Senin, 18 Mei 2015

MENGAPA GUBERNUR AHOK HARUS DIMAKZULKAN ?

Lima alasan mengapa Ahok harus dimakzulkan sebagai Gubernur DKI Jakarta: PERTAMA: Ahok Secara Terbuka Bersikap Konflik dengan DPRD. Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta sebagai perwakilan rakyat seharusnya dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar kemitraan, hubungan kerjasa sama harmonis dan sinerjik untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan efektif dan demokratis (UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah). Namun, Ahok secara terbuka bersikap konflik, memiliki visi berbeda dan bertentangan dengan DPRD. Ahok juga sering mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar ke publik. KEDUA: Ahok Melakukan Pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-Undangan. Tim Angket DPRD DKI Jakarta secara resmi menilai bahwa Ahok telah melakukan 4 (empat) pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yaitu: 1. Pelanggaran terhadap UU Nomor 11 tahun 2013 Pasal 34 ayat 1, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Tahun 2008. 2. Pelanggaran terhadap UU dalam penyelenggaraan system informasi keuangan Negara, yang dianalisiskan dalam tingkat daerah dalam bentuk e-Budgeting. 3. Pelanggaran terhadap etika dan norma, dalam melaksanakan kebijakan, dalam melakukan tindakan menyebarkan fitnah terhadap institusi dan anggota DPRD dengan menyatakan bahwa “DPRD sama seperti dewan perampok daerah”. Selain itu beberapa ucapan kata-kata yang terlontar dari Ahok seperti “bajingan, brengsek, lo piker pake otak, gebrak meja dan marah-marah gebrak mobil”, dari akun youtube dan media online. 4. Pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 67, bahwa kewajiban Kepada Daerah dan Wakil untuk mentaati ketentuan dalam UU. KETIGA: Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPRD. Panitia Angket DPRD mengusulkan untuk menindaklanjuti pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang telah dilakukan oleh Ahok melalui penggunaan “Hak Menyatakan Pendapat” (HMP). Penggunaan HMP memaknakan Ahok telah melakukan tindakan melawan hukum dan memungkinkan untuk pemakzulan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. KEEMPAT: Kinerja Ahok Buruk dan Rapor Merah dalam Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan. DPRD DKI Jakarta secara resmi menilai kinerja Ahok dan aparatnya pada 2014 buruk dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Penilaian DPRD ini merupakan “rapor merah” bagi Ahok. Ada 10 penilaian buruk dan rapor merah untuk Ahok: 1. Pendapatan tercapai hanya 66,8 persen atau Rp. 43,4 triliun lebih kecil dari rencana Rp. 65 triliun. 2. Realisasi belanja 59,32 persen adalah belanja terendah Jakarta, jika belanja terealisasi 100 persen maka terdapat defisit anggaran Rp 20 triliun. 3. Di sektor pembiayaan, realisasi PMP hanya 43,62 persen yang terdiri dari kegagalan realisasi PMP pada PT. KBN, PT. Pam Jaya, dan PT. Food Station. 4. Kenaikan NJOP yang semena-mena tanpa perhitungan matang terbukti memberatkan beban rakyat, diharapkan dike‎mbalikan seperti tahun 2013. 5. Kenaikan angka kemiskinan dari 371.000 jiwa pada tahun 2013 menjadi 412.000 jiwa pada tahun 2014 menujukan kegagalan Ahok dalam mensejahterakan masyarakat. 6. Pemberian izin reklamasi oleh Ahok melanggar UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai, Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi Pantai. 7. Ahok belum mampu mempertahankan aset-aset Pemda DKI Jakarta yang berpekara di pengadilan. 8. Penerimaan CSR selama ini tidak dikelola dengan transparan. 9. Ahok melanggar perundang-undangan khususnya UU No. 29 tahun 2007 pasal 22 tentang Organisasi Perangkat Daerah berkenaan dengan penghapusan jabatan Wakil Lurah. 10. Kinerja Ahok dan aparatnya pada tahun 2014 buruk. Buruknya kinerja Ahok juga dapat ditemukan melalui ahsil survei dilakukan Periskop Data pimpinan Muhammad Yusuf Kosim, yakni publik "tidak puas" dengan kinerja Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat di bidang "perumahan rakyat", "kemacetan", dan "banjir". Survei Periskop Data dilaksanakan pada 1-7 Juni 2015. Survei ini dilakukan secara langsung melalui wawancara tatap muka. Metode yang digunakan adalah Multistage Random Sampling. Sampel pada survei ini adalah penduduk Indonesia yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah menikah. Pelaksanaan survei dilakukan di seluruh wilayah DKI. Jumlah sampel yang diambil sebesar 500 responden. Adapun margin of error survei ini sebesar 4,4 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Serapan anggaran DKI juga dapat dijadikan indikator rendahnya kinerja Ahok. Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi penggunaan anggaran daerah pada Semester I 2015. Hasilnya, DKI menjadi salah satu provinsi dengan penyerapan anggaran terendah. Persentase serapan anggaran baru 22,86 persen dari total Rp. 69,2 triliun. Badan keuangan dan Aset Daerah DKI mencatat terdapat tiga dinas yang serapan anggarannya rendah. Ketiganya adalah Dinas Penanggulangan Kebakaran yang baru menyerap 2,08 persen dari total anggaran Rp. 900 miliar; Dinas Perumahan dan Gedung yang baru menyerap 3,25 persen anggaran dari total Rp. 2,1 triliun; serta Dinas Tata Air yang baru membelanjakan 3,49 persen dari Rp. 5,16 triliun. Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran terendah di Indonesia terjadi di DKI. "DKI Jakarta yang terparah", tandas Mendagri. Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan serapan anggaran pemerintah DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai."Sehaarusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan pegawai", tegasnya (Harian TEMPO, 18 Agustus 2015). KELIMA: Implikasi Negatif Sikap Ahok terhadap DPRD. Sikap Ahok secara terbuka konflik dan mengabaikan prinsip hubungan kemitraan, kerjasama harmonis dan sinerjik dengan DPRD telah menimbulkan implikasi negatif terhadap rakyat DKI sebagai penyumbang terbesar terhadap APBD. Implikasi negatif dimaksud sebagai berikut: 1. Terhambatnya penggunaan anggaran pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya meganggu pelayanan publik. 2. Terganggunya pelayanan publik bisa menimbulkan konflik dan masalah antara rakyat dan birokrasi. 3. Proyek nasional di DKI terancam tertunda-tunda waktu pelaksanaan karena APBD DKI belum disahkan. 4. Ketiga, kinerja Pemerintah DKI tidak maksimal dan penyerapan anggaran akan semakin rendah dibandingkan tahun sebelumnya. 5. Rendahnya kualitas pelayanan publik. KEENAM: WDP untuk AHOK Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) menurut istilah akuntansi adalah pendapat yang diberikan ketika laporan dikatakan wajar dalam hal material, tetapi terdapat sesuai penyimpangan (kurang lengkap) pada pos-pos tertentu, sehingga harus dikecualikan. Pengecualian itu sendiri mungkin saja terjadi karena bukti kurang cukup, adanya pembatasan ruang lingkup, atau terdapat penyimpangan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Predikat WDP 2014 tidak berbeda dengan opini audit BPK pada laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta pada 2013. Padahal pada periode kepemimpinan sebelumnya DKI Jakarta selalu mendapat opini audit WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Predikat WDP karena ada 70 temuan dalam laporan keuangan daerah senilai Rp. 2,16 triliun, berindikasi kerugian daerah senilai Rp 442 miliar. Dan berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp. 1,71 triliun. Lalu kekurangan penerimaan dana daerah sebanyak Rp. 3,13 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp. 469 juta dan pemborosan Rp. 3,04 miliar. Beberapa temuan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI yakni asset seluas 30,88 hektar di Mangga Dua dengan PT.Duta Pertiwi yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan asset. Juga pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai. Ada indikasi kerugian senilai Rp. 191 miliar. Pemprove DKI juga megalami kelebihan bayar premi asuransi senilai Rp. 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp. 3,05 miliar. Temuan lain yakni penyertaan modal dan asset kepada PT. Transportasi Jakarta (Transjakarta) tidak sesuai ketentuan. Hal ini mengyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluaas 234 meter persegi dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah. Berdasarkan laporan BPK di atas, dalam perjalanan Ahok selaku Gubernur DKI terdapat data dan fakta lainnya bahwa Ahok gagal mengurus pemerintah dan rakyat DKI Jakarta. Data dan fakta dimaksud antara lain temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tentang beberapa ketidkberesan dalam penggunaan anggaran oleh Pemerintah DKI tahun anggaran 2014. Atas dasar itu, BPK memberi opini "wajar dengan pengecualian (WDP)" untuk laporan keuangan tahun lalu. Predikat ini tak berbeda dengan laporan keuangan pada 2013. Beberapa temuan BPK yang mengakibatkan DKI mendapat "rapor merah" antara lain sensus aset yang masih berantakan (Tempo, 7 Juli 2015). Dari kriteria integritas, ternyata Ahok sebelum menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, telah menunjukkan adanya dugaan perilaku korupsi di daerah asalnya, Kabupaten Belitung Timur. Ahok dituding sekelompok orang berdemo (Forum Ketahanan NKRI) di depan Kantor Kejaksaaan Agung, Jakarta, 1 Juli 2015, melakukan dugaan tindak korupsi pembangunan dermaga Manggar Belitung Timur saat dirinya masih menjabat sebagai Bupati di sana. Akibatnya negara dirugikan sebesar Rp. 22 miliar. Kasus ini bermula pada tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupatenm Belitung Timur dan Program Strategis Departemen Perhubungan tentang Pembangunan Pelabuhan di Indonesia yakni dermaga Manggar--Ketapang. Pembangunan ini sendiri menggunakan APBN untuk dermaga dan APBD untuk lahan seluas 20.000 meter persegi terletak di Desa Baru Kecamatan Manggar, yang ditandatangani Ahok sewaktu menjabat Bupati Belitung Timur pada 2006. Ahpk turut diduga memalsukan dokumen negara terkait proyek ini. Kasus ini tertunda penanganannya karena situasi politik tahun 2012 yang masih dalam suasaan Pilgub DKI JAkarta (HArian Terbit, 2 Juli 2015). Sementara ini dimata publik, Ahok diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sehubungan dengan kasus pemberlian Tanah RS Sumbr Waras, Jakarta Barat. JAKARTA. Salah satunya, dilaporkan oleh KOMPAS.com , Ahok dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi oleh seorang warga bernama Amir Hamzah. Ahok dianggap telah menyalahgunakan wewenang dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Amir berharap KPK memeriksa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah DKI Jakarta tersebut. Menurut dia, hasil audit tersebut mengindikasikan adanya penggelembungan anggaran dan korupsi dalam kasus itu. Menurut Amir, ada beberapa faktor yang menimbulkan kecurigaan adanya korupsi. Salah satunya adalah penentuan harga tanah senilai Rp 755 miliar. Ia menganggap penentuan harga itu tidak melalui mekanisme penilaian wajar. Penentuan tersebut hanya berdasarkan pertemuan tertutup Ahok dengan direksi RS Sumber Waras. "Harusnya lewat proses sosialisasi dan lainnya memakan waktu tiga bulan. Tapi, ini langsung diputus sendiri sama Gubernur dan sehari jadi," kata Amir. Kasus Dugaan Korupsi pembeliaan tanah SUmber Waras ini bermula dari temuan BPK bahwa pembelian 3,64 Ha Tanah milik yayasan Kesehatan Kesehatan Sumber Waras terindikasi merugikan uang Negara. Lokasi tanah dimaksud berada di Jalan Tomang Utara, suatu kampong sempit yang selalu macet pada jam kerja. Berdasarkan sumber http://www.pkspiyungan.org (2015/07/12), Garuda Institute menemukan 12 fakta hasil kajian soal BPK versus Korupsi Ahok. Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Ahok melalui media terhadap pejabat BPK terkait audit laporan keuangan Pemprove DKI 2014, terutama menyangkut pembelian tanah 3,64 Ha milik Yayasan Kesehatan Smber Waras. 12 Fakta hasil studi Garuda Institute dimaksud sebagai berikut: 1. Pemprove DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, seluas 3,64 Ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah tersebut juag dikenal sebagai langganan banjir. 2. Tanah 3,64 Ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (Utara) Jalan Tomang Utara IV (Timur), Jalan Tomang Utara (Barat), dan RS Sumber Waras (Selatan). Jalan Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini tanah tersebut tiadk mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah RS Sumber Waras. 3. Pemprove DKI membeli tanah tersebut sehanrga Rp. 20,75 juta per meter atau Rp. 744,69 miliar cash. Harga Rp. 20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depas areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Tomang Utara hanya Rp. 7,44 juta. 4. Pemilik tanah 3,64 Ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan orang-orang Cina bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. 5. Tanah 3,64 Ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik Negara. 6. Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprove DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp. 6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tiadk menjadi pengurangan harga beli sebabagaimana lazimnya praktik transasksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50 % dari tunggakan tersebut. 7. Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprove DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT.Ciputra Karya Unggul. Yayasan seperti si ataur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp. 50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul. 8. Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp. 15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp. 20,75 juta per meter, tanpa syarat perubahan peruntukan. 9. Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 Ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat Jalan Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp. 20,75 juta per meter (Rp. 755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jalan Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 hanya Rp. 7,44 juta (Rp. 564,35 miliar). 10. Pemprov DKI membeli 3,64 Ha tanah itu Rp. 755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli2014 dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014. 11. Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan Rumah Sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses karena berada pada jalan kampong, Pemprove DKI juga amsih mempunyai banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 Ha (2.500 M2). 12. Sekalipun Gubernur DKI Ahok telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama yayasan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. Dugaan tindak pidana korupsi Ahok juga disuarakan pada 7 September 2015. DPD FPI DKI Jakarta bersama Tim Hukum FPI Jakarta dipimpin oleh Imam FPI DKI Jakarta, Hb.Muhsin b Zaid Alattas, didampingi oleh Ketua Syura FPI DKI Hb. Ali b Hasyim Alattas dan Ketua Tanfidzi FPI Jakarta KH Buya Abdul Majid Umar, secara resmi melaporkan AHOK ke Mapolda Metro Jaya atas dugaan KORUPSI berupa penyelewengan dana APBD / APBD-P 2014 Pemprop DKI Jakarta dengan INDIKASI KERUGIAN NEGARA mencapai Rp.1.891.310.956.699,- (Satu Trilyun Delapan Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sepuluh Juta Sembilan Ratus Lima Puluh Enam Ribu Enam Ratus Sembilan Puluh Sembilan Rupiah), dengan rincian KASUS sebagai berikut : 1. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.1.691.393.636.322,- (Satu Trilyun Enam Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sembilan Puluh Tiga Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam Ribu Tiga Ratus Dua Puluh Dua Rupiah) dalam proses Penetapan Nilai Penyertaan Modal dan Penyerahan Aset Pemprop DKI Jakarta kepada PT Trans Jakarta (BUMD) melalui INBRENG (Penyertaan Modal Pemerintah selain uang tunai) yang dilakukan lewat proses yang tidak sesuai ketentuan. 2. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.8.582.770.377,- (Delapan Milyar Lima Ratus Delapan Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Tujuh Rupiah) dalam proses Penyerahan Aset INBRENG Pemprop DKI Jakarta berupa tanah seluas 234 meter persegi dan Tiga Blok Apartemen yang tidak diperhitungkan sebagai Penyertaan Modal Pemerintah pada BUMD. 3. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.191.334.550.000,- (Seratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Empat Juta Lima Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) dalam proses Pengadaan Tanah Rumah Sakit Sumber Waras dalam rangka pembangunan Rumah Sakit Khusus Jantung dan Kanker Pemprop DKI Jakarta. Memperhatikan LHPK – BPK, sebenarnya masih banyak kasus penyelewengan Keuangan Negara yang melibatkan AHOK yang nilai komulatifnya sangat fantastis mencapai Trilyunan rupiah. Hanya saja, tiga kasus tersebut di atas yang dilaporkan DPD FPI DKI Jakarta lebih fokus karena melibatkan AHOK secara langsung. DPD FPI Jakarta dalam laporannya merincikan peraturan dan perundang-undangan yang secara jelas dan nyata dilanggar oleh AHOK, yaitu sebagai berikut : 1.Dalam KASUS PERTAMA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. b. Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 Th 2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Daerah romawi XII.5 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah pada huruf b dan huruf c. c. Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara pasal 44 ayat 1. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 50 dan pasal 52 ayat 1 s/d 3. 2.Dalam KASUS KEDUA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Undang-Undang No 1 Th 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 41 angka 5. b. Undang-Undang No 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 34 ayat 2. c. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 45 ayat 1 dan 2. e. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5 Th 2004 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah WNJ Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Yayaysan WJR menjadi PT JT dan Penyertaan Modal Pemprop DKI Jakarta pada PT JT pasal 2 ayat 2 dan pasal 11 ayat 2, serta Penjelasan pasal 11 ayat 2. f. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 12 Th 2004 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada PT JP pasal 14 dan Penjelasan pasal 14. g. Perjanjian Kerjasama No 1568 Th 1992 tanggal 5 Oktober 1992. Terdapat juga penilaian bahwa Ahok tergolong pelanggar HAM. Hal ini dapat diperoleh dari pemberitaan KORAN TEMPO, Kamis, 27 Agustus 2015. Diberitakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menemukan serangkaian pelanggaran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penggusuran warga Ibu Kota sepanjang tahun 2015. Berdasarkan data LBH JAkarta sejak Januari-Agustus 2015, terjadi 30 kasus penggusuran yang dikategorikan sebagai "pengguusuran paksa". Termasuk yang terakhir adalah penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta Timur pada 20 Agustus lalu. "Ada unsur pelanggaran hak asasi manusia," kata Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBG Jakarta. Alldo memp-erkirakan dari 30 penggusuran tersebut, sebanyak 3.433 keluarga terusir dan 433 unit usaha tutup. Penggusuran ini, kata Alldo, sarat dengan unsur pelanggaran karena dilakukan tanpa memenuhi pendekatan HAM, yakni setiap warga berhak atas penghidupan yang layak. "Salah satu unsur yang dilanggar, pemerintah tidak pernah menunjukkan bukti surat kuasa pengelolaan atas tanah yang disebut milik negara," Alldo menuturkan. Di lain pihak, Atika Yuanita, pengacara LBH Jakarta lainnya, mengatakan mayoritas penggusuran dilakukan dengan pengancaman alat berat, seperti yang terjadi di Kampung Pulo. Bahkan penertiban mengikutsertakan personel kepolisian dan tentara. "Seharusnya Polri dan TNI tidak terlibat karena keduanya bertanggungjawab melindungi masyarakat". Temeuan LBH Jakarta ini hampir sama dengan pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bahwa ada pelanggaran HAM dalam pengguusuran Kampung Pulo. Tindakan kekerasan oleh aparat keamanan dianggap represif dan tidak manusiawi. Dalam tutur kata sesungguhnya Ahok sangat kontroversial dengan kelaziman pejabat penyelenggara negara dan politisi di Republik ini. Sudah banyk kecaman dan kritik muncul terhadap Ahok dengan tutur kakatanya yang dinilai tidak mendidik bagi kaum muda dan pelajar. mengingat tutur kata Ahok dipublisir melalui media massa cetak, audiovisual dan media sosial. Satu contoh kritik/kecaman pernah muncul dari anggota DPRD Kota Bekasi terkait dengan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Bantargebang, Bekasi. Harian Koran Tempo, 3 November 2015, memberitakan, Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata mengatakan lembaganya berencana mengsomasi Ahok yang menyebut anggoat Dewan menerima duit dari PT. Godang Tua Jaya, pengelola TPST Bantargebang. Menurutnya, Ahok telah mencemarkan nama dan menghina lembaga perwakilan rakyat Kota Bekasi. Ada enam bentuk penghinaan Ahok terhadap DPRD Kota Bekasi, diantaranya menyebut anggoat Dewan sombong, kekanakkanakan, melarang warga Bekasi bekerja di Jakarta, dan mengejek "mulut Dewan bau sampah".

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda