Minggu, 14 Februari 2016

DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI: TELAAH TEORITIS

I. PENGERTIAN DEMOKRASI : “Demokrasi” berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dicetuskan di Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi.Demos berarti rakyat, dan Cratos/Kratien/Kratia artinya kekuasaan/berkuasa/pemerintahan, sehingga demokrasi bisa diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan yang dianggap baik untuk semua sistem organisasi dan juga merupakan sistem organisasi yang paling baik di antara sistem organisasi lain yang pernah ada. Negara Yunani kuno menjadi contoh awal negara yang melaksanakan system hukum demokrasi modern. Sistem demokrasi di negara kota (city state) Yunani kuno khususnya Athena, merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik yang dijalankan langsung oleh warga negara tidak berdasarkan mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi Yunani kuno dapat dilaksanakan dengan efektif karena berlangsung dalam kondisi sederhana, wilayahnya terbatas (terdiri dari kota dan daerah sekitarnya), jumlah penduduknya sedikit (300 ribu penduduk dalam satu negara kota). Ketentuan demokrasi tidak berlaku bagi mayoritas budak belian dan pedagang asing. Konsep demokrasi sebagai bentuk pemerintahan berasal dari filsuf Yunani, namun pemakaian konsep ini di zaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke-18.Bermacam istilah demokrasi, dari mulai demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi Soviet, demokrasi nasional, dll.Semua konsep memakai istilah demokrasi.Hal ini juga terjadi pada pengertian atau terminology demokrasi.Beragam pengertian dapat ditemukan. Sebagai misal, Joseph A. Schumpetermengartikan demokrasi sebagai suatu perencaan instutisional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook mengartikan demokrasi sebagai adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintahyang penting secara bebas dari rakyat biasa.Philippe C. Schmitter, demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. Abraham Lincoln mengartikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and for the people).Intinya, ada kesepakatan bahwa demokrasi adalah pemerintahan Negara dijalankan oleh rakyat dan menghasilkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan diarahkan untuk kepentingan dan kejahteraan rakyat. Dalam dunia akademis, kita menemukan paling tidak dua kelompok teori demokrasi.Kelompok pertama, demokrasi liberal. Kelompok kedua, demokrasi komunis (Marxisme- Leninisme). Kelompok pertama adalah demokrasi liberal.Demokrasi liberal pertama kali dikemukakan pada Abad Pencerahan oleh penggagas teori kontrak sosial seperti Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau.Demokrasi menempatkan kedudukan badan legislatif lebih tinggi dari pada badan eksekutif.Demokrasi liberal lebih menekankan pada pengakuan terhadap hak-hak warga negara, baik sebagai individu ataupun masyarakat.Demokrasi liberal lebih bertujuan menjaga tingkat represetansi warga negara dan melindunginya dari tindakan kelompok atau negara lain. Dalam demokrasi liberal, keputusan mayoritas (dari proses perwakilan atau langsung) diberlakukan pada sebagian besar bidang kebijakan pemerintah tunduk pada pembatasan agar keputusan pemerintah tidak melanggar kemerdekaan dan hak-hak individu seperti tercantum dalam konstitusi. Demokrasi liberal dipakai untuk menjelaskan sistem politik dan demokrasi barat di Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada.Konstitusi yang dipakai dapat berupa republik (Amerika Serikat, India, Perancis) atau monarki konstitusional (Britania Raya, Spanyol). Demokrasi liberal dipakai oleh negara yang menganut sistem presidensial (Amerika Serikat), sistem parlementer (sistem Westminster: Britania Raya dan Negara-Negara Persemakmuran) atau sistem semipresidensial (Perancis). Terdapat sejumlah ciri demokrasi liberal.Pertama, kontrol terhadap negara, alokasi sumber daya alam dan manusia dapat terkontrol.Kedua, kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional.Ketiga, kekuasaan eksekutif dibatasi oleh peraturan perundangan.Keempat, kelompok minoritas (agama, etnis) boleh berjuang untuk memperjuangkan dirinya. Kelompok kedua, demokrasi komunis, muncul karena adanya komunisme. Komunisme atau Marxisme adalah ideologi yang digunakan partai komunis diseluruh dunia, sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme".Demokrasi komunis adalah demokrasi yang sangat membatasi agama pada rakyatnya, dengan prinsip agama dianggap candu yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran yang rasional dan nyata. Ada beberapa gagasan dari Lenin yaitu sebagai berikut.Pertama, ia melihat pentingnya peranan kaum petani dalam menyelenggarakan revolusi, sedangkan Marx hanya melihat peranan kaum buruh.Kedua, ia Melihat peranan suatu partai politik yang militan yang terdiri atas professionalrevolutionaries untuk memimpin kaum proletar dan merumuskan cara-cara merebut kekuasaan, sedangkan Marx berpendapat bahwa kaum proletar akan bangkit sendiri. Ketiga, ia melihat imperialisme sebagai gejala yang memperpanjang hidup kapitalisme sehingga kapitalisme sampai saat itu belum mati. Di lain fihak, Karl Marx berpendapat, kapitalisme pada puncak perkembangannya akan menemui ajalnya dan diganti oleh komunisme.Komunisme sebagai anti kapitalisme menggunakan sistem sosialisme sebagai alat kekuasaan, dimana kepemilikan modal atas individu sangat dibatasi.Apabila Amerika Serikat identik dengan kapitalisme, maka Rusia identik dengan komunisme.Setelah Lenin ada Stalin dengan gagasan mengenai revolusi.Komunisme dapat diselenggarakan di satu negara dulu, yaitu di Uni Soviet, dianggap menyimpang dari ajaran Marx.Di masa inilah muncul istilah Komunis Internasional (Komintern).Moskow menjadi pusat komunisme.Kebijakan Moskow adalah kebijakan dunia komunis.Komunisme muncul sebagai hasil adaptasi lingkungan dari sosialisme. Dalam kajian akademis, juga terdapat beragam teori demokrasi, antara lain teori demokartsi klasik, teori civic virtue, teori social contract, teori trias politica, teori demokrasi substansial, teori demokarsi procedural, teori demokrasi procedural yang diperluan, teori demokrasi sosial. II. TEORI DEMOKRASI KLASIK: Teori demokrasi klasik ini memperkenalkan demokrasi dalam pengertian klasik. Pertama kali konseop demokrasi muncul pada abad ke-5 SM di Yunani. Ketika itu pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan kenegaraan.Bentuk negara demokrasi klasik lahir dari pemikiran aliran dikenal berpandangan a tree partite classification of state, membedakan bentuk negara atas tiga bentuk ideal dikenal sebagai bentuk negara kalsik-tradisional. Prinsip dasar demokrasi klasik adalah penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran. Para penganut aliran teori demokrasi klasik ini adalah Plato, Aristoteles, Polybius dan Thomas Aquino. ` Plato menyatakan, dalam bentuk demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat sehingga kepentingan umum (kepentingan rakyat) lebih diutamakan. Secara prinsipil, rakyat diberi kebebasan dan kemerdekaan. Namun, rakyat kehilangan kendali, rakyat hanya ingin memerintah dirinya sendiri dan tidak mau lagi diatur sehingga mengakibatkan keadaan menjadi kacau, yang disebut Anarki. Aristoteles mendefiniskan demokrasi sebagai penyimpangan kepentingan orang-orang sebagai wakil rakyat terhadap kepentingan umum. Sementara itu, Polybius, memaknakan demokrasi dibentuk oleh perwalian kekuasaan dari rakyat. Pada prinsipnya konsep demokrasi dikemukakan oleh Polybius mirip dengan konsep ajaran Plato. Sedangkan Thomas Aquino memahami demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh seluruh rakyat dimana kepentingannya ditujukan untuk diri sendiri. III. TEORI CIVIC VIRTUE: Teori ini menekankan prinsip-prinsip utama demokrasi adalah(1) Kesetaraan warga Negara; (2) Kemerdekaan; (3) Penghormatan terhadap hukum dan keadilan; dan (4) Kebajikan bersama. Pericles adalah negarawan Athena yang berjasa mengembangkan demokrasi.Prinsip-prinsip pokok demokrasi yang dikembangkannya adalah Prinsip kebajikan bersama menuntut setiap warga negara untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, menempatkan kepentingan republik dan kepentingan bersama diatas kepentingan diri dan keluarga. Di masa Pericles dimulai penerapan demokrasi langsung (direct democrazy). Model demokrasi ini bisa diterapkan karena jumlah penduduk negara kota masih terbatas, kurang dari 300.000 jiwa, wilayah nya kecil, struktur sosialnya masih sederhana dan mereka terlibat langsung dalam proses kenegaraan. Teori demokrasi berikutnya adalah Teori Social Contract.Teori ini berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Zaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia.Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara.Dalam perspektif kesejarahan, Zaman Pencerahan ini adalah koreksi atau reaksi atas zaman sebelumnya, yaitu Zaman Pertengahan.Walau demikian, pemikiran-pemikiran yang muncul di Zaman Pencerahan tidaklah semuanya baru.Seperti telah disinggung di atas, teori kontrak sosial yang berkembang pada Zaman Pencerahan ternyata secara samar-samar telah diisyaratkan oleh pemikir-pemikir zaman-zaman sebelumnya seperti Kongfucu dan Aquinas.Yang jelas adalah bahwa pada Zaman Pencerahan ini unsur-unsur pemikiran liberal kemanusiaan dijadikan dasar utama alur pemikiran. Hobbes, Locke dan Rousseau sama-sama berangkat dari, dan membahas tentang kontrak sosial dalam analisis-analisis politik mereka.Mereka sama-sama mendasarkan analisis-analisis mereka pada anggapan dasar bahwa manusialah sumber kewenangan. Akan tetapi tentang bagaimana, siapa mengambil kewenangan itu dari sumbernya, dan pengoperasian kewenangan selanjutnya, mereka berbeda satu dari yang lain. Perbedaan-perbedaan itu mendasar satu dengan yang lain, baik di dalam konsep maupun di dalam praksinya. Dalam membangun teori kontrak sosial, hobbes, Locke dan Rousseau memulai dengan konsep kodrat manusia, kemudian konsep-konsep kondisi alamiah, hak alamiah dan hukum alamiah. Hobbes menyatakan, secara kodrati manusia itu sama satu dengan lainnya. Masing-masing mempunyai hasrat atau nafsu (appetite) dan keengganan (aversions), yang menggerakkan tindakan mereka. Appetites manusia adalah hasrat atau nafsu akan kekuasaan, akan kekayaan, akan pengetahuan, dan akan kehormatan. Sedangkan aversions manusia adalah keengganan untuk hidup sengsara dan mati.Hobbes menegaskan pula bahwa hasrat manusia itu tidaklah terbatas.Untuk memenuhi hasrat atau nafsu yang tidak terbatas itu, manusia mempunyai power.Oleh karena setiap manusia berusaha untuk memenuhi hasrat dan keengganannya, dengan menggunakan power-nya masing-masing, maka yang terjadi adalah benturan power antarsesama manusia, yang meningkatkan keengganan untuk mati. Hobbes menekankan, dalam kondisi alamiah, terdapat perjuangan untuk power dari manusia atas manusia yang lain. Dalam kondisi alamiah seperti itu manusia menjadi tidak aman dan ancaman kematian menjadi semakin mencekam.Karena kondisi alamiah tidak aman, maka dengan akalnya manusia berusaha menghindari kondisi perang satu dengan lainnya itu dengan menciptakan kondisi artifisial (buatan).Dengan penciptaan ini manusia tidak lagi dalam kondisi alamiah, tetapi sudah memasuki kondisi sipil. Locke memulai dengan menyatakan kodrat manusia adalah sama antara satu dengan lainnya. Akan tetapi berbeda dari Hobbes, Locke menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes. Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama. Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut Locke, karena beberapa hal. Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi, sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau.Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi. Oleh karena kondisi alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh menuju kondisi aman secara penuh. Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak (calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust). Seperti halnya Hobbes dan Locke, Rousseau memulai analisisnya dengan kodrat manusia. Pada dasarnya manusia itu sama. Pada kondisi alamiah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain tidaklah terjadi perkelahian. Justru pada kondisi alamiah ini manusia saling bersatu dan bekerjasama.Kenyataan itu disebabkan oleh situasi manusia yang lemah dalam menghadapi alam yang buas.Masing-masing menjaga diri dan berusaha menghadapi tantangan alam.Untuk itu mereka perlu saling menolong, maka terbentuklah organisasi sosial yang memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam. Walaupun pada prinsipnya manusia itu sama, tetapi alam, fisik dan moral menciptakan ketidaksamaan. Muncul hak-hak istimewa yang dimiliki oleh beberapa orang tertentu karena mereka ini lebih kaya, lebih dihormati, lebih berkuasa, dan sebagainya. Organisasi sosial dipakai oleh yang punya hak-hak istimewa tersebut untuk menambah power dan menekan yang lain. Pada gilirannya, kecenderungan itu menjurus ke kekuasaan tunggal. Untuk menghindar dari kondisi yang punya hak-hak istimewa menekan orang lain yang menyebabkan ketidaktoleranan (intolerable) dan tidak stabil, maka masyarakat mengadakan kontrak sosial, yang dibentuk oleh kehendak bebas dari semua (the free will of all), untuk memantapkan keadilan dan pemenuhan moralitas tertinggi. Akan tetapi kemudian Rousseau mengedepankan konsep tentang kehendak umum (volonte generale) untuk dibedakan dari hanya kehendak semua (omnes ut singuli). Kehendak bebas dari semua tidak harus tercipta oleh jumlah orang yang berkehendak (the quantity of the ‘subjects’), akan tetapi harus tercipta oleh kualitas kehendaknya (the quality of the ‘object’ sought). Teori demokrasi berikutnya adalah teori trias politica. Trias politica atau teori mengenai pemisahan kekuasaan, di latar belakangi pemikiran bahwa kekuasaan-kekuasaan pada sebuah pemerintahan yang berdaulat tidak dapat diserahkan kepada orang yang sama dan harus dipisahkan menjadi dua atau lebih kesatuan kuat yang bebas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Gagasan pemisahan kekuasaan tersebut dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan, satu orang atau lembaga akan cenderung untuk mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat padanya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya. 1. Seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang memungkinkan (Liberalisasi). 2. Seberapa banyak warganegara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu (Inclusiveness). IV. TEORI DEMOKRASI SUBSTANTIF: Teori ini mendefinisikan demokrasi dengan istilah-istilah " kehendak rakyat (the will) of the people ; kebaikaan bersama dan kebajikan publik (the common good). Dengan demikian demokrasi dilihat dari sisi sumber dan tujuan. Demokrasi tidak akan efektif dan lestari tanpa adanya substansi demokrasi, berupa; jiwa, kultur atau ideologi demokratis yang mewarnai pengorganisasian internal partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan, serta perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan. Demokrasi akan terwujud apabila rakyat bersepakat mengenai makna demokrasi, paham dengan bekerjanya demokrasi dan kegunaan demokrasi bagi kehidupan mereka. Teori demokrasi substantif ini bersifat normatif, rasionalistik, utopis dan idealistik. V. TEORI DEMOKRASI PROSEDURAL: Teori ini berasal dari Joseph A. Schumpeter dapat ditemukan di dalam karyanya "Capitalism, Socialism and Democracy"(1942). Ia lebih menekankan pada prosedur atau metode demokrasi sehingga lebih bersifat empirik, dekriptif, instititusional dan prosedural. Karena menekankan prosedural maka konsep demokrasi shumpeter disebut juga demokrasi prosedural.Oleh Schumpeter metode demokrasi dirumuskan sebagai prosedur kelembagaan untuk mencapai keputusan politik didalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat. Konsep Schumpeter mendominasi teorisasi mengenai demokrasi sejak tahun 1970-an, serta mewarnai pemikiran ilmuwan politik seperti Di Palma, Robert Dahl,Przeworski, Samuel P. Huntington, sampai dengan ilmuwan transitologisDiamond, Linz dan Lipset. Warna Scumpeterian misalnya nampak dari gagasan Di Palma tentang demokrasi.Di Palma mengemukan bahwa demokrasi ada ketika gagasan koeksitensi menjadi cukup menarik bagi kelompok-kelompok utama dalam masyarakat sehingga mereka bisa diajak bersepakat mengenai aturan-aturan dasar permainan politik. Senada dengan itu muncul karya Robert Dahl (1973) yang merumuskan tatanan politik yang disebut Polyarchy.Polyarchy merupakan istilah yang dikemukan oleh Dahl untuk mengganti kata demokrasi. Bagi Dahl, demokrasi mengandung dua demensi -kontestasi dan partisipasi. Karena menekankan dua demensi ini maka konsep demokrasi ini sering disebut demokrasi minimalis. Berdasarkan dua demensi tersebut, Dahl membuat tipologi empat sistem politik: hegemoni tertutup (kompetisi dan partisipasi sama-sama rendah) ; oligarki kompetitif (kompetisi tinggi tetapi partisipasi rendah) ; hegemoni inklusif (partisipasi tinggi-kompetisi rendah) dan Poliarki (partisipasi dan kompetisi tinggi). Dalam karya Dahl yang lain (1989), Dahl menyampaikan tujuh indikator dari sistem yang demokratis: 1. Kontrol pada pembuat kebijakan dilakukan oleh pejabat publik yang terpilih 2. Pemilihan pejabat publik diselenggarakan melalui pemilu yang teratur, fair dan bebas. 3. Setiap warga negara mempunyai persamaan hak memitih dalam pemilu 4. Setiap warga negera mempunyai persamaan hak untuk dipilih dalam pemilu 5. Jaminan kebebasan dasar dan politik; 6. Adanya saluran informasi alternatif yang tidak dimonopoli pemerintah atau kelompok tertentu. 7. Adanya jaminan untuk membentuk dan bergabung pada organisasi, termasuk partai politik dan kelompok kepentingan. Senada dengan Dahl, Diamond,Linz dan Lipset merumuskan demokrasi sebagai: suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok; 1. Kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas diantara individu-individu dan kelompok-kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan yang mempunyai kekuasaan efektif, pada jangka waktu yang reguler dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa; 2. Partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilihan umum yang dislenggarakan secara reguler dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok yang dikecualikan. 3. Kebebasan sipil dan politik; kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik. VI. TEORI DEMOKRASI PROSEDURAL YANG DIPERLUAS: Penekanan demokrasi Schumpeter pada sisi procedural membuahkan kritik; misalnya kritik dari Terry Karl tentang "kekeliruan elektoralisme" dimana demokrasi Schumpeterian mengistimewakan pemilu di atas demensi-demensi yang lain, dan mengabaikan kemungkinan yang ditimbulkan oleh pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing datam memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepentingannya (seperti perlindungan pada kelompok-kelompok marginal dan minoritas). Kritik ini juga diarahkan pada munculnya quasi demokrasi (demokrasi semu). Kritik ini menimbulkan konsep demokrasi prosedural yang diperluas dengan menambahkan demensi jaminan kebebasan dan akses pada kelompok minoritas. Penekanan pada demensi kebebasan dan jaminan pada minoritas nampak dari tulisan Diamond, yang menyebutkan sepuluh komponen khusus demokrasi: 1. Kontrol terhadap negara, keputusan dan alokasi sumberdaya dilakukan oleh pejabat publik yang terpilih; 2. Kekuasaan eksekutif dibatasi, secara konstitusional dan faktual oleh kekuasaan otonom institusi pemerintahan yang lain. 3. Kebebasan untuk membentuk partai politik dan mengikuti pemilu. 4. Adanya kesempatan pada kelompok-kelompok minoritas untuk mengungkapkan kepentingannya. 5. Kebebasan bagi warga negara untuk membentuk dan bergabung dengan berbagai perkumpulan dan gerakan independen. 6. Tersedianya sumber informasi alternatif 7. Setiap individu memiliki kebebasan beragama, berpendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, berserikat, berdemonstrasi dan menyampaikan pendapat. 8. Setipa warga negera mempunyai kedaulatan yang setara dihadapan hukum. 9. Kebebasan indivisu dan kelompok dilindungi secara efektif oleh sebuah peradilan yang independen dan tidak diskriminatif. 10. Rule of law melindungi warga negara dari penahanan yang tidak sah, pengucilan, teror, penyiksaan dan campur tangan yang tidak sepantasnya dalam kehidupan pribadi baik oleh warga negara maupun kekuatan non organisasi non negara dan anti negara. VII. TEORI DEM0KRASI SOSIAL: Konsep demokrasi prosedural-liberal hanya menekankan demensi politik (demokrasi politik), mendapatkan kritik dari berbagai kalangan, terutama Marxisme. Bagi Marxisme, demokrasi tidak hanya menyangkut demensi persamaan dan kebebasan melainkan mengandung didalamnya konsep keadilan sosial. Dalam pandangan Marxisme, demokrasi yang sesunguhnya tidak terwujud ketika kaum marginal (buruh) hanya diberi kebebasan politik namun secara struktural mereka tetap berada dalam struktur penindasan (eksploitasi) yang dilakukan oleh kelas kapitalis.Oleh karena itu, demokrasi politik hanyalah demokrasi semu. Persoalan ketidakadilan sosial (ekonomi) inilah yang kemudian menimbulkan paradoks demokrasi di berbagai negara yang telah berhasil menerapkan konsep demokrasi minimalis. Misalnya: munculnya gerakan Zapatista di Mexico paska transisi dari rezim otoriter. VII. DEMOKRATISASI: Mengacu pada Samuel P. Huntington dalam bukunya, “Tle Third Ware: Democratization in The Late Twentieth Century” menyebut masa 1974-1990-an adalah sebagai demokratisasi gelombang ketiga. Pada masa ini gelombang demokrasi berhembus ke seluruh dunia dalam bentuk transisi politik yang dialami sekitar tiga puluh negeri dari sistem politik nondemokratis ke sistem demokratis. Demokratisasi adalah transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi. Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi.Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan.Jika demokratisasi tidak dilakukan, maka bayaran yang harus diterima adalah balkanisasi, perang saudara yang menumpahkan darah, dan kemunduran ekonomi dengan sangat parah. Hasilnya bisa menguat seperti di Britania Raya atau mundur seperti di Argentina. Berbagai pola demokratisasi digunakan untuk menjelaskan fenomena politik lain, misalnya apakah negara terlibat dalam perang atau ekonominya tumbuh. Demokratisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pembangunan ekonomi, sejarah, dan masyarakat madani.Hasil ideal dari demokratisasi adalah menjamin rakyat punya hak memilih dan suara dalam sistem politik negaranya. Sesuai pemikiran Samuel P. Huntington di atas, Indonesia setidaknya sejak awal tahun 1070-an mengalami proses demokratisasi, namun perubahan politik besar muncul pada akhir 1970an, dengan munculnya kekuatan reformasi yang mendorong keruntuhan kekuasaan rezim Suharto, Mei 10 tahun silam (1978). Proses demokratisasi di Indonesia semakin terlihat sejak terjadi gelombang reformasi sekitar 1997/1998, kelompok mahasiswa mencanangkan agenda reformasi, dan keruntuhan kekuasaan rezim Orde Baru Soeharto. Segera setelah itu, Indonesia memasuki politik era reformasi. Perubahan itu kemudian hingga kini dikenal sebagai era reformasi.Berbagai penilaian telah muncul atas perjalanan reformasi dan demokratisasi, dari penilaian paling ekstrim negatif hingga ekstrim positif.Munculnya kekuatan reformasi sebagai lawan kekuatan Orde Baru rezim Suharto sesungguhnya merupakan reaksi dari realitas obyektif politik ekonomi saat itu. Mengacu pada Samuel P. Huntington dalam bukunya, “Tle Third Ware: Democratization in The Late Twentieth Century” menyebut masa 1974-1990-an adalah sebagai demokratisasi gelombang ketiga. Pada masa ini gelombang demokrasi berhembus ke seluruh dunia dalam bentuk transisi politik yang dialami sekitar tiga puluh negeri dari sistem politik nondemokratis ke sistem demokratis. Demokratisasi adalah transisi ke rezim politik yang lebih demokratis. Transisi ini bisa terjadi dari rezim otoriter ke demokrasi menyeluruh, dari sistem politik otoriter ke semi-demokrasi, atau dari sistem politik semi-otoriter ke demokrasi. Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi.Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan.Jika demokratisasi tidak dilakukan, maka bayaran yang harus diterima adalah balkanisasi, perang saudara yang menumpahkan darah, dan kemunduran ekonomi dengan sangat parah. Hasilnya bisa menguat seperti di Britania Raya atau mundur seperti di Argentina. Berbagai pola demokratisasi digunakan untuk menjelaskan fenomena politik lain, misalnya apakah negara terlibat dalam perang atau ekonominya tumbuh. Demokratisasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pembangunan ekonomi, sejarah, dan masyarakat madani.Hasil ideal dari demokratisasi adalah menjamin rakyat punya hak memilih dan suara dalam sistem politik negaranya. Sesuai pemikiran Samuel P. Huntington di atas, Indonesia setidaknya sejak awal tahun 1070-an mengalami proses demokratisasi, namun perubahan politik besar muncul pada akhir 1970an, dengan munculnya kekuatan reformasi yang mendorong keruntuhan kekuasaan rezim Suharto, Mei 10 tahun silam (1978). Perubahan itu kemudian hingga kini dikenal sebagai era reformasi.Berbagai penilaian telah muncul atas perjalanan reformasi dan demokratisasi, dari penilaian paling ekstrim negatif hingga ekstrim positif.Munculnya kekuatan reformasi sebagai lawan kekuatan Orde Baru rezim Suharto sesungguhnya merupakan reaksi dari realitas obyektif politik ekonomi saat itu. Beberapa indikator dapat ditunjukkan sebagai realitas obyektif dimaksud.Di hampir semua kehidupan politik di tanah air terlalu dominan ditentukan lembaga kepresidenan (Istana). Sentralisasi kekuasaan demikian kuat berada di satu tangan sehingga tidak berlebihan mempunyai “one man show politics”, “semua kembali kepada Suharto”. Sistem pemilihan Presiden dan Wakil melalui perwakilan MPR; sebagian anggotanya diangkat oleh Presiden. Kepartaian sebagai salah satu pilar demokrasi, telah sangat dibatasi. Melalui UU No. 3 Tahun 1975 tentang Parpol dan Golkar, rezim Suharto menyederhanakan jumlah partai menjadi hanya 3 partai: PPP, PDI dan Golkar. Secara formal partai banyak, tapi substansial partai tunggal, yakni Golkar sangat dominan dalam pengambilan keputusan publik.Pemilu tidak Jujur dan Adil (Jurdil), dan Pemerintah sangat memihak pada Golkar.Dalam 5 Pemilu (1997, 1982, 1987, 1992, 1997), pesertanya hanya PPP, PDI dan Golkar. Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan PPP dan PDI hanya pelengkap atau ”ornamen” semata. Dalam hal kebebasan pers, rezim Suharto juga sangat membatasi.Acapkali terjadi Pemerintah melakukan penyensoran, pembredelan dan penghentian siaran terhadap media.Bahkan, kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat dan berkumpul acap kali mendapatkan pembatasan baik melalui kekerasan maupun administratif, terutama perizinan dari instansi militer yang sesungguhnya tidak memiliki kompetensi untuk urusan masyarakat madani.Juga penegakan HAM masih sangat rendah dan lembaga peradilan kurang independen. Di bidang kelembagaan negara, tidak ada kesetaraan (equity) di antara lembaga tinggi negara.Peranan MPR tidak jelas sebagai lembaga legislatif.Rekruitmen politik serba tidak terbuka (tertutup), tidak ada penegakan prinsip meritokrasi.Birokrasi berfungsi sebagai “badan pelaksana” kebijakan yang diambil eksekutif.Tak jarang hanya untuk memperkuat posisi eksekutif.Kebijakan publik tidak transparan.Bahkan menurut Lembaga Riset Transparancy International (1995), saat itu Indonesia sudah berada di peringkat pertama negara terkorup di Dunia. Realitas obyektif politik semacam ini berjalan dapat dibilang sekitar 30 tahun, yang berujung pada krisis keuangan dan ekonomi sehingga mempercepat kenaikan kekuatan reformasi untuk menjatuhnya kekuasaan rezim Suharto.Bersama mahasiswa, kekuatan kelas menengah dan Islam (reformasi), melakukan aksi-aksi politik untuk mendesak lembaga-lembaga negara mencabut dukungan terhadap rezim Suharto sekaligus meminta Suharto mundur dari jabatan Presiden. Relitas obyektif di atas antara lain menggelombangkan kekutan reformasi untuk menuntut reformasi total politik, ekonomi maupun hukum. Di lain fihak, kekuatan mahasiswa reformis mengajukan tuntutan sekitar politik: 7 agenda reformasi, yakni 1. Amandemen UUD 1945; 2.Hapuskan KKN; 3.Adili Soeharto; 4.Hapuskan Dwifungsi ABRI; 5.Otonomi Daerah; 6.Penegakan Hukum; dan, 7.Pertanggungjawaban Orde Baru. Terdapat sejumlah indikator demokratisasi di Indonesia. Pertama, Amandemen UUD 1945 sebagai hukum dasar dan tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Amandemen UUD 1945 telah membangun paradigma kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengubah pula corak dan format kelembagan serta mekanisme hubungan antarlembaga negara yang ada.Amandemen UUD 1945 menghasilkan rumusan UUD jauh lebih kokoh menjadi hak konstitusional warga negara. Adanya Butir Perubahan Mendasar: dari demokrasi perwakilan menjadi demokrasi langsung. Pasal 6A UUD 1945, mengatur sistem pemilihan presiden dan wakil presiden tidak lagi melalui perwakilan MPR, tetapi langsung dipilih oleh rakyat melalui suatu proses pemilihan umum. Perubahan Konstitusi juga telah memasukkan Bab khusus tentang HAM, terdiri dari 10 pasal.Amandemen UUD 1945 telah menetapkan pembentukan Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), dan DPD mewakili seluruh Daerah Propinsi di Indonesia. Amandemen UUD 45 telah menggeser kekuasaan membuat UU yang sebelumnya pada pemerintah kepada kekuasaan legislatif DPR.Telah meningkat produktivitas pembuatan UU.Kemajuan juga terlihat dari pembentukan Komisi Yudisial (KY). Komisi ini bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Bahkan, terdapat ketentuan radikal, yakni sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD untuk pengelolaan pendidikan nasional (pasal 31, ayat 4), dll. Sebagai konsekuensi reformasi konstitusi, telah dibentuk Mahkamah Konstitusi yang sepanjang Orde Baru, tidak pernah ada lembaga kenegaraan semacam ini. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilu. Kehidupan kepartaian juga sangat berubah dalam era reformasi ini.Berbagai regulasi telah dibuat untuk memenuhi tuntutan sistem kepartaian banyak. Sebagai pilar demokrasi, kepartaian telah diatur melalui UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik di bawah pemerintahan Habibie. Di bawah pemerintahan Mega-Hamzah, terbit UUNomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. UU ini memberi peluang/kesempatan pendirian sekitar 200 partai Politik. Namun, pada Pemilu anggota legislatif tahun 2004 terdapat hanya 24 partai politik sebagai Peserta.Selanjutnya, terbit UU Nomor 2 tahun 2008tentang Partai Politik di bawah pemerintahan SBY-JK. Mengacu pada UU terakhir ini, Partai politik di Indonesia adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pengertian ini tercantum dalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.Sedangkan untuk mengikuti Pemilihan Umum, partai politik wajib memenuhi persyaratan tertentu yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang. Selanjutnya, Komisi Pemilihan Umumakan melakukan proses verifikasi. Proses verifikasi terdiri dari dua tahap: verifikasi administrasi dan verifikasi factual. Terakhir di era pemerintahan SBY-Boediono, terbit UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Pada Pemilu 1999 lebih 200 parpol telah terbentuk dan terdaftar di Departemen Kehakiman dan 44 Parpol sebagai Peserta.Pemilu 2009 menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka dan diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh.Pemilu 2014 dikuti 12 partai politik dan 3 (tiga) partai lokal Aceh. Pelaksanaan Pemilu juga sangat berbeda di era reformasi, relatif jurdil (jujur dan adil).Dasar hukum semula dibuat adalah UU Pemilu No. 3 Tahun 1999, dibawah pemerintahan Habibie.Telah terlaksana Pemilu 1999 yang relatif lebih kompetitif (bersaing), adil dan jujur dan melibatkan banyak (48) Parpol. UU Pemilu No. 12 Tahun 2003 mengkondisikan sistem pemilihan lebih terbuka ketimbang sebelumnya dan lebih detail ketentuan penanganan pelanggaran dan penyelesaian sengketa Pemilu. UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebagai tindak lanjut dari perubahan konstitusi Pasal 6 A UUD 1945. Dengan berbagai kelemahan dalam hal penegakan prinsip jujur dan adil (jurdil), pada tahun 2004 telah dilaksanakan Pemilu anggota legislatif tanpa terjadinya konflik menifest dan kekerasan. Pada 2004 telah dilaksanakan Pilpres secara langsung sesuai Pasal 6A UUD 1945.Telah dilaksanakan juga pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara langsung pada Pemilu 2004. Di bawah pemerintahan SBY-JK, telah terbit UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. UU ini telah menjadikan Pilkada sebagai rezim Pemilu. Salahsatu ketentuan penting UU ini mengenai parlemantry treshold (PT), yakni parpol peserta pemilu yang memperoleh suara sah kurang dari 2,5 % dari total suara sah, tidak akan dapat memproleh kursi di DPR. Namun, parpol bersangkutan masih bisa mengikuti Pemilu 2014 mendatang. Otonomi daerah juga mengalami kemajuan sesuai dengan tuntutan mahasiswa. UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah memuat desentralisasi pemerintahan dan distribusi dana sampai ke tingkat Kabupaten/Kota. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang menetapkan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat dan DPRD tidak memiliki wewenang lagi untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Penganti UU. No.22 Tahun 1999).Kini setidaknya telah dilaksanakan lebih seratus Pilkada Kabupaten/Kota dan lebh dua puluh Pilkada Propinsi, yang memberikan kedaulatan langsung ditangan rakyat tanpa diwakilkan. Sebagai hasil judicial review UU No. 32 Tahun 2004, terutama menyangkut Pilkada sesuai dengan atas tiga permohonan hak uji materi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, MK memutuskan antara lain: partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD, tetapi memiliki 15 % suara dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu bisa mengajukan Pasangan Calon. MK juga telah memutuskan untuk diperkenankannya calon perorangan ikut sebagai peserta Pilkada. Payung hukum untuk kebebasan pers telah diterbitkan segera setelah jatuhnya rezim Suharto, yakni UU Pers No. 40 Tahun 1999.Tidak boleh ada lagi penyensoran, pembre4delan dan penghentian siaran terhadap media oleh Pemerintah. Di bawah UU Pers initelah berdiri ratusan media massa cetak dan belasan media audio visual (TV) di seantero ini. Hal ini tak pernah terjadi di Indonesia.Juga telah terbentuk Dewan Pers dan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) sebagai kelompok kepentingan masyarakat madani dalam dunia pers dan penyiaran.Juga organisasi profesi wartawan tidak hanya PWI (tunggal), tetapi telah berdiri beragam organisasi profesi wartawan lain seperti AJI (Aliansi Jurnalis Independen). Kebebasan berserikat juga mengalami kemajuan pesat.Beragam bentuk organisasi kemasyarakatan dan politik sebagai bagian mayarakat madani telah tumbuh berkembang dalam era reformasi, antara lain parpol, pers, perhimpunan, Ornop/LSM, Ormas, OKP, assosiasi kelompok kepentingan, penampungan keluhan warganegara (Ombudsman, Watch. Pengorganisasian masyarakat madani ini mrupakan proses demokratisasi dan komponen demokrasi. Telah terbit UU yg menjamin kebebasan dan memberikan ruang bagi warganegara baik secara individual maupun kelompok melakukan aksi politik dalam bentuk demonstrasi dan unjuk rasa kepada lembaga pemerintahan.Hampir setiap minggu kita menemukan berita adanya aksi demonstrasi atau protes missal baik terhadap pemerintahan maupun dunia usaha. Bahkan, telah berdiri Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai tindak lanjut UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Demokratisasi di Indonesia menghasilkan penambahan sejumlah lembaga negara antara lain: Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), serta Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemilihan Umum (KPU). Disamping itu ada penambahan Lembaga Kuasi Negara ( State Auxalary Bodies) , yaitu Lembaga dibentuk atau didirikan untuk menangani masalah-masalah khusus sesuai dengan spesifikasi, pada umumnya pendirian merupakan sebuah reaksi atas ketidakmampuan institusi yang ada menangani masalah tersebut, struktur dan cara kerja lembaga tersebut bersifat independen, namun supratruktur dan infrastruktur disediakan oleh negara. Pada hakikatnya, lembaga kuasi negara merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Komnas HAM, Komisi Pemilihan Umum (KPU),KPAI (Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia, Komnas Perempuan (Komisi Nasional Perempuan), Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), KY (Komisi Yudisial), KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), Komisi Kejaksaan, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) , Komisi Ombudsman, KHN (Komisi Hukum Nasional), Komnas FPBI (Komisi Nasional Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza, Komisi Nasional Flu Burung), Komnas LANSIA (Komisi Nasional Lanjut Usia), KPI (Komisi Penyiaran Indonesia ), Komisi Konstitusi, Komisi Pendidikan Nasional, Komisi Informasi, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Komisi Pengawas Penyeleggaraan Haji, Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. Selain yang disebutkan di atas, masih ada lagi lembaga Kuasi Negara yang kedudukannya sejajar dengan Komisi-Komisi Negara, namun berbeda nama seprtti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Konsil Kedokteran Indonesia, Komite Nasional Keselamatan Trasnportasi (KNKT), Komite Olah Raga Nasional Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK), Komite Antar Depertemen Bidang Kehutanan, Komite Penilaian Independen, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Komite Standard Nasional Untuk Satuan Ukuran, Komite Aksi Nasional, Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak,. Komite Penanganan Perdagangan Indonesia, Komite Anti Dumping Indonesia. Kemudian ada sejumlah lembaga yang namanya berbeda, yaitu menyandang nama Dewan, namun berbeda dari Dewan Perwakilan Rakyat, namun memiliki fungsi yang hampir sama dengan beberapa lembaga yang tersebut di atas, lembaga-lembaga tersebut diantaranya Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Dewan Pers, Dewan Maritim Indonesia, , Dewan Gula Nasional, Dewan Ketahanan Pangan, Dewan Buku Nasional, Dewan Penerbangan Antariksa Nasional, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, Dewan Riset Nasional, Dewan Ketahanan Nasional, Dewan Pengarah LEMHANAS, Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Juga ada penambahan insititusi Negara seperti Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat, Lembaga Sensor Film, Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Badan Akreditasi Nasional, Perguruan Tinggii, Badan Akreditasi Nasional, Sekolah/Madrasah, Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (LAPINDO?), Badan Pengembangan KAPET, Badan Narkotika Nasional, Bakornas PBP 11. Badan Pengelolaan Geloran Bung Karno, Badan Pengelola Kawasan Kemayoran, Badan Pertanahan Nasional, Badan Pengelola PUSPITEK, Badan Pertimbangan Perfilman Nasional, Badan Nasional Sertifikasi Profesi, Badan Koordinasi Penempatan TKI. Fenomena demokratisasi di Indonesia sesungguhnya ditandai munculnya kekuatan-kekuatan pro demokrasi dengan mencita-citakan sistem demokrasi berlaku menunjukkan kekuasaan dibagi-bagi dengan sengaja melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan terdapat “checks and balances”. Dalam masyarakat demokratis, kebenaran tidak ditentukan oleh orang kuat serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan kemampuan terkadang sangat biasa. Demokrasi, diibaratkannya seperti pasar dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan diambil bukanlah terbaik. Pemilihan demokratis menjadi keharusan bertujuan untuk menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk menggantikan politisi di bawah performa dengan alternatif lain sesuai pilihan warganegara. Kekuatan pro demokarsi mendorong pengembangan demokrasi menuntut adanya organisasi sebagai sarana massa rakyat menyalurkan apa disebut sebagai kehendak bersama, hanya mungkin diberikan melalui organisasi. Dalam perspektif demokrasi, Parpol sebagai organisasi dan bagian masyarakat madani sangat dibutuhkan untuk merealisasikan kedaulatan massa rakyat, bukan sekedar retorik in abstracto sebagaimana dikatakan seorang akademisi politik terkenal Gaetano Mosca. Secara umum peran Parpol itu bagaikan “intermediate-structure”, sebagai perantara antara masyarakat politik dan negara.Karena itu, jika kader Parpol terpilih sebagai anggota legislatif, maka seharusnya mereka memperjuangkan agea-agenda kepentingan atau harapan konstituen/pemilihnya. Proses pengangkatan pemimpin Parpol dalam perspektif demokrasi harus melalui jalan kompetisi dan pengambilan keputusan harus melibatkan banyak pihak dengan kepentingan berbeda-beda. Pemimpin Parpol harus memberi pertanggungjawaban dalam pemilihan demokratis, dan jika mereka kalah dalam pemilihan mereka akan kehilangan kekuasaan. Dalam sistem demokrasi kekuasaan oligarki terpenjara oleh sistem bekerja secara rasional, nantinya menyeleksi beragam kepentingan individu dan kelompok ada di dalamnya. Demokrasi memberi ruang kepada rakyat berdaulat meletakkan kedaulatan dalam bentuk Negara. Demokrasi menjadikan negara sebagai kumpulan daulat rakyat dalam realitasnya terwujud bagian-bagian atau organ-organ kelembagaan Negara. Untuk itu, politik kepartaian harus didorong menjadi lebih kompetitif, ditandai jarak ideologi di antara Parpol dalam kehidupan kepartaian. Kompetisi antar Parpol harus konsisten di berbagai arena politik baik Pemilu maupun pemerintahan sehingga terdapat tautan elektoral (hubungan pemilihan) di antara Parpol sebelum Pemilu dan Pasca Pemilu. Kaitan antara ideologi, pola koalisi, pola oposisi, proses kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi menjadi lebih bermakna. Sebagai pilar demokrasi, Parpol haruslah terlebih dahulu menata dirinya berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi antara lain partisipasi, kesetaraan (non diskriminatif), keterbukaan (transparansi), pertanggungjawaban publik (akuntabilitas publik), supremasi hukum (taat hukum), efisien dan effektif, dll.Parpol dapat berperan sebagai pilar demokrasi bagi kehidupan masyarakat madani, pemerintahan dan juga dunia usaha manakala tata pengelolaan Parpol itu sendiri sungguh-sungguh berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi dimaksud. UUD 1945 telah menjamin penegakan prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan kuat dalam NKRI merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Dalam kehidupan demokarasi, peran, fungsi dan tanggungjawab Parpol dituntut berkembang secara konstitusional.Parpol sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.Kedaulatan rakyat bermakna rakyat pemilik kekuasaan, bebas berkehendak, mutlak memiliki, klaim menguasai, menjaga dengan hak penuh.Seluruh harta bumi dan kekayaan alam negara Indonesia mutlak milik pemegang kekuasaan dimaksud, yakni rakyat.Rakyat harus menyadari hak-haknya mengontrol bagi kemungkinan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan negara Indonesia.Dasar filosofis dan konstitusional prinsip kedaulatan rakyat ini sesungguhnya telah tertuang di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945, yakni Negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Setiap warganegara Indonesia adalah pemegang kedaulatan atau pemilik seluruh harta bumi dan kekayaan alam Indonesia. UUD 1945 mengharuskan sistem negara terbentuk berdasarkan “kedaulatan rakyat”. UUD 1945 mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara untuk menjamin rakyat menyalurkan aspirasi politik kepada lembaga-lembaga Negara, terutama lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD). Parpol harus berfungsi untuk menyalurkan aspirasi politik sebagai manifestasi dari penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Karena itu, Parpol dalam hubungannya dengan Negara (khususnya legislatif dan eksekutif) tidak boleh hanya mewakili konstituen atau anggota semata, tetapi harus berfungsi sebagai sarana aspirasi politik rakyat keseluruhan.Untuk menegakkan prinsip kedaulatan rakyat dan meningkatkan kehidupan demokrasi, Parpol perlu melakukan pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik rakyat melalui Parpol diharapkan dapat membangun karakter bangsa merupakan watak atau keperibadian bangsa Indonesia terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa. Namun, realitas obyektif menunjukkan bahwa kalangan aktor masyarakat madani memperjuangkan cita-cita demokrasi dan penegakan prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia cenderung tidak mempercayai peran dan fungsi Parpol. Mereka menilai, tidak ada hubungan signifikan antara Parpol dan kelompok konstituen, juga peran Parpol di dalam pekerjaan demokrasi. Kepercayaan rakyat terhadap Parpol tergolong sangat rendah. Hal ini bisa menjadi bencana bagi demokrasi mengingat Parpol berfungsi sesungguhnya sebagai alat rakyat untuk menyampaikan kedaulatan mereka. Salah satu karya akademis menunjukkan ketidakpercayaan atas peran dan fungsi Parpol di Indonesia dapat ditemukan pada Mahrus Irsyam dan Lili Romli (Eds), Menggugat Partai Politik (Jakarta: Laboratorium Ilmu Politik Fisip Universitas Indonesia, 2003). Di dalam karya ini terdapat tulisan Tim dengan pertanyaan utama: sudah sampai sejauh manakah relevansi antara teori dan konsep tentang Parpol dan system kepartaian dengan realitas system kepartaian beserta Parpolnya di Indonesia selama ini? Pertanyaan ini diajukan sekitar tahun 2003, suatu situasi Indonesia baru memasuki era demokratisasi dari otoriterianisme.Para penulis karya ini antara lain Arbi Sanit, Mahrus Irsyam, Syamsuddin Haris, Lili Romli, Sahrul Hidayat dan Ibnu Hamad.Di dalam karya ini, Lili Romli mengajukan judul tulisan: “Potret Buram Partai Politik di Indonesia”. Menurut Lili, Parpol ternyata asyik dengan kepentingannya sendiri, tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. Harapan dan aspirasi rakyat dibiarkan begitu saja: kemiskinan, ketidakadilan, kenaikan harga, konflik vertikal maupun horizontal , ketidakamanan dan rasa takut ancaman kejahatan, dll. Semuanya itu, lanjut Lili, tampak tidak dihiraukan oleh parpol. Padahal ketika mereka berkampanye selalu berjanji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, hal itu hanya tinggal janji saja tanpa buki nyata.Maka tidak heran apabila rakyat kemudian pesimis dan kecewa terhadap Parpol.Saat ini ada kesadaran di kalangan rakyat bahwa mereka hanya selalu dijadikan “obyek” pengatasnamaan rakyat.Padahal semuanya “pepesan kosong”, yang ada adalah kepentingan golongan atau Parpol, dari kekuasaan, jabatan sampai pada uang.Terdapat kekecawaan rakyat terhadap Parpol.Untuk menjustifikasi penilaian kritis di atas`, Lili lalu menyajikan hasil riset dikeluarkan Forum Keadilan (No. 52, 14 April 2002). Penilaian kritis Lili atas keberadaan Parpol dalam awal era reformasi ini juga diperkuat dengan hasil riset Kompas (lihat Tabel 2.) menunjukkan bahwa Parpol melalui kader di DPR lebih mengutamakan kepentingan peribadi dan Parpol ketimbang kepentingan rakyat. Rata-rata lebih 55 % responden berpendapat, DPR lebih berkomitmen terhadap kepentingan peribadi dan Parpol, bukan kepentingan rakyat. Dengan perkataan lain, kepentingan peribadi dan kepentingan Parpol diutamakan sedangkan kepentingan rakyat diabaikan. Di samping hasil riset Kompas ini, Lili juga menunjukkan contoh nyata, yakni kegagalan membentuk Pansus Buloggate II, di mana sebagian besar wakil rakyat menolak dan abstain, suatu sikap yang menyakiti hati rakyat.Intinya, Lili menilai, Parpol tumbuh dalam era reformasi ini belum melaksanakan fungsi dengan baik.Sebagaimana digelombangkan kaum kelas menengah perkotaan dan mahasiswa tergabung dalam kekuatan reformasi, dalam era reformasi Parpol harus berperanan sebagai pelaku dan pejuang cita-cita demokrasi Tetapi, Parpol tidak melakukan kegiatan-kegiatan di kehidupan sehari-hari. Penilaian semacam ini dapat dipertegas dengan hasil Jajak Pendapat Litbang Kompas pada 26-27 Mei 2010 dengan 781 responden 17 tahun keatas di 57 kota Indonesia. Terdapat 58,9 % responden tidak puas tentang Parpol memperjuangkan demokratisasi, dan hanya 35,1 % puas. Jajak Pendapat juga mengungkapkan, lebih dari separoh (54 %) responden mengamati bahwa selama ini tidak ada aktivitas organisasi berarti dari Parpol-parpol di wilayah mereka. Sebagian besar responden tdiak pernah mngetahui kegiatan maupun aktivitas Parpol seperti dalam hal perekruitan (penempatan) anggota, pendidikan politik, penggalangan dana, maupun dalam pendampingan-pendampingan saat situasi krisis berlangsung di wilayah mereka. Sebagian besar responden tidak merasakan kehadiran Parpol di kehidupan sehari-hari. Gerakan reformasi pro-demokrasi sama sekali belum terealisir dan tidak pernah disinggung oleh kaum politisi Parpol. Gerakan demokrasi hanya dijadikan “lipstik” untuk meraih dukungan politik. Para aktor pro-demokrasi masih terus berjuang dari posisi „terpinggirkan“ (marginal). Kalangan aktor pro-demokrasi dan tokoh organisasi non pemerintah (Ornop) mempercayai bahwa perjuangan demokrasi harus melalui Parpol ternyata juga gagal total. Mereka baru menyadari bahwa politik kepartaian hanya menggunakan massa rakyat untuk mendapatkan dukungan bagi kepentingan kekuasaan sesaat dengan mengandalkan pola hubungan „politik uang“ atau „transaksional“ dan juga politik „pencitraan“, sebuah pola pernah mereka kritik dan tolak sebelumnya. Sebagian aktivis pro-demokrasi baik di Ornop maupun Kampus, tatkala berada di dalam Parpol seakan telah melupakan cita-cita demokrasi dan disibukkan pada pertikaian internal Parpol, mencari sumber pendanaan ilegal serta jabatan di permerintahan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda