), Cina (4%), Vietnam (1%), lainnya (kebanyakan Cham, 1 %). 2. Laos: Lao Daratan Rendah (56 %) dan Lao Theung (34 %), Lao Soung (10%). 3. Myanmar: Burma (68 %), Shan (9%), Karen (6%), Rakhine (4%), lainnya (termasuk suku Cina dan Indo-Arya 13 %). 4. Thailand: Thai (75 %), Tiongkok (14 %), Melayu (4%), Khmer (3%), lainnya (4%). 5. Vietnam: Vietnam (88%), Cina (4%), Thai (2 %), lainnya (6%). 6. Brunei:Melayu (69%), Cina (18 %), Pribumi Brunei (6 %), lainnya (7%). 7. Filipina: Filipino (80%), Cina (10%), Indo-Arya (5%), Eropa dan Amerika (2%), Arab (1 %), lainnya (2%). 8. Indonesia:Jawa (41,7%), Sunda (15,4%), Melayu (3,4%), Madura (3,3%), Batak (3.0%), Minangkabau (2,7%), Betawi (2,5%), Bugis (2,5%), Banten (2,1%), Banjar (1,7%), sukBali (1,5%), Sasak (1,3%), Makassar (1,0%), Cirebon (0,9%), Cina (0,9%), Aceh (0,43%), Toraja (0,37%), sisanya ratusan suku kecil dari Rumpun Melanesia dan Melayu-Polinesia. 9. Malaysia: Melayu dan Orang Asli (60%), Cina (30%), Tamil (6,4%), lainnya (2%). 10. Singapura: Cina (76%), Melayu (15%), Indo-Arya (7%), lainnya (2%). 11. Timor Leste: Austronesia, Melayu, Portugis Eropa. Agama penduduk Asia Tenggara sangat beragam, dan tersebar di seluruh wilayah. Agama Budha menjadi mayoritas di Thailand, Myanmar, Laos , Vietnam dan Kampuchea. Agama Islam dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia, Malaysia, dan Brunei dengan Indonesia menjadi negara dengan penganut Islam terbanyak di dunia. Agama Kristen menjadi mayoritas di Filipina dan Timor Leste. Di Singapura, agama dengan pemeluk terbanyak adalah agama dianut oleh orang Cina seperti Buddha, Taoisme, dan Konfusianisme. Walau begitu, di beberapa daerah, ada kantong-kantong pemeluk agama bukan mayoritas seperti Hindu di Bali dan Kristen di Maluku dan Papua atau Islam di Thailand dan Filipina bagian Selatan. III. POROS MARITIM Poros Maritim Dunia mulai menjadi percakapan di kalangan analisis, pengamat dan politisi Indonesia, sejak Jokowi selaku Presiden mengkampanyekan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Apa itu? Poros Maritim Dunia merupakan sebuah gagasan strategis diwujudkan untuk menjamin konektifitas antar pulau, pengembangan industri perkapalan dan perikanan, perbaikan transportasi laut serta fokus pada keamanan maritim. Indonesia akan menjadi Poros Maritim Dunia, kekuatan mengarungi dua samudera, bangsa bahari sejahtera dan berwibawa. Untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, Presiden Jokowi memaparkan lima pilar utama: • Pertama, pembangunan kembali budaya maritim Indonesia. Sebagai negara terdiri atas 17 ribu pulau, bangsa Indonesia dikampanyekan oleh Jokowi harus menyadari dan melihat dirinya sebagai bangsa identitas, kemakmuran, dan masa depan, sangat ditentukan oleh bagaimana bangsa Indonesia mengelola Samudera. • Kedua, komitmen menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama. Kekayaan maritim akan digunakan sebesar-sebesarnya untuk kepentingan rakyat. • Ketiga, komitmen mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun Tol Laut, Pelabuhan Laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim. • Keempat, “Diplomasi Maritim” mengajak semua mitra Indonesia untuk bekerja sama pada bidang kelautan (agenda pembangunan). Bersama-sama harus menghilangkan sumber konflik di laut, seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut. • Kelima, sebagai negara menjadi titik tumpu dua samudera, Indonesia berkewajiban membangun kekuatan pertahanan maritim. Hal ini diperlukan bukan saja untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim Indonesia, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab Indonesia dalam menjaga keselamatan pelayaran. IV. AS-CINA DI ASIA TENGGARA 4.1. Kepentingan AS Pada pinsipnya AS memiliki kepentingan nasional di kawasan Asia Tenggara. AS menilai Asia Tenggara dan juga Indonesia memiliki posisi krusial. AS perlu membina hubungan kuat dengan negara-negara ASEAN seperti Singapore, Filipina dan Vietnam, memiliki posisi strategis untuk mengepung pengaruh Cina di Asia Tenggara. Khususnya Singapura dinilai berlokasi sangat ideal untuk menguasai “choke points” (titik-titik kunci) seperti Selat Malaka, serta akses menuju Vietnam dan Filipina. Diharapkan, bisa membantu AS membangun superioritas udara atas jalur-jalur di Laut Cina Selatan. Ada beberapa kepentingan dan kebijakan AS di Asia Tenggara: 1. Asia Tenggara memiliki arti geopolitik dan geostrategis penting pada persaingan alur laut paling kritis di dunia. Lebih dari AS $ 1,3 triliun barang dagangan diangkut melalui Selat Malaka dan Selat Lombok. Diperkirakan hampir separoh dari nilai perdagangan dunia, termasuk minyak krusial dari Teluk Persia ke Jepang, Korea Selatan, dan Cina. Untuk mengamankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan AS dan sekutu-sekutunya, sangat tergantung pada kemampuan memelihara kehadiran di Asia Tenggara dan pengaruh AS, serta terbukanya akses tanpa hambatan ke jalur-jalur laut di kawasan itu. 2. Asia Tenggara memiliki potensi kandungan minyak dan gas bumi serta tingkat produksi lebih besar ketimbang dibayangkan. Cadangan minyak dan gas bumi di Asia Tenggara belum sepenuhnya diketahui. Fokus utama dan sasaran strategis AS adalah penguasaan cadangan minyak dan gas bumi diprediksi punya kandungan cukup besar. Setiap gangguan atau pengalihan terhadap alur pasokan minyak akan mengakibatkan pengaruh berdampak menghancurkan ekonomi Asia Timur, dan pada perkembangannya dampak turunan terhadap AS. Perlu dan bahkan keharusan dibuatnya kebijakan mencegah intervensi kekuatan pesaing lain, terutama Cina dan Rusia. AS berupaya menguasai kawasan ini, sehingga pengawasan atas alur laut mempunyai nilai kunci, atau “choke points”. Di seluruh Asia Tenggara AS akan menempatkan diri pada posisi mampu menekan Cina. Kebijakan AS memperkuat kehadiran militer di kawasan ini sehingga mampu menghadapi tantangan klaim Cina di Laut Cina Selatan dan pulau-pulau dipersengketakan seperti Spratley dan Paracel. Dilaksanakan program pelatihan bersama sekawasan Asia Tenggara didukung oleh infrastruktur efektif dan program bantuan terhadap para sekutu, khususnya Filipina. Kebijakan normalisasi hubungan militer dengan Indonesia secara penuh dan memulihkan pengalihan perlengkapan militer dan suku cadang dalam rangka mencegah kemerosotan kemampuan pertahanan Indonesia. AS di bawah Presiden baru Donald Trump cenderung bersikap “keras” menghadapi Cina di Asia Tenggara, termasuk di Laut Cina Selatan. Rex Tillerson, Calon Menlu AS, dengan jelas mengecam pembangunan pulau buatan oleh Cina di Laut Cina Selatan. Baginya, Cina seharusnya dilarang mendekati pulau buatan dibangun di laut Cina Selatan. Tillerson meyamakan pulau buatan Cina di Laut Cina Selatan dengan pencaplokan wilayah Crimea di Ukraina oleh Rusia pada 2014 lalu. “Kita akan memberi sinyal jelas kepada Cina bahwa, pertama, pembangunan pulau harus berhenti, dan kedua, anda tidak diperbolehkan mengakses pulau-pulau itu”, terang Tillerson seperti dilansir News.Com.an dan Reuters (13 Januari 2017). AS menegaskan, akan melindungi kepentingan AS di Laut Cina Selatan. Bahkan, Trump akan mengejar hegemoni di laut Cina Selatan dan tidak akan menarik diri dari kawasan itu. Bahkan, ada prediksi pengamat, AS akan menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan pembangunan pulau buatan oleh Cina di Laut Cian Selatan sedang berlangsung kini. AS memiliki ratusan perusahaan tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Umunya bergerak di sekitar Migas dan pertambangan. Namun, tidak sedikit juga aset-aset perusahaan atau individual AS diinvestasikan di sektor mikro ekonomi seperti Saham. Karena itu, AS berusaha sekuat tenaga mempertahankan pengaruh di Indonesia dan mendukung kekuatan politik anti Cina agar menjadi penguasa negara pro lebih ke AS ketimbang Cina. Berbagai upaya baik terbuka maupun tertutup akan dilakukan AS untuk mencapai sasaran pengaruh di Indonesia, termasuk mendukung Calon Presiden tertentu dan menolak Calon Presiden lain dalam Pilpres 2019 mendatang. 4.2. Kepentingan Cina Sebagaimana AS, Cina juga memiliki kepentingan dan menjadikan vital atas kawasan Asia Tenggara. Kawasan ini terutama sebagai jalur perairan terpenting dan strategis di dunia, khusus membawa sumberdaya energi dan bahan baku lain ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Cina menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah diperdagangkan di dunia melewati perairan Asia Tenggara. Dewasa ini Cina terlibat di dalam sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Cina Timur, Cina bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku. Beberapa kepentingan dan kebijakan Cina di Asia Tenggara: 1. Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia, Cina amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka, membentang 800 KM (500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan Semenanjung Melayu (Malaysia) dan menyempit hanya 2,4 KM (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, mengarah ke Laut Cina Selatan. 2. Sebagaimana Amerika, Rusia, Jepang dan India, Cina menyadari betul, saat ini sekitar 70 % perdagangan dunia bergerak melintasi Samudera Hindia antara Timur Tengah dan Asia Pasifik. Seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka, Asia Tenggara. 3. Cina mempunyai sasaran strategis menguasai wilayah-wilayah berada di jalur Laut Cina Selatan, merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk mengimbangi pengaruh AS begitu kuat secara militer di Asia Tenggara, dan menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya doktrin kemaritiman dikenal dengan “String of Pearl”. 4. Kebijakan Cina lebih menekankan pola perang Asimetris (nirmiliter) dalam menguasai wilayah-wilayah bernilai strategis secara geopolitik di kawasan Asia Tenggara. Sasaran perang asimetris ini ada tiga: 1) Membelokkan sistem sebuah negara sesuai arah kepentingan kolonialisme. 2) Melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyat. 3) Menghancurkan “food security” (ketahanan pangan) dan “energy security” (jaminan pasokan dan ketahanan energi) suatu negara, selanjutnya menciptakan ketergantungan negara target terhadap negara lain di bidang “food and energy security”. 4) Salah satu kunci Cina lebih kuat dari AS, karena untuk mewujudkan ”China Dream”, menjadi simbol kebangkitan etnis/ras Cina, Xi Jinping (Presiden Cina) dan Li Keqiang (PM Cina), maka Cina-Hongkong dan Macau harus saling bekerjasama dan saling melengkapi. Cina tetap menganggap Huaren dan Huaqiao (warga Cina perantauan) menjadi aset penting mengejar “China Dream” . Kebijakan Cina, semua elemen Cina di manapun berada adalah “satu bangsa” melalui “program cultural nationalism”. 5) Cina melaksanakan kebijakan Turnkey Project Management, sebuah model investasi asing ditawarkan dan disyaratkan oleh Cina kepada negara peminta kredit atau utang pendanaan dari Cina dengan “sistem satu paket.” Artinya mulai dari SDM (Tenaga Kerja) level manajemen, konsumsi, teknisi mesin, tenaga ahli, tenaga kerja trampil dan bahkan tenaga kerja kasar (kuli) disediakan atau berasal dari Cina (RRC). V. PERSAINGAN AS-CINA Secara geopolitik persaingan global antar AS dan Cina (RRC)-Rusia telah bergeser dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, ke kawasan Asia Pasifik. Artinya, Asia Pasifik menjadi “medan perang” baru berbagai kepentingan negara adikuasa. Sebagai bagian dari Asia Pasifik, Asia Tenggara, Laut Cina Selatan dan Indonesia tentunya otomatis juga akan menjadi “sasaran arena persaingan” berbagai negara adikuasa. Ketika persaingan global AS-Cina semakin menajam di kawasan Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara, memiliki implikasi atau berdampak langsung terhadap Indonesia. Bahkan, dinamika politik (termasuk perebutan kekuasaan negara) dan ekonomi dalam negeri Indonesia tidak terbebas dari dinamika persaingan global AS-Cina dimaksud. Munculnya Cina sebagai negara adikuasa regional baru kurun waktu 10 - 15 tahun ke depan dapat meningkatkan persaingan AS-Cina di Asia Tenggara, sekaligus meningkatkan potensi konflik bersenjata (militer). AS dan Cina sama-sama mempunyai “kebijakan strategis” dan “doktrin pertahanan-keamanan” dalam rangka menguasai wilayah strategis khususnya Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. AS mempunyai doktrin disebut “the US Commission on Ocean Policy”, sedangkan Cina mempunyai doktrin disebut “the String of Pearl” sebagai rencana strategis untuk menguasai Jalur Sutra. VI. DINAMIKA POLITIK KEKUASAAN INDONESIA 6.1. Perang Asimetris Sasaran Perang Asimetris dalam perspektif politik (kolonialisme) global, Indonesia diletakkan sebagai: 1) Pemasok bahan mentah bagi negara-negara industri maju. 2) Pasar bagi barang jadi dihasilkan oleh negara-negara industri maju. 3) Pasar untuk pemutaran ulang kelebihan kapital diakumulasi oleh negara-negara industri maju. 4) Faktor geoposisi silang di antara dua samudera dan dua benua, menjadikan Indonesia mutlak harus kondusif, aman dan nyaman bagi keberlangsungan lalu lintas pelayaran antar negara bahkan antar benua. 5) Terdapat 80% perdagangan dunia melalui Indonesia; 50% tanker minyak dunia. 6) Indonesia kini sesungguhnya menjadi sasaran proxy war (lapangan tempur) baik bagi Cina maupun AS. Namun, proxy war dilakukan secara asimetris (non militer). 6.2. Indonesia Berpaling ke Cina Hubungan kerjasama ekonomi Indonesia-Cina sesungguhnya memasuki ‘era baru” saat Presiden SBY dan Presiden Cina, Xi Jinping, menandatangani perjanjian kerjasama Oktober 2013 di Jakarta. Selama ini hubungan kerjasama Indonesia-Cina hanya bidang perdagangan, namun sejak penandatangan ini meningkat ke arah industrialisasi dan pembangunan non perdagangan seperti infrastruktur, transportasi enerji, keuangan dan pariwisata. Pada 2014, Rezim SBY-Boediono melalui Pilpres digantikan Rezim Jokowi-JK. Di bawah Rezim Jokowi-JK hubungan kerjasama ekonomi meningkat pesat bahkan Indonesia cenderung berpaling ke Cina. Rezim Jokowi-JK cenderung berpaling ke Cina, bermula dari pertemuan antara Jokowi dan Presiden Cina (RRC) Xi Jinping, di sela-sela acara KTT Asia Afrika (KAA) ke-60, di Jakarta Convention Center, 22 April 2015. Dalam pertemuan itu, Jokowi ingin memastikan Cina dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, meliputi pembangunan 24 pelabuhan laut, 15 bandar udara (airport), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (KM), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 KM, dan pembangunan pembangkit listrik (powerplan) berkapasitas 35 ribu megawatt. Ada kesepakatan Indonesia-Cina terkait bantuan pembangunan infrastruktur. Di bidang keuangan, di bawah Rezim Jokowi-JK, utang luar negeri Indonesia terhadap Cina tumbuh 56,61 %. Pada Januari 2015 utang Indonesia ke Cina AS $ 8,55 miliar, sementara per Januari 2016 tumbuh menjadi AS $ 13,65 miliar, melejit 59 %. Dari lima negara kreditor besar Indonesia, hanya utang ke Cina saja mengalami kenaikan selama tahun terakhir. Sementara itu, utang ke Singapura, Jepang, AS dan Belanda sama-sama menurun (Bank Indonesia, Maret 2016). Selanjutnya, pada September 2016, diperkirakan utang Indonesia ke Cina melonjak hingga 46,09 %. Jika Juli 2015 jumlah utang ke Cina sebesar AS $ 9,69 miliar, maka Juli 2016 menaik AS $ 4,47 miliar menjadi AS $ 14,17 miliar (Bank Indonesia, 2016). Jika tahun 2015 Cina masih berada di peringkat kelima sebagai negara kreditor terbesar, pada Juli 2016 Cina sudah di peringkat ketiga terbesar. Dari lima Kreditor dimaksud, tercatat hanya utang Indonesia ke Cina dan Jepang mengalami kenaikan. Sisanya mengalami penurunan. Investasi Cina di bidang keuangan dan infrastuktur, terutama pelabuhan, akan bermanfaat bagi Cina dari segi geopolitik dan geostrategis Cina. Cina memandang amat penting untuk menjaga jalur laut ke Hongkong, Shenzhen, Guangzhou, dan pelabuhan Cina lain agar tetap terbuka dan bebas dari segi keamanan laut. Hal ini selaras dengan doktrin “String of Pearl” Cina dengan gagasan dasar, yakni sebagai doktrin penguasaan maritim kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah-wilayah melewati Laut Cina Selatan. Berdasarkan skema Cina tentang penguasaan geopolitik jalur sutra, Indonesia termasuk mata-rantai penting menjadi sasaran strategis dan perang asimetris Cina. Metode digunakan dalam bentuk investasi dan bantuan (utang), termasuk pembangunan infrastruktur. 6.3. Kepentingan Membayar Utang Cina Cina memiliki kepentingan untuk memecahkan masalah utang dirinya sendiri. Sebuah sumber menggambarkan kini kondisi ekonomi Cina tidak menggembirakan. Ekonomi China tengah berada di bawah tekanan utang raksasa, nilainya mencapai US$ 28,2 triliun, atau sekitar Rp.366 ribu triliun. Ini 100 kali utang luar negeri Indonesia. Padahal, utang China telah meningkat sangat pesat sejak 2007. Peningkatannya mencapai US$ 20,8 triliun. China menguasai dua pertiga dari peningkatan utang global dalam rentang waktu 2007-2014 sebesar US $ 57 triliun. Sekarang utang ekonomi China mencapai 286 % terhadap GDP negaranya dan terus meningkat. Apalagi pertumbuhan ekonomi China terus merosot, semula sempat 7%, tahun 2017 ini diperkirakan hanya akan tumbuh 6% dan tahun-tahun berikutnya hanya akan capai 4 %. Kondisi ekonomi China merupakan alarm bagi ekonomi global. Karena jika utang raksasa China jatuh, maka puing krisis 2008 melanda ekonomi AS akan terulang di China. Asia paling terdampak. Dengan utang sebesar itu, Cina berpotensi menjadi penyebab krisis global seperti AS pada saat tahun 2008. Cina memanfaatkan Indonesia bagaikan "pelampung penyalamat" dengan menyerahkan semua proyek infrastruktur raksasa kepada China. Dengan memegang kontrak infrastruktur itu, beserta hak atas tanah, maka China bisa mengagunkan/menjaminkan kontrak dengan Indonesia ke pasar keuangan global dan membentuk kembali gelembung keuangan China. Infrastruktur raksasa seperti tol laut, tol darat, pelabuhan, bandara, kereta api, monorel, MRT, dll. digadaikan ke China. Padahal, semua itu adalah infrastruktur menelan dana sekitar ratusan triliun rupiah. 6.4. Dampak Indonesia Berpaling ke Cina Bagaimanapun terdapat dampak Jangka Pendek, Menengah dan Panjang dari meningkat pesar hubungan ekonomi Indonesia-Cina ini. A. Dampak Jangka Pendek: 1. Berbondong-bondong Masuknya Tenaga Kerja Cina Cina akan mendatangkan ribuan tenaga kerja dan akan berbondong-bondong migrasi secara massal dari Cina. Hal ini menyebabkan hilangnya peluang lapangan pekerjaan bagi rakyat Indonesia dan bahkan bisa terjadi “konflik manifest” rakyat Indonesia dengan kelompok Tenaga Kerja Cina datang ke Indonesia. 2. Issue Politik Kebangkitan Komunisme Implikasi jangka pendek ini menimbulkan polemik dan persepsi publik adanya kebangitan Komunisme. Argumentasi utama adalah RRC sebagai negara beridologi Komunisme tentu akan membantu bangkitnya kembali Komunisme di Indonesia. Hal ini menyebabkan meningkatnya keresahan dan kecaman rakyat Indonesia anti Komunisme, terutama kelompok Islam politik, mantan perwira dan TNI, serta kaum terpelajar didikan Barat terhadap kebijakan Rezim Jokowi-JK terkait kerjasama ekonomi Indonesia-Cina dan pada gilirannya mengurangi legitimasi politik Rezim Jokowi-JK. Rezim Jokowi-JK perlu mengelola dan mengendalikan issue politik kebangkitan Komunisme ini agar tidak menjadi konflik manifest. 3. Issue Politik Proyek Pulau Palsu (Reklamasi) Pantai Utara DKI Kini sudah muncul polemik dan persepsi negatif terhadap kebijakan Gubernur DKI Jakarta, Ahok, tentang pembangunan pulau palsu (reklamasi). Pembangunan pulau palsu ini diklaim sebagai upaya untuk memindahkan rakyat Cina ke Indonesia dengan memberi permukiman dan perumahan. Gelombang rakyat Indonesia anti kebijakan pembangunan pulau palsu ini semakin meningkat dan dinilai sebagai ancaman bagi kedaulatan dan kelanjutan NKRI. Rezim Jokowi-JK perlu mengelola dan mengendalikan issue politik pulau palsu ini agar tidak menjadi konflik manifest. 4. Issue Politik Asing,Aseng dan Asong Issue politik asing, aseng dan asong menguasai kehidupan ekonomi politik Indonesia telah menjadi perbincangan di publik baik melalui media sosial, media massa maupun diskusi publik. Issue ini semakin membesar dan meluas sesuai dengan berkembangnya issue berbondong-bondong tenaga kerja Cina masuk ke Indonesia dan penguasaan sebagian besar sumberdaya Indonesia oleh kelompok konglomerat Cina (Taipan). Issue ini juga dapat meningkatkan kecaman dan penolakan terhadap kegiatan ekonomi Cina di Indonesia sebagai realisasi kerjasama ekonomi Indonesia-Cina. Rezim Jokowi-JK perlu mengelola dan mengendalikan issue politik asing, aseng dan asong ini agar tidak menjadi konflik manifest. 5. Issue Politik Penyeludupan Narkoba dan PSK dari Cina Issue politik penyeludupan narkoba dan masuknya PSK (Pelacur) dari Cina telah menjadi polemik dan perbincangan publik akhir-akhir ini. Telah muncul issue di kalangan rakyat Indonesia, ditingkatkannya hubungan kerjasama ekonomi dengan Cina menyebabkan meningkatnya pemasokan narkoba ke Indonesia dari Cina. Selanjutnya, muncul issue meningkatnya jumlah PSK (Pelacur) masuk ke Indonesia dari Cina. Rezim Jokowi-JK perlu mengelola dan mengendalikan issue politik penyeludupan narkoba dan PSK (Pelacur) dari Cina ini agar tidak menjadi konflik manifest. B. Dampak Jangka Menengah: Yakni Indonesia niscaya dibanjiri berbagai produk konsumen dan sejenis dari Cina dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan (hidup) kalangan pekerja asal Cina dimaksud. Bagaimanapun juga, membanjirnya produk konsumen dan sejenis dari Cina akan membawa dampak negatif terhadap kondisi kehidupan usaha industri produk konsumen dan sejenis dalam negeri. Ada perkiraan, satu dua tahun ke depan Indonesia akan menjadi negara konsumen produk Cina dengan harga lebih murah ketimbang produk lokal. Dikhawatirkan, para investor asing akan mengalihkan investasi dan dana dari Indonesia ke Cina dan Vietnam. Akibatnya, terjadi pengangguran besar-besaran tenaga kerja/buruh lokal. C. Dampak Jangka Panjang: Yakni Cina akan memperoleh hak mengelola pelabuhan minimum 30-an tahun atau bahkan lebih. Artinya, bahwa sistem pengelolaan baik di pelabuhan laut maupun (bandara) udara akan dikendalikan Cina. Simpul-simpul strategis Indonesia terkait transportasi untuk distribusi barang dan jasa dalam kendali dan kontrol Cina. Hal ini dapat membawa dampak negatif terhadap kondisi kedaulatan dan peran negara dalam pengelolaan pemerintahan, dunia usaha dan masyarakat madani di Indonesia. Jika pada prakteknya keputusan mendasari Rezim Jokowi-JK berpaling ke Cina semata-mata atas dasar pertimbangan “keuntungan ekonomi”, maka Indonesia berpotensi untuk “tergadai” melalui “skema investasi asing” Cina dan semakin kehilangan “martabat” dan “kedaulatan” sebagai negara bangsa dalam politik internasional. 6.5. Perebutan Kekuasaan Negara Pilpres 2019 Dinamika politik ekonomi di Asia Tenggara ditentukan persaingan AS-Cina. Persaingan ini dipengaruhi kepentingan nasional masing-masing negara adikuasa tersebut. Secara geopolitik persaingan global antar negara adikuasa, yaitu antara AS dan Cina (RRC)-Rusia, telah bergeser dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, ke kawasan Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. Artinya, Asia Pasifik menjadi “medan perang” baru berbagai kepentingan negara-negara adikuasa. Indonesia sebagai negara bangsa di kawasan Asia Tenggara otomatis akan menjadi “sasaran arena persaingan” berbagai negara adikuasa. Untuk memperkuat kehadiran militer di kawasan, AS akan kembali mempengaruhi penguasa negara Indonesia dengan mendukung kekuatan-kekuatan politik pro AS dan anti Cina di Indonesia, terutama kelompok pensiunan perwira tinggi militer seperti group SBY (Perwira Militer Pensiunan), group Prabowo (Perwira Militer Pensiunan), group Cendana (keluarga dan pendukung Mantan Presiden Indonesia Orde Baru, Soeharto), TNI/Polri, Islam politik umumnya turunan dari Partai Masyumi (Orde Lama), kelompok politisi Parpol non aliran Islam dan Marhaenisme turunan Partai Golongan Golkar (Orde Baru), kaum terpelajar didikan Barat khususnya AS. Kelompok-kelompok politik ini pada prinsipnya anti Komunisme dan lebih pro AS ketimbang Cina. Khusus bagi kelompok Islam politik, Cina masih dipercaya memiliki ideologi Komunisme dan akan tetap mempengaruhi kebangkitan Komunisme di Indonesia. Meningkat pesatnya hubungan kerjasama ekonomi Indonesia di bawah Rezim Jokowi dengan Cina, mempercepat kristalisasi dan pengelompokan kekuatan-kekuatan polirtik menjadi dua kekuatan rakasasa politik, yakni kekuatan raksasa pro AS dan kekuatan raksasa pro Cina. Kedua kekuatan raksasa ini akan bertarung dalam perebutan kekuasaan negara pada Pilpres 2019 mendatang. Sekalipun Pilpres masih tiga tahun lagi, tetapi suasana politik sekarang ini mulai menunjukkan beragam indikasi ke arah kristalisasi dan polarisasi dua kekuatan raksasa dalam dinamika politik Indonesia. VII. PERTANYAAN STUDY: Mencermati dinamika politik di Indonesia adalah penting memasukkan faktor internasional. Perlu ada perumusan pertanyaan study ini lebih tajam untuk menganalisis situasi politik kekuasaan di Indonesia dan sekaligus memperkirakan apa yang akan terjadi menjelang dan setelah Pilpres tahun 2019 mendatang. Beberapa pertanyaan dimaksud adalah: 1. Indonesia bagian Asia Tenggara, sejauh mana implikasi persaingan superpower terhadap kehidupan ekonomi dan politik Indonesia? 2. Apa dampak terhadap rakyat Indonesia dari persaingan kekuatan-kekuatan politik dalam negeri dimaksud? 3. Posisi apa harus diambil PMII baik nasional maupun Jawa Timur dalam peta kekuatan politik di Indonesia sekarang ini ?. ---------------- Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP Ketua Dewan Pendiri NSEAS (Network For Sout East Asian Studies) *Makalah ini disajikan pada “Study Politik Kerakyatan dan Seminar PKC PMII Jatim”, 22 Maret 2017 , Gedung BKD, Kab. Probolinggo, Jawa Timur.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda