Minggu, 19 Februari 2017

MENGAPA AHOK HARUS DINONAKTIFKAN SEBAGAI GUBERNUR DKI?

I.PENGANTAR: Tulisan ini bertujuan menyajikan kepada publik agar memperoleh informasi terstruktur dan jawaban atas persoalan: mengapa Ahok harus dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta? Asumsi dasar tulisan ini, yakni Rezim Kekuasaan di bawah Presiden Jokowi berupaya mempertahankan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta tahun 2013-2017 sekalipun Ahok berstatus Terdakwa dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan menandakan sikap diskriminatif serta mengabaikan penegakan prinsip-prinsip Good Governance pada pemerintahan di Indonesia. Tulisan ini akan menyajikan terlebih dahulu kritik dan argumentasi sejumlah Pakar Hukum tentang penonaktifan Ahok selaku Gubernur DKI karena telah bertatus Terdakwa. Selanjutnya sebagai studi perbandingan, akan disajikan fakta-fakta penonaktifan Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dalam status Terdakwa, bahkan ada masih Tersangka. Sebagai penutup Tulisan ini menilai, sikap Presiden Jokowi tidak menonaktifkan Ahok sebagai Gubernur menunjukkan bertentangan dengan cita-cita Reformasi Birokrasi dan Good Governance (tata pengelolaan pemerintahan yang baik) sebagai bagian dari cita-cita demokrasi dan reformasi telah diperjuangkan rakyat Indonesia selama ini. Salah satu argumentasi aspek peraturan perundang-undangan tentang Ahok harus dinonaktifkan adalah pasal 83 ayat 1 UU 23/2014 berbunyi: "Kepala daerah atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia". II.KRITIK DAN ARGUMENTASI PAKAR HUKUM: 1.PENDAPAT MENDAGRI SEBELUMNYA: Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, pemberhentian sementara terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dilakukan setelah masa cuti kampanye yang dijalaninya berakhir. Hal ini disampaikan Tjahjo terkait status Ahok sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama. "Sekarang ini kan petahana (Ahok) lagi cuti. Berarti kan sedang tidak menjabat. Nah begitu (setelah masa) cutinya habis, baru akan diberhentikan," ujar Tjahjo, di Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat (16/12/2016). Tjahjo menjelaskan, kepala daerah sedang menjalani persidangan atau proses hukum tetapi tidak ditahan akan diberhentikan sementara. Tujuannya agar kepala daerah tersebut bisa fokus pada persoalan hukum sedang dijalaninya dan tidak mengambil kebijakan dalam pemerintahan. merujuk ke peraturan perundang-undangan, Pasal 84 UU No 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyebutkan, pada pokoknya adalah presiden atau menteri dapat memberhentikan sementara kepala daerah jika tersangkut permasalahan dan masuk ke proses persidangan selambat-lambatnya selama 30 hari terhitung sejak menerima salinan nomor perkara dari pengadilan negeri. Apabila putusan pengadilan menyatakan bersalah, maka kepala daerah akan diberhentikan dari jabatannya. Sementara, apabila dinyatakan tidak bersalah, maka presiden atau menteri harus merehabilitasi kepala daerah dimaksud. Saat ini, Kemendagri belum menerima salinan nomor perkara kasus Ahok dari pengadilan. Dengan demikian, status Ahok saat ini masih sebagai gubernur non-aktif karena ia merupakan petahana sedang menjalani masa cuti kampanye. Sebelumnya, sidang perdana kasus dugaan penodaan agama digelar di Gedung eks Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Gadjah Mada, Jakarta (13/12/2016). Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP. Dalam dakwaannya, JPU menyebut perbuatan Ahok telah menghina para ulama dan agama. 2.KRITIK ASEP WARIAN Asep Warian adalah pakar hukum tata negara. Ia menilai, Ahok seharusnya diberhentikan dari jabatan Gubernur DKI Jakarta. Salah satu alasannya, jika mengacu pada UU tentang Pemda (Pemerintahan Daerah), ketika seorang Gubernur/Bupati/Walikota berstatus Terdakwa, maka sudah semestinya diberhentikan sementara. Tetapi, Mendagri menafsirkan harus ada putusan. Bagi Asep, Terdakwa, bukan inkrah. Pemberhentian sementara bukan dilihat pada kasusnya, tapi dilihat dari status Terdakwa dan dakwaannya. Begitu juga soal penahanan seorang Tersangka, jika ancaman hukuman pidananya di atas lima tahun, maka harus ditahan. Ahok kan dua pasal, ada empat tahun dan lima tahun. Itu ngotak-ngatik pasal. Pasal mana digunakan. Karena itu, status Ahok bergantung pada Hakim, pasal mana akan digunakan. Sementara. Mendagri melihat dari dua aspek. Pertama, saat Pilkada, seseorang Kepala Daerah tidak boleh diberhentikan, agar pembangunan tidak berhenti. Kedua, Mendagri menyatakan, menunggu vonis Hakim terlebih dahulu. Ini tidak fair, diskriminatif. Jadi, negeri ini mah bergantung penguasa. Mudah-mudahan dengan tekanan publik Mendagri memperlakukan Ahok sama dengan yang lain. 3.KRITIK ROMLI ATMASASMITA: Membiarkan Ahok Jabat Gubernur lagi, Jokowi dinilai langgar dua UU Menurut pakar hukum pidana Romli Atmasasmita, jika Ahok sampai menjabat Gubernur kembali, maka Presiden Jokowi melanggar UU Pemerintah Daerah (Pemda) dan UU Pilkada. Romli menjelaskan, pemberhentian sementara Ahok hukumnya wajib, tidak ada kecuali. Kita tahu Masa kampanye Pilkada DKI berakhir pada 11 Februari 2017. Seiring dengan itu, berakhir pula cuti kampanye bagi pasangan petahana, Basuki T Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Berdasarkan UU, Ahok kini berstatus Terdakwa seharusnya diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Gubernur DKI, setelah cuti kampanyenya habis. Namun hal itu belum dilakukan oleh pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Anehnya, saat ini Mendagri Tjahjo Kumolo memastikan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok akan kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta, meskipun statusnya saat ini adalah Terdakwa kasus penistaan agama. Setelah masa kampanye habis maka Plt Gubernur DKI Jakarta akan menyerahkan kembali jabatan tersebut kepada Ahok. 4.KRITIK OMBUDSMEN: Ahok harus diberhentikan oleh Presiden. Tak perlu fatwa lagi. Komisioner Ombudsman RI, Laode Ida menilai, ada dugaan maladministrasi dalam jabatan gubernur yang kini dipegang oleh Ahok. Ini kan jelas ya, pasal 83 ayat 1. Diancam tindak pidana sekurang-kurangnya 5 tahun. Kalau sudah teregister di PN harus diberhentikan sementara dan yang memberhentikan Gubernur itu ADALAH Presiden.. Namun, permasalahan ini bukan merupakan suara bulat dari ORI. Sebab, perdebatan sengit di Komisioner ORI pun masih belum menemukan kata sepakat. 5.KRITIK MAHFUD MD: Mahfud MD menilai, Ahok sudah harus diberhentikan sementara dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hal tersebut karena saat ini Ahok sudah berstatus sebagai Terdakwa dalam perkara dugaan penodaan agama. Seorang kepala daerah harus diberhentikan sementara ketika sudah berstatus terdakwa suatu perkara, sebagaimana pasal 83 ayat 1 UU tentang Pemda. Pemberhentian sementara sudah bisa dilakukan begitu Ahok Terdakwa, tidak perlu menunggu tuntutan penuntut umum membacakan tuntutan di persidangan. Seorang kepala daerah menjadi terdakwa bukan menjadi tertuntut. Yang sudah menjadi Terdakwa itu diberhentikan sementara, tidak ada pasal lain bisa menapikkan itu. Tidak bisa mengatakan menunggu tuntutan. Pemerintah bisa saja bilang ngotot ingin mempertahankan posisi Ahok sebagai Gubernur, namun Pasal 83 ayat 1 UU Pemda harus dicabut terdahulu. 6.KRITIK MUDZAKKIR : Kemendagri dinilai tak konsisten, karena urung memberhentikan Gubernur non-aktif DKI Jakarta, Ahok, pada masa cuti kampanyenya berakhir 11 Februari 2017. Sikap Tjahjo bertolak belakang dengan sikap Desember tahun lalu, dia mengatakan langsung akan menonaktifkan Ahok begitu masa cuti kampanyennya berakhir. Pilan-plan itu. Tidak usah ditunggu (penuntutan). Ancaman hukuman, kan sudah jelas di pasal disangkakan. Merujuk pada dakwaan disusun JPU yakni Pasal 156 atau 156a, ancaman hukuman maksimal Ahok adalah lima tahun penjara. Dari sudut hukum sudah terpenuhi. Ancaman hukuman Ahok adalah lima tahun penjara dan (perkara) sudah terregistrasi di pengadilan. Jadi, tidak ada halangan bagi Ahok untuk tidak diberhentikan sementara. 7.KRITIK IRMAN PUTRA SIDIN: Tidak ada dasar hukum yang bisa dipertanggungjawabkan pemerintah dalam hal ini Mendagri bila ingin mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI sementara Ahok masih berstatus terdakwa. Bila Mendagri memaksakan Ahok menjadi Gubernur DKI lagi, maka pada ahkirnya akan menyebabkan ketidakpastian hukum dalam birokrasi Pemprov DKI. Semua itu akan berdampak pada sendi-sendi ekonomi, hukum dan sosial. Jadi, kalau dipaksanakan maka semua kebijakan Ahok nanti menjadi ilegal. 8.KRITIK CHARIUL HUDA: Harus dinonaktifkan oleh Mendagri sebelum masa cutinya berakhir. Atau pada ketika saat cutinya berakhir sudah berlaku ketentuan baru. Kecuali bersangkutan telah dibebaskan oleh pengadilan. Maka, bila Mendagri tidak memberhentikan Ahok, hal itu akan sangat berbahaya bagi dunia hukum. 9.KRITIK MARGARITO KAMIS: Mendagri hanys mengada-ngada bila mengaktifkan Ahok sebagai Gubernur DKI. Sementara statusnya masih Terdakwa. Minta kepada Mendagri, jangan mengada-ada, menunggu JPU melakukan penuntutan baru bisa diberhentikan. Argumentasi itu, seribu persen mengada-ngada. Kalau tidak ada aturan lebih jelas dari UU yang ada maka Mendagri tidak boleh mengartikan UU tersebut sesuka hati tanpa logika hukum benar. 10.KRITIK AMZULIAN RIFAI: Ketua Ombudsman RI, Amzulian Rifai menyatakan, perbuatan dilakukan Gubernur DKI Ahok itu bisa dikategorikan sebagai tindakan yang berpotensi memecah-belah bangsa sebagaimana disebutkan dalam pasal 83 ayat 1 UU 23/2014. Hal ini berkaitan dengan status Ahok yang belum diberhentikan, padahal sudah menjadi terdakwa. "Sangat berpotensi (memecah-belah bangsa) dong, pendapat saya pribadi ya, bukan institusi, sebagai orang hukum," kata Amzulian. Menurut Amzulian juga seorang profesor hukum tata negara dari Universitas Sriwijaya, alasan Ahok tidak diberhentikan tidak boleh hanya fokus pada ancaman lima tahun penjara. Jika melihat kualifikasi tindak pidana dalam pasal 83 ayat 1 UU 23/2014, tidak hanya ada terorisme, korupsi, tapi juga terdapat tindakan atau perbuatan yang berpotensi untuk memecah-belah NKRI. "Enggak perlu bicara lagi lima tahun. Ini kan cuma fokus pada lima tahunnya, kenapa tidak fokus pada terorisme dan segala macamnya itu," tegasnya. III.KASUS PENONAKTIFAN GUBERNUR, BUPATI DAN WAKIL BUPATI: Alasan lain Ahok harus dinonaktifkan adalah kasus-kasus penonaktifan Gubernur/Bupati/Wakil Bupati juga setelah Tersangka atau Terdakwa. Artinya, tidak harus menunggu tuntutan JPU atau vonis Hakim. Perlakuan terhadap pimpinan eksekutif di daerah ini harus juga berlaku pada Terdakwa Aho. Inilah kasus-kasus dimaksud. 1.GUBERNUR NAD ABDULLAH PUTEH: Abdullah Puteh dinonaktifkan setelah jadi Terdakwa. Sepuluh hari berselang sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Presiden memberhentikan sementara Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh. Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan keputusan. mengalihkan tugas dan wewenang Abdullah Puteh ke Wakil Gubernur NAD dan ke Penguasa Darurat Sipil Daerah (PDSD). Instruksi Presiden didasarkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah sehingga tidak dapat menonaktifkan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh. Instruksi presiden itu hanya akan berisi pengambilalihan pelaksanaan tugas Abdullah Puteh sebagai Gubernur NAD dan PDSD. Abdullah Puteh tersangka kasus korupsi pembelian helikopter MI-2 buatan Rusia seharga 1,25 juta dollar AS, dinonaktifkan. 2.GUBERNUR SUMATERA UTARA SYAMSUL ARIFIN: Jadi Terdakwa, Gubernur Sumut Dinonaktifkan. Posisi Syamsul digantikan sementara oleh wakilnya, Gatot Puji Nugroho. Kementerian Dalam Negeri resmi menonaktifkan Syamsul Arifin sebagai Gubernur Sumatera Utara. Penonaktifan ini terkait dengan status Syamsul menjadi terdakwa dalam kasus penyalahgunaan APBD Langkat pada 2000-2007. "Keppres pemberhentian sementaranya sudah turun Selasa 22 Maret. Berdasar di Pasal 126 Peraturan Pemerintah No 6 tahun 2005, Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah, Kepala Daerah yang didakwa kasus, salah satunya tindak pidana korupsi, diberhentikan sementara tanpa melalui usulan dari DPRD. Dalam sidang perdananya, Syamsul terancam hukuman penjara 20 tahun atas kasus penyelewengan APBD Kabupaten Langkat pada periode tahun 2000-2007 di mana pada saat itu dia menjabat sebagai kepala daerah. 3.GUBERNUR SUMATERA UTARA GATOT PUJO NUGROHO: Pemberhentian Gatot sebagai Gubernur Sumatera Utara dilakukan Mendagri setelah terdakwa menjalani sidang perdana pada 23 Desember 2015. Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evi Susanti ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terhadap hakim dan panitera PTUN Medan. Gatot dan Evy diduga menjadi pemberi suap kepada tiga hakim PTUN Medan dan seorang paniteranya. Untuk itu, Gatot dan Evy dijerat dengan pasal bersama-sama melakukan tindak pidana dengan pengacara OC Kaligis telah ditetapkan menjadi tersangka kasus ini. 4.GUBERNUR BANTEN RATU ATUT CHOSIYAH: Ratu “Atut Chosiyah” diberhentikan sementara oleh Mendagri setelah menjadi terdakwa kasus penyuapan terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar Rp.1 miliar bersama Wawan, terkait Pemilukada Lebak, Banten. Dalam kasus ini, Atut divonis empat tahun penjara dan denda Rp.200 juta subsidair lima bulan penjara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) telah menandatangani surat pemberhentian sementara Gubernur Banten Atut Chosiyah. SK pemberhentian Presiden dimaksud, Nomor 28/P/2014. Penonaktifan Atut sebagai Gubernur Banten dilakukan setelah menjadi terdakwa. Atut didakwa menyuap Akil Mochtar selaku Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu untuk memengaruhi putusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten. 5.GUBERNUR KALTIM SUWARNA ABDUL FATAH: Gubernur Kaltim dinonaktifkan. Kasus Korupsi Rp 346,8 Miliar. Kasus penyalahgunaan izin pemanfaatan kayu (IPK) dan penyalahgunaan lahan di Berau, Kalimantan Timur (Kaltim), Gubernur Suwarna Abdul Fatah dinonaktifkan dari jabatannya. 6.BUPATI OGAN ILIR AHMAD WAZIR NOFIADI MAWARDI: Mendagri Tjahjo Kumolo juga memberhentikan Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiadi Mawardi pada 30 November 2016 setelah BNN menetapkannya sebagai Tersangka. Bupati Ogan Ilir Ahmad Wazir Nofiandi dan wakilnya HM Pandji Ilyas bisa saja dinonaktifkan karena tertangkap berpesta narkoba. Aparat BNN menggerebek rumah pribadi Wazir di Jalan Musyawarah III Kelurahan Karanganyar Gandus, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Wazir Nofiandi merupakan Bupati Ogan Ilir ke-2. Wazir sebelumnya menjabat sebagai anggota DPRD Ogan Ilir periode 2014-2019 dari Partai Golkar. 7.BUPATI BOGOR RACHMAT YASIN: Bupati Bogor ini juga diberhentikan Mendagri setelah menjadi terdakwa kasus tukar guling lahan di Bogor. Dalam persidangan, Rachmat Yasin terbukti menerima suap sebesar Rp. 4,5 miliar dalam tukar guling lahan hutan seluas 2.754 hektare dengan PT BJA. Dalam persidangan, Rachmat Yasin divonis 5,5 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidair tiga bukan kurungan. 8. BUPATI SUBANG OJANG SOHANDI: Ojang Sohandi diberhentikan sebagai Bupati Subang. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan menyerahkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri mengenai pemberhentian sementara Ojang Sohandi sebagai Bupati Subang. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.32-9504 Tahun 2016 tentang Pemberhentian Sementara Bupati Subang pada 3 Oktober 2016 itu diserahkan langsung oleh Gubernur Ahmad Heryawan kepada Wakil Bupati Subang Imas Ayumningsih di Gedung Sate, Bandung. Penyerahan itu disaksikan pejabat Forum Musyawarah Pimpinan Daerah dan perwakilan DPRD Kabupaten Subang. “Beliau (Imas) selanjutnya wakil bupati yang melaksanakan semua fungsi dan tugas bupati yang sementara tidak aktif,” ujarnya. Pemberhentian sementara Ojang diputuskan Menteri setelah status hukum yang bersangkutan menjadi terdakwa suap, gratifikasi, dan tindak pidana pencucian uang. 9. BUPATI BARRU SULAWESI SELATAN ANDI IDRIS SYUKUR: Jadi Terdakwa Korupsi, Bupati Barru dinonaktifkan. Bupati Barru Andi Idris Syukur tersangkut kasus suap mobil menjalani persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar. Mendagri mengeluarkan keputusan setelah DPRD Barru sendiri mengajukan langsung ke Jakarta. Bupati Barru Andi Idris Syukur diperiksa terkait kasus dugaan korupsi dan pemerasan. Dalam kasus itu, penyidik Bareskrim Mabes Polri telah menyita satu unit mobil Pajero Sport warna hitam dengan nomor plat DD 1727. Selain itu, Idris juga diduga kuat menerima gratifikasi atas pencairan dana pembangunan rumah toko dan pasar. Gratifikasi itu berupa satu mobil Toyota Alphard hitam dengan nomor polisi DD 61 AS. Saat keputusan penonaktfan Andi Idris Syukur ini diambil, kasus Andi Idris Syukur sedang disidangkan di Pengadilan Tipikor Makassar. Bahkan, kasus Andi Idris Syukur sudah memasuki tahap penuntutan. 10. WAKIL WALI KOTA PROBOLINGGO HM SUHADAK: Wakil Wali Kota Probolinggo HM Suhadak diberhentikan sementara oleh Mendagri Tjahjo Kumolo pada 22 November 2016 setelah menjadi terdakwa kasus korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2009. Keputusan ini sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Hal ini menyusul setelah bersangkutan menjadi Terdakwa dalam kasus korupsi dana alokasi Khusus Tahun 2009 bersama mantan Walikota Probolinggo Buchori. Berdasarkan Perkara Nomor 175/Pid.Sus/TPK.2016/PN Surabaya, HM Suhadak SPd ditetapkan sebagai terdakwa dalam tindak pidana korupsi Dana Alokasi Khusus Tahun 2009, sejak perkaranya dilimpahkan dari Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Probolinggo kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Surabaya pada 1 September 2016. Surat itu ditetapkan pada 9 November 2016. Sebelum keluarnya surat dari Mendagri ini, Gubernur Jawa Timur Sukarwo terlebih dulu mengirim surat pengajuan pemberhentian Wakil Wali Kota Probolinggo itu pada 5 Oktober 2016. Surat bernomor 131/15935/011/2016 ini didasarkan atas ketetapan dari pengadilan. Keputusan ini tentunya berdasarkan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. kepala daerah atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan register perkara di pengadilan. IV. BERTENTANGAN DENGAN CITA-CTA GOOD GOVERNANCE: Salah satu cita-cita gelombang reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah reformasi birokrasi (RB) pemerintahan. Reformasi Birokrasi (RB) pada hakikatnya merupakan upaya melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan Sumber Daya Manusia (SDM) Aparatur. Reformasi Birokrasi (RB) dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan baik (good governance). Reformasi Birokrasi (RB) dilaksanakan dalam rangka mewujudkan good governance (tata pengelolaan pemerintahan baik). Di Indonesia telah dipromosikan konsep good governance sebagai tata pengelolaan pemerintahan baik. Konsep governance merujuk pengembangan dari gaya memerintah di mana batas-batas antara dan di antara sektor publik dan sektor privat menjadi kabur, sejalan dengan kebutuhan negara modern untuk melibatkan mekanisme politik dan pengakuan akan pentingnya issu-issu tentang empati dan perasaan publik untuk terlibat sehingga memberikan kesempatan bagi adanya mobilisasi baik secara sosial maupun politik. Hal ini kemudian membuat partisipasi melalui pembangunan jejaring antara pemerintah dan masyarakat menjadi aspek sangat penting bagi keberlanjutan sebuah legitimasi kebijakan. Good governance mencakup pemerintah (negara) berdasarkan pada penegakan antara lain prinsip: (1) Kesetaraan/equity (non diskriminatif), (2) Akuntabilitas publik; dan, (3) Rule of law (aturan main). Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka kebijakan Pemerintah tentang pengaktivan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam status sebagai Terdakwa tentu membuktikan Pemerintah tidak melaksanakan penegakan prinsip Kesetaraan/equity (non disikriminatif) karena Pemerintah telah memutuskan untuk menonaktifkan sejumlah Gubernur dan Bupati dalam status Terdakwa. Sementara, Ahok walaupun sudah bersatatus Terdakwa, belum juga dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ada sikap diskriminatif Pemerintah terhadap Gubernur dan Bupati terkena kasus hukum sebagai terdakwa. Kecuali Pemerintah telah melakukan sikap diskriminatif, juga dalam hak kasus pengaktifan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta ini, adalah tidak ditegakkannya prinsip Rule of Law (aturan main) karena Pemerintah tidak melaksanakan secara konsekuen antara lain UU Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 83 dan UU Tata Usaha Negara khususnya pasal 3. Hal ini bertentangan dengan cita-cita reformasi birokrasi (RB) pemerintahan Indonesia.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda