Sabtu, 26 Mei 2018

KINERJA JOKOWI URUS KEUANGAN NEGARA


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)


Salah satu urusan pemerintahan harus diselenggarakan Presiden Jokowi yakni bidang  keuangan negara. Pd level Kementerian, sesungguhnya ada Kementerian Keuangan juga mengurus masalah2 keuangan negara. Kementerian ini dipimpin seorang Menteri sebagai Pembantu Presiden. Studi evaluasi kritis ini utk kondisi kinerja Jokowi urus keuangan negara, bukan Menteri Keuangan.

Utk mengevaluasi kondisi kinerja  Jokowi urus keuangan negara, bisa menggunakan janji2 lisan kampanye Jokowi saat Pilpres 2014 sebagai standar kriteria evaluasi. Diantaranya:

1. Tidak akan pernah berhutang dan  meminjam uang keluar negeri.
2.Tidak akan menaikkan harga BBM.
3. Membangun E-government, E-budgeting, E-procurement, E-catalog, E-audit Kurang dari 2 Minggu.
4. Dana Rp 1,4 Miliar per Desa Setiap Tahun.
5. Memberikan gaji besar bagi para ahli asal Indonesia.
6. Menghapus subsidi BBM

Semua janji lisan di atas, kecuali menghapus subsidi BBM, tidak atau gagal dilaksanakan. Maka, kondisi kinerja Jokowi buruk. Ingkar janji.

Khusus janji Rp.1,4 miliar per desa per tahun, tak nampu atau gagal dipenuhi. Dana desa pertama kali digulirkan pada 2015 dengan jumlah anggaran Rp 20,76 triliun dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp280 juta.Angka ini sangat jauh dati janji Jokowi. Pada tahun 2016, dana desa meningkat menjadi Rp 46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp 628 juta. Angka ini masih jauh dari janji. Di tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp 60 triliun dengan rata-rata setiap desa Rp
800,4 juta. Pada tahun 2018, anggaran dana desa Rp 60 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp.800,4 juta. Juga masih jauh dari janji. Intinya, Jokowi inkar janji.

Selanjutnya standar kriteria evaluasi kritis lain adalah janji2 tertulis kampanye Jokowi tertuang di dlm dokumen NAWA CITA. Antara lain:

1. Berdikari dalam ekonomi diwujudkan dalam pembangunan demokrasi
ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan di dalam
pengelolaan keuangan negara dan pelaku utama dalam pembentukan produksi
dan distribusi nasional.
Masih perlu dibuktikan melalui data, fakta dan angka resmi Pemerintah seberapa jauh telah terealisasi.

2. Mereformasi tata hubungan keuangan pusat dan daerah dengan cara
pengaturan kembali sistem distribusi keuangan nasional sehingga proses
pembangunan tidak semata-mata mengikuti logika struktur pemerintahan, tetapi
melihat kondisi dan kebutuhan daerah  asimetris.
Belum ada bukti berupa data, fakta dan angka bahwa Pemerintahan Jokowi-JK telah merealisasikan rencana kegiatan ini.

3. Menata kembali pemekaran daerah dengan perubahan kebijakan
DAU yang menjadi salah satu sebab  mendorong pembentukan daerah
otonom baru dan mengharuskan adanya pentahapan bagi pembentukan daerah
otonom baru. Dlm realitas obyektif, sudah dihentikan implementasi kebijakan pembentukan daerah otonom baru. Jadi, solusi   Jokowi bukan pd DAU, tetapi kebijakan  moratorium pembentukan daerah otonom baru dan kini masih berlaku.

4. Mereformasi keuangan daerah dgn mendorong daerah
utk dapat melakukan pengurangan overhead cost (biaya rutin) dan mengalokasikan lebih banyak utk pelayanan publik. Realitas obyektif menunjukkan sesungguhnya tidak ada usaha serius dan optimal Pemerintah utk merealisasikan rencana kegiatan ini. Masih ditemukan banyak daerah mengutamakan biaya rutin ketimbang pelayanan publik. Salah satu sebabnya, terbatasnya APBD.

5. Mendorong daerah
mempunyai sumber-sumber keuangan  memadai untuk membiayai urusan
pemerintahan yg dilaksanakan. Sejauhmana sudah direalisasikan Pemerintah rencana kegiatan ini, kita masih menunggu laporan resmi Pemerintah.

6. Memfasilitasi daerah agar mampu mengelola
keuangan daerah secara efektif, efisien, dan akuntabel dgn berbasis kinerja. Seberapa banyak daerah telah difasilitasi Pemerintah sepanjang 3 tahun ini,  belum ada data, fakta dan angka resmi dari Pemerintah.

7. Membangun kekuatan kapasitas fiskal negara melalui antara lain: merancang ulang lembaga pemungutan pajak berikut peningkatan kuantitas dan kualitas aparatur perpajakan.  Janji Jokowi ini menjadi rencana kegiatan dituangkan di dlm RPJMN 2015-2019.
 Rencana ini utk memisahkan  Ditjen Pajak dari Kemenkeu. Pemerintah juga telah mengajukan Rencana Revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Sudah juga dibentuk Panitia Kerja (Panja) di Komisi XI terkait RUU KUP ini. Namun, pembahasan di Komisi XI terkait revisi UU KUP masih dalam tahap awal sehingga belum terlalu masuk ke materi. Terkesan Menkeu Sri Mulyani tidak mengutamakan rencana ini.  Realitas obyektif menunjukkan pembahasan di DPR terhenti atau mangkrak. Diperkirakan,  rencana ini akan gagal. Kinerja Jokowi buruk.

Standar kriteria evaluasi kritis kondisi kinerja Jokowi urus keuangan negara  berikutnya bersumber dari RPJMN 2015-2019. Beberapa diantaranya:

1. Di akhir periode RPJMN, rasio penerimaan perpajakan ditargetkan 16 % PDB termasuk pajak daerah 1 % PDB.

Realisasi penerimaan pajak 2015 Rp. 1.055,61 triliun. Angka ini mencapai hanya 81,5 % dari Target dari APBN 2015. Tergolong buruk, gagal hampir 20 %. Realisasi penerimaan pajak 2016 mencapai Rp 1.105 Triliun atau hanya 81,54 % dari Target APBN 2016. Tidak ada perubahan signifikan dibandingkan penerimaan pajak  2015. Tergolong buruk, sudah tidak ada peningkatan berarti dan juga  gagal hampir 20 %.
Realisasi penerimaan pajak 2017 Rp. 1.211 Triliun atau 82,3 % dari Target APBN-P 2017. Angka ini menunjukkan tidak ada kenaikan penerimaan pajak berarti karena masih mencapai Target 82,3 %, tidak jauh beda dgn pencapaian target 2016, yakni 81,54 %. Tergolong buruk, tidak ada peningkatan signifikan dan masih sekitar 20 % gagal dari Target APBN.  Bagaimana tahun 2018 dan 2019 ? Jika tidak boleh diprediksi menurun, kemungkinan masih pada angka 80-85 % dari Target APBN. Tidak mampu mendekati apalagi mencapai target. Tidak berjebih-lebihan prediksi bahwa kondisi kinerja Jokowi urus penerimaan pajak tergolong buruk.

Terkait rasio pajak terhadap PDB, pd 2015 tercatat  mencapai sekitar 13 % (27 Agustus 2015). Menurut Menkeu Sri Mulyani,  penerimaan perpajakan terkumpul  Rp.1.283.5 triliun sepanjang 2016, sementara target dalam APBN-P 2016 yakni Rp.1.539,2 triliun. Ia kecewa dengan hasil dicapai tersebut. Alih-alih ingin meningkatkan rasio pajak terhadap PDB, namun  jumlah tersebut dianggap masih kecil jika dibandingkan dengan rasio PDB Indonesia. "Kalau dihitung 10,5-10,6 persen, bahkan lebih rendah dari 11 persen," kata Menkeu dalam konferensi pers di Jakarta, 3 Januari 2017. Utk 2017, rasio pajak terhadap PDB baru mencapai 10,8%. Menurut Menkeu Sri Mulyani, angka ini merupakan salah satu  terendah di dunia. Bahkan juga rendah jika dibandingkan negara di Asia Tenggara yang rata-rata 15-16% dari PDB. "Negara lain di ASEAN 15-16% dari PDB, berarti mereka mampu memiliki anggaran lebih banyak dgn kebijakan pembangunan, dan karena saya pernah kerja di Bank Dunia, di bawah 11% itu salah satu terendah," ujar Sri Mulyani (23 November 2017). Pajak rendah alarm bagi Pemerintah. Apalagi, di satu sisi rasio utang terhadap PDB terus membengkak.

2. PNBP ditargetkan terus meningkat dgn porsi pertambangan umum bertahap juga harus meningkat.

Kondisi sebelumnya era SBY (2014)  PNBP mencapai Rp.398,6 triliun, kontribusi APBN 25,85 %. Pd era Jokowi  menurun, yakni 2015 hanya Rp. 253,7 triliun, kontribusi APBN 16,85 % ; 2016 relatif tetap Rp. 262,4 triliun, kontribusi APBN 16,81 %; 2017 menurun lagi menjadi Rp. 250,0 triliun, kontribusi APBN 14,29 %. Utk tahun 2015, 2016 dan 2017 era Jokowi, kondisi PNBP menurun, bahkan dibandingkan era SBY. Boleh dinilai, berdasarkan standar kriteria PNBP,  kondisi kinerja Jokowi urus keuangan negara buruk.

3.Relokasi subsidi enerji ke belanja produktif. Salah satunya, rasio subsidi enerji turun dari 1,6 % 2015 menjadi 0,6 % 2019.

Kondisi 2014 era SBY, subsidi ke sektor enerji Rp. 282,1 triliun (Rp.210,7 triliun subsidi  BBM, dan Rp.71,4 triliun  listrik. Pd 2014, subsidi BBM dianggarkan 22 % dari APBN Rp. 1.842,5 triliun. International Energy Agency (IEA) mencatat, rasio subsidi enerji terhadap PDB Indonesia 3 % pd 2012 dan meningkat 3,4 % pd 2014. Pd 2014 juga subsidi enerji Indonesia Rp.350 triliun mencakup 19 % dari total APBN.

Di era Jokowi, subsidi energi dipangkas 70 % lebih selama tiga tahun pertama. Pd 2015 subsidi enerji di bawah Rp.100 triliun atau sekitar 1 % dari PDB, menurun drastis dibandingkan tahun 2014 era SBY (3,4 %). Angka 1 % ini melebih target 2015, yakni 1,6 %. Tetapi, pd 2017, terjadi kenaikan subsidi.  Semula  anggaran subsidi enerji Rp 77,3 triliun, menaik  menjadi Rp 103,1 triliun. Rasio subsidi enerji thdp PDB masih diatas 1 %. Bukannya menurun, malah meningkat.  Tentu semakin jauh dari target rasio subsidi enerji 2019, yakni 0,6 %. Kita tunggu saja realisasi target 0,6 % ini pd akhir 2019. Jika tidak tercapai, maka tidak salah jika ada penilaian kondisi kinerja Jokowi berdasarkan rasio subsidi enerji thdp PDB tergolong buruk.

4.Peningkatan kualitas perencanaan dan pelaksanaan anggaran negara. Realisasi rencana kegiatan ini masih perlu mendapatkan data, fakta dan angka resmi Pemerintah. Sementara ini, sejumlah pengamat keuangan negara menilai, target capaian direncanakan banyak meleset dlm realisasi.

5.Peningkatan kualitas pengelolaan desentralisasi fiskal dan keuangan daerah.
Seberapa jauh kualitas dimaksud meningkat karena program atau kegiatan Pemerintah selama 3 tahun era Jokowi, masih perlu dipertanyakan bukti2nya dari Pemerintah.

6. Pencapaian kesinambungan fiskal.
Salah satunya, menjaga rasio utang pemerintah dibawah 30% dan terus menerus diperkirakan menjadi 20,0 % 2019. Juga, menjaga defisit anggaran dibawah 3% dan 2019 menjadi 1,0 % terhadap  PDB.

Pd 2016 utang pemerintah Rp. 3.515,4 triliun. Pd  akhir 2017 utang pemerintah  Rp.3.938,7 triliun atau melonjak sebesar Rp.423,3 triliun dari 2016. Rasio utang thdp PDB masih 29,2 %.  Total utang  pemerintah saat ini Rp 4.180,61 triliun hingga April 2018. Jumlah ini melonjak Rp 44,22 triliun dibanding posisi Maret sebesar Rp 4.136,39.  Liputan6.com mencatat data APBN, (17/5/2018), utang pemerintah Indonesia per April ini  Rp 4.180,61 triliun, terdiri dari pinjaman Rp 773,47 triliun dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3.407,14 triliun. Rasio utang  mencapai 29,24% dari PDB Indonesia. Diperkirakan, ke depan utang pemerintah bertambah dan rasio thdp PDB melompat  dari angka  29,24 % menjadi melebih 30 %. Target Pemerintah  rasio utang thdp PDB 20 % pd 2019 bisa dinilai mustahil terjadi. Karena itu, tidak berlebih-lebihan jika ada penilaian berdasarkan standar kriteria rasio utang pemerintah ini  kondisi kinerja Jokowi buruk.

Di lain pihak, defisit anggaran negara terhadap PDB  hingga tahun 2017 masih di atas 2 %. Defisit Anggaran pd 2017 mencapai 2,46 % terhadap PDB
(https://m.cnnindonesia.com › ekonomi).  Angka defisit anggaran 2017 ini dapat membuktikan, telah tercapai target (di bawah 3 %). Kinerja Jokowi bagus. Namun, kita masih harus melihat realisasi 2019 dengan target 1 % terhadap PDB. Mampukah Rezim Jokowi mencapai target 1 % 2019 ?

Detik Finance 31 Mei 2028 membeberkan, BPK menemukan belanja pemerintah Rp 25,5 triliun dan US$ 34.171,45 atau setara Rp 478,4 juta (US$ 1= Rp 14.000) di 84 kementerian/lembaga (K/L) tidak sesuai ketentuan. Permasalahan belanja tersebut terdiri dari penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Intinya, Pemerintah masih belum bisa meningkatkan kualitas perencanaan dan pelaksanaan anggara.

Dapat disimpulkan, berdasarkan standar kriteria evaluasi janji2 lisan,  tertulis kampanye dan  RPJMN 2015-2017,  Tim Studi NSEAS menilai, kondisi kinerja Jokowi urus keuangan negara sepanjang 3 tahun ini tergolong buruk. Ada banyak target  Jokowi gagal mencapai. Diharapkan, Jokowi bisa merubah penilaian Tim Studi NSEAS ini menjadi baik utk 1,5 tahun ke depan. Jokowi harus kerja keras dan menekan Kemenkeu utk sungguh2 konsisten dan konsekuen menjalankan janji2 lisan dan tertulis kampanye Pilpres 2014 dan rencana kegiatan di dlm RPJMN 2015-2019 terkait urusan keuangan negara.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda