Minggu, 28 Mei 2017

Kinerja Jokowi versi lembaga survey

  News Nasional Survei 'Kompas': Elektabilitas Jokowi 41,6 Persen, Prabowo 22,1 persen Senin, 29 Mei 2017 | 14:43 WIB  JAKARTA, KOMPAS.com - Elektabilitas Presiden Joko Widodo masih relatif jauh di atas tokoh lain jika pemilu presiden digelar saat ini. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto berada di posisi kedua. Hal itu terlihat dari survei terakhir Harian Kompas yang dipublikasikan pada Senin (29/5/2017). Survei April 2017 menunjukkan 41,6 persen responden menyatakan, jika pemilu dilakukan saat ini, akan memilih Jokowi. Adapun Prabowo dipilih 22,1 persen responden. Seperti dikutip Kompas, geliat stabilitas politik, keamanan, penegakan hukum, dan kesejahteraan dalam enam bulan terakhir jadi pertimbangan signifikan warga untuk mengidolakan pemimpin yang dianggap mampu mengatasi persoalan.   Sebagai rujukan, sosok merepresentasikan prestasi kerja dan ketegasan jadi makin diminati.  Dari beragam nama, sosok Presiden Joko Widodo belum tergoyahkan, dan masih jadi referensi terbesar. Namun, saat sama, sosok Prabowo Subianto pun diminati. Hingga kini, keduanya semakin populer di mata publik, dan kian jauh meninggalkan popularitas sosok-sosok lainnya. Praktis, hasil survei berkala yang dilakukan Litbang Kompas sejak Januari 2015 hingga April 2017 menunjukkan masih kuatnya dominasi keterpilihan kedua sosok itu dalam benak publik. Tampilnya kedua sosok itu tak lepas dari ketatnya pola kontestasi politik yang dihadapi keduanya saat Pemilu Presiden 2014. Selepas hasil pemilu diumumkan, yang mengukuhkan Jokowi sebagai presiden dengan dukungan suara 53,2 persen (berselisih 6,3 persen suara pemilih), arus dukungan publik terhadap sosok Jokowi ataupun Prabowo tetap berlanjut. Dalam waktu dua tahun terakhir, peta keterpilihan keduanya semakin dinamis. Berbagai hasil survei opini publik menunjukkan dinamika popularitas keduanya. Survei pada Januari 2015, misalnya, keduanya mampu menguasai hingga 56 persen dari total pilihan masyarakat. Pada saat itu, Jokowi tergolong dominan, dipilih sekitar 42,5 persen responden dan Prabowo 13,7 persen. Sisanya merujuk nama-nama lain di luar Jokowi dan Prabowo atau kelompok responden yang belum punya sosok yang diidolakan sebagai pemimpin nasional. Seiring berjalannya waktu, pola keterpilihan kedua sosok itu jadi makin kompetitif. Belakangan, baik Jokowi maupun Prabowo mampu menciptakan tren peningkatan dukungan. Sebaliknya, dominasi kedua tokoh itu berimplikasi pada semakin sedikitnya ruang keterpilihan bagi tampilnya sosok lain. Sebagai gambaran, survei April 2017 menunjukkan 41,6 persen responden menyatakan, jika pemilu dilakukan saat ini, akan memilih Jokowi. Proporsi tersebut naik sekitar 4 persen dari Oktober 2016. Sisi lain, Prabowo dipilih 22,1 persen responden, meningkat hingga 5 persen dibandingkan survei periode sebelumnya. Jika digabungkan, keduanya mampu menguasai 63,7 persen, atau hampir dua pertiga dari total responden. Proporsi itu tampak semakin membesar dari waktu ke waktu dan pada sisi lain justru meredupkan alternatif pilihan publik pada sosok lain. Mereka yang memilih sosok-sosok lain di luar Jokowi dan Prabowo pada survei terakhir meraih 12,4 persen. Di antaranya, yang jadi rujukan publik, sosok pemimpin level daerah seperti Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, gubernur DKI terpilih Anies Baswedan, dan sosok lainnya berlatar belakang politisi, militer, menteri, masih jadi pilihan. 28/5 11.13] NEWS / INDONESIA 9 Juni 2017 ByRosa Folia Meski Ahok Kalah, Elektabilitas Jokowi Masih Tinggi Pilkada DKI Jakarta tak berpengaruh terhadap peta politik nasional. Rosa Panggabean/ANTARA FOTO Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) merilis temuan terbaru mereka terkait elektabilitas para tokoh yang diprediksi akan bertarung dalam Pemilihan Presiden 2019. Dari temuan itu, diketahui bahwa elektabilitas Presiden Joko Widodo masih berada di posis teratas. Dalam survei yang dilaksanakan pada 14-20 Mei 2017 ini juga terungkap bahwa hasil Pilkada Jakarta yang dimenangi oleh pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno tak berpengaruh pada peta politik nasional. Hasil tersebut juga seolah menjadi bantahan terhadap beberapa prediksi pengamat. Beberapa pakar memang menyatakan bahwa pemenang Pilkada akan memuluskan jalan calon Presiden dari kubu mereka. Jokowi mengungguli Prabowo. Ari Bowo Sucipto/ANTARA FOTO Pada Kamis (8/6),Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan menjelaskan bahwa dari 1.350 responden, 34,1 persen memilih Jokowi. Sementara itu, 17,2 persen mendukung Prabowo yang menjadi rival Jokowi di pilpres 2014. Djayadi menyebut perbedaan elektabilitas keduanya mirip dengan perbedaan elektabilitas SBY dan Megawati pada 2007. Ketika itu, dua tahun menjelang Pilpres 2009, perbedaan elektabilitas keduanya sebesar 16 persen. Jika Jokowi dan Prabowo saling dihadapkan, perbedaan dukungan keduanya juga terpaut cukup jauh, yakni 16,5 persen. Elektabilitas Jokowi sebesar 53,7 persen, sedangkan Prabowo sebesar 37,2 persen. Responden yang tidak menjawab ada 9,1 persen  Tahun Ketiga Jokowi, Antara Prestasi dan Kegagalan 12 Jan 2017 | 08:23 WIB 697 Nasional  (Foto : Ist) JAKARTA (netralitas.com) - Meskipun telah berhasil menunjukan kinerja yang baik pada beberapa bidang, mulai dari infrastruktur, tax amnesty, hingga kebijakan satu harga BBM diseluruh negeri, namun Pemerintahan Jokowi-JK masih menyimpan bom waktu. "Berdasakan kajian analisis yang dilakukan Riset Indonesia, berbagai langkah dan kebijakan pemerintahan Jokowi-JK tidak hanya bernilai positif, tapi masih ada nilai negatif yang menjadi PR pemerintahan ke depan," kata Toto Sugiarto, Direktur Eksekutif Riset Indonesia kepada netralitas.com melalui surat elektronik, Rabu (11/01). Kajian Riset Indonesia mencatat berbagai nilai positif (prestasi) yang mengemuka di berbagai media. Publik mencatat bahwa upaya Jokowi menggenjot proyek infrastruktur dan upaya menghilangkan ketimpangan merupakan prestasi tertinggi dalam jumlah pemberitaan, masing-masing sebesar 20%. Upaya menghilangkan ketimpangan, antara lain tergambar pada kebijakan pembangunannya yang tidak Jawa Centris, menggenjot pembangunan di perbatasan, dan memperlakukan Papua sebagai anak kandung Republik alias tidak menganak-tirikan. Ini terlihat dari seriusnya pembangunan yang dilakukan di sana. Nilai positif lain yang muncul di ruang publik adalah keberhasilan tax amnesty (15%) dan kerja nyata (10%). Selain itu, masih terdapat tujuh nilai positif lainnya yang masing-masing sebesar 5%, yaitu, pelayanan kesehatan terjangkau, berhasil menjaga keamanan, kebijakan ekonomi yang mempermudah investor, santun, tegas, kesederhanaan Jokowi, dan kedekatan Jokowi dengan rakyat. Nilai Negatif Namun demikian, kajian Riset Indonesia juga mencatat nilai negatif yang muncul dalam pemberitaan di berbagai media massa. Mayoritas nilai negatif yang mengemuka adalah kurang berhasilnya Jokowi meningkatkan kesejahteraan rakyat (57,14%). Pada berbagai pemberitaan itu, Jokowi dinilai kurang berhasil menyediakan lapangan kerja, menekan pengangguran, dan mengurangi kemiskinan. Selain itu, terdapat rakyat yang mengatakan bahwa hidup di era Jokowi terasa makin susah. “Kegagalan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat tergambar pada jumlah penduduk rentan miskin yang mencapai lebih dari 50%. Mayoritas rakyat Indonesia rentan miskin”. Nilai negatif lain adalah penegakan hak asasi manusia (HAM) yang dinilai masih minim (14,29 %). "Selain itu, terdapat nilai negatif yang masing-masing sebesar 7,14%, yaitu kebijakan ekonomi masih pro-kepentingan asing, keraguan terhadap kemampuan Jokowi dalam meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi, keraguan terhadap kemampuan Jokowi dalam meningkatkan iklim investasi, dan Konsep Nawa Cita yang dinilai masih belum 'membumi'," pungkas Toto. Hasil analisis isi itu bersumber dari cakupan berita antara 20 Oktober 2014-22 Oktober 2016 pada beberapa media yang menjadi sampelnya  Politik Kamis, 23/03/2017 13:47 Survei: Pemerintahan Jokowi-JK Dianggap Pemimpin Boneka Reporter: Anugerah Perkasa , CNN Indonesia Sebarkan:  Jakarta, CNN Indonesia -- Survei Indo Barometer menunjukkan indikator kegagalan tertinggi dalam pemerintahan Jokowi-JK dalam 2,5 tahun terakhir adalah anggapan dikendalikan oleh pihak lain dan dinilai sebagai pemimpin boneka. Hal itu dipaparkan dalam survei yang diluncurkan pada Rabu (22/3). Survei itu menunjukkan terdapat 20 indikator kegagalan selama Jokowi-JK memimpin dalam 2, 5 tahun terakhir. Satu hal tertinggi adalah anggapan publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK yang dianggap sebagai pemimpin boneka yakni mencapai 13,1 persen. “Persepsi publik terhadap kegagalan pemerintahan Jokowi-JK di antaranya…dikendalikan pihak lain, pemimpin boneka 13,1 persen, terlalu pro-China 6,2 persen,” demikian hasil survei tersebut yang dikutip CNNIndonesia.com, Kamis (23/3). Pilihan Redaksi POLLING CNN SOAL KASUS E-KTP: PUBLIK TAK LAGI PERCAYA DPR BERKACA KORUPSI HAMBALANG, E-KTP AKAN TURUNKAN ELEKTABILITAS SURVEI: KANTOR KEPRESIDENEN LEBIH DIPERCAYA DIBANDINGKAN KPK Survei dilakukan di 34 provinsi dengan jumlah responden mencapai 1.200 orang dengan metode multistage random sampling untuk menghasilkan responden yang mewakili seluruh populasi publik dewasa. Pengumpulan data digunakan dengan wawancara tatap muka secara langsung dengan kuisoner. Survei itu memiliki margin of error sebesar 3,0 persen pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Sepuluh indikator kegagalan lainnya adalah harga kebutuhan pokok belum stabil (11,7 persen); pelayanan kesehatan buruk (7,9 persen); perekonomian rakyat (6,4 persen); terlalu pro China (6,2 persen); stabilitas politik (5,4 persen); keterbatasan lapangan pekerjaan (5,4 persen); penegakan hukum tak netral (5,3 persen); kasus SARA (5,1 persen), kualitas pendidikan (4,3 persen); dan pemberian KIP belum merata (4,3 persen). Keberhasilan Lebih Tinggi Walaupun demikian, persepsi publik tentang indikator keberhasilan pemerintahan Jokowi memiliki persentase lebih tinggi yakni 17,6 persen untuk indikator program pembangunan yang meningkat. Sedangkan indikator lainnya di antaranya adalah pelayanan pendidikan lebih baik (10,1 persen); Kartu Indonesia Sehat (7,0 persen); infrastruktur jalan lebih baik (6,9 persen); kestabilan harga di kawasan terpencil (6,8 persen); kebijakan tol laut (6,6 persen) dan pemberantasan korupsi (5,8 persen). Di sisi lain, lembaga survei itu juga menyatakan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo selama dua setengah tahun menjabat sebesar 66,4 persen. Tingginya tingkat kepuasan tersebut berdampak pada peluang Jokowi terpilih kembali dalam Pemilihan Presiden tahun 2019. Lihat juga: Noktah Hitam Proyek Mega Jokowi Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari mengatakan, tingginya tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi disebabkan oleh tertampungnya sejumlah aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat. Aspirasi itu, kata dia, dinilai oleh responden direalisasikan oleh Jokowi. “Tingkat kepuasan publik atas kinerja Jokowi sebesar 66,4 persen, tidak puas 32 persen, dan tidak tahu sebesar 1,6 persen,” ujar Qodari dalam keterangan pers. Pemerintahan Jokowi-JK mengatakan angka kemiskinan terus menurun dalam dua tahun terakhir. (CNN Indonesia/Anugerah Perkasa) Kantor Sekretariat Presiden dalam situsnya menjelaskan keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam 2 tahun terakhir. Di antaranya adalah jumlah penduduk miskin yang mengalami penurunan menjadi 28,01 juta penduduk pada Maret 2016 dari sebelumnya 28,51 juta penduduk. “Ketimpangan antara kaya dan miskin terus mengalami penurunan yang terlihat dari indeks rasio Gini,” demikian laporan resmi pemerintah. Penurunan rasio itu adalah 0,39 pada Maret 2016 dari sebelumnya 0,40 pada Maret 2015. Pemerintah Jokowi-JK juga mengatakan angka pengangguran pun terus mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir Raka Salampessy /rakkasalampessy IKUTI PILIHAN Perjudian Terakhir Jokowi 24 Juni 2017 05:16:45 Ada seorang menteri di Indonesia yang pandai mengemas pencitraan untuk memanipulasi kualitas sebenarnya dari dirinya. Bahkan kadang kepandaian itu digunakannya untuk memanipulasi atasannya. Bentuknya adalah penghargaan "sebagai menteri terbaik di kawasan anu", "sebagai presiden terbaik di kawasan itu", dan sebagainya, yang diberikan oleh media atau lembaga dari negara Barat. Contoh semisal: bagaimana Presiden Jokowi pada 1 Januari 2017 mendadak diberikan penghargaan sebagai  "Pemimpin Pemerintahan Terbaik dari 8 Negara di Asia-Australia 2016" oleh majalah Bloomberg. Penghargaan tersebut diberikan hanya dengan tiga ukuran: pertumbuhan GNP, keterpilihan (public approval), dan kurs. Pertanyaan pertama untuk menggugat penghargaan Bloomberg tersebut, adalah kenapa hanya delapan (8) negara yang diukur. Padahal dari seluruh negara di Asia, growth Indonesia (5,04%) berada di posisi ke-14. Di antara 8 negara yang dirating Bloomberg tersebut, Filipina dan China growth-nya juga masih lebih tinggi dari Indonesia. Terlebih, beberapa bulan setelah penghargaan, ditemukan fakta growth Indonesia malah turun (-) 0,34% pada kuartal I 2017 alias ekonomi melambat. Untuk masalah keterpilihan, saat dilangsungkan penilaian oleh Bloomberg, nilai Jokowi (69%) sebenarnya juga masih di bawah Duterte (83%). Dan kini setelah 6 bulan berselang, keterpilihan Jokowi malah sudah anjlok di bawah 40%. Terpuruknya keterpilihan Jokowi selain karena berlarut-larutnya kasus Ahok, juga disebabkan oleh melambatnya perekonomian riil masyarakat. Sedangkan untuk masalah kestabilan kurs, jelas terdapat perbedaan visi antara Bloomberg dengan negara-negara seperti China dan Filipina. Kita tahu, setelah dicontohkan oleh Jepang di 1970-1980-an yang sukses menciptakan growth tinggi dengan jalan pelemahan kurs, banyak negara berkembang yang mencoba taktik ekonomi tersebut kini dan sukses. Taktik tersebut jelas tidak disukai oleh negara-negara Barat. Artinya bila hendak berikan penilaian lebih objektif, seharusnya Duterte dari Filipina yang terpilih sebagai yang terbaik dari 8 negara pilihan Bloomberg tersebut. Lalu, kenapa bisa Jokowi yang terpilih? Seolah semua ini memberi pesan, bahwa dengan jalan pemerintahan seperti ini, Jokowi akan terus menjadi yang terbaik di mata media Barat. Sehingga nalarnya: bersama menteri yang ini, Jokowi akan terus menjadi yang terbaik di mata media Barat. Meskipun belum tentu yang terbaik bagi rakyat di negaranya,. Ini salah satu contoh upaya pencitraan yang dilakukan si menteri untuk atasannya. Untuknya sendiri sudah banyak penghargaan dari media Barat yang diterimanya sebagai menteri keuangan terbaik di Asia. Padahal yang dilakukannya, sehingga diberi penghargaan, adalah pengetatan anggaran dan memasang bunga super tinggi untuk obligasi pemerintah Indonesia. Dua kebijakan yang akan selalu menyenangkan investor pasar uang namun di sisi lain menyengsarakan rakyat.  Ya, sosok menteri yang mencoba memanipulasi Presiden Jokowi tersebut adalah Sri Mulyani. Dirinya yang sebenarnya adalah ekonom beraliran neoliberal, pencitraan hanya jalannya untuk memenangkan dominasi aliran ekonominya dalam kebijakan pemerintahan Jokowi. Dalam gembar-gembor reshuffle kabinet yang mendatang, kabarnya Sri Mulyani sedang dipertimbangkan untuk menggantikan Darmin Nasution sebagai Menko Perekonomian. Padahal kita tahu, pada saat ekonomi sedang booming saja Sri Mulyani tidak mampu menghasilkan terobosan apapun, apalagi pada era ekonomi sedang slow down seperti saat ini. Dengan keberadaan Sri Mulyani di kabinet, dengan posisi yang lebih powerfull seperti Menko Perekonomian, maka rel kebijakan pemerintahan Jokowi akan terus berada di garis neoliberal: pertumbuhan ekonomi konservatif, utang pemerintah terus menggunung, dengan ketimpangan sosial yang semakin buruk. Di bawah kendali neoliberalisme, kebijakan akan menjauh dari Trisakti dan Nawacita, tidak ada lagi keberpihakan terhadap rakyat. Sehingga dalam sisa kepemimpinannya, Jokowi akan dinilai rakyat Indonesia sebagai pemimpin yang terus menjauhi mereka. Dengan memasang Sri Mulyani sebagai Menko Perekonomian dalam reshuffle kabinet, ini akan menjadi perjudian terakhir sang Presiden.*** Selengkapnya : http://m.kompasiana.com/rakkasalampessy/perjudian-terakhir-jokowi_594df5bdc22a1e07bb3b54c3 4 Pertanda Jokowi Tumbang di Pilpres 2019 Salah besar jika mengatakan terlalu dini untuk memperkirakan tumbangnya Jokowi pada Pilpres 2019. Sebab, gelagat dari kekalahan bakal capres petahana itu sudah terbaca dengan begitu jelas. Jika melihat ke tahun 2012. Saat itu nama Jokowi belum diucapkan oleh opinion leader yang menjadi narasumber LSI pada survei bertemalan mencari capres alternatif. Nama Jokowi baru meramaikan sejumlah rilis survei sejak April 2013. Saat itu pun elektabilitas Jokowi masih di bawah Prabowo dan sejumlah tokoh lainnya. Merangkaknya tingkat elektabilitas Jokowi tersebut tidak lepas dari pengaruh efek Jokowi yang mulai terbentuk saat mantan Walikota Surakarta itu memasuki gelanggang Pilgub DKI 2012. Fenomena efek Jokowi semakin menguat saat berlangsung Pilkada di sejumlah daerah. Ketika itu, fenomena Jokowi mampu meroketkan tingkat elektabilitas sejumlah kader PDIP dalam berbagai pemilu guberbur. Jelang Pemilu 2014, fenomena efek Jokowi semakin menguat dan menggerus elektabilitas tokoh-tokoh lainnya. Ketika itu, hanya Prabowo yang masih mampu mengimbangi Jokowi. Sementara, tokoh-tokoh lainnya, seperti Surya Paloh. hanya menjadi penggembira dengan tingkat elektabilitas di bawah 10%. Dari fenomena yang terbentuk dalam Pilgub DKI 2012 itulah pencapresan Jokowi sudah bisa diperkirakan sejak November 2012. Demikian juga dengan kemenangannya pada Pilpres 2014. Sebaliknya, kekalahan Jokowi dalam Pilpres 2019 pun sudah bisa diperkirakan sejak saat ini. Ada beberapa faktor yang menguatkan perkiraan itu. Pertama, hilangnya efek Jokowi yang menjadi modal besar dalam memenangkan Pilpres 2014. Kedua, tingkat elekrabilitas Jokowi yang jauh di bawah 50%. Hasil survei Litbang Kompas pada April 2017 elektabilitas Jokowi hanya 41,6%. Sedangkan, menurut survei SMRC, elektabilitas Jokowi pada Juni 2017 adalah 34%. Dengan mekanisme 50% plus 1, sebagai capres petahana pada Pilpres 2019, Jokowi harus memiliki tingkat elektabilitas di atas 60%. Sebab, dalam berbagai pertaruangan pemilu yang ketat, raihan suara calon petahana berada di bawah tingkat elektabilitas hasil survei. Dalam Pilpres 2009, SBY-Boediono meraup 60,8% suara. Raihan ini jauh di bawah hasil survei yang menempatan SBY-Boediono sebagai pemenang pemilu dengan tingkat elektabilitas 71%. Demikian juga dengan Pilgub DKI 2017. Ahok-Djarot yang menurut sejumlah rilis survei mengantongi tingkat elektabilitas hingga 56% hanya mampu meraih 42,99% suara dalam putaran pertama dan 42,04% suara pada putaran kedua. Tren elektabilitas Jokowi ini kemungkinan besar akan menurun dan menjauhi zona aman (60%). Dengan demikian, sulit bagi Jokowi untuk membalikkan keadaan dan memenang Pilpres 2019. Faktor ketiga adalah polarisasi antara pendukung dan anti-Jokowi. Polarisasi ini sudah terbentuk sejak Pilgub DKI 2012 memasuki putaran kedua. Kondisi ini semakin menguat pada Pilpres 2014 yang dilanjutkan pada Pilgub DKI 2017. Dalam Pilpres 2014, Jokowi kalau kuat dengan Prabowo dalam menarik dukungan dari undecided voter. Bahkan, Jokowi nyaris dikalahkan oleh Prabowo meski memiliki tingkat elektabilitas nyaris dua kali dari yang dimiliki oleh pesaingnya.. Sementara, dalam Pilgub DKI 2017, suara yang diperoleh Ahok-Djarot pada putaran kedua nyaris sama dengan suara yang diraupnya pada putaran pertama. Hal ini kuatnya polarisasi yang terbentuk pada Pilgub DKI Jakarta begitu kuat sehingga kubu Jokowi gagal menarik suara dari swing voter.. Ada fenomena menarik yang terjadi di Jawa Barat. Di provinsi yang disebut sebagai penyangga ibu kota itu, Ridwan Kamil yang pada mulanya memuncaki klasemen dengan begitu kokoh nyaris tak tergoyangkan saat ini mulai kelimpungan. Banyak yang mengaitkan goyahnya Ridwan sebagai akibat dari deklarasi pencagubannya oleh Nasdem yang dikenal sebagai parpol pendukung Jokowi-Ahok. Apalagi deklarasi tersebut digelar di saat Pilgub DKI tengah memanas. Keempat, Pilkada Serentak 2018. Sekalipun dalam pilkada pengkubuan parpol sangat cair, namun serangan yang ditujukan kearah calon dukungan PDIP akan berimbas pada meningkatnya sentimen negatif pada Jokowi. Tetapi, faktor keempat ini pun akan berdampak pada Prabowo dan bakal capres lainya yang terlibat dalam dalam kampanye Pilkada Serentak 2018. Pidato Victor Laiskodat di dapil-nya menjadi contohnya. Dari kasus Victor dan Ridwan, semakin menegaskan jika polarisasi kedua kubu akan kembali menguat dalam Pilpres 2019. Dan, berkaca dari dua pemilu sebelumnya, polarisasi sangat tidak menguntungkan kubu Jokowi. Dari keempat faktor di atas, sudah bisa diperkirakan jika pada Pilpres 2019 nanti Jokowi akan tumbang. HAYOOO..... kita rapatka barisan satukan perjuangan kita demi TEGAKKNYA KEDAULATAN BANGSA INI agar rakyat bisa merasakan hakikat KEMERDEKAAN yg sebenarnya bukan KEMERDEKAAN YANG FATAMORGANA mari sisingkat lengan kita lawan pasukan pemecah belah bangsa ini lawan mainstrem yg selalu merasa telah membangun bangsa ini yg seyokyanya hanya merampok dan memeras rakyat yg tak berdaya MARI kita tunjukkan bahwa kita bgsa yg satu bangsa yg cerdas bangsa yg tau mana yang haq dan mana yg batil SALAM KOMANDO SATU TUJUAN KENANGAN PAK PRABOWO DIPILPRES 2019 Survei CSIS: Elektabilitas Jokowi 50,9%, Prabowo 25,8% Survei CSIS: Elektabilitas Jokowi 50,9%, Prabowo 25,8% Selasa 12 September 2017 - 13:22 Selain mengukur tingkat kepuasan publik, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga merilis survei tentang tingkat elektabilitas bakal calon presiden. Hasilnya, Joko Widodo masih unggul dibandingkan mantan rivalnya, Prabowo Subianto. "Jokowi mengalami kenaikan signifikan dari tahun ke tahun. Kenaikan fantastis dari tahun 2016 ke 2017 dari angka 41,9% ke 50,9%. Sementara Prabowo tak ada kenaikan berarti dari 28% turun ke 24,3% dan 25,8%," ucap Peneliti CSIS, Arya Fernandes dalam paparan di Kantor CSIS, Jakarta Pusat, Selasa (12/9). Data itu diperoleh dari survei tanggal 23-30 Agustus 2017 melalui wawancara terhadap 1.000 responden di 34 provinsi. Sample dipilih secara multistage random sampling. Margin of eror +/- 3,1% pada tingkat kepercayaan 95%. Dalam survei itu, CSIS memasukkan nama mantan Gubernur DKI yang kini terpidana, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan angka 1,3 persen alias trennya menurun. Berikut datanya secara rinci: Selain itu, survei juga mengukur tingkat elektabilitas partai politik. Hasilnya PDIP terus menaik di angka terakhir 35,1%, disusul Gerindra 14,2 persen, Golkar 10,9% dan setersusnya termasuk parpol non-parlemen. "Penurunan mencolok Golkar dari 14,1% turun ke 10,9%," ujarnya. Sementara untuk tingkat popularitas, Golkar dan PDIP paling populer dengan 95,2% dan 94,3 persen. Sementara partai baru, Perindo paling populer dengan 70,7 persen. http://www.portal-islam.id/2017/10/survei-median-794-masyarakat-indonesia.html?m=1 Lembaga Media Survei Nasional (Median) merilis hasil survei terbaru tentang tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah dan elektabilitas capres menjelang Pemilu 2019. Direktur Eksekutif Median Rico Marbun menyebutkan dari hasil survei yang dilakukan pada 14-22 September 2017 tersebut tercatat 79,4 persen masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi. “Dengan survey yang dilakukan terhadap 1.000 responden dari 34 provinsi di Indonesia, 79,4 persen menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi saat ini,” kata Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun saat menyampaikan rilis hasil survei di Rumah Makan Bumbu Desa Cikini, Jakarta Pusat, Senin (2/10/2017). Rico menjelaskan, kegagalan pemerintah Jokowi yang membuat masyarakat tak puas di antaranya. Kondisi ekonomi, lapangan pekerjaan, kebutuhan pokok, korupsi dan masalah hukum yang tebang pilih. “Saat ini publik merasa pemerintahan Joko Widodo masih punya kekurangan yang jumlahnya lebih banyak dibanding keberhasilannya,” ujarnya. *Survei Median: Elektabilitas Jokowi 36,2 Persen, Prabowo 23,2 Persen* Berikut ini hasil elektabilitas capres versi survei Median: 1. Jokowi 36,2% 2. Prabowo 23,2% 3. SBY 8,4% 4. Anies Baswedan 4,4% 5. Gatot Nurmantyo 2,8% 6. JK 2,6% 7. Hary Tanoesoedibjo 1,5% 8. Aburizal Bakrie (Ical) 1,3% 9. Ridwan Kamil 1,2% 10. Tri Rismaharini 1,0% 11. Tokoh lainnya 4,1% 12. Tidak tahu/tidak jawab 13,3% Selengkapnya: http://teropongsenayan.com/71931-survei-median-elektabilitas-jokowi-362-persen-prabowo-232-persen ============= Dapatkan update berita seputar dinamika politik di Indonesia via: - BBM Teropongsenayan 5A6E376C - Download Aplikasi Berita TeropongSenayan di: http://bit.ly/1TExPz9 - Group Whatsapp #9: https://chat.whatsapp.com/DLn5nEliW0RE8HLNDWKvP2 Survei: 40,6 % ingin Capres alternatif, 63,8 % ingin Jokowi diganti Presiden Jokowi berulang tahun. ©2017 Merdeka.com 781 SHARES POLITIK | 2 Oktober 2017 15:56 Reporter : Kadek Melda Merdeka.com - Media Survei Nasional (Median) menggelar survei elektabilitas capres jelang Pemilu 2019. Hasilnya, mayoritas responden menginginkan capres alternatif di luar Jokowi dan Prabowo Subianto. Median menyebutkan, elektabilitas Jokowi sebesar 36,2 persen. Sementara elektabilitas Prabowo sebesar 23,3 persen. Sisanya, 40,6 persen ingin capres di luar Jokowi dan Prabowo. "Ada 40,6 persen publik tidak ingin Prabowo dan tidak ingin Jokowi," kata Direktur Eksekutif Median Rico Marbun di Rumah Makan Bumbu Desa Cikini, Jakpus, Senin (2/10). READ MORE Kangen Nenek, Aku Ubah Wallpaper Dapur Nenek Jadi Dress Cantik! Ouch, Gara-Gara Salah Sabun Mandi, Miss V Wanita Ini 'Terbakar' 8 Pantai Tersembunyi di Bali yang Belum Kamu Ketahui hasil survei median terhadap capres di Pemilu 2019 2017 Merdeka.com/Kadek Melda Sementara itu, dari hasil survei Median ini, sebanyak 63,8 persen publik yang ingin pergantian pemerintahan pada Pemilu 2019 nanti. Sebab, hanya 36,2 persen yang memilih Jokowi lagi nantinya, menurut hasil survei ini. "Ada 63,8 persen publik yang menginginkan Presiden Jokowi diganti," kata Rico. Angka kedua kesimpulan survei Median di atas, diambil dari total elektabilitas 10 bakal calon presiden, termasuk di dalamnya nama Jokowi dan Prabowo, ditambah dengan responden yang memilih tokoh lainnya dan yang tidak menjawab atau tidak tahu. hasil survei median terhadap capres di Pemilu 2019 2017 Merdeka.com/Kadek Melda Survei digelar pada 14-22 September 2017 dengan sampel 1.000 responden di seluruh provinsi di Indonesia. Metode survei menggunakan multistage random sampling dengan margin of error +/- 3,1 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen. Quality control dilakukan terhadap 20 persen sampel yang ada. Berikut ini hasil elektabilitas capres versi survei Median: 1. Jokowi 36,2 persen 2. Prabowo 23,2 persen 3. SBY 8,4 persen 4. Anies Baswedan 4,4 persen 5. Gatot Nurmantyo 2,8 persen 6. JK 2,6 persen 7. Hary Tanoesoedibjo 1,5 persen 8. Aburizal Bakrie (Ical) 1,3 persen 9. Ridwan Kamil 1,2 persen 10. Tri Rismaharini 1,0 persen 11. Tokoh lainnya 4,1 persen 12. Tidak tahu/tidak jawab 13,3 persen Media Survei Nasional: Pemerintah Jokowi Anti Islam 2 Oct 2017 JAKARTA, (Panjimas.com) – Sebuah survei yang dilakukan Media Survei Nasional (Median) mencatat 33,3 persen pemerintah Jokowi dinilai anti Islam. Hal itu berdasarkan survei yang dilakukan Median pada 14-22 September 2017. “Ada sekitar 33,3 persen masyarakat Indonesia yang menganggap pemerintah Jokowi anti Islam dan ulama. Sedangkan 30 persen tak percaya. Sisanya tidak menjawab,” kata Direktur Eksekutif Median, Rico Marbun kepada Panjimas.com, Senin (02/10) di Bumbu Desa, Cikini, Jakpus. Rico menjelaskan, sekitar 25,2 persen masyarakat percaya Jokowi anti Islam karena menangkap banyak ulama. 14,2 persen karena telah mengeluarkan Perpu Ormas. “Sekitar 6,1 persen menilai pemerintah Jokowi karena telah menangkap banyak aktivis Islam,” jelasnya. Median menyatakan saat melakukan survei, ada 3 hal yang diuji. Diantaranya mood publik, tingkat kepuassan dan penilaian publik. Selain itu survei dilakukan untuk mengetahui suhu politik menjelang pilpres 2019. [TM] Home Berita Daerah Jawa Timur Internasional Kolom Wawancara Fokus Hoax Or Not Foto Most Popular Pro Kontra Suara Pembaca Opini Anda Infografis Video Indeks Home / detikNews / Berita Kamis 05 Oktober 2017, 16:45 WIB Survei Pilpres SMRC: Jokowi 38,9%, Prabowo Tinggal 12% Yulida Medistiara - detikNews Jokowi dan Prabowo (Ray Jordan/detikcom) Jakarta - Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menggelar hasil survei menjelang Pilpres 2019. Presiden Joko Widodo unggul telak dari Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Survei digelar pada 3-10 September 2017. Populasi survei adalah WNI yang sudah memiliki hak pilih. Sampel berjumlah 1.220 dan dipilih secara acak (multistage random sampling). Sedangkan margin of error survei sebesar +/- 3,1% pada tingkat kepercayaan 95%. Quality control dipilih secara acak sebesar 20% dari total sampel. Berdasarkan hasil top of mind, Jokowi meraih hasil 38,9%. Ia unggul jauh dari Prabowo, yang duduk di posisi ke-2, dengan persentase 12,0%. "Bila pemilihan presiden diadakan sekarang (waktu survei, awal September 2017), Jokowi mendapat dukungan terbanyak. Selanjutnya Prabowo Subianto. Dalam jawaban spontan, dukungan untuk Jokowi pada September 2017 ini sebesar 38,9%, dan Prabowo 12%. Nama-nama lain di bawah 2%," ujar Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan dalam jumpa pers di kantornya, Jl Cisadane, Jakpus, Kamis (5/10/2017). SMRC juga menggelar survei dengan metode semiterbuka. Hasilnya, Jokowi lagi-lagi unggul dengan perolehan 45,6% dan Prabowo di posisi ke-2 dengan 18,7%. "Dalam 3 tahun terakhir, bagaimanapun simulasinya, elektabilitas Jokowi cenderung naik dan belum ada penantang cukup berarti selain Prabowo. Prabowo pun cenderung tidak mengalami kemajuan," paparnya. Berikut ini hasil elektabilitas capres versi survei SMRC: 1. Jokowi 38,9% 2. Prabowo 12,0% 3. Susilo Bambang Yudhoyono 1,6% 4. Anies Baswedan 0,9% 5. Basuki Tjahaja Purnama 0,8% 6. Jusuf Kalla 0,8% 7. Hary Tanoe 0,6% 8. Surya Paloh 0,3% 9. Agus Yudhoyono 0,3% 10. Ridwan Kamil 0,3% 11. Gatot Nurmantyo 0,3% 12. Mahfud MD 0,3% 13. Tuan Guru Bajang 0,2% 14. Chairul Tanjung 0,2% 15. Sri Mulyani 0,1% 16. Patrialis Akbar 0,1% 17. Megawati Soekarnoputri 0,1% 18. Soekarno 0,1% 19. Tommy Soeharto 0,1% 20. Gus Dur 0,1% 21. Wiranto 0,1% 22. Risma 0,1% 23. Tidak jawab/rahasia 41,9% (dkp/van
News Nasional
10 Capres dengan Elektabilitas Tertinggi Menurut Survei PolMark
Minggu, 22 Oktober 2017 | 17:32 WIB







JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga PolMark Indonesia merilis hasil survei mengenai tokoh yang dipilih publik sebagai calon presiden pada saat ini.

1. Joko Widodo

Hasilnya, Joko Widodo tetap memeroleh elektabilitas tertinggi dibanding tokoh lainnya.

"Jika pilpres digelar hari ini, sebanyak 41,2 persen memilih Jokowi," ujar Direktur PolMark Indonesia Eep Saefullah dalam pemaparan survei itu di SCBD Jakarta, Minggu (22/10/2017).


2. Prabowo Subianto

Posisi kedua ditempati Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dengan pilihan sebanyak 21,0 persen responden.

3. Agus Harimurti Yudhoyono

Pada posisi ketiga ditempati Agus Harimurti Yudhoyono. Putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu dipilih sebanyak 2,9 persen responden.

4. Anies Baswedan

Kemudian, Anies Baswedan menempati urutan keempat dengan pilihan 2,2 persen responden.

5. Hary Tanoesoedibjo

Di bawah Anies ditempati Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo, dengan pilihan 2,0 persen responden.

Baca juga: Survei PolMark: 44,3 Persen Responden Ingin Jokowi Jabat Dua Periode

6. Gatot Nurmantyo

Posisi keenam ditempati oleh Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Gatot dipilih oleh 2,0 persen responden, atau setara dengan Hary Tanoesoedibjo.

7. Jusuf Kalla

Di peringkat ketujuh ada Jusuf Kalla. Kalla yang kini menjabat Wakil Presiden itu dipilih oleh 1,9 persen responden untuk menjadi presiden.

8. Megawati Soekarnoputri

Selanjutnya, sebanyak 1,1 persen responden memilih Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.

9. Rhoma Irama

Posisi kesembilan ditempati Ketua Umum Partai Idaman Rhoma Irama. Penyanyi yang dijuluki raja dangdut itu dipilih oleh 1,0 persen responden.

10. Mahfud MD

Terakhir, sebanyak 0,6 persen responden memilih mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, M Mahfud MD untuk menjadi presiden.

Baca juga: Elektabilitas 10 Parpol Versi PolMark Indonesia

Wawancara untuk survei itu dilakukan pada 9 - 20 September 2017. Mereka yang disurvei adalah warga negara Indonesia yang berdomisili di seluruh Indonesia, dan telah mempunyai hak pilih yakni berusia 17 tahun ke atas atau yang sudah menikah ketika dilakukan survei.

Sampel berasal dari seluruh Provinsi yang terdistribusi secara proporsional berdasarkan besaran jumlah pemilih.


Jumlah responden 2.250 orang dengan proporsi imbang (50:50) laki-laki dan perempuan. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error lebih kurang 2,1 persen. Selain itu, tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.


0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda