Jumat, 23 September 2011

TEORI POLITIK KARTEL TENTANG PARPOL

Teori politik kartel menggunakan konsep kartel untuk menggambarkan suatu kelompok elite politik dalam hal ini Parpol-parpol, bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, ditandai minimnya tautan elektoral (hubungan pemilihan) antara perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Parpol melakukan politik kartel berkewajiban menentang sekaligus membatasi kompetisi (persaingan) dan menghalangi akses bagi Parpol pesaing, dan mendistribusikan atau membagi-bagikan keuntungan kekuasaan politik terhadap sesama anggota kartel (elite Parpol).

Teori politik kartel ini menjelaskan model Parpol “kartel” sebagai kelanjutan dari model-model Parpol seperti model Parpol “kader”, Parpol “massa”, Parpol “oligarki”. Dalam literatur ilmu politik, Richard S. Katz dan Peter Mair adalah ilmuwan politik mencoba membangun model Parpol kartel, yakni Parpol “berkolusi” menjadi agen dari negara dan menggunakan sumber-sumber daya negara untuk memastikan kehidupan kolektif mereka sendiri sehingga tetap bisa bertahan (eksis). Terbentuknya Parpol kartel ini memberikan pengaruh terhadap Pemilu, yakni menang atau kalah dalam Pemilu hanya membuat sedikit perbedaan pada tujuan Parpol karena tidak adanya pertarungan besar pada aspek kebijakan, tetapi dapat dibuat perjanjian baik terkait dengan survival Parpol di mana sumber daya banyak berasal dari negara. Bahkan, ketika para pemimpin Parpol kalah dalam pemilihan, mereka tidak menjadi kehilangan kekuasaan karena berkolusi untuk saling berbagi kekuasaan.

Salah satu alasan paling digandrungi oleh para pengguna teori politik kartel, Parpol akan cenderung menyandarkan pembiayaan operasionalnya pada dua institusi: negara dan kelompok atau segmen masyarakat mampu membiayainya (sebagian besar Pengusaha), pada dasarnya berasal dari “pemburu rente”. Parpol secara kolektif memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, yakni untuk membiayai kegiatan politik. Untuk keperluan memobilisasi dana politik itulah mereka bersama-sama melakukan “kolonisasi” terhadap Kabinet/Pemerintah dan kepemimpinan DPR karena posisi-posisi itu menyediakan rente ekonomi.

Hal ini juga disebabkan ketidakmandirian Parpol dalam menggalang dana dari anggotanya. Ketidakmandirian menyebabkan ketidakmandirian pula dalam hal ikhwal bersifat strategis. Parpol mungkin hanya ditunjang oleh beberapa konglemerat (pemburu rente) dan sekelompok simpatisan Parpol membuat keputusan Parpol tidak bisa lepas dari koridor kepentingan politik tertentu. Acapkali terjadi “perkawinan politik” antara pengusaha (pemburu rente) dan penguasa/politisi Parpol.

“Pemburu rente” adalah suatu konsep dalam perspektif ekonomi rente, semula dikembangkan oleh ekonom Gordon Tullock dalam Theory of Economic Rent-Seeking. Menurut Tullock, ekonomi rente cenderung terjadi pada mereka memegang kendali struktur monopoli. Di sektor ekonomi mereka memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di pemerintahan (eksekutif dan legislatif). Di Indonesia fenomena ekonomi-rente pernah diuraikan oleh Yoshihara Kunio dalam karyanya The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Kunio menganalisis fenomena ekonomi atau pemburu rente di Indonesia. Dijelaskan, praktek kapitalisme semu (ersatz capitalism) di Indonesia menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di kalangan birokrat/pemerintah sehingga pelaku usaha sesungguhnya tidak bisa berkembang. Kehadiran kapitalis di Indonesia karena adanya orang-orang punya kedekatan dengan penguasa (personal contact) dan cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga, bukan berdasarkan pada profesionalisme industrialis. Ekonomi rente telah mewujud dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan antara oknum pengusaha menyediakan modal domestik maupun asing dengan pejabat/penguasa menyediakan fasilitas, insentif dan proteksi. Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber daya, mudahnya akses atas informasi dan opportunity diperoleh melalui kebijakan dikeluarkan untuk itu sementara penguasa/pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan suap, kolusi dan korupsi.

Berdasarkan uraian ekonomi rente di atas, istilah “pemburu rente” dimaksud adalah pelaku usaha melakukan kegiatan untuk mendapatkan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis. Pemburu rente memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan sehat di dalam pasar, namun dengan mengundang kekuasaan atau mempengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai tidak dikompensasi. Pemburu rente ini acapkali terlibat dalam pembuatan regulasi (peraturan peundang-undangan) ekonomi melalui lobi kepada penguasa di pemerintah (eksekutif dan legislatif). Dalam era reformasi ini, para pemburu rente dimaksud semakin berperan besar dalam politik kekuasaan melalui penguasaan Parpol atau pendudukan posisi-posisi puncak Parpol.

Kembali pembicaraan tentang pendanaan Parpol dan munculnya politik kartel karena adanya kepentingan Parpol untuk mengakses sumber dana negara, ada dua sumber dana negara. Pertama, dana budgeter legal memang dialokasikan sebagai bentuk pendanaan publik untuk Parpol. Kedua, dana ilegal merupakan campuran antara dana budgeter dan nonbudgeter, misalnya dana dalam rekening Departemen, rekening Menteri dan rekening Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sumber kedua ini dinilai ilegal karena tidak dialokasikan untuk pendanaan Parpol. Kondisi Indonesia sangat memungkinkan terciptanya politik kartel karena besarnya dana negara tersedia dan juga masih banyaknya kelemahan baik secara substansi maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan keuangan Parpol. Politik kartel, menurut penguna teori ini, dibutuhkan oleh para elite politik (Parpol) untuk menghindari adanya penyingkapan terhadap penggunaan dana negara secara ilegal oleh elite politik (Parpol) lain.

Para teoritisi politik kartel menunjukkan Parpol berorientasi kepada pembangunan kekuasaan politik melalui uang sehingga Parpol sangat bergantung pada sumbangan dari pihak-pihak pemilik modal. Peran Parpol tidak secara konsisten mengawal proses demokratisasi, tetapi hanya untuk perebutan kekuasaan dan uang. Iuran anggota tidak bisa berjalan dan Parpol tidak mampu mandiri dalam mendanai kiprahnya di masyarakat madani umumnya atau di tengah-tengah kelompok pemilih/konstituen khususnya. Calon anggota legislatif juga harus menyiapkan sendiri uang untuk bisa berkampanye.

Seorang pengguna teori politik kartel di Indonesia menggunakan beberapa bukti untuk menjustifikasi hipotetisnya, yakni kasus DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan), kasus Buloggate I dan II dan kasus Bank Bali. Kasus-kasus ini dijadikan bukti kecenderungan sifat para elite politik kooperatif, terutama dalam masa-masa Pasca Pemilu, bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah Parpol. Ketika akan dapat menjatuhkan elite politik, terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik. Contoh lain, SBY dan Amien Rais bertemu dan bersalaman hanya beberapa menit di Bandara Halim Perdana Kesumah menjelang Pemilu 2009 bersepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Ada semacam upaya untuk menghindari adanya penyingkapan penggunaan dana ilegal oleh elite politik.

Khusus kasus DKP telah mengambil tempat pada 2007, yakni penggunaan uang negara secara ilegal untuk kepentingan politik. Kasus ini pada awalnya mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dilakukan mantan Menteri DKP Rohmin Dahuri. Lewat catatan pengakuan Rohmin dan DKP tenyata dana ini juga mengalir ke sejumlah politisi, fungsionaris Parpol, tim sukses Capres-Wacapres Pemilu 2004 dan berbagai Organisasi Kemasyarakatan. Gambaran aliran dana ke kalangan politisi Parpol ( Golkar, PKS, PAN, PDIP, PKB, PPP) berdasarkan pengakuan Rohmin Dahuri ke KPK.

Menurut ICW, aliran dana tidak resmi ke Parpol seharusnya ditindaklanjuti oleh pihak berwajib sebagai persoalan pidana. KPU juga harus memberikan sanksi setidaknya teguran keras bagi Parpol sesuai UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol. Namun, hal ini tidak dilakukan karena kasus ini menjadi begitu luas dampak politiknya; melibatkan tidak hanya banyak tokoh nasional, tetapi juga sempat membuat SBY dan kalangan istana negara “kebakaran jenggot”. Kasus ini kemudian diredam oleh elite politik, tidak dibuka lebih luas ke arah penerimaan dana ilegal oleh elite politik atau Parpol. Bagi teoritisi politik kartel, peredaman kasus ini merupakan indikator fenomena politik kartel kepartaian.

Pada saat kasus dana DKP ke Parpol mengambil tempat, peraturan perundang-undanagn telah Parpol berlaku antara lain adalah UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Khususnya Pasal 17 UU ini mengatur tentang sumber keuangan Parpol. Parpol dapat menerima dana dari iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum dan bantuan dari anggaran negara. Batasan sumbangan sah termasuk iuran anggota dibatasi jumlah maksimumnya. Untuk individu sebesar Rp. 200 juta dan badan hukum/perusahaan sebesar Rp. 800 juta untuk jangka waktu satu tahun (Pasal 18). UU Parpol juga melarang Parpol meminta atau menerima dana dari instansi pemerintah seperti BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) atau dengan sebutan lainnya, Koperasi, Yayasan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (Ormas), dan organisasi kemanusiaan (Pasal 19 ayat 3 tentang larangan). Parpol hanya dapat menerima bantuan keuangan dari negara (subsidi) dengan besaran disesuaikan dengan alokasi kursi di DPR/DPRD (maksimum Rp. 21 juta per kursi) sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 tahun 2005. UU Parpol juga mengatur sanksi administratif bagi Parpol menerima dana dari instansi pemerintah seperti ketentuan Pasal 19 ayat 3 berupa teguran secara terbuka oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Dana diakui diberikan Menteri DKP Rokhmin Dahuri kepada Parpol jauh melampaui batasan sumbangan individu, ke suatu Parpol tertentu sebesar total Rp. 300 juta. Hal ini telah melanggar ketentuan UU Parpol dan dapat dijerat dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 28). Dalam ketentuan Pasal 28 UU Parpol juga diatur sanksi dapat dikenakan kepada pengurus Parpol menerima sumbangan di atas ketentuan batasan maksimum dengan pidana kurungan maksimum 6 bulan dan/atau pidana denda maksimum Rp. 500 juta. Juga telah terjadi pelanggaran Pasal 19 ayat 3 tentang larangan UU Parpol, yakni menerima dana dari instansi pemerintah dalam hal ini DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan).

Secara garis besar, para pengamat politik menilai kehidupan kepartaian berdasarkan politik kartel ini menyebabkan kerugian atau membawa dampak negatif terhadap kehidupan politik sebagai berikut:

1.Politik berada pada tingkat sangat permukaan dan artifisial, tidak ada lagi hal ikhwal bersifat prinsipil.

2.Politik secara mudah digeser dari perdebatan mendalam tentang kesejahteraan publik ke tawar-menawar kekuasaan, dan kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli.

3.Argumen dan debat politik cerdas dan hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan.

4. Tidak ada jaminan kehendak publik (rakyat) dititipkan kepada Parpol lewat Pemilu akan direalisasikan.

5.Ada keterputusan mandat dari pemilih, dan institusi Parpol lebih dekat dengan negara ketimbang dengan rakyat.

6.Sikap politik pragmatis dan mayoritas Parpol koalisi bertendensi memaksimalkan kekuasaan di tangan Presiden dan juga politik dinasti.

7.Politik hanya menjadi ajang jual beli suara rakyat sebagai alat tukar dalam mendapatkan kekuasaan.

8.Karena ketidakadaan akuntabilitas publik dari Parpol beroposisi, maka kualitas keputusan publik menjadi rendah.

9.Ideologi dan platform tidak lagi substansial karena telah digantikan oleh prinsip oportunisme.

10.Tidak bisa berharap banyak proses politik akan menghasilkan pemerintahan memperhatikan kepentingan publik secara luas.

11.Pada dasarnya tidak akan pernah menjadi Parpol gerakan atau bagian dari gerakan massa, apalagi massa aksi, kecuali Parpol elite hanya akan melakukan kegiatan menjelang dan saat Pemilu saja.

12.Rakyat akan dipaksa untuk menari di atas genderang ditabuh oleh kalangan elite politik (Parpol) lima tahun sekali (Pemilu).

13.Terciptanya iklim anti demokrasi dan pro korupsi karena Parpol menghasilkan keuntungan sendiri, melindungi khususnya tindakan mengambil uang negara secara ilegal (koruptif) dari tindakan para penegak hukum.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda