Kamis, 19 Maret 2015

INTERVENSI REZIM JOKOWI-JK DALAM KONFLIK INTERNAL PARPOL

I. KONFLIK INTERNAL PARPOL Kondisi kehidupan kepartaian di era berkuasanya Rezim Jokowi-JK terutama tahun 2014-2015, ditandai dengan prahara konflik internal Parpol, yakni Golkar dan PPP. Konflik internal ini menjadi manifest dengan terdapatnya dua kepengurusan DPP Golkar dan PPP untuk lima tahun ke depan,. Untuk Golkar, terdapat kepengurusan Ical (ARB) hasil Musyarawah Nasional di Nusa Dua, Bali, (30 November - 3 Desember 2014) dan kepengurusan Golkar pimpinan Agung Laksono hasil Musyawarah Nasional di Ancol, Jakarta. Sementara itu, di PPP, terdapat juga dua kepengurusan, yakni PPP pimpinan Djan Faridz hasil Muktamar di Jakarta pada 30 Oktober-2 November 2014, dan pimpinan Romahurmuziy (Romi) hasil Muktamar di Surabaya pada 15 Oktober 2014. Rezim Jokowi-JK melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) mengeluarkan Surat Keputusan memihak terhadap Golkar pimpinan Agung Laksono. Keduanya sama-sama mendaftarkan kepengurusan baru ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumhan). Menkumham, Yasonna Laoly menyatakan, Pemerintah tidak mengakui dualisme kepengurusan di tubuh Partai Golkar. Untuk itu, susunan kepengurusan Partai Golkar dikembalikan pada hasil Munas Riau 2009. Pemerintah menyerahkan kepada internal Partai Golkar untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun, dalam perjalanannya, Yasonna menerima kepengurusan hasil Musyawarah Nasional Ancol sebagai pengurus Dewan Pimpinan Pusat Golkar yang sah. Keputusan Yasonna itu dituding DPP Golkar Ical bersifat politis dan memanipulasi putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG). Sebab MPG dalam putusannya tidak mencapai kata sepakat. Hakim Djasri Marin dan Andi Mattalatta memenangkan kubu Agung. Sementara dua hakim lainnya, Muladi dan Has Natabaya, tak menyebut kubu mana yang menurut mereka sah sebagai pengurus Golkar, namun mengatakan tidak menerima permohonan kubu Agung. DPP Golkar Ical mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Gugatan baru kali ini, pihaknya memasukkan tergugat tambahan, yakni Menkumham, Yassona Laoly. Menkumham dinilai, terbukti telah menampakkan keberpihakan terkait kisruh internal partai, dan perbuatan melawan hukum dengan kekuasaannya. Semula, Golkar Ical mencabut upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan PN Jakarta Barat yang menolak menyidangkan perkara dualisme internal di partai Golkar. Golkar Ical memilih untuk mencabut gugatan tersebut, lalu mendaftarkan ulang perkara dengan mengikutsertakan Menkumham Yassona sebagai tergugat. Di lain, fihak Menkumham menyatakan, Jokowi akan segera mengesahkan Peraturan Presiden tentang kepengurusan Partai Golkar pimpinan Agung Laksono. Peraturan Presiden itu akan segera dikeluarkan Presiden dalam waktu dekat. Berbeda dengan Golkar, dalam kasus PPP Menkumham, Yasonna Laoly menyatakan kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya yang sah. Kelompok Djan Faridz mengajukan gugatan ke Pengadilan Hukum Tata Negara (PTUN) atas SK Menkumham Nomor M.HH-07.AH.11.01 TAHUN 2014 terkait pengesahan pengurus PPP versi Muktamar Surabaya. PTUN kemudian mengabulkan gugatan kelompok Djan Fariz ini. Mereka mendatangai Kemenkumham, menindaklanjuti putusan Majelis Hakim PTUN, memenangkan DPP PPP versi Muktamar Jakarta. Namun, Kemenkumham masih saja tidak mengeluarkan SK pengesahan pengurus PPP versi Muktamar Jakarta (Djan Faridz). Baik Agung maupun Romi, keduanya menyatakan, mendukung dan bersedia kerjasama dengan Kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai pendukung Rezim Jokowi-JK. Sedangkan pimpinan Ical (Golkar) dan Djan Faridz (PPP) sebelumnya bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi/penyeimbang terhadap kekuatan KIH sebagai pendukung/pengusung Rezim Jokowi-JK. Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta (IEPSH) menjadikan kondisi kehidupan kepartaian ini sebagai prahara Parpol di era Pemerintahan Jokowi, dan menyelenggarakan diskusi publik dengan thema: “Ada Apa Dengan Prahara Parpol di Era Pemerintahan Jokowi”. Diskusi publik diselenggarakan di Jakarta, 18 Maret 2015 dengan nara sumber: Irman Putra Sidin (Ahli Hukum Tata Negara); Razman Arief (Fungsionaris Parpol); Saurip Kadi (Purn. TNI/AD); Ali Muchtar Ngabalin (Mantan Angg.DPR.RI); Muchtar Effendi Harahap (Pengamat Politik/NSEAS); dan, John Memphi (Pengamat Intelijen). Diskusi publik dimoderatori oleh M. Hatta Taliwang (Direktur IEPSH). Sebagai salah satu Narasumber, Muchtar Effendi Harahap telah mengajukan pokok-pokok pikiran sebagaimana terurai di bawah ini. II. PARA PENGKRITIK MENKUMHAN Para pengkritik Menkumham, antara lain menilai, Menkumham ceroboh dan telah melanggar UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Menkumham melakukan intervensi dan berpihak pada salah satu kubu PPP yang sedang bertikai. Perbuatannya melanggar UU Partai Politik pasal 24, 32, dan 33. Berikut ini adalah bunyi Pasal 32 dan 33 UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik: Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. (2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. (3) Susunan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. (4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 hari. (5) Putusan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Pasal 33 (1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Pasal 32 dan 33 UU ini menetapkan, perselisihan internal partai diselesaikan oleh Mahkamah Partai atau sejenisnya. Mahkamah Partai ini sifatnya resmi dan mengikat bagi semua partai. Harus ada dalam AD/ART karena diatur dalam UU Parpol. Jika salah satu kubu di partai politik bertikai tidak puas dengan putusan Mahkamah Partai dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri sampai MA. Intinya, bukan kewenangan Menkumham untuk tentukan kepengurusan yang sah dalam konflik internal Parpol. III. DAMPAK NEGATIF INTERVENSI REZIM Beragam prediksi muncul terkait dengan dampak negative intervensi Rezim dalam konflik internal Parpol ini terhadap politik pemerintahan Jokowi-JK. Pertama, kelompok prediksi dampak negative berupa terganggunya stabilitas politik kekuasaaan Rezim Jokowi-JK bersumber dari lembaga legislatif DPR-RI. Roda pemerintahan Jokowi-JK bakalan mengalami gangguan, dengan adanya konflik internal sejumlah Parpol, seperti di PPP dan di Partai Golkar. Diyakini pula, akan terganggu komunikasi Pemerintah Jokowi-JK atau DPR dan pada gilirannya bisa mengakibatkan, terhambatnya program-program Pemerintah. . Kedua, kelompok prediksi dampak negative berupa merembetnya prahara konflik internal Parpol di daerah-daerah. Ketiga, kelompok prediksi dampak negatif berupa semakin banyak kelompok aksi masyarakat madani menentang/pressure kekuasaan Rezim Jokowi-JK. Intervensi dalam konflik internal Parpol dinilai akan menimbulkan resistensi. Kelompok yang merasa terzolimi akan selalu resistensi. Hal ini akan merugikan, dan suasana tidak akan kondusif. Keempat, kelompok prediksi dampak negative berupa semakin memanasnya situasi politik nasional yang menghabiskan energi untuk menyelesaikan permasalahan prahara Parpol ini . Kelima, kelompok prediksi dampak negative berupa peningkatan krisis legitimasi politik, pembusukan politik, krisis legitimasi hukum terhadap kekuasaan Rezim Jokowi-JK yang pada gilirannya dapat meruntuhkan kekuasaan Rezim Jokowi-JK. Kinerja pemerintah saat ini menjadi sorotan publik, kepercayaan terhadap pemerintah kini diuji. Di lain fihak, intevensi Rezim Jokowi-JK dalam konflik internal Parpol ini dapat membawa dampak terhadap kehidupan kepartaian di Indonesia. Sejumlah permasalahan ekonomi yang membelit masyarakat hingga kini, seolah belum terpecahkan oleh Rezim. Permasalahan lain kondisi politik terus bergejolak juga menyebabkan situasi maskin tidak kondusif. Dalam keadaan Rezim tidak mampu memecahkan permasalaahan politik ekonomi yang semakin pelik di Republik ini, Rezim lalu mengklaim atau menghalo-halokan kepada public bahwa konflik ienternal Parpol dimaksud merupakan penyebab utama terganggunya konsentrasi Rezim mengatasi permasalahan politik ekonomi. Tapi, partai politik sepertinya dijadikan kambing hitam. Partai politik dianggap biang keladi yang merusak konsentrasi pemerintah mengatasi berbagai persoalan. Cara-cara yang digunakan seolah semakin memperkuat adanya dugaan bahwa ada upaya untuk membungkam Parpol agar tidak lagi kritis dan berperan sebagai9 oposisi terhadap Rezim. Masalah ini justru memperburuk kondisi dalam negara menjadi tidak kondusif. Karena Rezim terus menerus mengintervensi Parpol yang mengambil peran oposisi, maka kehidupan kepartaian akan kembali pada politik kartel. Yakni, tidak ada Parpol oposisi terhadap kebijakan Rezim, kecuali bergabung dengan Parpol-parpol pendukung/pengusung Rezim. Karena tidak ada oposisi, maka tata pengelolaan pemerintahan pasti tidak akan berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi (partisipatif, nondiskriminatif, transparansi, akuntabel, dan rule of law), sehingga eksploitasi korporasi asing dan perilaku korupsi sandera Negara akan terus berlanjut dan paga gilirannya upaya menciptakan kehidupan rakyak kebanyakan yang adil dan utopia hanyalah sebuah ilusi atau utopia. Kehidupan rakyat tidak lebih baik dari masa lalu, sehingga dapat dinilai “merugi” dan Rezim Jokowi-JK sungguhnya tidak menepati janji-janji politik dalam kampanye Pilpres 2014 lalu.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda