Sabtu, 23 Juli 2016

PEMPROV DKI GAGAL PECAHKAN MASALAH BANJIR DAN GENANGAN

Banjir lagi....banjir lagi....Pemprov DKI gagal lagi urus masalah banjir...baru hujan beberapa jam..banjir muncul lagi. Beragam alasan muncul, kini normalisasi Kali Ciliwung jadi kambing hitam. Banjir dan genangan air merupakan salah satu masalah utama, gagal dipecahkan Pemprov DKI Jakarta 2013-2017. Berdasarkan Perda No. 2/2012 tentang RPJMD Prov.DKI Jakarta 2013-2017, salah satu misi DKI adalah menjadikan Jakarta sebagai kota yang bebas dari masalah-masalah seperti macet, “banjir”, permukiman kumuh, sampah dll. Terkait masalah banjir, sasaran adalah tersedianya sistem tata air yang optimal dalam mendukung upaya pengendalian banjir, banjir rob dan dampak perubahan iklim lainnya. Capaian target banjir diharapkan, yakni target lokasi rawan banjir 62 lokasi awal (2002) menjadi 55 lokasi (2013), 50 lokasi (2014), 48 lokasi (2015), 45 lokasi (2016), dan 42 lokasi (2017). Sedangkan capaian target diharapkan titik genangan jalan arteri/kolektor dari 13 titik menjadi 0 titik pada 2017). Pengembangan instrument pengendalian pencemaran air; 2). Pengembangan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sistem drainase; 3). Konservasi sumberdaya air; dan, 4). Pengendalian banjir akibat air laut pasang. Arah kebijakan pembangunan berdasarkan pilihan strategi, pengembangan dan pengelolaan sistem tata air terpadu pada 2013, 2014, 2015, 2016 dan 2017. Kebijakan umum terkait banjir, yakni pengendalian banjir antara lain melalui Pengembangan Waduk Tangkapan Air di Hulu (Waduk Ciawi, Waduk Cimanggis), pembangunan tanggul-pengaman Rob. Program unggulan isu antisipasi banjir, rob dan genangan, mencakup: 1. Program pembangunan prasarana dan sarana pengendalian banjir. a. Pengembangunan situ, waduk dan embung. b. Penguatan tanggul. c. Pembuatan sumur resapan dan lubang biopori. d. Pembangunan terowongan bawah tanah multifungsi. 2. Program pengembangan sistem drainase a. Pengembangan sistem polder. b. Normalisasi sungai dan saluran. c. Pengerukan sungai dan saluran. Kondisi 2016 titik lokasi banjir harus tinggal 45 lokasi lagi. Namun fakta menunjukkan, masih melebihi 45 lokasi banjir. Capaian target diharapkan titik genangan air di jalan arteri/kolektor dari 13 titik menjadi 0 titik 2017 masih jauh dari kenyataan. Pada medio 2016 masih terdapat belasan titik genangan air. Masih sangat jauh dari capaian target diharapkan. Pada 2014 hujan deras mengguyur Jakarta. Akibatnya terjadi banjir di beberapa titik, termasuk kawasan Pademangan. Ahok sendiri bingung dengan kondisi banjir di kawasan perumahan dan sejumlah titik genangan di jalan. Ia berkilah, genangan terjadi karena hujan turun bertepatan dengan air laut pasang. Selain itu, karena belum siapnya tanggul setinggi 3,8 Meter di pantai utara Jakarta, dan pengelolaan sistem pompa belum berjalan masimal. Ahok heran, warga tinggal di sepanjang aliran sungai masih terdampak banjir. Sebaliknya, Ia justru mengakui, beberapa tempat di Jakarta Selatan dan Timur pasti tenggelam karena tinggal di daerah aliran sungai. Bahkan, Ahok juga berkilah, fenomena La Nina terjadi di permukaan bumi, turut mempengaruhi banjir di Jakarta. Bagaimana kondisi 2015? Masih juga terjadi banjir. April 2015 banjir cukup merata di sejumlah Ibukota. Jakarta Utara, Timur, dan Selatan merupakan wilayah paling parah terkena dampak banjir. Kampung Pulo dan Bukit Duri masih terendam banjir. Rancangan sodetan 1,2 Km hingga Kanal Banjir Timur (KBT) masih belum terealisir. Ibukota masih terancam mengalami banjir. Ahok bahkan sesumbar pd Desember 2015, walau hujan 3 hari, DKI tidak akan banjir kecuali pompa air tidak berfungsi. Tetapi, apa kenyataannya? Pada 2016 ini sesumbar Ahok itu terbantahkan, masih terjadi banjir bahkan terbesar sejak 2007. Pada 2016 titik lokasi banjir harus tinggal 45 titik lokasi lagi. Namun, banjir jalan terus masih melebihi 45 titik lokasi. Pada 20- 21 April 2016 Jakarta dan sekitarnya kembali kebanjiran cukup merata mengikuti turunnya hujan deras . Banjir ini termasuk paling dahsyat dan terbesar sejak 2007 karena terdapat lokasi banjir kedalaman air hingga 5 Meter. Banjir mencapai kedalaman air antara 20 hingga 100 Cm di Pademangan, Jakarta Utara. Bahkan, ketika banjir terjadi di Cawang Maret sebelumnya, kedalaman air mencapai 20 Cm hingga 1,5 M. Di Kampung Makasar tergolong parah, sehingga harus dikerahkan perahu karet. Banjir mencapai ketinggian dada orang dewasa. Rumah-rumah kebanjiran, dan kegiatan sekitar wilayah itu lumpuh. Juni 2016 banjir juga meredam sejumlah wilayah di Jakarta Pusat. Bahkan, di depan Istana Negara, Merdeka Barat, tergenang air sedalam lutut orang dewasa. Akibatnya, arus lalu lintas di depan Istana Negara menjadi macet. Selain itu, banjir juga meredam sejumlah wilayah di Jakarta Pusat seperti di Jalan Hasyim Ashari, Jalan Mereka Timur, Jalan Batu Tulis Raya Pecenongan, dan wilayah Sawah Besar. Di Jakarta Selatan banjir terjadi di depan Gandarya City. Kemudian, di Jakarta Utara banjir terjadi di Jalan Gaya Motor Barat, Sunter. Banjir juga terjadi di depan Universitas Tarumanegara Jalan S. Parman Grogol Jakarta Barat. Juli 2016 hujan deras mengguyur Jakarta membuat sejumlah ruas jalan tergenang air. Ketinggian air menggenangi sejumlah ruas jalan mulai dari 20 Cm hingga 1 meter. Sejumlah kendaraan terjebak kemacetan akibat genangan air di Jl. Gatot Subroto depan Balai Kartini. Di kawasan Kuningan, genangan air terjadi di Jalan HR Rasuna Said depan Plaza Kuningan, selepas flyover Kuningan aras Pancoran dengan ketinggian air 25-30 Cm. Ruas jalan Pangeran Antasari dekat Pasar Cipete pun tak luput dari genangan air dengan ketinggian 20 Cm. Begitu pula Jalan Wijaya, Jakarta Selatan dengan ketinggian air 20 Cm. Genangan air terparah berada di Pasar Kambing, Jalan Kemang Utara, Jakarta Selatan dengan ketinggian air mencapai 1 Meter. Selanjutnya, 27 Agustus 2016 hujan mengguyur hampir seluruh wilayah Jakarta sejak siang hingga sore (hanya beberapa) menyebabkan banjir di sejumlah tempat. Pantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) ,banjir terkonsentrasi di wilayah Jakarta Selatan dan Jakarta Timur karena hujan berintensitas tinggi turun di wilayah ini, BPBD DKI Jakarta menyebutkan, terdapat 39 RW di 15 kelurahan 8 kecamatan di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur terendam banjir. Sebanyak 10.538 KK atau 31.622 jiwa terdampak langsung oleh banjir. Tidak ada pengungsian akibat banjir. Untuk wilayah Jakarta Selatan, banjir meliputi Kecamatan Kebayoran Baru, Cilandak, Cipete Selatan, Pasar Minggu, Mampang Prapatan, dan Pesanggrahan. Sedangkan di Jakarta Timur banjir di Kecamatan Pasar Rebo, Ciracas, dan Kramat Jati. Daerah terparah terendam banjir adalah di Kelurahan Petogogan Kecamatan Kebayoran Baru yang terendam banjir setinggi 90-100 centimeter, Sekitar 39 RT di 3 RW di daerah Kelurahan Petogogan Kecamatan Kebayoran Baru yang terendam banjir. Banyak rumah dan kendaraan yang terjebak oleh banjir, Di Kecamatan Cilandak banjir setinggi 40 – 100 centimeter merendam 3 kelurahan dan 9 RW yang meliputi 54 RT di Kelurahan Pondok Labu, Cipete Selatan, dan Gandaria Selatan. Tinggi banjir di Kelurahan Gandaria Selatan mencampai 70 – 100 centimeter. Apa kata Ahok? Dia kembali kambinghitamkan fihak lain. Banjir terjadi di kawasan elite Kemang karena banyaknya rumah yang dibangun di Daerah Aliran Sungai (DAS). "Ini (kali) jebolnya dari rumah orang, ada lima rumah. Kita paksa tutup rumah itu. Terus kita juga kirim alat berat," ujar Ahok. Padahak di kawasan Kemang ini tidak pernah mengalami banjir seperti ini. Dari kriteria kedalaman banjir, sesungguhnya banjir 2016 paling dahsyat, mencapai kedalaman 5 meter. Dibanding 2016, banjir 2013 kedalaman banjir hanya mencapai 60 Cm hingga 100 Cm di wilayah Utara. Pada banjir 15 November 2013 di di Jakaarta Timur, rata-rata kedalaman hingga 50 Cm hingga 100 Cm. Harian Republik (28/4/2016) melaporkan, banjir April 2016 menyebabkan Ahok marah-marah kepada Walikota Jakarta Utara, Rustam Effendi, hingga Rustam meletakkan jabatannya. Pada awal 2017, ternyata hujan sekejab sudah buat banjir sejumlah kelurahan. SMA 8 pernah diklaim Ahok takkan terkena banjir lagi, ternyata terkena banjir. Inilah kisah banjir dimaksud. Hujan deras 22 Februari 2017 di hulu dan tengah Sungai Ciliwung mencapai level Siaga 2. Hujan menyebabkan banjir di permukiman di bantaran Sungai Ciliwung di Jakarta. Kata Pusdalops BPBD DKI Jakarta, banjir merendam permukiman di Bantaran sungai Cilwung dan sebagian Kali Cipinang. 7.788 jiwa atau 3.393 KK terdampak langsung banjir itu. Artinya tempat tinggalnya terendam banjir dengan ketinggian bervariasi antara 10 – 150 centimeter. Daerah terendam banjir, di Jakarta Timur meliputi Kecamatan Ciracas (Kelurahan Cibubur dan Kelurahan Rambutan), Kecamatan Kramat Jati (Kelurahan Cililitan dan kelurahan Cawang), dan Kecamatan Jatinegara (Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Biadara Cina). Daerah cukup parah terendam banjir hingga ketinggian 150 centimeter adalah Kelurahan Cawang dengan 1.188 KK atau 3.896 jiwa sebagai korban. Di Kelurahan Kampung Melayu juga terendam banjir hingga ketinggian 100 Cm dengan masyarakat terdampak 443 KK atau 1.456 jiwa Panjimas.com laporkan. Di sejumlah kesempatan,Ahok selalu berbangga dengan hasil kerjanya dianggap mampu mengatasi banjir Jakarta. Bahkan seperti dilansir Rakyat Merdeka (Jawa Pos Group), dalam beberapa waktu, Ahok dan pendukungnya sempat mengungkapkan keberhasilan itu dengan nada menantang. Kira-kira bunyinya: "ke mana banjir meski hujan turun terus". Nah, Selasa (21/2), Tuhan seperti menjawab tantangan itu. Hujan lebat turun dari subuh hingga sekitar pukul 10 pagi kemarin, membuat sejumlah wilayah Jakarta terendam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, pada pukul 8 pagi, sudah ada 401 laporan mengenai banjir Jakarta. Total ada 51 titik wilayah yang terendam banjir,tersebar di Jakarta Selatan (11 titik), Jakarta Timur (29 titik) dan Jakarta Utara (14 titik). Daerah yang terendam banjir umumnya adalah daerah yang ada di pinggir Sungai Ciliwung, seperti Bukit Duri dan Kampung Pulo, Jakarta Selatan. Di Jakarta Timur, perumahan elite seperti Cipinang Indah turut kebagian banjir. Di Jakarta Utara air merendam dari Ancol sampai Tugu. Bahkan wilayah elite seperti Kelapa Gading ikut terendam. Sebanyak 35 pompa pun dikerahkan untuk membuang air ke sungai Sunter. Ketinggian air bervariasi mulai dari setinggi lutut hingga seleher orang dewasa. Di Cipinang Melayu dan Karet misalnya, ketinggian air mencapai 1,5 meter. Akibat banjir ini, ribuan rumah terendam dan satu orang tewas di Kemang. Ahok ternyata tak mampu dan gagal pecahkan masalah banjir Ibukota. Banjir di jalanan terus dan belum berkurang signifikan. Jakarta kembali kebanjiran saat hujan deras turun. Ada kritikan gaya orang Betawi di media sosial, “...Ahok, bacot loe aja yang gede. Bilang Jakarta udah bebas banjir, bilang Jakarta saat ini kalau hujan gede paling ada genangan air setengah jam sampai 1 jam. Kagak ade buktinye, Hok… Loe bilang udah kerukin tuh kali-kali Ciliwung, loe malah udah gusur-gusur tuh warga Kampung Pulo dan wilayah lain pinggir kali. Lu juga ngabisin duit Pemprov untuk bikin Pasukan Orange, Pasukan Lele, Pasukan Kodok sama pasukan nasi bungkus elu di Detiknews. Kagak ade buktinya. Hok, Jakarta masih banjir, ngkoh. Elu ngak liat ape. Ujan dari jam 3 sampai jam 6 hampir seluruh Jakarta terendam air.” Rakyat DKI butuh Gubernur baru, biar masalah banjir selesai. Gubernur lama terbukti nyata gagal urus banjir.Titik banjir lebih 54 titik, masih melewati target capaian titik banjir tahun 2016 dan 2017. Kasus banjir kali ini, tidak ada pompa banjir yg tidak berfungsi, tetapi banjir tetap terjadi. Kesombongan Ahok bilang, walau hujan tiga hari, DKI takkan banjir kalau pompa air berfungsi (Desember 2015). Kesombongan Ahok terbantahkan dgn data, fakta dan angka titik banjir (lebih 55 titik) pd Februari 2017. Oleh MUCHTAR EFFENDI HARAHAP (Ketua Dewan Pendiri NSEAS, Network for South East Asian Studies).

Minggu, 17 Juli 2016

JAKARTA KOTA PALING MACET SE DUNIA DAN GAGAL DALAM URUSAN TRANSPORTASI

Persentase jalur LRT (24,8 Km) dapat diselesaikan: masih tahap sangat awal konstruksi, mustahil tercapai target (24,8 KM, 2017). Kemacetan adalah situasi tersendatnya bahkan terhentinya lalu lintas kendaraan darat. Jakarta di bawah Gubernur Ahok (2014-2015) telah gagal memecahkan permasalahan kemacatan, bahkan semakin memburuk. Hampir semua ruas jalan arteri mengalami kemacetan. Sebelumnya Jakarta mendapat predikat buruk “Kota Paling Berbahaya”, kini Lembaga Studi Internasional Castrol Magnetec Stop-Start melalui Traffic Jam Index telah menobatkan predikat buruk lain: “Jakarta menjadi Kota paling macet se Dunia” (Majalah TIME.http://time.com/3695068/worst-cities-traffic-jams). Pengamat Transportasi Publik Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna tak terkejut dengan rekor buruk ini. Menurutnya, kebijakan Pemprov DKI belum mencapai solusi maksimal. Masalahnya, setiap ganti Gubernur, kebijakan selalu berganti. Yayat mencontohkan soal pembangunan Mass Rapid Transit (MRT). Program itu sebenarnya sudah direncanakan dari tahun 1974. Namun seiring pergantian Gubernur selalu ada perubahan kebijakan yang membuat lambatnya proyek MRT. Bahkan sampai detik ini, warga Jakarta masih bermimpi memiliki moda transportasi massal itu (Merdeka.com). Menurut indeks Stop-Start Magnatec Castrol, rata2 33.240 kali proses berhenti-jalan per tahun di Jakarta. Indeks ini mengacu pada data navigasi pengguna Tom Tom, mesin GPS, untuk menghitung jumlah berhenti dan jalan dibuat setiap kilometer. Jumlah tersebut lalu dikalikan dengan jarak rata-rata ditempuh setiap tahun di 78 negara. Berikut daftar 10 kota dengan lalu lintas terburuk di dunia: (1) Jakarta (Indonesia) - 33.240; (2). Istanbul (Turki) - 32.520; 3). Kota Meksiko (Meksiko) - 30.840; 4). Surabaya (Indonesia) - 29.880; 5). St Petersburg (Rusia) - 29.040; 6). Moskow (Rusia) -28.680; 7). Roma (Italia) - 28.680; 8). Bangkok (Thailand) - 27.480; 9). Guadalajara (Meksiko) - 24.840; dan, 10). Buenos Aires (Argentina) - 23.760 Biasanya Pemprove DKI mengajukan beragam alasan mengapa terjadi kemacetan terparah se dunia ini. Yakni: (1) Kapasitas jalan tidak mencukupi; (2) Terbatasnya kesediaan dan pelayanan umum; (3) Tidak terintegrasinya sistem dan jaringan transportasi multimoda; (4) Ketersediaan dan akses prasarana jalan untuk mendukung pelabuhan dan bandar udara; dan, (5) Kedisiplinan masyarakat dalam berlalu lintas. Khusus alasan terakhir ini, Pemprove DKI mengklaim, kemacetan di Jakarta disebabkan juga oleh rendahnya tingkat kedisiplinan masyarakat dalam berlalu lintas. Ketidakdisiplinan ini dapat dilihat dari cara berkendaraan tidak tertib, tidak mematuhi rambu lalu lintas dan pelanggaran etika pada lampu pengatur lalu lintas. Salah satu misi DKI Jakarta 2013-2017, menjadikan Jakarta sebagai kota bebas dari masalah2 menahun seperti kemacetan, banjir, permukiman kumuh, sampah dll. Terkait masalah kemacetan, strategi diambil yakni (1) Pemantapan dan pengembangan sistem transportasi kota berbasis angkutan umum massal; (2). Pebangunan infrastruktur jalan dan jembatan. Program Pembangunan unggulan mencakup; (1). Angkutan umum berbasis jalan (koridor busway, armada busway, penataan trayek dan peremajaan armada bus sedang); (2). Angkutan massal berbasis rel (Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rapid Transit (LRT); (3) Jalan dan jembatan (fly over dan underpass, jalan tembus). Jika mengacu Indikator Kinerja Daerah terhadap Capaian Kinerja Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Prov. DKI Jakarta (PerdaNo. 2 Tahun 2012 tentang RPJMD Prov. DKI Jakarta 2013-2017), luas jalan terbangun 48.319.509,97 M2 (2013), 48.428.709,97 M2 (2014), 48.681.709,97 M2 (2015), 49.318.309,97 M2 (2016), dan 50.050.809,97 M2 (2017). Jumlah jembatan terbangun: 287 jembatan (2013), 293 (2014), 296 (2015), 296 (2016), 296 (2017). Panjang ruas jalan dilintasi untuk Busway: 225,43 Km (2013), 247,36 Km (2014), 269,29 Km (2015), 291,22 Km (2016), 313, 15 Km (2017). Perlu diketahui di era Foke (2012) telah terbangun 203, 5 Km lintas Busway. Untuk panjang lintasan MRT: 1,5 Km (2013), 3,5 Km (2014), 7,5 Km (2015), 15,7 Km (2016), dan 15,7 Km (2017). Sedangkan persentase jalur MRT Lebak Bulus-Bundaran HI (15,7 Km) dapat diselesaikan : 0 % (2013), 25 %(2014), 50 % (2015), 75 % (2016), dan 100 % (2017). Panjang lintasan LRT: 0 orang/tahun (2013), 0 (2014), 0 (2015), 0 (2016) dan 103.320.000 orang/tahun (2017). Sedangkan persentase jalur LRT (24,8 Km) dapat diselesaikan: 0 Km (2013), 0 Km (2014), 0 Km (2015), 0 Km (2016), dan 24,8 KM (2017). Dalam hal pengadaan armada Busway, pada 2012 telah tersedia 669 bus (34 SAB), 275 SAB (2013), 200 SAB (2014), 200 SAB (2015), 180 SAB (2016) dan pada 2017 terdapat 1.289 SAB. Jumlah peremajaan armada angkutan umum: 1.000 unit (2013), 1.000 (2014), 1.000 (2015), 1.000 (2016), 1.000 (2017) dan total 2017 mencapai 5.000 unit. Untuk menilai capaian target tentu hanya layak target 2013, 2014 dan 2015. Apakah target diharapkan ini telah tercapai? Jawabannya: Tidak! Ahok tidak mampu dan gagal melaksanakan kebijakan dan program pengembangan transportasi sesuai Perda No. 2 Tahun 2012. Lihatlah data, fakta dan angka berikut ini: 1. Luas jalan terbangun: masih sangat minim jauh di bawah target (48.681.709,97 M2, 2015). 2. Jumlah jembatan terbangun: masih jauh di bawah target (296 jembatan, 2015). 3. Panjang ruas jalan dilintasi untuk Busway: masih jauh di bawah target. (269,29 Km 2015). 4. Panjang lintasan MRT: masih jauh di bawah target (7,5 Km, 2015). 5. Persentase jalur MRT Lebak Bulus-Bundaran HI dapat diselesaikan: masih jauh di bawah target ( 50 %, 2015). 6. Panjang lintasan LRT: masih tahap sangat awal konstruksi, mustahil tercapai target (103.320.000 orang/tahun, 2017). 7. Persentase jalur LRT (24,8 Km) dapat diselesaikan: masih tahap sangat awal konstruksi, mustahil tercapai target (24,8 KM, 2017). 8. Pengadaan armada Busway: masih jauh di bawah target, bahkan 180 unit Busway telah dimusnahkan karena tidak layak jalan. 9. Peremajaan armada angkutan umum: masih jauh di bawah target (1.000 unit, 2015). Para pendukung buta Ahok acapkali klaim, Ahok sukses membangun busway. Betulkah? Ini data dan faktanya! 2013, pengadaan busway tidak mencapai target, direncanakan 310 unit gagal, terealisir hanya 125 unit (89 unit articulated bus dan 36 unit singgle bus). 2014, penambahan busway hanya dari hibah 30 unit sehingga jumlah busway menjadi 822 unit. Pada 2015, pengadaan busway 75 unit. Target era Ahok 725 unit busway (2013-2015), tercapai hanya 227 unit. Sangat buruk pencapaian (kurang 50 %). Pada 2017 total busway ditargetkan 5000 unit. Pada 2015 baru ada total 996 unit. Sementara pada 2015 telah dihancurkan 180 unit dinilai sudah tidak laik. Maka tinggal sekitar 816 unit. Sangat jauh dari target diharapkan. Dari waktu tunggu Busway, target rata-rata 3 menit, juga tidak tercapai. Bahkan, diperkirakan rata-rata antara 10-30 menit waktu tunggu. Masih jauh di bawah target. Mengenai MRT, secara umum, pekerjaan konstruksi tengah dilakukan saat ini antara lain pembuatan pondasi kolom jalur dan stasiun layang, pembangunan struktur boks stasiun bawah tanah, pembuatan terowongan bawah tanah, dan pengerjaan konstruksi depo MRT. Pembuatan terowongan bawah tanah dengan bor Antereja, yakni melakukan pengalian ke arah depan, dan diikuti dengan pemasangan segmen terowongan berupa potongan-potongan precast dengan lebar 1,5 meter yang membentuk cincin di belakangnya. Pada 2013 baru ground breaking pekerjaan konstruksi di dukuh atas dan Bundaran HI. Pengadaan lahan untuk Depo MRT di Lebak Bulus 2,367 M2 . Pembangunan rambu dan marka lalulntas pendukung MRT. Pada 2014 pengosongan terminal lebak bulus sebagai Depo MRT. Relokasi pipa PDAM koridor blok M- Singamaraja. Pekerjaan tiang pancang di Stasiun Blok M. MRT pembebasan tanah di lebak bulus depo MRT 1 bisang (120 M2 . Pembebasan tanah koridor Jl. Lebak Bulus-Bundaran Senayan 4.380 M2. Masalahnya, belum terealisirnya pembebasan lahan termasuk di lokasi di rencana pembangunan Depo MRT. Pemprov DKI dalam hal pembanunan MRT ini bertanggungjawab atas pelaksanaan pembebasan lahan. Namun, Pemprov DKI masih belum mampu dan gagal merealisasikan tanggungjawab ini sesuai target diharapkan tercapai pada 2016. Pada 2015, penyelesaian proyek MRT baru mencapai 36 %. Maka, mustahil tercapai target 24,8 KM pada 2017. Soal peremajaan angkutan umum? Ahok ngomong doang, tidak ada realisasi. Lihat saja di lapangan, kendaraan umum tidak laik masih banyak berselewaran di jalanan. Soal Kebijakan Ganjil-Genap di Jl. Sudirman, Jl. M.H. Thamrin, dan Jl. H.R. rasuna Said? Ternyata Ahok juga mengalamai kegagalan. Hanya sukses saat Uji Coba. Hal ini ditunjukkan Direktorat Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Data dilansir Polisi, terlihat sistem ganjil-genap hanya sukses saat uji coba 27 Juli-26 Agustus 2016. Polisi mencatat kondisi hingga 23 Agustus, sementara penerapan sistem ini dimulai 30 Agustus.Data itu menunjukkan, ada penurunan di tiga ruas jalan itu selama masa uji coba. Keberhasilan itu luntur saat aturan kegibjakan ini mulai diterapkan pada 30 Agustus 2016. Polisi mengakui jalan kembali padat dua bulan setelah aturan ganjil-genap diberlakukan. Para petugas melihat kepadatan di beberapa titik jalan menerapkan sistem ganjil-genap (Koran Tempo, 20 Desember 2016). Kesimpulan: di bidang kemacetan, pengadaan busway, MRT, peremajaan angkutan umum, kebijakan ganjil-genap, dll. Gubernur Ahok mengalamai kegagalan. Ia tidak mampu melaksanakan program bidang transportasi ini sebagaimana target diharapkan tercapai dan sebagaimana mestinya berdasarkan regulasi. Ahok bahkan menjadikan DKI Jakarta sebagai kota termacet se dunia. Hal ini membktikan dia tidak punya visi, misi dan program sebagaimaan dia gembor-gemborkan selama ini. Kalaupun ada, tetapi tidak mampu dilaksanakan.

Senin, 11 Juli 2016

KEGAGALAN AHOK MENCAPAI TARGET IPM DAN ADIPURA

Di samping indikator pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, pertumbuhan ekonomi dan realisasi anggaran daerah, Ahok juga gagal mencapai target Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Penghargaan Adipura.  Untuk menilai kegagalan Ahok dengan indikator IPM ini, bisa digunakan “Target Penetapan Indikator Kinerja Daerah Terhadap Capaian Kinerja Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta”. Target ini tertuang di dalam Perda No. 2 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013-2017.   Tujuan RPJMD untuk menjadi acuan dasar pemecahan permasalahan daerah. RPJMD ini berfungsi sebagai pedoman penyusunan RKPD, Renstra SKPD, Renja SKPD serta dokumen perencanaan pembangunan DKI lain.   Indikator IPM dapat dijadikan standar penilaian keberhasilan Ahok urus pemerintahan DKI. IPM merupakan salah satu ukuran keberhasilan pencapaian pembangunan dalam konteks kesejahteraan rakyat DKI. IPM dibentuk atas tiga komponen: umur panjang dan hidup sehat (digambarkan oleh Angka harapan hidup saat lahir/AHH), pengetahuan (diukur melalui rata-rata lama sekolah/RLS dan harapan lama sekolah/HLS) serta standar hidup layak (dari pengeluaran perkapita).  Pada era sebelum Ahok sejak 2007 hingga 2010, IPM DKI meningkat terus dari 76,59 (2007) menjadi 77,03 (2008), 77,36 (2009) dan 77,60 (2010). Selanjutnya 77,97 (2011) dan 78,33 (2012) dan 78,59 (2013).   Target IPM DKI di era Ahok, yakni 78,55  (2014), 78,80 (2015), 79,10 (2016), 79,60 (2017). Kondisi kinerja pada akhir periode RPJMD yakni 79,60.  Sebagaimana ditunjukkan, target IPM era Ahok tahun 2014 adalah 78,55. Data, fakta dan angka menunjukkan Ahok hanya mampu mencapai IPM 78, 39. Masih di bawah target. IPM DKI 2015 hingga tulisan ini dibuat, BPS belum menerbitkan. Ada dugaan, data IPM DKI kian jauh dari target 2015, yakni 78,80. Laporan Pertanggungjawab Ahok disampaikan ke DPRD DKI tahun 2016, tidak terdapat data IPM 2015. Ahok "memanipulasi" data 2014 dijadikan datapertanggungjawaban indikator IPM untuk tahun 2015. Memalukan!    Kegagalan Ahok mencapai target IPM ini juga diikuti dengan kegagalan meraih Penghargaan “Adipura”, lambang prestasi kebersihan dan kenyamanan kota.  Adipura adalah sebuah penghargaan bagi kota di Indonesia berhasil antara lain: (1)  Proses pengolahan sampah;  (2) Penataan ruang hijau dengan tersedianya 30 persen dari luas wilayah;  (3) Area Daerah Aliran Sungai (DAS) yang harus terjaga; dan, (4)  Perawatan ruang publik seperti terminal, rumah sakit, dan sekolah. Sebelumnya, Kota Jakarta tidak pernah gagal meraih Penghargaan Adipura selama 10 tahun terakhir, termasuk era Foke.    Data, fakta dan angka di atas dapat dijadikan alasan mengapa Ahok tidak layak lanjut sebagai Gubernur DKI. Semua indikator sosial ekonomi menunjukkan Ahok telah gagal urus pemerinatahan dan rakyat DKI.

Minggu, 03 Juli 2016

Realisasi Belanja Jakarta Sangat Rendah

Satu indikator “kegagalan” Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, yakni realisasi belanja daerah (APBD) sangat rendah bahkan terendah se-Indonesia. Kinerja anggaran baik adalah kemampuan daya serap anggaran optimal. APBD harusmemberikan kontribusi positif thdp pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraanrakyat. Tetapi, kinerja anggaran Gubernur Ahok sejak berkuasa (2013 hingga 2016) sangat buruk.   Untuk 2013 lihat saja Laporan BPK: banyak terindikasi penyalahgunaan wewenang. Padahal 2012 di bawah Era Foke, masih lebih baik dari 2013. Target Pendapatan Daerah saat penetapan APBD Perubahan 2012 sebesar Rp. 33,65 triliun (105,14 %). Artinya Foke mampu menaikkan capaian Rp. 1,73 triliun (5,14 %) dari ditetapkan.  Foke juga mampu mencapai realisasi PAD 107,39 % atau Rp. 22,00 triliun, melampaui target Rp. 1,52 triliun.  Sepanjang 2013 di bawah Era Ahok, realisasi belanja daerah hanya 82,21  % dan realisasi pendapatan daerah hanya 96,83 %. Penyerapan belanja modal juga hanya 71,8%. Akibatnya, tingkat pertumbuhan ekonomi merosot; dan, daya beli rakyat terus menurun.   Pada 2014 lebih buruk lagi. Target belanja daerah Rp. 65 triliun, realisasinya hanya Rp 43 triliun (66,80  %). Realisasi belanja daerah hanya 59,32 %. Rendahnya penyerapan ini, bukan karena tingginya efisiensi dilakukan, tapi lebih karena tak fokus rezim kekuasaan melaksanakan tugas diamanahkan dan dijanjikan. Lebih fokus pada kerja pencitraan ketimbang kerja nyata utk pembangunan menuju Jakarta Baru.  Kondisi ini diperkuat hasil audit BPK, memberi opini “Wajar Dengan Pengecualian” (WDP) atas pelaksanaan APBD 2013. Padahal sebelumnya Era Foke (2011 dan 2012) sudah mencapai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).  Sepanjang 2014 Ahok  telah mengembor-gemborkan kebijakan utk mencapai target pendapatan daerah, yakni : (1) Menyesuaikan dasar pengenaan pajak daerah;  (2) Melakukan penyesuaian tarif pajak daerah tertentu,; (3) Memperluas basis pajak masih dapat dilakukan dengan online; (4)  Sistem pajak daerah telah dilakukan sejak 2010 dengan 800 Wajib Pajak dan terus dikembangkan hingga 14.000 Wajib Pajak pada 2017. Semua kebijakan Ahok ini tidak mampu mencapai target pendapatan daerah telah direncanakan.   Kinerja  APBD 2015 lebih buruk lagi. Legalitas pelaksanaannya hanya berdasar Pergub tanpa persetujuan DPRD  atau Perda.  Menurut LKPJ Gubernur DKI 2015,  PAD 2015 ditargetkan Rp. 56 triliun lebih. Realisasinya hanya Rp. 42 triliun lebih (78,52 %). Di lain  fihak, rencana belanja daerah Rp. 59 triliun lebih. Realisasinya hanya Rp. 43 triliun lebih (72 ,11%). Sementara itu, data penyerapan APBD 2015 hanay sebesar 67 %. Angka ini termasuk "terendah" dibandaingkan Provinsi lain di Indonesia. Data versi lain menunjukkan, pendapatan daerah hanya tercapai 66,8 % atau Rp 43,4 triliun lebih. Target sebelumnya Rp 65 triliun lebih. Selain itu, belanja daerah hanya teraliasi 59,32 %.  Bahkan, jika belanja terealisasi 100 %  maka akan terdapat defisit anggaran Rp.20 triliun. Akibatnya, muncul penilaian:penyerapan belanja daerah  DKI Jakarta “terendah” se-Indonesia. Ahok dinilai gagal dalam mengelola keuangan daerah.   Bagaimana 2016 ini ? Gubernur Ahok juga akan gagal ! Kemendagri menunjukkan, realisasi belanja daerah Provinsi di Indonesia hingga 31 Maret 2016 (triwulan I)rata-rata 8,3 %. Penyerapan anggaran tertinggi diraih Jatim 17,2 %, disusul Lampung 15,9 %, Sulut 15,2 %, Sumsel 15,1 % dan NTB 14,6 %. DKI Jakarta? Menyedihkan !, Menurut Kemendagri, DKI masih nol %,  sama dengan 7 Provinsi lain: Kaltara, Papua Barat, Papua, NTT, Malut, Kepulauan Riau, dan Jambi.    Pada Desember 2016, PLt Gubernur DKI Sumarsono menyeutkan, APBD DKI 2016 sebesar Rp. 67,1 triliun. Namun, angka ini turun Rp. 4,2 triliun dalam APBD Perubahan DKI 2016 menjadi Rp. 62,9 triliun. Ia mengakui, serapan anggaran masih terbilang rendah. Selanjunya, Sumarsono menargetkan 85 % serapan APBD DKI 2016. Ketua Komisi A DPRD DKI Riano P.Ahmad pesimistik realisasi serapan anggaran Pemprove DKI tahun ini bisa mencapai 85 % sanoai 90 %. Serapan anggaran tahun ini diprediksinya di kisaran 70-an % saja. "Mungkin, maksimalnya bisa 75 %," kilah Riano (Republika, 20 Desember 2016). Penyerapan anggaran DKI sangat rendah bahkan terendah se-Indonesia, bukankarena “mentalitas” korupsi pejabat,  tapi lebih pada “kemalasan”. Bukan karena masalah administrasi atau kelembagaan, melainkan karena masalah “psikologis”,yakni para pejabat tinggi DKI malas untuk segera menyerap anggaran. Mengapa malas ? Tentu sangat berkaitan sikap “konflik laten” pejabat tinggi terhadap Ahok. Para pejabat tinggi diam-diam memprotes atau membangkang terhadap Ahok sebagai Gubernur dan atasan mereka.  Ahok menciptakan ketidaksinerjian pejabat tinggi dengan dirinya dalam urusan pemerintahan dan rakyat DKI.   Kesimpulan, sepanjang Ahok jadi Gubernur DKI realisasi belanja DKI sangat rendah bahkan terendah se-Indonesia. Akibatnya, APBD Era Ahok tidak punya kontribusi positif thdp pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat DKI. Bagi rakyat DKI, kegagalan Ahok dalam pengelolaan keuangan daerah ini, salah satu alasan mengapa Ahok tidak layak lanjut sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jika Ahok lanjut, secara emperis dan historis, permasalahan pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, pertumbuhan ekonomi, dan pengelolaan keuangan DKI  akan tetap tidak terpecahkan. Bahkan, bisa terus merosot!