SUDAH SAATNYA LEMBAGA SURVEI OPINI PUBLIK DIPIDANA
Sejumlah Lembaga Survei Opini Publik muncul di Indonesia sebagai hasil reformasi dan demokratisasi. Lembaga ini diharapkan bertindak sebagai aktor demokrasi yang dikelola tegakkan prinsip2 demokrasi. Lembaga ini harus komitmen pada penegakan prinsip2 demokrasi dan menjaga agar tidak terjadi kecurangan dalam pemilihan sekaligus pendidikan demokrasi bagi rakyat. Sebagai aktor demokrasi, lembaga survei opini publik harus nondiskriminatif, transparan, akuntabel, patuh hukum dan jujur/intergritas. Dalam kenyataannya terdapat lembaga survei diskriminatif, memihak pada satu calon, tidak jujur, tidak patuh hukum. Sebagai contoh kasus lembaga survei yang mempengaruhi atau membesar besarkan Ahok sebagai Gubernur dan Bacalon Gubernur DKI Pilkada 2017, diskriminatif, tak sesuai dgn aturan perizinan pemerintah atau Kemendagri, dll. Metode survei tergolong diskriminatif ini dikenal oleh komunitas peneliti opini publik sebagai "pseudo survey" atau "push polling,". Yakni cara mempengaruhi pemilih dengan pura2 sedang lakukan survei dengan "leading questions" (menunjukkan prestasi /foto peraga calon yang mengarahkan pemilih untuk calon tersebut). Masalahnya, ketika Lembaga itu mengurus izin survei ke Kesbangpol Kemendagri, disebutkan sebagai izin survei "objektif". Tapi di lapangan, dibelokkan menjadi survei yang bias. Karena sudah diskriminatif dan tidak sesuai dengan ketentuan perizinan, bagaimanapun hal ini bisa dipidanakan sebagai melanggar izin survei dari Kesbangpol Kemendagri. Kelakuan lembaga survei semacam ini harus dihentikan agar lembaga2 survei opini publik kembali ke peran awal yakni aktor demokrasi, bukan anti demokrasi. Kasus lembaga survei ini bisa jadi langkah awal. Sudah saatnya lembaga survei gunakan metode "push polling" ini dipidana. Juga biar Lembaga Survei Opini Publik berhenti bohongi publik.Melalui pengadilan akan terbuka siapa penyandang dana, apa dasar rumusan pertanyaan2 dlm quesioner, bahkan hubungan primordial Direktur Utama atau Manajer lembaga survei ini dengan Ahok. Apakah Direktur Utama punya hubungan kesamaan ras dan agama dgn calon yang dibesar besarkan akan terbuka lebar di mata publik. Jadi, keberadaan lembaga2 survei opini publik di Indonesia belakangan ini sungguh tak sesuai dengan arah demokratisasi. Keberadaan mereka sudah bagaikan "penyedia jasa konsultan" opini publik, bukan lagi aktor demokrasi. Itu hak mereka kalau mau jadi konsultan. Tapi, harus jujur dan terbuka ke publik. Jadi, setiap hasil survei mereka yang dipublikasikan dipahami publik sebagai iklan politik sama status iklan produk industri. Jangan klaim obyektif dan bebas kepentingan sang lembaga. Kita pahamlah, lembaga survei ini bukan seperti Yayasan Ford, AS, yang memang punya dana untuk kegiatan sosial politik non profit. Lembaga2 survei kita ini butuh dana untuk bisa operasional dan kontiunitas, karena sesungguhnya tak punya dana sebelumnya, lalu cari sumber dana/ funding. Realitas obyektif menunjukkan, lambat laun sumber funding hanya dari calon2 Pilkada atau Pilpres. Nah, disinilah mulai muncul masalah tentang prinsip dan integritas sebagai profesi peneliti opini publik, jadilah pengiklan calon. Kasus lemvaga survei Charta yang muncul di medsos terkait surveyor ditangkap di lapangan saat survei dibeberkan di medsos belajangan ini hanyalah salah satu kegiatan sebagai pengiklan calon. Kami NSEAS pernah terima order survei opini publik dan dibayar calon. Tapi, NSEAS tidak pernah publikasi ke publik. Mengapa? Sebab hasil survei itu utk masukan pengambilan keputusan atau penyusunan strategi pemenangan bagi sang calon yang bayar. Jadi, kalau dipublikasikan, untuk apa? Untuk pengaruhi pemilih? Kalau elektabilitas calon yang bayar nomor 5 terendah, apa sang pembayar mau? Tentu tidak. Lalu, gimana? Ya...manipulasi angka, buat sang pembayar menjadi nomor 1 atau 2 tertinggi. Jika dipertanyakan pihak lain ttg kebenaran angka tersebut, jawab saja: "Jika pemungutan suara dilakukan hari ini ..." Oleh Tim Studi NSEAS, Muchtar Effendi Harahap (Koord)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda