Jumat, 16 September 2016

Ahok Gagal Urus Pengelolaan Dan Perlindungan Asset DKI

Gubernur DKI Jakarta Ahok ternyata gagal urus pengelolaan dan perlindungan asset Pemprov DKI. Kualitas pengelolaan dan perlindungan asset Pemprov DKI “rendah”. Banyak asset beralih tangan ke pihak swasta. Pemprov DKI acap kali mengalami kekalahan pada persidangan untuk masalah perolehan aset. Permasalahan asset di Ibukota seakan tidak ada habisnya. Banyak asset tercatat sebagai milik DKI tetapi digunakan atau dikuasai pihak lain. BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) Jakarta memastikan saat ini Pemprov DKI memiliki asset berupa tanah, gedung dan benda bergerak senilai Rp. 4.000 triliun. Dari jumlah tersebut, tercatat nilai asset status bermasalah Rp. 30 triliun. Asset bermasalah dimaksud mayoritas berupa lahan berstatus “digugat”, dimanfaatkan atau secara sengaja diambil oleh oknum tertentu. Ahok sendiri hanya bisa menyalahkan fihak lain. Tuding BPKAD terlibat kasus lahan DKI. Bahkan mengeluarkan ancaman akan memecat para Walikota tidak memiliki nyali untuk menjalankan perintahnya. Mengacu Perda No. 2 Thn 2012 ttg Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi DKI Jakarta 2013-2017, ada program pengelolaan dan penataan asset daerah. Indikator akan dicapai al: (1) Meningkatnya jumlah gedung/bangunan dan asset bergerak lain diasuransikan; (2) Meningkatnya jumlah perolehan dan hasil pengelolaan asset daerah. Indikator kinerja penanganan pertanahan dan asset al.: jumlah penanganan pertanahan dan asset Pemerintah sercara internal (terselenggaranya mediasi sengketa pertanahan dan asset di luar pengadilan). Perda No.2 Tahun 2012 menunjukkan kondisi 2012 telah tercapai penangan 250 sengketa. Kemudian untuk 2013, 2014, 2015, 2016, dan 2017 ditargetkan penanganan masing2 250 sengketa. Selama 2013-2017 total target penanganan 1500 sengketa. Berhasilkah Ahok mencapai target ? Ternyata, TIDAK ? Ahok gagal. Inilah data, fakta dan angka kegagalan Ahok dimaksud. Data BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tahun 2014 menunjukkan, banyak aset milik DKI telah berpindah ke tangan fihak swasta. Nilanya mencapai Rp.259,05 miliar. Perpindahan aset ini terjadi setelah DKI kalah gugatan di pengadilan. Di lain fihak, data dihimpun Bisnis menunjukkan, pada 2014 terdapat 35 bidang tanah seluas 1.538.972 meter persegi milik DKI dengan nilai Rp.7,976 triliun digugat oleh pihak swasta. Dari jumlah tersebut, 11 bidang tanah sudah dimenangkan pihak swasta. Total aset berpindah kepada pihak swasta ini mencapai Rp. 259 miliar. Selanjutnya BPK pada 2015 melaporkan, Pemprov DKI dinyatakan tidak dapat memelihara aset daerah. Manajemen aset DKI masih menunjukkan adanya kelemahan dalam pengelolaan. Kelemahan tersebut di antaranya: tanah dan bangunan milik DKI seluas 2,72 juta M2. Aset ini masih dalam sengketa/dikuasai/dijual pihak lain. Hal ini mengakibatkan adanya potensi kehilangan aset tanah atau bangunan senilai Rp 8,11 triliun. Bahkan pengelolaan rumah susun (Rusun) sebagai solusi penggusuran juga tidak sesuai harapan. BPK menilai langkah tersebut belum sepenuhnya efektif dalam menunjang penataan kota serta pengelolaan aset, termasuk di daerah pinggiran Jakarta. (Merdeka.com, Oktober 2015). Hasil audit BPK mencakup 70 temuan terkait permasalahan asset senilai kurang lebih Rp. 495 miliyar. Salah satu kasus, yakni transaksi pengadaan lahan proyek Rusun Cengkareng. Banyak kejanggalan dalam temuan tersebut. BPK menemukan Pemprov membeli tanah senilai Rp. 648 miliar dari Toeti Noezlar Soekarno, mengaku memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM). Setelah ditelisik ternyata tanah tersebut milik Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan (KPKP) DKI. Proses ini aneh. Bagaimana bisa terjadi Ahok sampai tidak mengetahui, tanah dibeli merupakan asset DKI. Tidak hanya itu, tanah seluas 4,6 Hektar itu juga terbukti memiliki rekam jejak bermasalah. Bukan hanya dimiliki SHMnya oleh Toeti, namun juga pernah digugat oleh PT. Sinar Ganda milik DL. Sitorus. Pada 2012 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan menolak gugatan PT. Sinar Ganda terhadap Dinas KPKP. Kasus ini menyebabkan Ahok diperiksa Bareskim Polri beberap jam sebagai saksi. Kasus lain adalah pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). Diperkirakan telah terjadi pengelembungan NJOP sehingga merugikaan negaar sekitar Rp. 181 miliar. Ada dugaan tindak pidana korupsi. Bahkan, dinilai tanah dibeli Pemprov DKI itu adalah tanah negara. Dalam arti, Pemprov DKI membeli asset milik sendiri. Diduga Ahok terlibat dalam tindak pidana korupsi ini. Kasus berikutnya adalah lahan Taman BMW di Tanjung Priok. Kasus ini berkepanjangan dan bergulir lama di pengadilan karena adanya gugatan ke pengadilan. Diduga Ahok juga terlibat untuk memihak kepentingan Pengembang Podomoro sebagai fihak bersengketa. Rendahnya kualitas dan lemahnya pengelolaan dan perlindungan asset ini juga diakui DPRD DKI. Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi melayangkan kritik, buruknya pengelolaan/manajemen asset milik DKI selama ini. Untuk membantu Pemprov DKI dalam melakukan pengelolaan dan perlindungan asset lebih baik, DPRD membentuk panitia kerja (Panja). Tugas Panja akan menelusuri indikasi adanya kerugian negara. Salah satu fokus Panja akan mengungkap permaslahan asset DKI. Dari fihak Pemprov sendiri mengakui rendahnya dan melahnya pengelolaan dan perlindungan asset ini. Sebagai contoh, BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) mengungkapkan ada 2.800 dari 5.800an bidang tanah belum bersertifikat. Beragam alasan diajukan, di antaranya: 1). Soal dokumen, 2). Soal pencatatan; 3). Pemanfaatan lahan tidak maksimal; 4). Soal pengamanan; 5). Sulitnya mengelola asset terpusat; 6). Penghapusan Biro Perlengkapan dan Badan Perlengkapan kemudian dilebur ke dalam BPKAD; 6). Instansi di Pemprov DKI lebih suka pengadaan lahan baru ketimbang memanfaatkan lahan yang ada. Target penangan sengketa diharapkan tercapai 2013 (250 sengketa), 2014 (250 sengketa), 2015 (250 sengketa), dan bahkan 2016 (250 sengketa) tidak tercapai. Untuk 2016 saja, Ahok baru fokus pada “pendataan” semua asset DKI selama ini banyak terbengkalai. Kesimpulan, dari urusan pengelolaan dan perlindungan asset DKI selama ini, Ahok gagal mencapai target. Ahok gagal kelola dan lindungi asset DKI. Hal ini dapat menjadi salah satu, bukan satu-satunya, alasan mengapa Ahok tidak layak lanjut sebagai Gubernur DKI. Jika terus menjadi Gubernur, bisa jadi, kasus pembelian asset milik sendiri akan terus berlangsung sembari mengorbankan kepentingan negara dan rakyat DKI. Sebaliknya, di bawah Ahok sengketa tanah milik DKI terus kalah di pengadilan, sembari mengutamakan kepentingan pengembang atau korporasi sebagai prilaku "Korupsi Sandera Negara" suatu tindak pidana korupsi melibatkan korporet, penguasa eksekutif, legislatif, yudikatif, lawyer, media massa, bahkan LSM. Mereka bekerjasama menerbitkan kebijakan maupun regulasi sehingga negara dirugikan. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS, Network for South East Asian Studies). Edisi 7 Agustus 2016. Sila sebarluaskan andai sepakat dengan kandungan tulisan ini. Trims.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda