Minggu, 05 Maret 2017

PEMPROV DKI LEBIH BURUK SERAP ANGGARAN: SATU INDIKATOR KEGAGALAN

I. PENGANTAR: Sejumlah pengamat ekonomi menyoroti masalah rendahnya tingkat penyerapan anggaran APBD sebagai salah satu indikator kegagalan Pemprov DKI Jakarta. Kegagalan target penyerapan anggaran akan berakibat hilangnya manfaat belanja. Dana telah dialokasikan dalam belanja daerah ternyata tidak semuanya dapat dimanfaatkan, ini berarti terjadi "iddle money". Seandainya uang tersimpan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lebih besar. tentu pencapaian tujuan DKI akan mudah untuk dilakukan. Penyerapan anggaran belanja rendah dikhawatirkan tidak mendukung target pertumbuhan DKI. Penyerapan anggaran setiap tahun Gubernur Ahok, rata2 sangat rendah di awal tahun dan bahkan ketika melewati triwulan kedua, realisasi belanja daerah masih sangat rendah. Bisa jadi, terlalu berhati-hati ketika melakukan pengeluaran anggaran. Atau, sengaja tidak melakukan krn konflik laten dgn Gubernur Ahok. Hal berlangsung terus hingga bulan dua belas. Anehnya, Gubernur Ahok bangga dgn penggunaan dana CSR. Bahkan, pendukung buta Ahok berdalih, dana CSR mengurangi beban APBD sbg kesuksesan meski penyerapan anggaran APBD sangat rendah. Beragam kilah diajukan pendukung buta Ahok utk lindungi kegagalan Ahok serap anggaran setiap tahun. Penyerapan Anggaran selalu menjadi issue utama setiap tahun Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok. Dapat kita lihat juga di media cetak maupun elektronik, rendahnya penyerapan anggaran sering dibahas karena berkaitan dengan pertumbuhan perekonomian daerah. Hal ini disebabkan karena belanja Pemprov DKI turut menjadi penentu pertumbuhan perekonomian DKI. Mengapa ? Karena variabel dominan pendorong pertumbuhan perekonomian daerah adalah faktor konsumsi. II. FAKTA PENYERAPAN ANGGARAN: Fakta penyerapan anggaran APBD era Gubernur Ahok tak pernah bekerja nyata raih target dapatkan tiap tahun, selalu lebih rendah. Kriteria target capaian tiap tahun penyerapan anggaran alokasi APBD DKI Jakarta merupakan dasar penilaian kritis atas kinerja Gubernur Ahok. Sebagaimhana bidang urusan pemerintahan, urusan penyerapan anggaran atau Belanja Daerah juga buruk dan gagal. Pd 2013 target capaian Rp. 46.578.865.629.904. Faktanya, hanya mampu menyerap/merealisasikan Rp. 38.294.398.527.100. Yakni hanya 82,21 % atau buruk. Pd 2014, Rencana Belanja Daerah Rp. 63.650.106.383.473. Faktanya, hanya mampu menyerap Rp. 37.759.772.987.977. Yakni 59,32 % atau sangat buruk. Pd 2015, Rencana Belanja Daerah Rp. 59.685.552.609.233,00. Faktanya, hanya mampu menyerap Rp. 43.037.421.799.776. Yakni 72,11 % atau lebih buruk. Dari pengalaman 3 (tiga) tahun, Gubernur Ahok rata2 mampu menyerap anggaran alokasi APBD hanya 71 %. Dapat dinilai, lebih buruk. Diperkirakan, tahun 2016 tak jauh beda. Pemprov DKI Jakarta baik di bawah Jokowi maupun Ahok mengalami kegagalan memenuhi target capaian. Bahkan, pada tahun 2014 hanya mampu mencapai 59,32 %, sangat jauh dari target capaian. Kualitas kinerja Pemprov DKI Jakarta tahun 2013-2017 dapat dinilai “buruk”. Tidak pernah berhasil mencapai atau mendekati target 100 %. III. KRITIK TERHADAP PEMPROV DKI: Sejumlah kritik muncul ditujukan kepada Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok. Pertama, kurangnya pengawasan Gubernur DKI Jakarta terhadap program unggulan DKI Jakarta, dan langkah-langkah dilaksanakan benar-benar hanya pencitraan semata. Kedua, kinerja Gubernur Ahok dan para aparat dalam penyerapan anggaran “sangat buruk”. Ketiga, seorang Gubernur meski popularitas tinggi, tetapi tidak menjamin kualitas bagus dalam laporan penyelenggaraan pemerintah daerahnya bagus. Hal ini terjadi pada Gubernur Ahok. Keempat, BPK ( Badan Pemeriksa Keuangan) selalu memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap Gubernur Ahok (2013, 2014 dan 2015). Hal ini terbukti dari hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan Pemrov DKI Jakarta. IV. KESIMPULAN: Dari kriteria penyerapan anggaran, Pemprov DKI dibawah Gubernur Jokowi dan juga Ahok tak mampu mencapai target capaian 100 %. Rata2 kemampuan mereka hanya 71 % atau lebih buruk. Kondisi kinerja Gubernur Ahok ini berdampak negatif terhadap pembangunan di DKI Jakarta. Tidak berjalan secara maksimal. Sebagaimana menurut para ahli ekonomi, hal ini dapat dijadikan indikator "kegagalan" Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok. Kondisi kinerja ini tentu bisa dijadikan pertimbangan untuk membantu argumentasi menghendaki DKI Jakarta punya Gubernur baru. Gubernur lama sudah punya kesempatan, tapi terbukti nyata tak mampu dan gagal tangani urusan penyerapan anggaran. --------- NSEAS: Network for South East Asian Studies.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda