Rabu, 12 Agustus 2015

PROSPEK POLITIK EKONOMI INDONESIA DI BAWAH REZIM JOKOWI

Setelah hampir setahun Jokowi-JK memimpin Rezim Kekuasaan di Republik Indonesia Indonesia , perjalanan rakyat Indonesia bukan saja lambat dan merosot, melainkan juga dalam “kegegelapan”. Beragam saran dan usul solusi untuk memecahkan permasalahan Negara dan rakyat di bawah Rezim Jokowi ini, antara lain paling mengundang polemic di public, yakni dilakukan perombakan atau reshuffle Kabinet Kerja, terutama Tim Ekonom I di dalam Kabinet tersebut. Mengapa kondisi politik ekonomi lambat, merosot dan dalam “kegelapan”? Permasalahan acapkali dikesankan karena ketidakmampuan para Menteri Kabinet, bukan karena ketidakmampuan peribadi Jokowi sebagai Presiden. Pertanyaan dasar untuk solusi ini, setelah dilakukan perombakan Kabinet Kerja, apakah prospek kondisi politik ekonomi Indonesia akan lebih baik? Kehidupan ekonomi ditunjukkan dengan berbagai inikator ekonomi keuangan lambat dan merosot, ditandai dengan indicator/parameter: Pertumbuhan Ekonomi Merosot, Nilai Ekspor Merosot, Peningkatan Nilai Impor, 4. Peningkatan Impor Migas, Nilai Tukar Petani Merosot, Inflasi Menaik dan Rupiah Terjun Bebas, Cadangan Devisa Merosot, Penerimaan Pajak Merosot. 9. Hutang Bertambah, Semua Kebutuhan Dasar Rakyat Menaik, Kinerja ekonomi, Tidak Memiliki Kemampuan mengelola ekonomi nasional. Khusus kelambanan dan kemerosotan kehidupan politik di Indonesia ditunjukkan dengan berbagai indikator, antara lain: lembaga-lembaga Negara/pemerintahan cenderung “disfungsional” atau “gagal”; Kabinet Kerja tidak efektif ditandai reshuffle kabinet sebagai satu tolok ukur; perilaku Parpol tanpa Ideologi dan terkena “virus” politik kartel dan transaksionalisme tanpa memainkan peran oposisi (selurunya koalisi); media massa cetak dan audiovisual sebagai industry dan koorporasi ekonomi, tidak mengambil peran sebagai “pilar demokrasi” melainkan bermotip ekonomi dan bisnis;; Negara dan rakyat tidak memiliki “visi” dan “misi” yang sama mau dibawah perjalanan Negara dan rakyat ke depan; kekuaatan rakyat anti Rezim Jokowi semakin membesar diperkirakan melebihi 50 % rakyat Indonesia, kekuatan pro/pendukung Jokowi semakin berkurang per lahan-lahan dari bulan ke bulan; legitimasi/pengakuan politik atau kepercayaan politik secara kultural rakyat terhadap Rezim Jokowi semakin merosot tajam, dll. Kondisi politik di bawah Rezim Jokowi-JK semakin diperparah dengan kepercayaan jurnalis terhadap institusi politik berada pada level yang rendah. Institusi politik dimaksud antara lain parlemen, parpol, pemerintahan, politisi, lembaga peradilan, dan kebijakan publik. Guru Besar Ilmu Komuniksai dari Universitas Ludwig Maximillians, Municg, Jerman, Thomasa Hamitzsch mengungkapkan, berdasarkan penelitian di 21 negara, kepecayaan jurnalis di Negara di luar Eropa terhadap institusi politik dan para politisi cenderung rendah (Kompas, 12 Agustus 2015). Di Indonesia, skor kepercayaan jurnalis terhadap parlemen hanya 2,46 dari skala 5, sementara skor kepercayaan kepada partai politik 1,78. Kepercayaan jurnalis Indonesia terhadap politisi secara umum ternyata lebih renbdah lagi, yakni 1,77, tetapi kepercayaan kepada pemerintah lebih tinggi, yaitu 2,68. Walaupun angka untuk kepercayaan terhadap pemerintah mencapai 2,68, namun angka ini menunjukkan kepercayaan yang rendah. Kepercayaan jurnalis kepada institusi politik lebih rendah daripada kepercayaan masyarakat umum terhadap lembaga politik. Bagi Hanitzsch, kondisi itu justru terbalik di Jerman justru lebih tinggi (dibandingkan dengan masyarakat). Kondisi politik di Indonesia juga dapat ditunjukkan semakin meningkatnya konflik manifest di lembaga politik, antara lain perpecahan Parpol, khususnya PPP dan Golkar. Indikator perpecahan parpol sesungguhnya akibat intervensi Rezim Jokowi-JK melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Partai Golkar dan PPP menjadi korban dari intervensi Rezim Jokowi. Jokowi seharusnya bertanggungjawab untuk membangun tatanan politik yang sehat, dan politik kepartaian yang stabil tanpa perpecahan. Sejatinya, dengan perpecahan parpol di Indonesia, hal itu sama saja kegagalan Jokowi sendiri menjadi kepala pemerintahan. Namun, Jokowi melakukan politik pembiaran atas perpecahan Parpol. Jokowi gagal membangun politik kepartauan. Indikator demokrasi sesungguhnya belum menunjukkan konsistensi dan konseluen dengan penegakan prinsip-prinsip demokrasi seperti partisipasi, nondiskriinatif/kesetaraan, transparanmsi, akuntabilitas public, penegakan hukum, dll. Demokrasi Tanpa Oposisi: Rezim Jokowi-JK mengehendaki tidak aka kekuatan oposisi di Parlemen/DPR. Semua kekuatan politik harus berkoalisi dengan Parpol-Parpol pengusung Rezim. Intevensi Rezim dalam konflik internal dan perpecahan PPP dan Golkar agar tidak menjadi Parpol oposisi, tetapi koalisi terhadap Rezim. Karena itu,dari ukuran pentingnya oposisi dalam demokrasi, Rezim Jokowi-JK tergolong anti-demokrasi, bukan pro demokrasi. Kekuatan oposisi parpol di parlemen/DPR sebagai syarat untuk peningkatan kehidupan demokrasi dan produksi kebijakan public yang berkualitas dalam realitasanya tidak dapat ditemukan. Parpol-parpol berkoalasi dalam KMP (Koalisi Merah Putih) yang kalah dalam Pilpres oleh KIH (Koalisi Indonesia Hebat), ternyata juga tidak memainkan peranan oposisional di DPR, kecuali berkoalisi secara substanasial dengan KIH yang lagi berkuasa dalam pemerintahan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda