Sabtu, 17 Desember 2016

PEMPROV DKI GAGAL ATASI MASALAH MELEBARNYA KESENJANGAN SOSIAL

I. PENGANTAR: Pemprov DKI Jakarta periode 2013-2017 syarat kritik dan kecaman publik dan juga media massa tentang melebarnya kesenjangan sosial. Yakni kelompok rakyat miskin semakin banyak dan kelompok rakyat kaya semakin sedikit. Ada asumsi, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin. Padahal DKI Jakarta diklaim "smart city" dan "megapolitan city". Selama ini Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok tak bisa buktikan kerja nyata utk kurangi kesenjangan sosial rakyat DKI. Fenomena kesenjangan sosial, kaya dan miskin, jika tidak dikelola Pemprov DKI secara efekti, efisien dan benar2 bisa berkurang, akan dapat ciptakan kerusuhan sosial (social unrest) dgn issue publik terkait SARA, khususnya ras Cina. Kita tentu berharap, ada alternatif strategis Pemprov DKI atasi masalah ini, tidak sekedar bangga dgn thema2 pertumbuhan ekonomi dan penggusuran paksa rakyat utk kepentingan pengembang dan atas nama pembangunan fisik sebagaimana selama ini berlaku. Data, an fakta dan angka dibawah ini dapat menjadi dasar rasionalisasi dan argumentasi kita bahwa rakyat DKI butuh Gubernur baru bisa atasi masalah melebarnya kesenjangan sosial ini. II. HASIL SURVEI: Beragam hasil survei dan studi menunjukkan melebarnya kesenjangan sosial rakyat DKI dari tahun ke tahun era 2913-2017. Salah satu hasil survei dfibeberkan JawaPos.com . Disebutkan, kesenjangan ekonomi masih menjadi persoalan mendasar bagi masyarakat Jakarta sampai saat ini. Sehingga persoalan ini akan menjadi tantangan bagi gubernur dan wakil gubernur yang terpilih nanti di Pilkada 2017. Berdasar hasil survei Pusat Data Bersatu (PDB), 61,5% masyarakat DKI Jakarta menyatakan tidak puas terhadap kinerja Ahok-Djarot dalam mengurangi kesenjangan ekonomi. “Kesenjangan ini muncul karena tidak terciptanya lapangan pekerjaan baru dan tidak munculnya entrepreneur baru sehingga ketimpangan ekonomi itu terus melebar," ungkap Peneliti PDB, Agus Herta di Jakarta (15/12/16). Menurutnya, persoalan ini yang membuat masyarakat tidak puas terhadap kinerja calon incumbent dalam program mengurangi kesenjangan ekonomi. Atas kondisi tersebut, kata Agus, diperlukan sebuah terobosan pembangunan sektor ekonomi yang lebih komprehensif dan merata. Sebelumnya, Suara Pembaharuan 8 Mei 2015 juga membeberkan, kondisi kesenjangan sosial di DKI sudah lampu kuning. Dibeberkan, Jakarta adalah bukti ketimpangan ekonomi antarwilayah serta kesenjangan kaya-miskin begitu nyata di Indonesia. Suatu hari, pernah seorang perempuan sebatang kara berusia 74 tahun, Suprapti, meninggal dunia digubuknya di bantaran rel kereta api, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Lokasi tempat Suprapti meregang nyawa berimpitan dengan perkantoran dan pusat bisnis serta pusat pemerintahan. Jakarta, secara kasat mata, bukan hanya deretan gedung tinggi menjulang di kawasan pusat bisnis modern melainkan juga kantong-kantong permukiman kumuh. Dalam ukuran matematis ekonomi, ketimpangan di Ibukota sangat kentara. Gini ratio atau indeks ketimpangan DKI Jakarta mencapai 0,41, atau pada urutan tertinggi dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Juga lebih tinggi dari gini ratio nasional(0,38). Angka 0,4 hingga 0,6 sudah termasuk kategori lampu kuning. Sedangkan, lebih dari 0,6 adalah rasio berbahaya, yang menunjukkan ketimpangan sosial ekonomi tidak lagi bisa ditoleransi. Sumber lain dari Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan Pengendalian Pembangunan dan BPS. Disebutkan, kesenjangan sosial ekonomi atau Gini ratio Jakarta sejak 2012 sampai 2015 naik dari 0,42 persen menjadi 0,43 persen. Masih menurut BPS, angka kesenjangan sosial di Jakarta kembali naik menjadi 0,46 pada 2016. Inilah kondisi kinerja Gubernur Ahok tiap tahun terkait melebarnya kesenjangan sosial rakyat DKI. III. DATA, FAKTA DAN ANGKA: Data, fakta dan angka berikut ini buktikan Ahok sebagai Gubernur gagal menjalankan fungsi Pemerintah mengurangi kesenjangan/ketimpangan antara rakyat miskin dan kata kuan melebar. Sebagaimana diungkapkan di atas, bahkan secara nasional ketimpangan sosial di DKI era Gubernur Ahok tertinggi. Ekonomi Jakarta hanya dinikmati oleh kalangan menengah atas. Ketimpangan ekonomi dinilai dengan Gini Rasio (antara 0 s/d 1), yakni alat mengukur derajat kesenjangan ekonomi kaya dan miskin. Jika nilai Gini Rasio 0, berarti pemerataan sempurna. Jika 1, berarti ketimpangan sempurna. Mengacu BPS DKI Jakarta 2015, masalah ketimpangan ekonomi meningkat 0,44 dari tahun 2014. Berarti kelompok kaya menguasai 44 persen pendapatan DKI Jakarta. Sumber lain menyajikan Gini Rasio 0,43, menunjukkan DKI nomor dua terendah di Indonesia setelah Papua. Versi Fraksi PPP DPRD DKI, Gini Rasio 0,47. Lalu ada pengakuan BPS DKI Gini Rasio 0,46. Kepala BPS DKI Jakarta Syech Suhaimi tegaskan, jika pada 2014 Gini Ratio DKI mencapai 0,43%, angka ketimpangan masyarakat kelas atas dan bawah di Ibu Kota sepanjang 2015 tercatat naik ke 0,46. “Naiknya Gini Ratio di Jakarta disebabkan kenaikan pendapatan orang kaya terlalu cepat. Di sisi lain, kenaikan Pendapatan masyarakat menengah dan bawah justru mengalami perlambatan,” ujarnya (bisnis.com, 2/5/2016). Menurut Suhaimi, jumlah 20% orang kaya di DKI Jakarta meningkat drastis dari 49,79 pada 2014 ke 56,20 pada tahun lalu. Sementara itu, jumlah 40% masyarakat berpendapatan rendah turun dari 14,66 ke 14,11 dan 40% masyarakat berpendapatan sedang turun dari 35,55 ke 29,70. “Pemerintah harus waspada. Berlari 20% masyarakat kaya ini sangat cepat. Jika dibiarkan, jarak antara si kaya dan si miskin di DKI pasti melebar,” katanya. Meskipun angka gini ratio 0,46 versi BPS DKI ini tergolong rendah, masih saja ada menilai lebih rendah lagi. Ada dugaan kini 0, 50, 0,60 bahkan 0,72: kesenjangan atau ketimbang kelompok kaya dan miskin DKI kian melebar di bawah Gubernur Ahok Lepas, dari angka bukan BPS DKI gini ratio 0,50, 0,60 atau 0,72, ketimpangan rakyat DKI “terus melebar”. Pada 2012 (era Foke), posisi ketimpangan hanya 0,39, 2014 (era Ahok) melebar 0,43, lanjut 2015 menjadi 0,46. IV. LEVEL INDONESIA: Kesenjangan antara kaya dan miskin DKI Jakarta di bawah Gubernur Ahok ini sesungguhnya tak jauh beda dgn kondisi Level Indonesia di bawah Presiden Indonesia, Mantan Gubernur DKI, Jokowi. Kesenjangan kaya miskin level Indonesia melebar lebih cepat ketimbang negara-negara lain di Asia Tenggara. Menurut hasil riset Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesian Development (lNFlD), 4 (empat) orang terkaya di Indonesia saat ini memiliki kekayaan melebihi dari kekayaan 100 juta orang miskin di Indonesia.Taipan rokok dan cengkeh Budi dan Michael Hartono bersaudara mengendalikan aset sekitar USD 25 miliar, kira-kira sama dengan kekayaan 40% orang miskin dari 250 juta penduduk Indonesia. Oxfam adalah lembaga nirlaba asal Inggris yang didirikan sejak 1942 di Oxford Inggris. Menurut Oxfam, Indonesia termasuk peringkat ke enam di dunia dalam kesenjangan antara kaya-miskin. Sebagai pembanding, di Asia, Thailand dianggap negara paling merata harta kekayaan penduduk. V. KESIMPULAN: Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok 2014-2017 tak mampu dan gagal atasi masalah melebarnya kesenjangan sosial rakyat DKI. Dapat dinilai, Gubernur Ahok selama ini tak bekerja nyata utk tangani masalah ini memerlukan Gubernur baru. Gubernur lama sudah terbukti nyata juga tak mampu dan gagal atasi melebarnya kesenjangan sosial. NSEAS/MEH, Edisi 27 Februari 2017.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda