Jumat, 16 Juni 2017

ELEKTABILITAS PDIP KIAN MEROSOT DAN JOKOWI SANGAT MUNGKIN GAGAL:

NSEAS berkesimpulan bahwa Jokowi sangat mungkin gagal memenangkan pertarungan politik pada Pipres 2019 mendatang. Ada empat kelompok alasan mengapa Jokowi sangat mungkin gagal. Pertama, mesin parpol-parpol pendukung Jokowi seperti PDIP, Golkar, Hanura dan Nasdem tidak akan bekerja efektif dan mendulang suara pemilih maksimal. Kedua, Khusus umat Islam politik menilai, Rezim Jokowi anti umat Islam dan suka mengkriminalisasi aktivis dan Ulama Islam. Hal akan diperkuat lagi andai PPP dan PKB selaku parpol Islam tidak mendukung resmi Jokowi. Ketiga, bagi klas menengah atas perkotaan, Rezim Jokowi hingga menjelang tiga tahun berkuasa belum mampu dan berhasil menunjukkan prestasi sesuai janji kampanye dan rencana pembangunan national jangka menengah yang dibuat sendiri oleh Rezim Jokowi. Keempat, elektabilitas parpol pendukung utama PDIP kian merosot. Hal ini bisa dibuktikan dengan kegagalan mempertahankan sejumlah kekuasaan lokal/daerah melalui Pilkada belakangan ini, terutama Provinsi Banten dan DKI. Sebagaimana telah disajikan di atas, satu dari empat alasan Jokowi sangat mungkin gagal Pilpres 2019 mendatang yaitu menurunnya elektabilitas PDIP PDIP adalah pengusung dan pendukung utama Jokowi meraih jabatan Presiden. Meskipun Golkar secara resmi sudah mendukung Jokowi Pilpres 2019, namun tetap saja PDIP sebagai penentu. Disamping Jokowi kader, PDIP merupakan parpol besar dan pengusung pertama Jokowi Pilpres 2014 lalu. Perkiraan PDIP pendukung utama Jokowi tentu saja tidak ada kepastian. Mengingat politik di Indonesia ini cenderung unpredictable atau tak dapat diramalkan apa yang akan terjadi. Salah satu sebabnya yakni proses pengambilan keputusan sangat personal atau pribadi pemilik kekuasaan seperti Ketua atau Pembina Partai. Makna "elektabilitas" yaitu tingkat keterpilihan disesuaikan dengan kriteria pilihan. Elektabilitas parpol berarti tingkat keterpilihan parpol di publik. Elektabilitas parpol tinggi berarti parpol tersebut memiliki daya pilih tinggi. VIVA.co.id membeberkan, hasil survei Center Strategic International Studies (CSIS) menunjukkan, 13 September 2016, elektabilitas PDIP dan Golkar menyatakan dukungan ke Jokowi naik cukup signifikan. PDIP tahun lalu tingkat elektabilitas 32,0%, sekarang naik menjadi 34,6%. Begitu juga dengan Golkar, tahun lalu tingkat elektabilitas partai 11,4%, menjadi 14,1%,". Disimpulkan, bagi parpol mendukung Jokowi akan mengalami kenaikan elektabilitas. SMRC baru2 ini merilis hasil survei bertajuk 'Kondisi Politik Nasional Pasca-Pilgub DKI Jakarta. PDIP diprediksi memenangi Pemilu 2019 dengan elektabilitas 21,7 persen. Gerindra menempati urutan kedua dengan 9,3 persen lalu disusul oleh Golkar 9 persen. Angka elektabilitas PDIP versi SMRC (21,7 persen) jauh lebih rendah angka versi CSIS (34,6 persen). Boleh juga dimaknakan, terdapat penurunan elektabilitas PDIP Pasca Pilkada DKI. Lebih jauh SMRC menyimpulkan, tidak ada pengaruh Pilkada DKI terhadap elektabilitas PDIP. Padahal kita ketahui, Paslon dukungan PDIP kalah telak. Dalam menarik kesimpulan, kerangka berpikir SMRC ini tentu miskin metodologis, karena peristiwa politik Pilkada level suatu Provinsi dianggap berpengaruh terhadap elektabilitas PDIP level nasional. Seharusnya peristiwa2 level nasional dijadikan variabel bebas terhadap variabel bergantung elektabilitas PDIP. Seberapa besar dan banyak Pilkada tingkat nasional PDIP gagal menyebabkan turunnya elektabilitas PDIP. Harus ada kajian perbandingan kondisi elektabilitas PDIP sebelum dan sesudah beruntunnya kekalahan PDIP pd berbagai Pilkada secara nasional, termasuk kekalahan Pilkada DKI. Jika elektabilitas PDIP tetap tidak merosot, bagaimana menjelaskan PDIP mengalami sejumlah kekalahan, termasuk di Banten dan DKI ? Bagaimanapun, Tim Studi NSEAS percaya, belakangan ini sesungguhnya elektabilitas PDIP kian merosot. Hal ini bisa dibuktikan dengan kegagalan PDIP mempertahankan sejumlah kekuasaan lokal/daerah melalui Pilkada serentak 25 Februari 2017. PDIP alami kekalahan pahit dan bertubi-tubi pd Pilkada serentak dimaksud. Bahkan, ada isu di medsos, Megawati ingin mengundurkan diri dari PDIP pasca kekalahan tsb. Pd Pilkada serentak, terdapat 101 titik melakukan pilkada. Tak sedikit kader diusung PDIP beserta koalisi politik harus mengalami kekalahan pahit. Dari tujuh pemilihan gubernur (Pilgub) misalnya, ada tiga provinsi PDIP mengalami kekalahan, yakni Provinsi Bangka Belitung, Gorontalo, dan Banten. Tragis lagi, pd Pilkada DKI, Paslon Ahok-Djarot incumbent dukungan PDIP, harus terima kenyataan pahit kalah telak dan kehilangan kekuasaan di Pemprov DKI Jakarta. PDIP kehilangan kuasaan di dua Provinsi Strategis Banten dan DKI. Sementara itu, di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) suara PDIP juga mengalami penurunan tajam. Dari lima Kabupaten di DIY, hanya Kabupaten Kulonprogo saja masih menjadi basis terbesar PDIP. Sedangkan untuk daerah-daerah sebelumnya menjadi kantong suara PDIP seperti Gunung Kidul, Bantul dan Sleman justru mengalami kemerosotan suara. Berikut ini beberapa ke%gagalan PDIP dimaksud. Sebuah sumber menunjukkan peringkat parpol meraih kemenangan Pilkada serentak 2017. Sumber tsb menempatkan Golkar posisi teratas dalam peraihan kemenangan. Hal ini membuktikan, PDIP sebagai parpol penguasa tak mampu dan gagal menguasai peta perpolitikan Indonesia. Secara rinci urutan parpol meraih kemenangan sbb: 1. Golkar, 54 kemenangan; 2. Nasdem, 47; 3. Demokrat, 45; 4. PDIP, 45; 5. Gerindra 40; 6. PKB, 40; 7. PKS, 39; 8. PAN, 39; 9. Hanura, 35; 10. PPP, 26; 11. PBB, 11; dan, 12. PKPI , 3 kemenangan. Data diatas menunjukkan PDIP berada pada peringkat 4 atau sama dengan Demokrat, dan kalah sama bahkan Nasdem. Merosotnya elektabilitas PDIP dibuktikan dari kekalahan bertubi-tubi, bahkan kehilangan kekuasaan di Banten dan DKI, serta raihan hanya peringkat keempat. Namun, hipotesis ini tentu perlu dibuktikan lebih terinci melalui penelitian berdasarkan prinsip2 ilmiah. Bagaimanapun juga deskripsi peringkat peraih kemenangan Pilkada 2017 di atas sebagai kian merosot elektabilitas PDIP dapat menjadi salah satu faktor sangat mungkin Jokowi gagal Pilpres 2019 mendatang. Solusinya tentu terdapat pada manajemen dan kepemimpinan PDIP itu sendiri. Harus ada peningkatan elektabilitas di masa mendatang, terutama dua tahun ini sebelum Pilpres 2019 diselenggarakan. Selanjutnya, pada 27 Juni 2018 mendatang juga akan diselenggarakan Pilkada serentak. Akan ada 117 titik, terdiri dari 17 Provinsi, 39 Kota, serta 115 Kabupaten. Seberapa banyak titik Pilkada akan dimenangkan PDIP? Jawaban bisa lebih mungkin akan merosot lagi ketimbang Pilkada serentak 2017. Tetapi,data, fakta dan angka kekalahan dan kemenangan PDIP sebagai dasar penilaian elektabilitas PDIP masih menunggu Pilkada serentak 2018 dimaksud terlaksana. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (NSEAS: Network for South East Asian Studies) Edisi 19 Juni 2019. __________ Golkar Yakin Jokowi Menang 65%, PKB: Terlalu Pagi Ngomong Pilpres Audrey Santoso - detikNews  Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Foto: Grandyos Zafna) Jakarta - Partai Golkar memprediksi Joko Widodo (Jokowi) akan menang dalam Pilpres 2019 dengan suara lebih dari 65%. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menganggap prediksi itu terlalu dini. "Ya itu yang memang diharapkan, tetapi jangan tergesa-gesa ngomongin Pilpres lah. Nanti banyak penumpang gelap," ujar Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar kepada wartawan di Kota Tua Jakarta, Tamansari, Jakarta Barat, Sabtu (19/8/2017). Cak Imin, panggilan akrab Muhaimin berpendapat, Pemilu 2019 masih jauh. Jika dibicarakan saat ini, rawan penumpang gelap.  "Saya curiga, kalau ngomong presiden dan calon wakil presiden terlalu pagi, saya khawatir banyak penumpang gelap," kata Cak Imin. "Sejak awal, PKB mendukung Jokowi dan bukan penumpang gelap," sambungnya. Namun, Cak Imin belum menentukan apakah PKB akan mendukung Jokowi atau tidak. Dia tidak mau mengganggu kerja presiden dengan deklari calon presiden. "Belum waktunya (deklarasi dukungan), jangan ganggu konsentrasi presiden," ucap Cak Imin. Sebelumnya Sekjen Golkar Idrus Marham optimistis Jokowi memenangi Pilpres dengan perolehan suara di atas 65 persen. Selain itu, Golkar semakin mantap mengusung Jokowi dalam Pilpres 2019. (Baca juga: Golkar: Kemenangan Jokowi pada Pilpres di Atas 65 Persen) "Jokowi untuk maju dalam pilpres harus ada nilai tambahnya, Golkar masuk ada nilai tambahnya. Apa nilai tambahnya? Bahwa Jokowi pada Pemilu 2019 kemenangan Jokowi di atas 65 persen. Itu komitmen Partai Golkar. Maka dari itu, kita harus konsisten, kita harus fokus," ujar Sekjen Golkar Idrus Marham di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (18/8). (aud/dkp) SETELAH DIDUKUNG, JUSTRU ELEKTABILITAS JOKOWI MENURUN DRASTIS Golkar mempromosikan akan membuat elektabilitas Jokowi 65 %. Promosi ini secara tak langsung meyakinkan Rezim Jokowi bahwa kontribusi Golkar adalah membuat elektabilitas Jokowi 65 %. Sebagai jualan terhadap Jokowi yg sdg berkuasa, wajar saja meski fiksi. Yang terjadi malah sebaliknya. Sebelum Golkar dukung Jokowi Capres Pilpres 2019, elektabilitas Jokowi di atas 50 %. Tetapi, setelah didukung Golkar, bahkan tambah Hanura, Nasdem dan PPP, angka elektabilitas justru menurun drastis, jauh di bawah 50%. Hasil survei Litbang Kompas pada April 2017 elektabilitas Jokowi hanya 41,6%. Sedangkan, menurut survei SMRC, elektabilitas Jokowi pada Juni 2017 adalah 34%. Padahal kalau mau menang, sebagai Capres Petahana pada Pilpres 2019, Jokowi harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Lalu, angka 65 % diklaim Golkar rasional tapi masih fiksi. Bisa disimpulkan sementara, justru dukungan Golkar membuat merosotnya elektabilitas Jokowi. Mengapa? Sila jawab sendiri !😀🙏 MEH/NSEAS

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda