Jumat, 23 September 2011

SEPINTAS TEORI AGENSI DAN OLIGARKI TENTANG PARPOL

1.TEORI AGENSI

BAGI sekelompok kecil pengamat dan politisi Parpol, kiprah Parpol era reformasi menunjukkan kemajuan positif, memberi kontribusi terhadap meningkatnya kehidupan demokrasi, dan karena itu “dinobatkan” sebagai kekuatan politik “pro demokrasi”. Salah satu perspektif digunakan untuk memahami dan menjelaskan kiprah Parpol “pro demokrasi” atau memiliki kemajuan positif yakni perspektif agensi atau teori agensi. Teori ini merupakan basis teori mendasari praktik Parpol berakar dari teori organisasi, teori sosiologi, teori keputusan dan juga teori ekonomi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan politik antara pihak memberi wewenang (prinsipal) dalam hal ini kalangan pemilih/konstituen dengan pihak menerima wewenang (agensi) yaitu pengurus/elite Parpol dalam bentuk kontrak kerjasama (Pemilu).

Teori agensi acapkali digunakan untuk menjustifikasi pandangan elite Parpol bahwa mereka telah bertindak atas kepentingan konstituen. Karena itu diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi suara dan syarat-syarat menyertai dalam hubungan elite Parpol dan konstituen. Teori agensi membantu elite Parpol untuk menggambarkan, berlakunya hubungan kerjasama saling menguntungkan antara elite Parpol (the agent), dan pemilih/konstituen (the principal). Pemilih/ konstituen akan memberikan suara terhadap elite Parpol bersangkutan dalam pemilihan , dengan harapan dapat melaksanakan preferensi atau kepentingan pemilih/konstituen bersangkutan.

Parpol telah berjanji dan menawarkan program kepada pemilih/konstituen akan merealisasikan sehingga Parpol dimaksud dalam Pemilu selanjutnya akan dipilih kembali. Jika Parpol tidak merealisasikan janji dan program tersebut, maka akan mendapatkan ”hukuman”, yakni tidak dipilih kembali dalam Pemilu berikutnya. Karena itu, Parpol akan berusaha sebaik mungkin menjalankan fungsi perwakilannya di parlemen dan sebagai kekuatan politik pro demokrasi atau turut mempercepat proses demokratisasi politik dan pada gilirannya peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat.

Sesungguhnya beragam kritik telah muncul atas teori agensi ini. Salah satunya memiliki hipotetis bahwa elite politik dalam mengelola Parpol (the agent) cenderung lebih mementingkan kepentingan peribadi daripada meningkatkan “nilai” Parpol dan kepentingan pemilih/konstituen. Satu kritik mencontohkan keberadaan Parpol bagaikan lembaga kemahasiswaan. Pengurus lembaga kemahasiswaan dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga mahasiswa untuk pengelolaan organisasi menjadi agen idealnya mampu mengakomodasi semua kepentingan keluarga. Tetapi, dalam realitas obyektifnya, terkadang Pengurus lembaga kemahasiswaan itu tidak mampu menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan Pengurus lebih memilih melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginan mereka. Kepentingan keluarga menjadi terabaikan.


2.TEORI OLIGARKI

Sebaliknya, terdapat beberapa kritik mendasar, umumnya menilai kiprah Parpol secara substansial tidak demokratis dan tidak berperanan sebagai pilar/komponen strategis/aktor demokrasi tetapi justru anti demokrasi, lebih mengutamakan kepentingan elite, tidak merealisasikan janji dan program dikampanyekan dalam Pemilu. Beberapa teori tentang Parpol telah digunakan mengkritik kiprah Parpol, antara lain teori oligarki dan teori politik kartel.

Teori oligarki ini sesungguhnya sudah lama digunakan para ilmuwan politik dalam menganalisis politik kepartaian, antara lain Daniel Dhakidae dalam Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004-2009 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004). Daniel menujukkan kecenderungan oligarkis dalam sistem kepartaian Indonesia. Kecenderungan oligarkis dari hari ke hari semakin nyata bila Parpol memerintah diperiksa dengan seksama. Pertama adalah konservatisme atau lebih tepat neo-konservatisme, bukan saja dalam pengertian mengabaikan nilai-nilai dibela pada masa reformasi akan tetapi semakin kuat gerak balik untuk membela Parpol demi kepentingan Parpol. Neo-konservatisme memaksa Parpol untuk mengadakan re-aliansi antara Parpol di tengah adanya perpecahan. Dua gerak di atas, lanjut Daniel, hampir-hampir dengan sendirinya menunjukkan adanya perkembangan menuju oligarki. Parpol semakin menjadi birokrasi dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri sedangkan pejabat Parpol di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi birokrat. Parlemen terlepas dari para pemilih yang juga tidak berdaya lagi mengontrol karena tidak mampu juga mengontrol Parpol pilihannya dalam Pemilu. Parlemen dirubah menjadi mesin pemilih birokrat. Daniel kemudian mempertanyakan: “apakah ada gunanya disebut sebagai demokrasi dan terutama demokrasi perwakilan bila wakil-wakil secara terencana melepaskan yang diwakili, pemegang mandat meninggalkan pemberi mandat?”

Teori oligarki menunjukkan kiprah Parpol lebih mengutamakan kepentingan elite Parpol, bukan konstituen/pemilih, apalagi rakyat kebanyakan. Reformasi dan demokratisasi di Indonesia gagal menghentikan kecenderungan oligarki untuk muncul ke permukaan. berlaku hanyalah apa banyak pengamat politik menyebut sebagai demokrasi “prosedural” di mana faktor kelembagaan (organisasi) menempati kedudukan sentral .

Reformasi dan demokratisasi di Indonesia telah menciptidakan demokrasi prosedural, gagal membawa bangsa ini ke arah kehidupan lebih baik. Substansi demokrasi menghandalkan meluasnya partisipasi rakyat sebagai refleksi kedaulatan di tangan rakyat justru dikebiri dalam “ritual demokrasi” atau istilah populernya “pesta demokrasi” lima tahun sekali (Pemilu).

Runtuhnya rezim outoritarian Orde Baru Soeharto ternyata tidak otomatis melahirkan pemerintahan demokratis mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Yang terjadi adalah “demokrasi procedural”, pemasungan kedaulatan rakyat. Pemilu hanya sebagai kegiatan ritual lima tahunan Rakyat hanya bisa menggunakan kedaulatan mereka di bilik suara selama lima tahun sekali. Demokrasi prosedural ini tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan keterbelakangan rakyat sementara peradaban terus bergerak cepat. Teknologi informasi melekat dalam globalisasi telah pula membentuk cara pandang baru. Praktek demokrasi prosedural sekarang berlaku, dipercaya oleh para kritisi politik, tidak akan pernah melahirkan elite politik benar-benar mampu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan atau memenuhi kepentingan rakyat kebanyakan. Elite politik produk demokrasi prosedural hanya mampu melindungi kepentingan elite politik itu sendiri, termasuk pemilik kapital (kaum kapitalis) dalam negeri maupun internasional (asing). Sejumlah UU hasil DPR era reformasi telah dijadikan bukti bahwa Parpol di DPR lebih mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan korporasi asing.

Demokrasi prosedural ini juga diyakini telah menempatkan Parpol sebagai peserta elite kepemimpinan pada hakekatnya justru melanggengkan kesenjangan sosial atau perbedaan klas atas sekitar 10 % dan klas bawah sekitar 90 %. Elite politik baik anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif bisa menikmati kedaulatan sebagai orang-orang terpilih sepanjang hari, bahkan memiliki hak imunitas, pengelolaan akses sumber daya, beragam otoritas/kewenangan dan hak-hak istimewa. Rakyat hanya bisa menggunakan kedaulatan mereka di bilik suara selama lima tahun sekali. Semua itu menjadi absah setelah rakyat memberikan pilihan di bilik suara dalam Pemilu. Kedaulatan rakyat dideligasikan sebagai hak tetap selama lima tahun ke Parpol dan lembaga perwakilan.

Sesungguhnya dinamika Parpol selalu ditentukan oleh faktor intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan. Dalam kenyataannya, di era demokrasi prosedural ini, ketiga faktor ini selalu direpresentasikan oleh elite, bukan oleh massa atau rakyat kebanyakan dengan kemampuan beragam, menyebabkan Parpol jatuh ke dalam kekuasaan oligarki. Adalah Parpol menyebabkan lahirnya kedaulatan para wakil atas pemilih, diberi mandat atas pemberi mandat, para delegasi atas pemberi delegasi. Siapa bicara Parpol, bicara oligarki. Parpol adalah pertarungan tanpa henti antara kepentingan massa dengan kepentingan elite.

Oligarki tidak hanya terjadi di internal Parpol tetapi juga di antara Parpol berkuasa. Kontrol terhadap dominasi politik dilakukan melalui birokrasi oligarki untuk menjadikan Parpol sekadar mesin pendulang suara pemilih dan konstituen.

Salah satu contoh kiprah Parpol oligarki yakni proses nominasi dan pencalonan legislatif, fenomena oligarki begitu kental. Fenomena ini merupakan warisan otentik dari struktur otoriter Orde Baru mengharamkan partisipasi rakyat, menghalalkan “massa mengambang” di tingkat Kecamatan ke bawah, dan menghalalkan mobilisasi oleh negara beserta agen-agennya seperti birokrasi sipil dan militer. Para politisi Parpol era reformasi terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru, struktur dan kepemimpinan Parpol merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural lokal. Kesempatan rakyat menjadi faktor determinan dalam proses politik telah dibuka melalui gerakan reformasi acapkali terbelenggu oleh struktur dan paham masyarakat Indonesia masih patrimonial dan feodalistik. Paham masyarakat ini merupakan sumber berkembangnya sikap dan perilaku koruptif. Karena itu, bagi kritisi politik menggunakan teori oligarki ini menekankan, demi percepatan proses demokratisasi di Indonesia, masyarakat pro demokrasi harus selalu menggugat perilaku feodalistik ini. Bahkan, harus berani menghardik agar korupsi tidak terus berjalan, dan reformasi harus terus berjalan.

Sementara itu, berbagai instrumen demokratis direkayasa untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pada akhirnya hanya menjadi proforma birokratis justru menjustifikasi berulangnya praktik oligarki dalam kehidupan Parpol. Kiprah Parpol tidak melakukan institusionalisasi politik sebagai kata kunci dalam demokratisasi. Parpol tidak mampu menyumbangkan inovasi politik untuk kebangkitan sebagai kekuatan pro demokrasi. Pengurus Parpol dominan menganut pragmatisme, dan menjadikan politik transaksional menjadi norma baku. Dominan Parpol memiliki pragmatisme kekuasaan, misalnya merapat ke kekuasaan Istana (Presiden) demi beberapa jabatan dan konsesi politik. Pragmatisme telah menjadi norma bagi Parpol tanpa peduli eksistensi (keberadaan) di masa depan, kemungkinan bisa berkembang atau menang lagi. Kiprah Parpol di tingkat nasional dan juga daerah tanpa harus konsisten dan bertanggungjawab atas janji-janji kampanye Pemilu.

Perilaku membeli suara atau fenomena “kedaulatan uang”, bukan kedaulatan anggota, menjadi ”dimaklumi” baik dalam Pemilu maupun Kongres/Muktamar/Munas Parpol. Amat sangat sedikit pengurus Parpol dalam Kongres, misalnya, memberikan apresiasi pada visi dan misi dari kandidat/calon Ketua Umum Parpol bersangkutan. Juga sangat sedikit memiliki kesadaran kolektif untuk memilih berdasarkan pertimbangan non-material. Memberikan suara untuk kandidat/calon Ketua Umum Parpol hanya bermodal visi dan misi menjadi tindakan percuma sekalipun memberikan sinyal tidak bagus bagi konstituen dan pemilih pada umumnya. Kedaulatan uang menyebabkan kebutuhan finansial bagi Parpol menjadi sangat besar karena kerja kolektif Parpol tidak digerakkan oleh semangat bekerja untuk publik/konstituen, namun lebih karena dana. Tanpa dana, maka hampir dapat dipastikan Parpol di banyak daerah akan melakukan “hibernasi” politik sampai menjelang Pemilu berikutnya. Hibernasi politik bermakna Parpol tidak melakukan kegiatan politik apa-apa (bagaikan tertidur sepanjang musim dingin) di tengah-tengah masyarakat. Investasi elektoral (pemilihan umum) tidak dilakukan dengan kerja-kerja politik tekun sejak sekarang, tetapi tergantung pasokan dana dari pengurus pusat dipimpin oleh pemilik uang banyak (kaya), beberapa diantaranya klas pemodal/atas.

Realitas obyektif ini cenderung menghasilkan pimpinan politik jenis tertentu. Orang-orang kaya atau dapat meyakinkan pihak lain untuk melakukan investasi dengan menominasikan dirinya (penggalang dana berhasil) mendominasi personil-personil politik dan pada gilirannya akan mendominasi jabatan-jabatan pimpinan politik. Selain itu, sulit pula menerapkan kontrol publik terhadap realitas obyektif Parpol semacam itu. Hasil negatif lainnya, penyandang dana kaya dapat menyandera Parpol. Penyandang dana kaya menentukan apa terjadi di dalam Parpol. Mereka bisa jadi terlibat melatih personil-personil politik Parpol, dan memilih pimpinan dan kandidat-kandidat Parpol.

Menguatnya pragmatisme dan kedaulatan uang tidak didukung dengan pelembagaan pendanaan mandiri oleh anggota, simpatisan atau konstituen, Parpol menjadi tergantung pada para oligarch maupun financiers (pendana) untuk menjamin berjalannya roda atau mesin kegiatan Parpol. Pada akhirnya, Parpol tersebut menjadi pelindung kepentingan bisnis atau bahkan sekadar alat politik dari klas pemilik modal/atas (oligarch dan financiers). Parpol besar hasil Pemilu 2009 sangat mungkin telah mengalami nasib sama karena kepemimpinan sekarang ini bermula dari dan beroperasi dalam pragmatisme kental. Kongres/Muktamar/Munas Parpol tidak menghasilkan inovasi dan kreativitas menyegarkan bagi kehidupan politik kepartaian. Adalah suatu kesalahan bagi Parpol keberadaannya terancam karena tidak mampu keluar dari cengkaraman kaum oligarki baik di pusat maupun daerah.

Di tingkat daerah, setidaknya ada 3 (tiga) bentuk penyalahgunaan wewenang. Pertama, wewenang dalam memilih Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Parpol bisa melakukan tawar-menawar dengan Calon/kandidat, dan bagi Calon bisa memberi konsesi ekonomi politik, Parpol dimaksud akan memilihnya. Kedua, wewenang melakukan penilaian Laporan Pertanggungan Jawaban (LPJ) Kepala Daerah (Gubernur,Walikota dan Bupati), baik tahunan maupun di akhir jabatan di legislatif (DPRD. Parpol bisa melakukan tindakan ilegal dengan Kepala Daerah menghendaki LPJ diterima. Ketiga, wewenang menyusun anggaran belanja daerah (APBD). Parpol bisa seenaknya menyusun APBD. Kiprah Parpol semacam ini tidak lepas dari perilaku oligarki, dikendalikan sejumlah kecil elite. Kecenderungan itu, misalnya, terlihat pada model Parpol masih sentralistis memungkinkan pucuk pimpinan Parpol menggerakkan agenda tanpa perlu berpikir apakah agenda itu dikehendaki anggota/konstituen atau tidak. Semua keputusan Parpol tunduk pada perintah Ketua Umum.

Teori oligarki ini menunjukkan kiprah Parpol anti demokrasi karena kedaulatan berada pada elite, bukan massa anggota/konstituen. Kecenderungan oligarki Parpol ini bisa jadi karena antara lain pemilih masih belum sepenuhnya rasional. Dalam menentukan pilihan, pemilih tidak mempertanyakan apakah Parpol telah berusaha menepati janji atau program dikampanyekan dalam Pemilu atau tidak. Pemilih masih melihat figur/tokoh Parpol, bukan konsistensi ideologis Parpol tersebut. Realitas obyektif ini kemudian dianggap membuat Parpol nekat untuk menjauh dari preferensi dan kepentingan pemilih/konstituen. Elite Parpol yakin, pada Pemilu mendatang, pemilih masih tetap memilih mereka.

Keyakinan semacam ini semakin menguat tatkala proses Pemilu berlangsung, dapat dilakukan perolehan suara pemilih secara ilegal, yakni memberi uang atau politik uang baik langsung ke kalangan calon pemilih maupun petugas resmi pelaksanan Pemilu di tingkat Desa/Kelurahan atau Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan bahkan Pusat. Kecurangan dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan acapkali terjadi atas perbuatan elite parpol tanpa mendapatkan sanksi hukum melalui forum pengadilan. Kebanyakan kasus-kasus kecurangan dan pelanggaran terkait dengan perolehan suara diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), tidak berwenang memberikan sangsi pidana. Peran MK hanya menyelesaikan sengketa perolehan suara. Berdasarkan pengalaman persidangan perkara Pemilu 2009 di MK, pada umumnya perkara disidangkan menyangkut perhitungan suara di tingkat Kecamatan.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda