Sabtu, 07 Oktober 2017

PENURUNAN ELEKTABILITAS JOKOWI DAN CARA PEMECAHAN

PENURUNAN  ELEKTABILITAS JOKOWI DAN CARA PEMECAHAN


Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS)

Salah satu cara untuk meyakinkan dugaan atau hipotetis  kita tentang tingkat keterpilihan Balon (Bakal Calon) atau  Calon dalam pemilihan seperti Pilpres atau Pilkada yakni melakukan survei opini publik terkait elektabilitas para Balon atau Calon.

Untuk kasus Jokowi sebagai Balon pada Pilpres tahun 2019 mendatang, sudah mulai dibicarakan di publik berdasarkan hasil survei opini publik. Sebagai incumbent atau pertahana, Jokowi di mata lembaga survei pada umumnya  menunjukkan penurunan elektabilitas. Akibatnya. bisa disimpulkan bahwa kemungkinan Jokowi memenangkan persaingan pada Pilpres 2019 semakin sukar dan kecil.

Di acara Rapimnas Partai Golkar, Mei 2017, Balikpapan, Kalitim, Menko Maritim Luhut B.Panjaitan  menyatakan tanpa Sumber bahwa elektabilitas Jokowi saat ini masih di atas 50 persen. Lebih tinggi dibandingkan dengan elektabilitas SBY, Megawati dan Prabowo.

Sebelumnya, pada Januari hingga April 2017 Litbang Kompas adakan  survei berkala. Hasil survei Litbang Kompas menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 41, 6 persen.

Pada 14-20 Mei 2017, bulan sama dengan pernyataan Luhut B. Panjaitan di Acara Golkar,  SMRC adakan survei opini publik. Hasil survei ini menunjukkan elektabilitas Jokowi mencapai 34,1 persen.

Pada 23-30 Agustus  2017 CSIS lakukan survei. Hasil survei menunjukkan  elektabilitas Jokowi cukup tinggi, yakni  50,9%,

Selanjutnya, Lembaga Media Survei Nasional (Median) merilis hasil survei 14-22  September 2017,  Hasil survei menunjukkan, elektabilitas Jokowi 36,2 persen. Namun, di lain pihak SMRC mengumumkan angka lebih tinggi, yakni elektabilitas Jokowi mencapai 38,9 persen. Angka ini menaik dibandingkan hasil survei SMRC sebelumnya, elektabilitas Jokowi hanya 34,1 persen.

Pada 8 hingga 27 September 2017, Lembaga Survei Kedai KOPI lakukan survei. Hasilnya, responden akan memilih Jokowi 44, 9 persen. Ditekankan, lebih dari 50 persen responden tidak memilih Jokowi jika Pemilihan digelar pada Bulan September lalu. Jadi survei ini baru dipublikasikan pada Minggu, 8 Oktober 2017, setelah publikasi hasil survei SMRC.

Data penurunan elektabilitas Jokowi mutakhir datang  hasil survei yang dikeluarka PolMark Indonesia, Oktober 2017. Elektabilitas Jokowi menurun hingga 13,7 Persen. Ketika Pilpres 2014 lalu, Jokowi mengantongi elektabilitas sebersar 54,9 Persen, sedangkan dalam rilis survei PolMark Indonesia, Jokowi hanya mengantongi eletabilitas sebesar 41,2 Persen.

Dari sejumlah data elektabilitas di atas, dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan elektabilitas Jokowi hingga mencapai di bawah 40 persen dan mendekati di bawah  35 persen dari tingkat elektabilitas sebelumnya, di atas 50 persen. Jika ditarik rata2 dari angka semua Lembaga Survei di atas,  tetap mengalami penurunan,  yakni rata2 sekitar 40 persen. Para Lembaga Survey membandingkan Jokowi sbg Pertahana dengan tokoh2 bukan Pertahana dan bahkan belum secara resmi menyatakan diri akan maju sebagai Capres pada Pilpres 2019. Sebagai Pertahana elektabilitas Jokowi kini hanya sekitar 40 persen, jauh dibawah perolehan suara Jokowi pada Pilpres 2014, di atas 50 persen. Tepat sekali kalau ada pendapat, semua Calon seperti Prabowo, Gatot N, bahkan SBY memiliki peluang yang sama dengan Jokowi untuk memenangkan kompetisi Pilpres 2019.

Intinya, tidak terdapat indikasi peningkatan elektabilitas Jokowi, bahkan dari bulan ke bulan tahun 2017 ini terus merosot. Waktu tinggal sekitar 1,5 tahun lagi bagi Jokowi utk hentikan  penurunan elektabilitas dirinya.  Kondisi Jokowi ini tanpa kegiatan promosi dan kampanye pesaing/kompetitor atau Tim Sukses, Relawan dan Partai Pendukung. Baru Jokowi seorang telah mendapatkan dukungan resmi dari Partai Golkar, Hanura, Nasdem, PPP dll. Ternyata dukungan resmi Parpol2 tersebut,  tak usahkan meningkatkan elektabilitas Jokowi, mempertahankan agar tidak menurun pun tak sanggup.

 Penurunan elektabilitas Jokowi ini tentu disebabkan berbagai faktor, terutama rakyat umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan, bukan tokoh  pesaing individual sebagai Balon.

Penurunan angka elektabilitas Jokowi ini bermakna semakin berkurang kemungkinan menangnya Jokowi pada Pilpres 2019. Kecenderungan menurunnya elektabilitas Jokowi ini akan terus mengambil tempat sepanjang kebijakan2 Jokowi tidak mengutamakan aspirasi dan kepentingan terutama Umat Islam politik dan kelas menengah perkotaan.

Ada asumsi bahwa elektabilitas Calon Incumbent atau Pertahana harus di atas  60 persen. Jokowi harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Sebab, dalam berbagai pertarungan pemilu ketat, perolehan  suara calon petahana berada di bawah tingkat elektabilitas hasil survei. Dalam Pilpres 2009, SBY-Boediono meraup 60,8% suara. Perolehan  ini jauh di bawah hasil survei opini publik  menempatan SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu dengan tingkat elektabilitas 71%. Hal ini juga berlaku pada  Pilkada  DKI Jakarta 2017. Pasangan Incumbent Ahok-Djarot menurut sejumlah rilis survei opini publik, tingkat elektabilitas mereka  hingga 56%,  hanya mampu meraih 42,99% suara dalam putaran pertama dan 42,04% suara pada putaran kedua.

Kecenderungan  elektabilitas Jokowi ini kemungkinan besar akan menurun dan menjauhi zona aman (60%).

Jika asumsi dasar ini diterima, adalah sangat sukar  bagi Jokowi untuk memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan negara pada  Pilpres 2019 mendatang.

Apa cara pemecahan masalah (solusi) trend penurunan elektabilitas Jokowi ini agar bisa menaik dan mencapai batas aman untuk memenangkan Pilpres 2019?

Cara pemecahan utama, sangat menentukan, menggunakan  level analisis Parpol sebagai aktor mempengaruhi prilaku pemilih. PDIP sebagai Parpol perserta Pemilu  harus segera menyatakan secara resmi  dukungan terhadap Jokowi utk maju lagi sebagai Capres  pada Pilpres 2019. PDIP harus mengambil posisi di mata publik  sebagai "Lead Party", Parpol Pemimpin, jangan beri ke Parpol lain yang tidak memiliki akar sosiologis dengan Jokowi seperti Golkar. Setelah adakan  pernyataan resmi, lalu PDIP lakukan konsolidasi internal penguatan mesin Parpol untuk mempromosikan dan mengkampanyekan Jokowi di tengah-tengah masyarakat pemilih. Tentu saja, mesin Parpol ini akan terkendala dengan kepentingan Pemilu legislatif yang waktu  bersamaan dengan Pilpres 2019.

Untuk mendapatkan dukungan sebagian umat Islam politik, Jokowi sudah mulai memberi pertanda kepada publik, Calon Wapres dirinya dari Tokoh atau Ulama umat Islam seperti Jusuf Kalla saat Pilpres 2014. Siapa Tokoh atau Ulama dimaksud, satu kriteria Tokoh itu memiliki basis massa atau organisasi masyarakat umat Islam atau didukung berat para  Parpol Islam. Dari segi momentum memang terlambat, tapi Jokowi harus coba untuk pemenangan Pilpres 2019. Sudah saatnya Jokowi berpikir rasional untuk perolehan suara pemilih sebanyak mungkin. Semua kebijakan Pemerintah membuat umat Islam dan kelas menengah perkotaan antipati  dan penurunan elektabilitas harus diminimalkan. Jangan terus lakukan politik pembiaran yang membuat persepsi masyarakat negatif meningkat dan meluas. Waktu hanya sekitar 1,5 tahun lagi !



Sumber data baru:
PDIP  KEOK DIMANA MANA

Pilkada Serentak 2018 digelar hari ini, Rabu (27/6/2048), di 171 wilayah, termasuk 17 pemilihan gubernur (pilgub).

Dari hasil quick count yang dirilis berbagai lembaga survei yang disiarkan secara LIVE oleh beberapa stasiun TV swasta nasional, ada fenomena beberapa calon kepala daerah yang diusung PDIP kalah.

Di Pilgub Sumatera Utara, pasangan Djarot-Sihar yang diusung PDIP kalah dari pasangan ERA-MAS.

Di Pilgub Jawa Barat, pasangan yang diusung PDIP Tubagus Hasanuddin - Anthon Charliyan (HASANAH) bukan hanya kalah tapi menduduki posisi buncit dari empat pasangan.

Di Pilgub Kalimantan Barat, PDIP yang merupakan petahana gubernur selama dua periode, pasangan yang diusung Karolin Margret Natasa-Suryadman Gidot kalah dari Sutarmidji-Ria Norsan yang diusung Golkar, PKS, PKB, Nasdem, Hanura.

Di Pilgub Kalimantan Timur, pasangan yang diusung PDIP Rusmadi Wongso dan Irjen Safaruddin kalah dari pasangan Isran Noor-Hadi Mulyadi yang diusung Gerindra, PKS dan PAN.

Di Pilgub Jawa Timur, pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno yang diusung PDIP kalah dari pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak.

Di Pilgub Jawa Tengah, PDIP masih meraih kemenangan. Namun perolehan petahana Ganjar tak sesuai prediksi lembaga survei yang bakal menang sangat telak. Justru yang mengejutkan pasangan Sudirman-Ida mampu melejit meraih lebih dari 40%. Padahal Jateng basis kuat PDIP dan hanya ada dua calon yang maju. Artinya basis PDIP di Jateng ikut tergerus.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda