Rabu, 29 Juni 2016

KETIMPANGAN RAKYAT JAKARTA MAKIN LEBAR

Fungsi utama Pemerintah adalah memberikan pelayanan, menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Pemerintah harus mampu mengurangi jumlah rakyat nganggur, miskin dan ketimpangan/kesenjangan ekonomi kaya-miskin. Ketimpangan ekonomi melebar akan memperkuat ketidakadilan sosial, bahkan timbulkan kerusuhan sosial (social unrest). Fungsi utama Pemerintah ini juga harus berlaku pada Pemerintah DKI Jakarta di bawah Ahok. Pemerintah DKI harus mampu mengurangi ketimpangan ekonomi kaya-miskin. Soalnya, apakah Ahok mampu mengurangi kesenjangan ekonomi rakyat DKI? Data, fakta dan angka ternyata bicara, TIDAK! Ahok sebagai Gubernur gagal menjalankan fungsi Pemerintah mengurangi ketimpangan ekonomi ini. Bahkan, secara nasional ketimpangan DKI Jakarta tertinggi. Ekonomi Jakarta saat ini hanya dinikmati oleh kalangan menengah atas. Ketimpangan ekonomi dinilai dengan Gini Rasio (antara 0 s/d 1), yakni alat mengukur derajat kesenjangan ekonomi kaya dan miskin. Jika nilai Gini Rasio 0, berarti pemerataan sempurna. Jika 1, berarti ketimpangan sempurna. Mengacu BPS DKI Jakarta 2015, masalah ketimpangan ekonomi meningkat 0,44 dari tahun 2014. Berarti kelompok kaya menguasai 44 persen pendapatan DKI Jakarta. Sumber lain menyajikan Gini Rasio 0,43, menunjukkan DKI nomor dua terendah di Indonesia setelah Papua. Versi Fraksi PPP DPRD DKI, Gini Rasio 0,47. Lalu ada pengakuan BPS DKI Gini Rasio 0,46. Kepala BPS DKI Jakarta Syech Suhaimi tegaskan, jika pada 2014 Gini Ratio DKI mencapai 0,43%, angka ketimpangan masyarakat kelas atas dan bawah di Ibu Kota sepanjang 2015 tercatat naik ke 0,46. “Naiknya Gini Ratio di Jakarta disebabkan kenaikan pendapatan orang kaya terlalu cepat. Di sisi lain, kenaikan Pendapatan masyarakat menengah dan bawah justru mengalami perlambatan,” ujarnya (bisnis.com, 2/5/2016). Menurut Suhaimi, jumlah 20% orang kaya di DKI Jakarta meningkat drastis dari 49,79 pada 2014 ke 56,20 pada tahun lalu. Sementara itu, jumlah 40% masyarakat berpendapatan rendah turun dari 14,66 ke 14,11 dan 40% masyarakat berpendapatan sedang turun dari 35,55 ke 29,70. “Pemerintah harus waspada. Berlari 20% masyarakat kaya ini sangat cepat. Jika dibiarkan, jarak antara si kaya dan si miskin di DKI pasti melebar,” katanya. Walau angka gini ratio 0,46 versi BPS DKI ini tergolong rendah, namun masih ada yg mempertanyakan. Diduga, angka gini ratio 0,46 ini semacam “pembohongan public”. Angka ketimpangan rakyat DKI jauh lebih melebar, diperkirakan mencapai 0,50 hingga 0,60. Bahkan, Bagi Letjen TNI (Purn.) J.Suryo Prabowo, Gini Rasio meningkat 0,72 persen. Berarti kelompok kaya menguasai 72 persen pendapatan DKI Jakarta. Syahganda Nainggolan, Pakar Kesejahteraan Masyarakat, menghitung Gini Rasio rakyat DKI telah mencapai 0,50 atau bahkan lebih. Angka ini jauh di atas angka nasional. Prijono, Pakar Ekonomi, setuju gini rasio sudah 0,50 versi Syahganda. Baginya, jika digunakan data BPN (2012) dari tanah produktif 10 persen menguasai 80 persen tanah Jakarta. Itu logikanya berbanding lurus dengan prolehan income (pendapatan) kapitalis tersebut. Secara kasar dari aset tanah saja asumsinya Gini Rasio 0,70. Belum kekayaan dan pendapatan dari faktor non property. Susah dibayangkan angka 0,46 versi BPS DKI. Sebab tidak ada transfer subsisi seperti di negara Skandinavia atau Belanda sebagai pengurang ketimpangan pendapatan. Lepas, dari angka gini ratio 0,50, 0,60 atau 0,72, yang pasti ketimpangan rakyat DKI di bawah Gubernur Ahok “terus melebar”. Pada 2012, posisi ketimpangan hanya 0,39, 2014 melebar 0,43, lanjut 2015 menjadi 0,46. Dapat disimpulkan, dari indikator Gini Ratio, Ahok “gagal” menjalankan fungsi Pemerintah DKI mengurangi ketimpangan rakyat DKI. Hal ini salah satu alasan, Ahok tidak layak untuk lanjut sebagai Gubernur DKI. Jika Ahok terus jadi Gubernur, bisa diperkirakan ketimpangan rakyat DKI terus melebar, akan timbulkan kerusuhan sosial (social unrest). Mayoritas orang miskin DKI bertindak secara kekerasan terhadap minoritas kaya (dominan ras Cina) seperti pernah terjadi.

JUMLAH RAKYAT MISKIN JAKARTA MENINGKAT TERUS MENERUS

Kemiskinan adalah salah satu masalah pokok bagi rakyat di negara "terbelakang" atau "sedang berkembang" seperti Indonesia. Negara baik secara konstitusional maupun kebijakan pembangunan harus mampu mengatasi kemiskinan. Begitu juga bagi penguasa negara, Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota, harus mampu mengatasi kemiskinan, setidaknya mengurangi jumlah rakyat miskin. Indikator keberhasilan penguasa negara dapat diukur dari kemampuan mengurangi jumlah rakyat miskin. Ahok adalah Gubernur, tergolong penguasa negara di lingkungan DKI Jakarta. Sebagai pembantu Presiden dan Eksekutor di DKI Jakarta, Ahok juga harus mampu mengatasi kemiskinan, atau setidaknya mengurangi jumlah rakyat miskin DKI. Dari indikator kemampuan mengurangi jumlah rakyat miskin DKI, Ahok tergolong “gagal”. Jumlah rakyat miskin DKI meningkat terus menerus dari tahun ke tahun. Kegagalan Ahok urus rakyat miskin bisa jadi alasan rakyat mengapa Ahok tidak layak untuk terus jadi Gubernur DKI. Lihatlah data, fakta dan angka kegagalan Ahok berikut ini. DPRD DKI Jakarta memberikan raport merah kepada Pemerintahan Ahok. Salah satunya, kenaikan angka kemiskinan dari 371 ribu pada tahun 2013 meningkat menjadi 412 ribu pada tahun 2014. Satu sumber resmi lain tunjukkan, jika jumlah rakyat miskin DKI tahun 2012 sebanyak 363.200 orang, tahun 2015 menjadi 398,920 orang atau meningkat 9,83 persen. Sementara Indeks Kedalaman Kemiskinan meningkat tajam antara tahun 2014 ke tahun 2015 dari 0,39 ke 0,52. Data resmi lain juga menegaskan, rakyat miskin DKI kian meningkat. Jumlah rakyat miskin Maret 2014 sebesar 393,98 ribu orang, dibanding Maret 2015(398,92 ribu orang), meningkat 4,94 ribu. Garis kemiskinan (GK) Maret 2015 sebesar Rp. 487.388 per kapita, lebih tinggi dari garis KemiskinanSeptember 2014 sebesar Rp. 459,560 per kapita per bulan. Persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar jumlah dan persentase rakyat miskin, dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah rakyat miskin, kebijakan penanggulangan kemiskinan juga sekaligus dapat mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan. Yang paling parah adalah Indeks Keparahan Kemiskinan DKI meningkat dari 0,7 pada tahun 2014 menjadi 0,10 pada 2015. Jika dibandingkan dengan Maret 2014 Indeks Kedalaman Kemiskinan maupun Indeks Keparahan kemiskinan DKI mengalami peningkatan. Indeks Kedalaman Kemiskinan naik sebesar 0,130 pin dari 0,387 pada Maret 2014 menjadi 0,517 pada Maret 2015. Begitu juga dengan Indeks Keparahan kemiskinan naik sebesar 0,035 poin, yaitu dari 0,069 pada Maret 2014 menjadi 0,104 pada September 2015. Sebagaimana jumlah rakyat nganggur DKI, semua data, fakta dan angka rakyat miskin DKI di atas, menujukkan kegagalan Ahok sebagai Gubernur DKI dalam melaksanakan kewajiban menyejahterakan rakyat. Para pendukung “buta” Ahok perlu memahami dgn jernih hati dan pikiran tentang "realitas obyektif" Ahok gagal atau tak mampu mengurangi rakyat miskin DKI ini.

PEMPROV DKI GAGAL ATASI KEMEROSOTAN PERTUMBUHAN EKONOMI

Keberhasilan atau kegagalan seorang Gubernur bisa ditentukan atas indikator pertumbuhan ekonomi. Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok terbukti tak mampu dan gagal atasi kemerosotan pertumbuhan ekonomi DKI. Target kecapaian sesuai regulasi dan janji kampanye Pilkada 2012 pertumbuhan 7 % ternyata masih dalam mimpi dan inkar janji. Pertumbuhan ekonomi terus merosot bahkan gagal mencapai target sesuai Perda DKI Jakarta No.2 Tahun 2012. Data, fakta dan angka di bawah ini membuktikan indikasi menyedihkan ini. Pertumbuhan ekonomi (economic growth) adalah proses perubahan kondisi perekonomian secara berkesinambungan menuju keadaan lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan. Suatu Daerah dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika terjadi peningkatan pendapatan riil di daerah tsb. Pembangunan ekonomi tak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi . Pembangunan ekonomi mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi memperlancar proses pembangunan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikator “keberhasilan” atau “kegagalan” suatu Rezim dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. DKI Jakarta di bawah Rezim Ahok, ternyata pertumbuhan ekonomi tidak mencapai standar atau target 7 % seperti digembor-gemborkan saat kampanye Pilkada DKI 2012 lalu. Data, fakta dan angka berbicara, pertumbuhan ekonomi terus merosot, hanya mampu mencapai jauh di bawah 6 % ! Pemprov DKI dibawah Gubernur Ahok “gagal” melaksanakan pembangunan ekonomi. II. ERA GUBERNUR FAUZI BOWO: Sebagai pembanding, pada Era Gubernur Fauzi Bowo (Foke). tingkat pertumbuhan ekonomi relatif tinggi: 6,44 % (2007), 6,22 % (2008), 5,1 (2009), 6,50 (2010), 6,77 % (2011), dan 6,53 % (2012). Rata-rata pencapaian pertumbuhan ekonomi era Foke di atas 6 %. III. ERA GUBERNUR AHOK: Bagaimana era Gubernur Ahok? Jelas terus merosot jauh di bawah era Foke. Ahok hanya mampu mencapai 6,11 % (2013), 5,9 % (2014), 5,88 % (2015), dan 5,62 % Triwulan I 2016). Dapat dinilai, rata-rata pencapaian Ahok di bawah 6 %. Hanya tahun 2013, Ahok bisa raih di atas 6 %. Itupun mungkin sisa hasil kerja Foke pada 2012. Intinya, di bandingkan era Foke, pertumbuhan ekonomi era Ahok terus merosot. Di lain fihak, Ahok dapat dinilai “gagal” mencapai target pertumbuhan ekonomi berdasarkan Perda No. 2 Tahun 2012 ttg Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Prov. DKI Jakarta 2013-2017. Penetapan Indikator Kinerja Daerah terhadap Capaian Kinerja Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Prov. DKI, “target” pencapaian setiap tahun 6,90 % (2013), 7,00 % (2014), 7,10% (2015), 7,20 % (2016), dan 7,30 % (2017). Sebelumnya, tahun 2012 era Foke pertumbuhan ekonomi mencapai 6,53 %. Atas target di atas, Ahok tak mampu, dan mencapai hanya 6,11 % (2013), merosot 5,9 % (2014), terus merosot 5,88 (2015) dan 5,62 % (Triwulan I 2016), dan diperkirakan 2016 tetap di bawah 6,0 %. Artinya, Ahok telah gagal memenuhi janji kampanye dan target sesuai RPJMD Prov. DKI Jakarta 2013-2017. IV.KESIMPULAN: Tingkat pertumbuhan ekonomi DKI era Ahok terus merosot dibanding era Foke. Di lain fihak, era Ahok gagal membangun ekonomi DKI karena pertumbuhan ekonomi tidak mencapai target sesuai Perda RPJMD Prov.DKI. Target pertumbuhan ekonomi DKI rata-rata di atas 7 %, sedangkan Ahok hanya mampu buat di bawah 7 %, bahkan di bawah 6 % seperti tahun 2014, 2015 dan juga diperkirakan 2016. Ahok tak mampu mengatasi terus merosot pertumbuhan ekonomi. Ia juga gagal mencapai target pertumbuhan ekonomi sesuai Perda DKI No. 2 Tahun 2012. Rakyat DKI butuh Gubernur baru untuk naikkan tingkat pertumbuhan ekonomi DKI. Gubernur lama selama ini terbukti tak bekerja nyata dan gagal atasi kemerosotan tingkat pertumbuhan ekonomi.

BAGAIMANA BISA APBD PULUHAN TRILIYUN RUPIAH, JUMLAH RAKYAT NGANGGUR DI ATAS RATA-RATA?

Salah satu tugas dan tanggungjawab Gubernur DKI, Ahok, yakni meningkatkan kesejahteraan rakyat DKI. Berkurangnya jumlah rakyat nganggur dapat dijadikan salah kriteria keberhasilan Ahok selaku Gubernur bidang kesejahteraan rakyat ini. Para pendukung buta Ahok suka klaim, Ahok berani “pasang badan” dan “nyawa” untuk kepentingan rakyat DKI. Bahkan, Ahok sendiri pernah banggakan diri, berulang kali menyatakan untuk siap mati demi rakyat. Ia mengaku tak segan untuk menjalankan berbagai kebijakan kesejahteraan sosial DKI meskipun beberapa pihak tak menyukainya. Namun, betulkah Ahok siap mati demi rakyat? Bukankah justru ia mem buat kebijakan memperbanyak jumlah rakyat nganggur? Data, fakta dan anggka menunjukkan, tingkat penganguran di DKI di bawah Gubernur Ahok terus bertambah, dan telah gagal memecahkan masalah pengangguran ini. Pengangguran bermakna orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Tugas dan tanggungjawab Pemerintah menyediakan lapangan kerja. Kepala BPS DKI Jakarta Nyoto Widodo (Oktober 2014) menegaskan, jumlah angka pengangguran di DKI Jakarta lebih tinggi dari pada angka pengangguran secara nasional. Tingkat pengangguran di DKI mencapai 9,84% dibandingkan tingkat Prestasi DKI Jakarta angka rakyat nganggur lebih tinggi dari pada angka nasional, juga berlaku pada 2015. Penilaian BPS DKI Jakarta (2015), DKI Jakarta dalam “alarm darurat”. Keadaan sebagian rakyat miskin di Jakarta semakin memburuk dari tahun ke tahun. DKI Jakarta ditandai dengan tingkat pengangguran terbesar di Indonesia adalah di DKI Jakarta dan Banten. Jumlahnya sebanyak 8,36 persen, jauh di atas rata-rata Indonesia. Ironisnya, Ahok justru menggusur paksa rakyat miskin dan pedagang kaki lima! Hal ini menambah jumlah rakyat nganggur. Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sejak Januari hingga Agustus 2015, terdapat 3.433 kepala keluarga dan 433 unit usaha yang menjadi korban penggusuran paksa yang berada di 30 titik di wilayah DKI Jakarta. Jumlah ini kian bertambah pada 2016, termasuk penggusuran rakyat Kali Jodo dan Luar Batang, Jakarta Utara. Tentu kelakuan Ahok gusur paksa rakyat miskin ini menambah jumlah rakyat nganaggur di DKI. Pernyataan berulang-ulang Ahok, “siap mati demi rakyat ”, hanya “omong doang” semata! Berdasarkan data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, sejak Januari hingga Agustus 2015, terdapat 3.433 kepala keluarga dan 433 unit usaha yang menjadi korban penggusuran paksa yang berada di 30 titik di wilayah DKI Jakarta. Bagaimana bisa APBD DKI puluhan triliyun rupiah, jumlah rakyat nganggur di atas rata-rata se Indonesia? Bahkan, DKI Jakarta berposisi sebagai Ibukota Negara RI, terkenal dengan banyak permasalahan rakyat yang sungguh hingga kini Ahok tak mampu pecahkan. Masalah rakyat DKI kian banyak nganggur dan menunjukkan angka melewati rata-rata Provinsi se Indonesia, bukti Ahok gagal urusan rakyat DKI. Karena itu, kegagalan pecahkan masalah pengangguran ini, dapat diajikan salah satu, bukan sastu-satunya, Ahok tidak layak lanjut sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hanya “omong doang” alias omdo!

Sabtu, 04 Juni 2016

KEGAGALAN AHOK URUS PEMERINTAHAN DAN RAKYAT DKI

I.KESADARAN PALSU Beberapa hari lalu ada Lembaga Survei mengklaim, publik puas dengan kinerja Ahok selaku Gubernur. Ada pula Lembaga Survei sodorkan pertanyaan yg mempengaruhi responden agar bersikap positif terhadap Ahok (push polling). Pemahaman publik awam politik bisa jadi menilai Ahok berhasil urus pemerintahan dan rakyat DKI. Tetapi, apakah hal itu faktual? Tentu tidak. Data, fakta dan angka tidak ada urusan pemerintahan DKI telah berhasil diselesaikan Ahok. Tidak ada Ahok penuhi target-target diharapkan tercapai baik tahun 2015 maupun 2016 berdasarkan regulasi perencanaan 5 tahun pembangunan DKI.Ahok sangat tidak punya kepemimpinan yg konsisten dan konsekuen dgn perencanaan tertuang di dlm RPJMD Jakarta telah ditetapkan dgn Perda No. 2 Tahun 2012.Sebagai standar kriteria, target2 diharapkan tercapai per tahun sangat tepat untuk menilai kinerja dan prestasi Ahok. Realitas obyektif, hanya kegagalan demi kegagalan dialami Ahok. Hal ini tertutupi oleh pencitraan Ahok via media massa setiap hari. Publik awam dijadikan memiliki "kesadaran palsu" tentang kepemimpinan Ahok.Yakni Ahok berhasil, bahkan jujur anti korupsi. Seakan Ahok tidak mau korupsi. Karena dipungkiri berkali berbulan bukan via media massa, publik awam menganggap realitas obyektif, padahal palsu. Sungguh, kepalsuan itu harus dibongkar demi kebenaran faktual Jakarta dipimpin semula Gubernur Jokowi dan Wakil Gubernur Shok. Jokowi kemudian jadi Presiden. Ahok dikukuhkan sebagai pengganti Jokowi. Ahok bukan dipilih rakyat utk jadi Gubernur. KINI hampir dua tahun Ahok dikukuhkan jadi Gubernur DKI. Tim Studi NSEAS menilai Ahok hadapi kegagalan demi kegalan.Apa standar kriteria kegagalan Ahok? Pertama, Janji-Janji Kampanye Pasangan Jokowi dan Ahok dalam Pilkada 2012. Kedua, target-target diharapkan tercapai per tahun pada masing2 urusan pemerintahan dan rakyat DKI dlm Perda Nomor 2 Tahun 2012 tentang RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Provinsi DKI Jakarta Tahun 2013-2017. II. INDIKATOR KEGAGALAN Sejumlah indikator membuktikan kegagalan-kegagalan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta: 1. Rakyat Nganggur kian banyak. 2. Rakyat Miskin kian banyak. 3. Kesenjangan rakyat kaya dan miskin melebar. 4. Menurunnya pertumbuhan ekonomi. 5. Gagal meraih penghargaan Adipura. 6. Kota DKI Paling Macet se Dunia. 7. Titik banjir belum berkurang signifikan. 8. Realisasi Anggaran Belanja rendah. 9. Pembangunan Infrastruktur Terhenti. 10. Kualitas Manajemen dan Perlindungan Asset rendah. III. DESKRIPSI RINGKAS INDIKATOR KEGAGALAN Pertama, Meningkatnya Pengangguran. Secara umum, pengangguran bermakna orang tidak bekerja sama sekali atau sedang dalam mencari kerja atau bekerja kurang dari dua hari selama seminggu sebelum pemecatan dan berusaha untuk memperoleh pekerjaan. Tingkat pengangguran adalah perbandingan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Penilaian Badan Pusat Statistik DKI Jakarta Tahun 2015, DKI Jakarta dalam alarm darurat, jangan dianggap sepele.. Buruknya kondisi ekonomi DKI Jakarta ditandai dengan tingkat pengangguran terbesar di Indonesia yakni di DKI Jakarta dan Banten. Di Banten sebanyak 8,85 persen, sementara di DKI Jakarta sebanyak 8,36 persen, jauh di atas rata-rata Indonesia. Kedua, Meningkatnya Kemiskinan. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Keadaan sebagian rakyat miskin di Jakarta semakin memburuk dari tahun ke tahun. Mengacu pada data BPS DKI Jakarta 2015, jumlah kemiskinan di DKI Jakarta telah meningkat secara terus menerus dari tahun ke tahun. Jika jumlah penduduk miskin tahun 2012 sebanyak 363.200 orang, tahun 2015 menjadi 398,920 orang atau meningkat 9,83 persen. Ketiga, Kesenjangan rakyat kaya dan miskin melebar. Hal yang sangat membahayakan dan harus menjadi perhatian semua pihak adalah masalah ketimpangan ekonomi rakyat DKI. Gini Rasio DKI menunjukkan nomor dua terendah di Indonesia setelah Papua. Ketimpangan atau kesenjangan ekonomi menjadi masalah dengan kaya yang menguasai Jakarta. BPS DKI Jakarta (2015) menunjukkan, masalah ketimpangan ekonomi meningkat dari 0,44 tahun 2014. Tahun 2015 belum diumumkan. Berarti kelompok kaya menguasai 44 persen pendapatan DKI Jakarta. Ketimpangan DKI Jakarta adalah yang tertinggi secara nasional. Bagi J.Suryo Prabowo, gini rasio DKI meningkat 7,20 persen. Sebagai catatan tambahan, pada 24 Februari 2016, Dewan Pimpinan Wilayah Barisan Muda Penegak Amanah Nasional (BM-PAN) DKI Jakarta menggelar diskusi sekitar Evaluasi Kritis Pembangunan DKI Jakarta. Muhammad Idrus, kader PKS, selaku narasumber menilai, ekonomi Jakarta saat ini hanya dinikmati oleh kalangan menengah atas. Gini Ratio (Kesenjangan Ekonomi) Jakarta sebesar 0,43. Versi Fraksi PPP DPRD DKI, angka Gini rasio 0,47. Lalu ada pengakuan BPS DKI Gini Rasio 0,46. Di lain fihak, Syahganda Nainggolan menghitung gini rasio 0,5 atau bahkan lebih. Angka ini jauh di atas angka nasional. Prijono, pakar ekonomi, setuju gini rasio sudah 0,5. Baginya, jika digunakan data BPN (2012) dari tanah produktif 10 persen menguasai 80 persen tanah Jakarta. Itu logikannya berbanding lurus dengan prolehan income kapitalis tersebut. Secara kasar dari aset tanah saja asumsinya Gini Rasio 0,7. Belum kekayaan dan income dari factor non property. Susah dibayangkan angka 0,46 versi Pemerintah. Sebab tidak ada transfer subsisi seperti di ngara-negara Skandinavia atau Belanda sebagai pengurang ketimpangan pendapatan. Bagi Letjen TNI (Purn.) J.Suryo Prabowo, gini rasio DKI meningkat 7,20 persen. Keempat, Menurunnya Tingkat Pertumbuhan Ekonomi. Pertumbuhan ekonomi adalah proses perubahan kondisi perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Sejak Ahok menjabat Wagub dan Gubernur Jakarta, pertumbuhan ekonomi Jakarta hanya di kisaran 5% jauh di bawah kinerja Fauzi Bowo yang rata-rata 6.8% per tahun. Kegagalan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Jakarta ini berdampak langsung terhadap penurunan kesejahteraan rakyat, peningkatan kemiskinan dan angka pengangguran di Kota Jakarta. Kelima, Kegagalan Meraih Penghargaan Adipura. Adipura adalah sebuah penghargaan bagi kota di Indonesia yang berhasil antara lain proses pengolahan sampah; , penataan ruang hijau dengan tersedianya 30 persen dari luas wilayah; area daerah aliran sungai (DAS) yang harus terjaga; dan, perawatan ruang publik seperti terminal, rumah sakit, dan sekolah. Kinerja buruk Ahok paling menonjol pada kegagalan Pemprov DKI Jakarta meraih penghargaan Adipura, lambang prestasi kebersihan dan kenyamanan kota. Sebelumnya, Kota Jakarta tidak pernah gagal merail Penghargaan Adipura selama 10 tahun terakhir. Kegagalan Ahok makin diperburuk dengan perolehan status penilaian WDP (wajar dengan pengecualian) atas laporan keuangan dan kinerja Pemprov DKI Jakarta dari BPK RI. Keenam, Kota Paling Macet se Dunia dan Banjir Jalan Terus. Kemacetan adalah situasi atau keadaan tersendatnya atau bahkan terhentinya lalu lintas yang disebabkan oleh banyaknya jumlah kendaraan melebihi kapasitas jalan. Kemacetan di DKI Jakarta selama Ahok menjadi Gubernur, ternyata mencapai ranking teratas kota paling macet se dunia. Kondisi ini ditemukan oleh suatu studi yang dibuat melalui Traffic Jam Index, dilaksanakan Lembaga Internasional CASTROL Hasil studi ini dimuat di dalam Majalah TIME.http://time.com/3695068/worst-cities-traffic-jams. Di lain pihak banjir jalan terus, bahkan tahun 2016 ini paling dahsyat dan terbesar sejak 2007 karena mencapai kedalaman 5 Meter. Ahok sampai marah kepada Walikota Jakarta Utara, Rustam Effendi, hingga Rustam meletakkan jabatannya sebagai Walikota Jakarta Utara. Ketujuh, Titik banjir belum berkurang signifikan. Para pendukung buta Ahok acapkali mengklaim, Ahok berhasil memecahkan masalah banjir di DKI. Apa betul? Fakta menunjukkan, Jakarta kembali kebanjiran saat hujan deras turun. pada 2016 titik lokasi banjir harus tinggal 45 titik lokasi lagi. Namun, banjir jalan terus masih melebihi 45 titik lokasi. Bahkan pada banir 21 April 2016 terjadi banjir terbesar sejak 2007. Banjir terjadi pada 21 April 2016 termasuk terbesar sejak 2007. Banjir mencapai kedalaman 20 hingga 100 cm di Pademangan, Jakarta Utara. Bahkan, ketika banjir terjadi di Cawang Maret 2016, kedalaman air 20 Cm hingga 1,5 M. Kalau dibandingkan 2007, banjar saat itu paling dahsyat karena mencapai kedalaman 5 meter. Banjir bulan April 2015 cukup merata di Ibukota. Sama seperti 2015, Jakarta Utara, Timur, dan Selatan merupakan wilayah paling parah terkena dampak banjir. Kedelapan, Realisasi Anggaran Belanja Terendah. Penilaian BPK atas laporan penggunaan anggaran dan pengelolaan keuangan serta kepatuhan hukum Pemprov DKI Jakarta menghasilkan nilai CCC atau BURUK. Dengan hasil ini, Pemprov DKI Jakarta berada pada urutan ketiga terburuk dari seluruh propinsi di Indonesia. Kelemahan utama Pemerintah DKI Jakarta adalah realisasi belanja daerah terendah. Realisasi belanja 2015 senilai 37, 8 triliun rupiah, sebesar 53,39 persen dari yang direncanakan. Penyerapan APBD DKI Jakarta termasuk paling terendah se-Indonesia dan kegagalan mencapai target PAD (pendapatan asli daerah) merupakan indikator buruknya kinerja Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Puncak kegagalan kinerja Ahok adalah peningkatan korupsi mencapai 900% dengan kerugian negara dari Rp. 1.54 triliun pada tahun 2013 hingga Rp2.5 triliun pada tahun 2014. Salah satu korupsi temuan BPK adalah pada pengadaan lahan RS Sumber Warag Jakarta yang pengadaan lahannya dibeli Pemprov DKI dari Yayasan RS Sumber Waras. Kesembilan, Pembangunan Infrastruktur Terhenti. Infrastruktur (saran dan prasarana fisik) memegang peranan penting sebagai salah satu roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di DKI Jakarta. Keberadaan infrastruktur merupakan bagian sangat penting dalam sistem pelayanan masyarakat. Berbagai fasilitas fisik merupakan hal yang vital guna mendukung berbagai kegiatan pemerintahan, perekonomian, industri dan kegiatan sosial di masyarakat dan pemerintahan. Mulai dari sistem energi, transportasi jalan raya, bangunan-bangunan perkantoran dan sekolah, hingga telekomunikasi, rumah peribadatan dan jaringan layanan air bersih, kesemuanya itu memerlukan adanya dukungan infrastruktur yang handal. Kondisi infrastruktur di Jakarta yang masih berantakan. Ada tumpukan galian di pinggir jalan sampai mengering. Jakarta sebagai kota besar masih belum punya pelayanan publik yang bagus. Pelayanan di Jakarta belum menggambarkan sebagai ibu kota Indonesia. Belum optimal. Kondisi infrastruktur di Jakarta yang masih berantakan. Ada tumpukan galian di pinggir jalan sampai mengering. Jakarta sebagai kota besar masih belum punya pelayanan publik yang bagus. Pelayanan di Jakarta belum menggambarkan sebagai ibu kota Indonesia. Belum optimal. Hampir semua pembangunan infrastruktur strategis di DKI seperti MRT, pengendalian banjir, yang sedang berlangsung merupakan Pemerintah Pusat. Sebagai konsekuensi rendahnya penyerapan anggaran belanja, maka pembangunan infrastruktur menjadi terhenti. Kalaupun terdapat kemajuan pembangunan infrastruktur, hal itu hanya berkisar pada taman-taman terbuka yang sebagian besar dibiayai oleh bantuan korporasi. Selama kepemimpinan Ahok, belum ada pembangunan infrastruktur strategis benar-benar terealisir, kecuali sekedar program di atas kertas. Kesepuluh, Kualitas Manajemen dan Perlindungan Asset Pemerintah DKI Rendah. Kualitas manajemen dan perlindungan asset Pemerintah DKI rendah. Banyak asset Pemerintah DKI Jakarta beralih tangan ke pihak swasta. Data BPK tahun 2014, khusus di pemerintah DKI Jakarta, nilai aset beralih ke tangan swasta mencapai Rp259,05 miliar. Aset tersebut berpindah setelah kalah gugatan di pengadilan. Dari data dihimpun Bisnis, saat ini terdapat 35 bidang tanah seluas 1.538.972 meter persegi milik Pemprov DKI Jakarta dengan nilai Rp.7,976 triliun digugat oleh pihak swasta. Dari jumlah tersebut, 11 bidang tanah sudah dimenangkan pihak swasta. Total aset yang beralih kepada pihak swasta ini mencapai Rp259 miliar. Seringkali DKI kalah di persidangan untuk masalah perolehan aset karena antara lain tidak memiliki sertifikat. Kesepuluh, tingkat keamanan dan ketertiban masyarakat sangat rendah ditandai dengan aksi-aksi ratusan ribu rakyat DKI mengkritik dan mengecam prilaku kista agama Islam oleh Ahok sendiri. Ahok bukannya pemecah masalah, malahan menjadi pepeyebab masalah keamanan dan ketertiban masyarakat DKI. Bahkan, Ahok satu satunya Gubernur diusir rakyatnya di Indonesia. IV. KESIMPULAN Berdasarkan uraian kegagalan-kegagalan Ahok di atas, dapat ditarik kesimpulan, sungguh Ahok telah gagal dan tidak layak untuk terus sebagai Gubernur DKI Jakarta. Jika masih dipertahankan, maka kondisi sosial ekonomi rakyat dan pemerintahan DKI akan terus merosot dari hari ke hari. Ahok sudah menjadi penyebab masalah keamanan dan ketertiban masyarakat DKI. Karena itu, sebagai Gubernur alami kegagalan dari kegagalan, jika tetap jadi Gubernur, tentu tetap mengalami kegagalan dan kondisi sosial ekonomi politik rakyat DKI terus merosot. Masalah penggangguran,kemiskinan, kesenjangan kaya miskin, banjir, kemacetan, kawasan kumuh, dan urusan pemerintahan lain terus takkan terpecahkan.Edisi 24 Oktober 2016/MEH.