Rabu, 30 Mei 2018

KINERJA JOKOWI URUS JASA KEUANGAN



Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)

Di samping urusan keuangan negara dan  moneter, Presiden Jokowi juga harus menyelenggarakan urusan jasa keuangan. Dari sisi kelembagaan, terdapat badan khusus mengurusi masalah2  jasa keuangan, yakni lembaga  Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Studi ini bukan mengevaluasi kritis pemimpin OJK, tetapi Presiden Jokowi urus jasa keuangan.

Sebagaimana laporan studi2 kinerja Jokowi sebelumnya, studi ini juga menggunakan janji2 lisan kampanye Pilpres 2014 sebagai standar kriteria evaluasi kritis. Antara lain:

1.Membuat Bank Tani untuk mengurangi impor pangan. Sudah 3,5 tahun Jokowi jadi Presiden, Bank Tani masih belum terbentuk. Bahkan, impor pangan terutama beras jalan terus dan meningkat. Jokowi ingkar janji. Kinerja buruk.
2. Membatasi Bank Asing. Sebuah sumber menyajikan  data statistik perbankan Indonesia (SPI) Februari 2017. Jumlah Bank asing tercatat 9 Bank. Jumlah kantor Bank asing 89 unit. Untuk bank campuran,  12 Bank dengan jumlah kantor 355 unit. Realitas obyektif,  banyak Bank asing  memasuki daerah  di Indonesia.Bank asing sangat mudah membuka cabang. Di lain pihak,  selama ini Indonesia sulit untuk membuka cabang Bank di luar negeri. Jokowi ingkar janji. Kinerja buruk.
3.Membentuk Bank Khusus Nelayan. Sama dengan Bank Tani, sudah 3,5 tahun berkuasa Jokowi belum juga membentuk Bank Nelayan. Jokowi ingkar janji. Kinerja buruk.
4.Akan berbicara terkait Kasus BLBI. Hingga 3,5 tahun berkuasa Jokowi justru menghindar berbicara ttg Kasus BLBI. Hanya janji doang. Ingkar janji. Kinerja buruk.

Standar kriteria evaluasi kritis berikutnya bersumber dari janji2 tertulis kampanye Pilpres 2014 tertuang di dalam dokumen NAWA CITA. Yakni:

1. Pembatasan
penjualan saham Bank nasional kepada asing. Realitas obyektif menunjukkan, tidak ada ketentuan pembatasan penjualan saham Bank kepada asing. Bahkan, kondisi era Jokowi kian bebas dan beberapa Bank BUMN dipaksa untuk menerima utang dari negara lain atas kepentingan pembangunan infrastruktur.
2. Pengaturan lebih ketat
utk menghidarkan konglomerasi tumpang tindih antara sektor keuangan dengan
sektor riil dalam hal kepemilikan Bank. Kita masih membutuhkan Pemerintah membuktikan  realisasi janji ini.
3. Azas resiprokal perbankan Indonesia harus segera diimplementasikan
untuk negara-negara memiliki Bank di Indonesia. Upaya Pemerintah baik secara diplomasi maupun bukan, belum ada bukti. Pemerintah lebih melihat ke dalam, kurang keluar.
4. Dukungan kepada
perbankan nasional untuk mengembangkan sayapnya ke luar negeri terutama di
ASEAN. Masih janji belaka. Jokowi belum melaksanakan janji ini.
5.
 Mengembangkan sistem
informasi dan administrasi  membuat micro finance menjadi bankable. Kita perlu data, fakta dan angka resmi Pemerintah atas pelaksanaan janji ini.
6.  Mengambil sikap zero toleran terhadap tindak
kejahatan perbankan dan kejahatan pencucian uang. Belum ada data, bukti dan angka Pemerintah sudah bekerja hingga mencapai zero toleran. Amat langka, ada pengadilan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang.
7. Memperkuat satuan tugas di lingkungan POLRI dan Kejaksaan
yang terlatih secara khusus dan professional dalam melakukan penanganan dan
pencegahan kejahatan perbankan dan pencuctan uang. Kita perlu informasi resmi adanya kegiatan perkuatan satuan tugas dimaksud.

Sumber standar kriteria lain adalah RPJMN 2015-2019.  Sasaran sektor jasa keuangan antara lain:

1. Meningkatnya ketahanan/stabilitas dan daya saing sektor keuangan melalui sistem keuangan sehat, mantap dan efisien.
2. Percepatan fungsi intermediasi dan penyaluran dana masyarakat utk mendukung pembangunan dari  masyarakat/swasta.
3. Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, peningkatan akses kepada lembaga jasa keuangan dlm rangka meningkatkan sektor keuangan inklusif.
4. Penurunan transaksi keuangan terkait pencucian uang dan pendanaan terorisme melalui pengungkapan kasus terkait tindak pidana tsb.
5. Peningkatan kapasitas PPATK dan terpenuhinya produk hukum menunjang pemberantasan tindak pidana tsb di Indonesia.

Semua rencana kegiatan versi RPJMN terkait jasa keuangan ini, masih perlu data, fakta dan angka resmi Pemerintah yang dipublikasikan.

Kemudian, Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia 2015 - 2019 disusun OJK bisa juga digunakan sbg sumber standar kriteria evaluasi kritis kinerja Jokowi urus jasa keuangan. Master Plan ini memiliki tiga fokus utama, yakni

1.  Mengoptimalkan peran sektor jasa keuangan dalam mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi nasional (kontributif)
2. Menjaga stabilitas sistem keuangan sebagai landasan bagi pembangunan yang berkelanjutan (stabil), dan mewujudkan kemandirian finansial masyarakat.
3.  Mendukung upaya peningkatan pemerataan dalam pembangunan (inklusif).

Rencana kegiatan OJK ini dapat dievaluasi berdasarkan kondisi real dunia jasa keuangan, seperti perbankan dan non perbankan. Sebagai contoh, kini ada 15 Bank bermasalah. Pd April 2018 Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan  15 bank (berpotensi) gagal berdampak sistemik. Menurut Fuad Bawazier, Mantan Menkeu, indikasi adanya permasalahan dalam kredit perbankan terlihat dari turunnya laba bank dan naiknya NPL atau kredit macet. Persoalannya apakah OJK selaku pengawas perbankan sudah melakukan langkah langkah pencegahan dan penindakan yang tegas sesuai dengan peraturan yang berlaku terhadap Bank2 sampai memasuki kondisi (berpotensi) gagal berdampak sistemik. Jangan sampai mengulangi kesalahan BI (selaku pengawas bank) pada saat Krismon BLBI 1997/1998 dan Bank Century 2008  justru menfasilitasi Bank bank nakal.

Di lain pihak Jokowi sendiri mengkritik pelaku jasa keuangan. Dilaporkan Media Indonesia (18/1/2018), Jokowi  meminta industri jasa keuangan tetap memacu laju pertumbuhan bisnis. Jangan wait and see. "Sering pengusaha kalau saya tanya kok tidak berani ekspansi atau investasi? Jawabannya 'Pak ini kan tahun politik dan ada pilkada'. Memang setiap tahun di Indonesia itu ada pilkada. Apa mau menunggu terus. Biarin pilkada ya politik dan ekonomi tetap jalan," kata Jokowi.

Selanjutnya, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui kalau tingkat literasi keuangan masyarakat di Indonesia hingga saat ini masih sangat rendah (22/12/2015).Ada tiga sebab. Pertama,  kurangnya edukasi  diterima masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat menjadi korban penipuan investasi illegal   umumnya karena kurang paham atau kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai investasi benar dan legal.
Kedua,  regulasi atau business process  ‘menghambat’ akses masyarakat itu. Misalnya  sejumlah petani saat ingin melakukan pinjaman ke lembaga keuangan atau bank. Sebagian besar pinjaman itu terkendala karena alasan tidak memiliki jaminan sebagai agunan kepada bank.Ketiga,  jarak antara masyarakat dengan lembaga keuangan  sulit dijangkau.  Lokasi bank lebih banyak di pusat kota sedangkan masyarakat  membutuhkan layanan keuangan berada di daerah.

Fakta berikut ini menunjukkan kondisi BUMN Bank era Jokowi menjadi penghilang dana negara asing, terutama Cina. Seorang ekonom kritis di Media Sosial mendata, pd  2016, tiga bank BUMN (Bank Mandiri, Bank BNI, dan bank BRI ) “dipaksa” mengambil utang dari China untuk membiayai taipan Indonesia yang tengah sekarat. Pinjaman dari China  (China Development Bank (CDB)  dibagi bagikan kepada taipan dan oligarkhi penguasa nasional.

Berdasarkan janji2 lisan dan penilaian kondisi obyektif pelaku jasa keuangan dan BUMN perbankan,  kinerja Jokowi tergolong buruk. Berdasarkan janji2 tertulis (NAWA CITA) belum dapat dinilai buruk. Hal ini juga berlaku pd sumber RPJMN dan Master Plan OJK. Kita masih menunggu publikasi data, fakta dan angka resmi dari Pemerintah, seberapa jauh sudah direalisasikan rencana-rencana terkait urusan jasa keuangan ini. Rezim Jokowi masih punya tempo 1,5 tahun lagi untuk membuktikan kondisi kinerja  baik urus jasa keuangan. Mari kita tunggu !


Sumbet data baru:
*No Comment: Faktanya Hutang Negara Indonesia Rp 8925 Triliun atau 63% PDB, sudah melebihi batas maks 60%*

https://kolom.tempo.co/read/1104992/bom-waktu-utang-bumn?

Bom Waktu Utang BUMN
Oleh : Haryo Kuncoro

Haryo Kuncoro
Direktur Riset Socio-Economic & Educational Business Institute

Belum tuntas diskusi panas mengenai batas aman utang negara, belakangan muncul isu tentang utang badan usaha milik negara (BUMN). Per April 2018, misalnya, total utang BUMN dilaporkan mencapai Rp 4.825 triliun, melampaui utang pemerintah yang "hanya" Rp 4.100 triliun.

Utang BUMN diprediksi meningkat kencang seiring dengan kegiatan ekspansinya. Kementerian BUMN menghitung kenaikan utang BUMN akan menembus angka Rp 5.253 triliun atau naik 8,87 persen dari utang tahun lalu. Kenaikan ini bisa jadi merupakan konsekuensi logis dari BUMN sebagai perpanjangan tangan negara. Mereka harus melaksanakan mandat fungsi sosial sekaligus ekonomi tapi dengan pengelolaan keuangan yang terpisah.

Bidang operasi BUMN awalnya terbatas pada sektor yang membutuhkan investasi besar, tidak menawarkan keuntungan tinggi, tapi memberikan keuntungan sosial. Dalam perkembangannya, areanya meluas ke ranah yang lazim dikerjakan swasta. Dalam konteks ini, utang BUMN sejatinya merupakan hal yang lumrah.

Namun tren pertumbuhan utang BUMN yang melebihi pertumbuhan ekonomi nasional mengundang kekhawatiran. Rasio utang BUMN terhadap aset saat ini sudah mencapai 67 persen. Lampu kuning sudah menyala.

Lampu peringatan semakin terang jika melihat utang per sektor. Utang BUMN didominasi oleh perbankan. Ironisnya, perbankan pelat merah tahun lalu jorjoran membagikan dividen kepada pemegang saham (pemegang saham terbesar adalah pemerintah) alih-alih menahan laba untuk ekspansi usaha.

Padahal, berdasarkan kriteria aset, skala usaha, dan kompleksitas bisnisnya, bank-bank BUMN masuk kualifikasi berisiko sistemik. Kesulitan finansial sedikit saja akan berpengaruh pada perekonomian secara luas.

Cerita yang sama juga terjadi pada sektor konstruksi. BUMN karya banyak terlibat dalam pembangunan infrastruktur yang menjadi proyek strategis nasional. Standard & Poors mencatat utang empat perusahaan konstruksi besar milik negara melonjak 57 persen dari tahun lalu menjadi Rp 156,2 triliun.

Lembaga pemeringkat utang global itu juga melaporkan rasio utang 20 BUMN konstruksi naik lima kali terhadap pendapatan kotor, melonjak jauh dibanding pada 2011 yang hanya satu kali. Intinya, neraca keuangan BUMN sektor konstruksi memburuk setelah aktif dalam berbagai proyek infrastruktur pemerintah.

Telaah atas komposisi utang BUMN sepertinya tidak mengubah simpulan awal. Utang BUMN sebagian besar bertenor jangka pendek yang tidak bisa segera ditutup dari laba usahanya. Sekitar 60 persen utang BUMN berdenominasi valuta asing. Jika nilai tukar rupiah terus melemah, beban utang BUMN pada saat jatuh tempo nanti tentu akan kian membengkak.

Apabila hal ini yang terjadi, BUMN akan menaikkan secara drastis harga produk guna menyehatkan kinerja keuangannya. Alternatif lain, BUMN terancam harus menghentikan investasi dalam lima tahun ke depan.

Dengan konfigurasi masalah di atas, pemerintah sudah semestinya konsekuen dan jujur mengakui utang BUMN akan menimbulkan tanggung wajib kontingensi pada Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara. Bila BUMN gagal bayar, pemerintah akan menanggungnya. Istilah populernya "too big to fail".

Selain itu, aset BUMN yang mencapai Rp 7.212 triliun pada akhir tahun lalu dicatat Kementerian Keuangan sebagai aset negara yang tidak dipisahkan dari aset pemerintah. Agar simetris, utang BUMN sudah semestinya dicatat sebagai utang negara, sehingga penanganannya lebih komprehensif.

Dengan alur logika ini pula, total utang sektor publik menjadi Rp 8.925 triliun. Dengan asumsi produk domestik bruto tahun ini sebesar Rp 14 ribu triliun saja, rasio utang sudah mencapai 63 persen, melebihi ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara yang 60 persen.

Rasio utang ini niscaya lebih tinggi lagi jika memperhitungkan utang Bank Indonesia, pemerintah daerah, bank pembangunan daerah, dan badan usaha milik daerah. Tanpa perlakuan yang sama dengan utang pemerintah, utang BUMN akan menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak. Ingat, krisis moneter 1997/1998 memberi pelajaran berharga perihal dampak buruk yang dipicu dari akumulasi utang yang tidak akurat

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda