Jumat, 23 September 2011

TEORI PENCITRAAN TENTANG PARPOL

Beberapa pengamat politik dan politisi Parpol terutama era reformasi di Indonesia memperkenalkan teori pencitraan kepada publik untuk memperoleh suara pemilih dalam Pemilu. Teori pencitraan didukung kalangan khususnya teoritisi komunikasi politik dan umumnya ilmu politik meyakini penggunaan teori pencitraan terhadap Parpol dapat memiliki peran atau memberi kontribusi di dalam menentukan proses demokratisasi. Dalam perkembangannya, teori pencitraan diperkuat dengan kemunculan teori pemasaran politik (political marketing) didukung kalangan khususnya teoritisi manajemen pemasaran dan umumnya ilmu ekonomi. Pendukung teori pemasaran politik juga meyakini, penggunaan pemasaran politik memiliki kontribusi atau peran di dalam menentukan proses demokratisasi.

Citra (image) adalah salah satu asset terpenting Parpol. Citra Parpol positif atau baik di mata publik bergantung pada pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik tentang Parpol dan pada gilirannya dapat mendorong publik untuk mendukung dan memberikan suara kepada Parpol tersebut dalam Pemilu. Untuk menciptakan pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik ini diperlukan komunikasi politik melalui kegiatan seperti pemberitaan dan iklan politik di media massa, pampflet, bulletin, selebaran, press release atau konferensi press di surat kabar, media elektronik, dialog interaktif atau dialogis di radio-radio dan televisi, dll.

Politik pencitraan ini memperkuat kesadaran Parpol akan pentingnya fungsi dan strategi kehumasan Parpol secara tepat mampu menjembatani komunikasi politik efektif antara Parpol dan konstituen. Fungsi dan peran kehumasan dinilai penting oleh Parpol, termasuk juga penggunaan jasa konsultan kehumasan turut membantu merancang strategi komunikasi Parpol ditujukan untuk kepentingan publik maupun kegiatan kampanye. Di Indonesia perkembangan politik kepartaian sejak Pemilu tahun 1990-an ditandai dengan kesadaran akan upaya kehumasan tampak tidak hanya terfokus pada kegiatan kampanye dengan metode orasi di tengah lapang, namun lebih pada komunikasi politik melalui berbagai media massa. Karena berdasarkan riset tentang pengaruh pesan disampaikan Parpol melalui media masa memiliki nilai signifikan terhadap keputusan memilih masyarakat, meskipun ini memang bukan satu-satunya faktor. Parpol tidak hanya memanfaatkan jasa Konsultan kehumasan, juga membuat media khusus untuk mengkomunikasikan visi, misi dan program Parpol. Selain itu, ada Parpol mempunyai website sebagai kelengkapan instrumen kampanye. Semua informasi Parpol disajikan secara detil di website tersebut.

Teori pencitraan Parpol pada umumnya menggunakan pendekatan pemasaran politik. Pemasaran politik (political marketing) adalah ilmu baru mencoba menggabungkan teori-teori marketing dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, pemasaran politik masih tergolong baru namun telah menjadi popular dalam ranah politik di negara demokrasi industri maju. Parpol berlomba-lomba memanfaatkan ilmu ini untuk strategi kampanye baik untuk mendapatkan dukungan politik dalam Pemilu maupun memilihara citra sepanjang saat dalam jeda Pemilu.

Konsep inti pemasaran adalah bagaimana transaksi diciptakan, difasilitasi dan dinilai. Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak, juga terjadi saat seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintahan lebih baik. Konsep pemasaran politik merupakan kegiatan memasyarakatkan ideologi politik, tokoh politik, perjuangan politik telah lama dipraktekkan di Negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat. Semula menempatkan arti penting radio kemudian televisi sebagai medium komunikasi mampu membantu pemirsa menentukan pilihan. Chaterin Shaw dalam The Campaign Manager Running and Winning Local Election (2004), mengutip hasil studi “Americans Speak Out About the 2000 Campaign”, diselenggarakan oleh The Centre for Congressional and Presidential Studies at American University. Hasil studi menunjukkan 74 % yang diwawancarai percaya bahwa radio adalah sumber penting informasi politik. Banyak warga mendengar radio tatkala dalam perjalanan pergi atau pulang dari tempat pekerjaan sehari-hari. Sementara televisi memiliki jangkauan luas, terutama di kawasan perdesaan (rural areas).


Melalui logika pemasaran politik, kedekatan Parpol dengan konstituen dan massa mengambang tetap terjaga setiap saat. Tercipta pendidikan politik masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek politik, bukan obyek politik sebagaimana disikapi pada saat kampanye Pemilu saja. Logika pemasaran politik menghindari keterputusan hubungan Parpol dan masyarakat konstituen.

Pendekatan pemasaran politik menggunakan teori-teori mengenai perilaku konsumen. Pendekatan ini digunakan karena saat menggunakan hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap Parpol tertentu sama seperti perilaku konsumen mempertukarkan uang untuk membeli barang/jasa tertentu. Pendekatan pemasaran politik memperkirakan, individu berperilaku berdasarkan keingingan untuk terikat dengan perilaku tersebut dan faktor apa saja mempengaruhi keinginan untuk memilih Parpol. Penerapan pendekatan pemasaran memungkinkan Parpol mengetahui apa secara siginifikan mempengaruhi keinginan untuk memilih Parpol dan memasarkan Parpol secara tepat demi mendapatkan suara pemilih.

Pendekatan pemasaran politik juga percaya, keinginan untuk memlih Parpol signifikan dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap Parpol dan norma subyektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap Parpol signifikan karena orang mengidentifikasikan diri terhadap Parpol, bukan terhadap pemimpin. Pengaruh sikap terhadap Parpol secara langsung lebih tinggi dibandingkan pengaruh secara tidak langsung. Pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut Parpol seperti visi/misi/program atau isu. Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang dan bangga terhadap suatu Parpol dalam memilih. Kepercayaan ini semakin menguat jika digunakan menganalisis masyarakat memiliki karakteristik menekankan harmonisasi dan kedekatan antar anggota masyarakat seperti di Indonesia. Yakni sosialisasi politik sudah berlangsung sejak individu belum mempunyai hak pilih dan juga terjadi pada saat individu bersama keluarga, teman, di tempat kerja, bahkan di kedai kopi.

Bagi pendukung pendekatan pemasaran politik, ada sejumlah alasan mengapa penting menggunakan pemasaran politik bagi parpol. Pertama, politisi Parpol percaya telah terjadi pergeseran paradigm pemilih dari paradigma ideologis menjadi paradigma pragmatis. Masyarakat cenderung melihat program kerja ditawarkan oleh Parpol dibandingkan dengan alasan ideologis. Hal ini terlihat dari fenomena semakin membesarnya persentase pemilih non-partisan dan juga masa mengambang. Pemilih non-partisan yakni kelompok pemilih tidak menjadi angota atau mengikat diri secara ideologis dengan Parpol tertentu. Di samping itu, adanya persaingan politik dan sistem multipartai dianut serta semakin kritis masyarakat dalam memilih Parpol. Parpol dituntut menjadi lebih kreatif dalam menganalisis permasalahan negara dan rakyat. Parpol paling bagus menyusun program kerja mempunyai peluang lebih besar memenangkan perolehan suara pemilih dalam Pemilu. Agar menganalisis permasalahan dan menyusun program kerja bagus, maka dilakukan polling dan berbagai kegiatan riset lain. Riset merupakan kebutuhan penting untuk pemetaaan permasalahan, segmentasi pemilih dan pemetaan program kerja.

Lebih jauh pemasaran Parpol harus didukung oleh riset kuat mengangkut aspirasi masyarakat aktual. Kemampuan mengidentifikasikan permasalahan daerah untuk diketengahkan sebagai permasalahan kampanye di daerah tertentu, memungkinkan Parpol bersangkutan menumbuhkan citra sebagai organisasi politik peduli pada kebutuhan aktual daerah.

Indonesia sedang mengalami transisi dari otoriter menuju demokrasi, implementasi pemasaran politik oleh parpol merupakan fenomena baru dan masih dilaksanakan secara parsial, bahkan seringkali tanpa disadari Parpol telah melaksanakan praktek pemasaran politik dalam berkomunikasi dengan komunitas konstituen dan masyarakat umum. Di Indonesia pemasaran politik mulai dikenal tetapi belum meluas dalam ranah politik maupun kajian akademis. Kegiatan politik Parpol disadari atau tidak Parpol telah melakukan serangkaian kegatan ini sebagai missal pengumpulan massa (temu kader, tabligh akbar dan deklarasi), pawai di jalan-jalan, liputan media cetak (TV, Koran, Majalah, Radio, dll) atas kegiatan Parpol sampai ke kunjungan wakil-wakil parpol ke komunitas konstituen maupun komunitas tertentu telah biasa dilakukan,

Intenstitas interaksi Parpol dan masyarakat sering hanya terjadi pada waktu menjelang Pemilu melalui pelaksanaan kampanye. Pada masa ini Parpol berlomba-lomba menawarkan produk politik berupa ideologi, gagasan, kebijakan dan rekan jejak. Masyarakat dijadikan seperti “pasar sesaat” atau “pasar kaget” untuk mendengar, melihat dan memilih produk mereka. Di luar “pasar sesaat” ini, komunikasi politik Parpol dengan masyarakat terputus. Akibatnya, Parpol tidak menjalankan fungsi pendidikan politik bagi masyarakat dan pada gilirannya kehilangan daya kritis untuk mengontrol Parpol dan pemerintahan. Karena itu, Parpol menggunakan pendekatan pemasaran politik hanya pada kampanye Pemilu semata. Padahal pendekatan pemasaran politik sendiri sesungguhnya menekankan pentingnya kinerja sebuah Parpol selain kegiatan pemasaran atau pencitraan. Setelah masa Pemilu berakhir, Parpol harus dapat memenuhi janji-janji atau produk politik sudah ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih.Pemilih atau masyarakat harus memperoleh kepuasan.

Baik teori pencitraan dalam komunikasi politik maupun pendekatan pemasaran politik percaya, ada hubungan erat antara citra parpol dan perilaku pemilih. Penciptaan dan pembentukan pencitraan positif Parpol digarap dan dikelola sedemikian rupa baik sepanjang maupun pasca kampanye. Untuk menciptakan pengetahuan dan persepsi masyarakat ini diperlukan komunikasi politik. Dalam perkembangannya, teori pencitraan mendorong Parpol untuk melakukan komunikasi politik melalui media massa, terutama radio, televisi dan media cetak karena luas jangkauan jauh lebih luas ketimbang sarana-sarana komunikasi politik lain. Pesan dan informasi politik Parpol lebih mudah menjangkau rumah-rumah pemilih dalam Pemilu melalui media massa ini ketimbang melalui komunikasi interpersonal dengan kader-kader Parpol pada strata masyarakat bawah umumnya di daerah perdesaan (rural areas)

Penggunaan media massa sangat penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik dalam Pemilu. Dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi sentral dalam politik. Media massa merupakan saluran komunikasi politik banyak digunakan untuk kepentingan menyebarluaskan informasi, menjadi forum diskusi publik dan mengartikulasikan tuntutan masyarakat beragam. Semua itu dikarenakan sifat media massa dapat mengangkut informasi dan citra secara massif dan menjangkau khalayak begitu jauh, beragam dan luas terpencar.

Media menjadi kekuatan bisa menyatukan dan menggiring opini masyarakat kepada salah satu Parpol peserta pemilu dengan memberikan arah ke mana mereka harus berpihak dan prioritas-prioritas apa harus dilakukan. Media massa dapat memberi semangat, menggerakkan perubahan dan memobilisasi masyarakat untuk memberikan suara dalam Pemilu. Media massa merupakan wahana komunikasi dapat menembus batas ruang dan waktu. Bahkan para ilmuwan komunikasi politik menekankan, dalam perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, media massa memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia untuk berhubungan dengan hampir setiap pelosok dunia. Penggunaan media massa mampu menyampaikan dan mengenalkan visi, misi dan program kerja Parpol kepada publik secara luas. Komunikai politik melalui media massa dapat diarahkan kepada audiens relatif besar dan heterogen, sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk menggerakkan, mengukuhkan, memperkuat atau mengubah sikap dan kepercayaan/nilai seseorang untuk memberikan suara kepada Parpol tertentu.

Peran media massa dalam kampanye Pemilu menjadi sangat penting. Namun, ada sejumlah kritik atas teori pencitraan menggunakan media massa, antara lain:

1.Mengkhawatirkan kepercayaan bahwa pengaruh media massa tergolong besar terhadap perilaku pemilih dalam Pemilu. Mereka sebaliknya percaya, pengaruh media massa tergolong sangat kecil dalam mengubah sikap dan perilaku pemilih. Media massa hanya mampu dalam tataran memperkokoh sikap dan perilaku telah ada, bukan mempengaruhi untuk mengubah sikap dan perilaku tersebut.

2.Media massa bukanlah segala-galanya. Jika orang ingin memperkenalkan Parpol memang media massa merupakan sarana komunikasi paling tepat. Jadi sebagai sarana pengenalan Parpol media massa memang sangat efektif. Apalagi di saat masyarakat harus memilih salah satu di antara puluhan Parpol berebut kursi dalam Pemilu.Namun, mereka mengakui juga bahwa media massa memiliki pengaruh besar dalam kampanye Parpol dikaitkan dengan segmen pemilih nonpartisan dan “massa mengambang”. Namun, untuk negara-negara terbelakang seperti Indonesia, kegiatan media massa ini akan berpengaruh jika mendapatkan sikap positif dari pemuka masyarakat (opinion leader) atau “lembaga mediasi”. Strategi kampanye Parpol ideal adalah penggabungan pemanfaatan media massa dengan strategi komunikasi antar peribadi Parpol dan pemuka masyarakat atau “lembaga mediasi” (strata klas menengah bawah). Lembaga mediasi pada umumnya berdomisili dan hidup sehari-hari di lingkungan pedesaan atau lapisan akar rumput. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik tergolong rendah dibandingkan klas menengah dan atas. Media massa dapat mempengaruhi kebanyakan pemilih akar rumput (lapisan bawah) masih membutuhkan masih membutuhkan “medium”, dinamakan lembaga mediasi. Lapisan akar rumput sesungguhnya belum dapat dibiarkan sendiri untuk memformulasikan prakarsa dan aspirasi politik serta kemudian mengaktualisasikan sebagai suatu kebijakan. Struktur mediasi merupakan sarana vital untuk mewujudkan keberhasilan komunikasi politik di lapisan akar rumput.. Karena itu, di Indonesia misalnya, agar komunikasi politik melalui media massa bisa efektif, maka sasaran utama Parpol seyogyanya adalah lembaga mediasi di tingkat Kabupaten/kota/kecamatan.

3.Dana atau biaya dibutuhkan untuk menggunakan teori pencitraan untuk perolehan suara pemilih Parpol melalui iklan politik di media massa (radio, televisi dan media cetak) adalah jauh lebih besar ketimbang penguatan kelembagaan melalui komunikasi interpersonal, kegiatan pendidikan politik dalam bentuk pelatihan, lokakarya (workshop) atau temu kader di tengah-tengah masyarakat pemilih. Juga dibandingkan dengan pembentukan dan penyediaan struktur organisasi dan personil/kader di tingkat perdesaan atau lapisan masyarakat strata bawah, biaya diperlukan untuk pemasangan iklan di media massa jauh lebih besar. Penggunaan media massa terutama radio, televisi dan media cetak sesungguhnya dapat mengabaikan fungsi Parpol sebagai sarana pendidikan politik anggota dan rakyat. Bisa jadi fungsi Parpol sebagai sarana pendidikan politik sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan menjadi tidak relevan karena dipercaya bahwa perolehan suara pemilih lebih ditentukan oleh pesan dan informasi disampaikan melalui media massa, bukan komunikasi politik “interpersonal” Parpol dan rakyat.

4.Pernyataan mengkhawatirkan: bagaimana bila kepuasan masyarakat diperoleh melalui pencitraan dan bukan hasil nyata? Penekanan berlebihan pada teori pencitraan dapat menimbulkan pemahaman negatif. Masuknya teori pencitraan melalui kegiatan komunikasi politik intensif dipandang sebagai alat untuk melengkapi hasil kerja yang tidak maksimal, atau bahkan mungkin tidak adanya hasil kerja. Dalam menjalankan fungsi Parpol, komunikasi politik atau politik pencitraan berfungsi untuk menginformasikan pekerjaan Parpol telah dilakukan, bukan menciptakan “ilusi keberhasilan”. Parpol harus memperoleh kepercayaan masyarakat bukan dengan ilusi keberhasilan tetapi dengan hasil nyata.

5.Realitas obyektif era reformasi di Indonesia menunjukkan, teori pencitraan digunakan hanya untuk mempengaruhi pemilih agar memberikan suara kepada Parpol, bahkan dalam batas-batas tertentu teori pencitraan digunakan untuk menutup-nutupi “politik uang” atau “pembelian suara” di tingkat daerah maupun nasional. Teori pencitraan digunakan semata untuk menghindar dari penyingkapan perolehan suara pemilih melalui politik uang. Teori pencitraan semula diyakini dapat berperan dan memberi kontribusi positif, justru menjadi kontra terhadap proses demokratisasi. Maknanya adalah teori pencitraan digunakan untuk memperkuat politik kartel dalam kehidupan kepartaian.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda