Senin, 01 Januari 2018

KINERJA JOKOWI URUS POLITIK LUAR NEGERI (PLN)

KINERJA JOKOWI URUS POLITIK LUAR NEGERI (PLN)

Oleh
MUCHTAR EFFENDI HARAHAP
(Ketua Tim Studi NSEAS)


Saat kampanye Pilpres 2014 lalu Capres Jokowi berjanji secara lisan bidang politik luar negeri (PLN) terbatas:  "mendukung kemerdekaan dan mendirikan KBRI di Palestina".  Namun, hingga kini Jokowi baru mendirikan Konsulat Kehormatan RI, bukan  KBRI, di Ramalah.

Selanjutnya, Jokowi janji akan persulit investasi asing dan  mengoptimalkan kemampuan rakyat. Janji ini kemudian diingkari, terbukti Jokowi justru menjanjikan kemudahan perizinan seperti di forum APEC,  G20 dll.

Janji kampanye ini dipertegas pada Janji Tertulis dalam Visi,Missi dan Program Kerja dgn konsep Nawa Cita. Disebutkan, akan
menghadirkan negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara, melalui PLN bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya, pembangunan pertahanan dilandasi kepentingan nasional, dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.
PLN akan digunakan  sebagai usaha untuk meningkatkan ketahanan nasional dan mewujudkan agenda pembangunan.

Setelah menjabat sbg Presiden, Jokowi memutuskan sasaran PLN  Indonesia yakni terwujudnya kepemimpinan dan peran Indonesia dlm kerjasama internasional.

Berdasarkan sasaran itu ditetapkan Agenda 2015-2019 yakni:
1. Penanganan perbatasan;
2. Pemantapan peran Indonesia di ASEAN; 3.Penguatan diplomasi ekonomi;
4.  Peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan WNI/BHI di luar negeri khususnya perlindungan terhadap TKI; dan,
5. Peran Indonesia dlm kerjasama bilateral, regional dan global (RPJMN 2014-2019).

Kini Jokowi telah lebih 3 tahun sebagai  Presiden. Berhasilkah  Jokowi mencapai sasaran dan agenda tsb?

Satu parameter kinerja Jokowi urus PLN adalah  penanganan masalah  perbatasan  Indonesia dgn 10 negara tetangga. Parameter ini jelas menunjukkan Jokowi masih gagal dan berkinerja buruk.  Tidak ada satupun tercapai.

Indonesia memiliki perbatasan maritim dgn 10 negara: India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, Timor Leste, serta perbatasan darat dgn 3 negara, yaitu Papua Nugini, Malaysia dan Timor Leste. Di  era Presiden SBY telah selesai  penetapan batas darat dgn Papua, sementara  dgn Timor Leste dan Malaysia hanya  sebagian besar

Parameter berikutnya adalah pemantapan peran Indonesia di ASEAN. Di kancah ASEAN, kinerja Jokowi tergolong  buruk. PLN Jokowi  masuk ke kancah ASEAN masih urusan ekonomi semata. Tidak masuk urusan politik keamanan.  Padahal di ASEAN sendiri, Indonesia menghadapi tantangan di bidang politik  keamanan seperti konflik di Marawi, Rohingya, Laut China Selatan, dll.  Urusan politik keamanan ini jelas lebih susah utk cari penyelesaian ketimbang urusan ekonomi.

Selain itu, kini terjadi kevakuman kepemimpinan di ASEAN. Sebabnya,  Indonesia sebagai negara dgn  kepemimpinan diakui secara alami kurang mampu merepresentasikan ASEAN dalam forum-forum multilateral.

Jokowi tidak menjadikan ASEAN sebagai pijakan utama dlm PLN. Jokowi tidak menempatkan ASEAN sebagai prioritas dlm PLN  Indonesia. Indonesia tidak lagi berperan sebagai pemimpin di Asia Tenggara. Lebih  memprioritaskan urusan kepentingan investasi, utang dan infrastruktur.

Parameter lanjut yakni penguatan diplomasi ekonomi, difokuskan utk mendukung penghapusan non-tariff barrier dlm perdagangan pasar utama dan pembukaan pasar prospektif, al: di kawasan Eropa Timur, Eropa Tengah, Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Selatan, Sub-Sahara Afrika, Amerika Utara, Amerika Latin dan Asia.
Diplomasi ekonomi ini dipraktekkan Jokowi pd KTT APEC di Beijing (2015), KTT ASEAN ke-25 di Myanmar, KTT G20 di Australia, Forum G20 di RRC (2016). Jokowi memanfaatkan fotum2 ini utk menggalang kerjasama ekonomi, terutama infrastruktur.

Ada tiga tujuan diplomasi ekonomi Jikowi: 1. Menarik investasi asing; 2. Membuka pasar luar negeri; 3. Mendatangkan touris asing. Parameter ini belum tercapai sukses.

Parameter lain yakni peningkatan kualitas perlindungan hak dan keselamatan WNI/BHI di luar negeri. Khusus parameter ini bisa membantu penilaian kesuksesan Jokowi dan baik. Berdasarkan Laporan 3 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK", Kemlu (Kementerian Luar Negeri)  mencatat telah menyelesaikan 27.341 kasus hukum; membebaskan 144 WNI dari ancaman hukuman nati; melakukan repatriasi 181.942 WNI bermasalah termasuk overstayers; evakuasi 16.426 WNI dari berbagai wilayah konflik,perang dan bencana akan; dan, membebaskan 31 sandera WNI dari Filipina dan Somalia. Juga mengembalikan hak finansial WNI di luar negeri Rp. 388 miliar melalui pendampingan hukum oleh Perwakilan.

Data, fakta dan angka ini diklaim Menlu sebagai capaian 3 tahun PLN Indonesia era Jokowi. Namun, tidak ada  data,  fakta dan angka maraknya (lebih 3 kali) penculikan WNI di perairan Sabah, Malaysia dan Sulu, Filipina Selatan.

Parameter terakhir yakni peran Indonesia dlm kerjasama bilateral, regional dan global. Dari parameter ini ada kemajuan Jokowi.
Ada partisipasi dalam forum APEC, KTT ASEAN, dan KTT G-20.

Tapi, Jokowi   menggunakan forum-forum tsb untuk menarik investasi asing, membuka pasar luar negeri dan mengundang lebih banyak turis asing ke Tanah Air. Jokowi meminta  perwakilan RI di luar negeri  ikut memasarkan produk Indonesia.

Terkesan Jokowi selama ini tidak memprioritaskan PLN,  lebih menaruh perhatian urusan ekonomi:  investasi, utang dan  infrastruktur.

Fakta lain,  Jokowi lebih utamakan  urusan ekonomi   di dalam  sejumlah perundingan  penting, al:  Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA), Free Trade Agreement (FTA), Preferential Trade Agreement (PTA), Bilateral Investment Treaty (BIT).

Dari politik keamanan, peran Indonesia memudar dalam mewujudkan perdamaian dunia---seperti  diamanatkan Pembukaan UUD 1945.
Pada  alinea I dan alinea IV dijelaskan dasar hukum pelaksanaan PLN  Indonesia.  Indonesia sebagai Negara merdeka dan berdaulat berhak menentukan nasib sendiri serta  mengatur hubungan kerjasama dengan Negara lain. Pengertian PLN Indonesia terdapat di dalam UU No. 37 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (2), yakni kebijakan, sikap dan langkah Presiden Jokowi  diambil dalam melakukan hubungan dengan Negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lain dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional. Berdasarkan konstitusi, Presiden Jokowi harus menerapkan kebijakan luar negeri disebut politik bebas-aktif. Maknanya, Indonesia bebas menentukan sikap berkaitan dengan dunia internasional, tidak memihak kepada salah satu blok. Aktif, maknanya ikut memberikan sumbangan baik dalam bentuk pemikiran maupun menyelesaikan berbagai konflik dan permasalahan dunia. Aktif menunjukan adanya kewajiban Presiden Jokowi  menunaikan amanat UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Kondisi kinerja Jokowi buruk urus PLN dapat ditunjukkan, kecenderungan menitikberatkan PLN untuk urusan perdagangan dan investasi. Hal akan berisiko pada dimensi keamanan dan politik. Jokowi harus sangat sadar, suatu   negara berpotensi terjebak dalam hubungan  asimetris. Karena itu, Jokowi   harus berhati-hati agar Indonesia tidak bergantung kepada negara lain karena akan merusak ekonomi strategis.

Jokowi
3 kali berturut-turut absen di  Sidang Majelis Umum PBB. Hal ini sungguh buruk   mengingat saat itu Indonesia sedang berjuang menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Namun, akhirnya pd 8 Juni 2018 Indonesia mewakili wilayah Asia dan Pasifik terpilih menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB setelah meraih 144 suara dari 190 negara yang hadir. Dalam pemungutan suara tersebut, Indonesia bersaing dengan Maladewa yang mendapatkan 46 suara, tidak ada abstein.

Di sisi lain, fokus Jokowi dalam mengelola hubungan dengan negara-negara besar seperti Cina, AS dan Jepang bisa berpotensi menjadi bumerang bagi keutuhan NKRI.

Jokowi juga sangat kurang  memelihara hubungan dengan negara-negara tetangga di Kepulauan Pasifik. Padahal  dua tahun terakhir perwakilan negara-negara Pasifik mengangkat issu tentang ketimpangan dan konflik  dialami saudara-saudara mereka di Papua yang dapat memicu perpecahan bangsa atau disintegrasi nasional.

Di sisi peran diplomasi politik, ternyata Jokowi sangat lemah. Sebagai aktor individual sangat kurang  memainkan peran diplomasi politik. Padahal diplomasi politik ini sangat penting untuk  bernegosiasi mewakili kepentingan nasional Indonesia.

Jokowi bukanlah aktor PLN  sehingga lemah   untuk mengangkat nama Indonesia di forum2 internasional. Sementara, peran diplomasi politik lebih banyak diserahkan kepada Menlu, yg tentu saja pengaruhnya lebih rendah.

Penilaian kondisi kinerja Jokowi buruk urus PLN bisa diperkuat hasil penelitian Lembaga Studi Australia (Awal 2018). Lowy Institute menilai,  pengaruh kekuatan Indonesia di mata negara-negara Asia mengalami kemerosotan. Hal ini termuat dalam daftar Asia Power Index 2018. Dari 25 negara  diteliti, Indonesia  berada hanya di posisi 10, di bawah Singapura dan Malaysia. Begitu juga dalam daftar negara memiliki pengaruh diplomasi, Indonesia hanya naik sedikit di posisi kesembilan, di bawah Singapura dan bertukar tempat dengan Malaysia  berada di posisi 10. Walau dibanding negara ASEAN lain, Indonesia berada di posisi ketiga.  Pudarnya pamor Indonesia di mata Asia ini juga berpengaruh di mata negara-negara ASEAN. Pudarnya posisi terhormat Indonesia merupakan salah satu pendiri ASEAN, terlihat pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN  di Singapura, 27-28 April 2018. Sebagai kepala negara  sempat dijuluki “Macan Asia”, Jokowi harus puas ditempatkan pada posisi kedua paling kanan saat berfoto bersama dengan para kepala negara lain.


SUMBER DATA BARU;

1. Indonesia anggota ATT DK PBB:
Indonesia habis biaya berapa, melawan Maladewa?
"Australia pada 2012 mengeluarkan biaya sekitar Rp 350 miliar untuk menang pemilihan."

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia menjadi anggota tidak tetap Dewan keamanan PBB (ATT DK PBB). Anggota Dewan Kehormatan PAN, Dradjad Wibowo mempertanyakan biaya yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk bisa menjadi ATT DK PBB.

"Kemarin saya sudah mengingatkan agar Kemenlu (Kementerian Luar Negeri) jangan heboh-heboh amat. Peranan ATT DK PBB itu sangat terbatas. Di sisi lain, ada 126 negara yang pernah menjadi ATT DK PBB,” kata Dradjad, kepada Republika.co.id, Ahad (10/6).

Bahkan, menurut Dradjad, Arab Saudi pernah menolak duduk sebagai ATT DK PBB. Ceritanya, Arab Saudi terpilih pada tanggal 17 Oktober 2013. Perolehan suaranya 176. Bandingkan dengan Indonesia yang memperoleh 144.

Selain itu, kata Dradjad, Arab Saudi tidak mendapat saingan dari negara lain ketika terpilih. Hal ini sama dengan Jerman, Belgia, Afrika Selatan dan Republik Dominika yang terpilih bersama Indonesia untuk periode 2019-2020. Hanya Indonesia vs Maladewa yang harus masuk pemungutan suara.

Setelah terpilih, lanjut Dradjad, Arab Saudi langsung menyatakan menolak duduk dalam DK PBB. Alasannya, DK PBB dinilai berstandar ganda, sehingga tidak efektif dalam mengatasi konflik Israel-Palestina, pelucutan senjata nuklir di Timur Tengah dan penghentian perang saudara di Suriah.

Pada tanggal 12 November 2013, Arab Saudi melalui Dubesnya di PBB, Abdallah Y. Al-Mouallimi, secara resmi mengirim surat penolakannya. "Kursi yang ditinggalkan Arab Saudi lalu diisi oleh Yordania, yang terpilih pada tanggal 6 Desember 2013 dengan 178 suara,” papar politikus senior PAN ini.

Arab Saudi memang menjadi satu-satunya negara yang pernah menolak duduk dalam DK PBB. Namun alasan penolakan Arab Saudi tersebut adalah fakta yang diakui oleh banyak diplomat dunia.

"Ya memang begitulah DK PBB,” kata Dradjad.

Dradjad bertanya tentang alasan Indonesia ngotot menjadi ATT DK PBB untuk periode 2019-2020. Sampai-sampai harus voting melawan Maladewa, yang belum pernah sekalipun menjadi ATT DK PBB.

"Padahal unggah-ungguhnya (etikanya, red), negara yang belum pernah lah yang diberi kesempatan,” papar Dradjad. Pertanyaan lainnya, sambung Dradjad, adalah mengapa ngotot untuk periode yang dimulai 1 Januari 2019?

"Ketiga, dan ini sangat penting, berapa anggaran APBN yang dipakai untuk memenangkan persaingan melawan Maladewa? Pos anggaran apa saja yang dipakai?” tanya Dradjad.

Sebagai perbandingan, Australia menghabiskan 25 juta dolar AS (hampir Rp 350 miliar) ketika menang tahun 2012. Swedia habis 4 juta dolar AS (hampir Rp 56 miliar) pada tahun 2016 hanya untuk biaya staf/diplomat, utusan khusus, dan perjamuan.

"Ini belum termasuk biaya lobby yang lebih mahal,” kata Dradjad.

Dradjad mengatakan rakyat berhak tahu alasan pemerintah lebih memrioritaskan kampanye ke DK PBB dibanding program lainnya. "Urgensinya apa? BPK juga perlu mengaudit, apakah biaya lobby yang digunakan itu sah,” ungkapnya.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda