Jumat, 26 Februari 2016

KEGAGALAN JOKOWI-JK MEMENUHI JANJI-JANJI KAMPANYE

PENGANTAR:Bulan Oktober 2016 ini Jokowi-JK berkuasa sudah 2 tahun. Beragam forum diskusi muncul menyoal keberhasilan dan kegagalan Jokowi-Jk urus pemerintahan dan rakyat Indonesia. Beragam data, fakta dan angka disajikan utk merasionalisai penilaian publik tsb. Forum-forum dimaksud digelar oleh mahasiswa, aktivis politik, dan juga masyarakat madani. Pertanyaan pokok evaluasi 2 tahun rezim Jokowi-Jk berkuasa, apakah Rezim ini gagall atau berhasil? Sebagai misal, apakah janji Tol Laut, pertumbuhan ekonomi, dll. berhasil atau gagal? Sungguh 1 tahun berkuasa Jokowi-Jk, sudah terlihat kegagalan. Kondisi ini tidaklah ada kemajuan walau waktu sudah 2 tahun berjalan,jika tak boleh dinilai, "semakin gagal dan kondisi merosot". Tulisan ini tunjukkan kegagalan Jokowi-Jk utk 1 tahun berkuasa. Sila pembaca membandingkan dengan data, fakta dan angka utk 2 tahun berkuasa Oktober 2016 ini (TIM STUDI NSEAS). 1. PERTUMBUHAN EKONOMI: Jokowi-Jk dalam kampanye Pilpres 2014 berjanji akan menciptakan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7 %. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I-2015 hanya 4,71 %, merosot dibandingkan pertumbuhan yang sama tahun yang sama sebesar 5,14 %. Pertumbuhan ekonomi 4,71 % merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 2009. Padahal, pada tahun 2010 mencapai 6,81 %. Titik terendah pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Jokowi pada triwulan II-2015, hanya mencapai 4,67 %. Di lain fihak, tercatat 20 Mei 2015, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui, realisasi penerimaan mencapai Rp.502,7 triliun atau 28,5 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Sementara, realisasi belanja Negara tercatat Rp. 548,7 triliun. Anggaran Negara mengalami defisit sebesar Rp. 46 triliun! Perdagangan antarpulau ikut terkena dampak dari kemerosotan ekonomi nasional ini. Menurut Kompas, 28 Mei 2015, pada Triwulan I-2015, komoditas perdagangan antarpulau seperti semen, pupuk, gula dan barang elektronik/kenderaan di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta menurun apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kelesuan ekonomi dan perubahan harga bahan bakar minyak dianggap menjadi penyebabnya. Di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta dari puluhan kapal layar motor (KLM) hanya dua sampai tiga kapal yang bersandar di dermaga pelabuhan yang mengirim banrang ke wilayah Nusantara tersebut. Bahkan, sejumlah kapal telah bersandar lebih dari sebulan. Aktivitas buruh angkut pun minim. Data PT. Pelabuhan Indonesia II Cabang Sunda Kelapa menunjukkan penurunan pengiriman komoditas antarpulau untuk KLM dan kapal motor. Pengiriman semen pada triwulan pertama tahun ini 369.509 ton semen. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, pengiriman mencapai 447.278 ton semen. Adapun pengiriman terigu menurun dari 7.532 ton pada Triwulan I-2014 mencapai 6.999 pada Triwulan Pertama tahun ini. Di lain fihak, kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Sunda Kelapa ini merosot hingga 60 %. Para buruh mengalami penurunan upah karena tidak ada aktivitas bongkar muat barang. Kualitas pertumbuhan menurun juga dilaporkan oleh Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef dalam tulisannya "Mengembalikan Kredibilitas Pemerintah" (Media Indonesia, 15 Juni 2015). Berdasarkan hasil penelitian Indef, ditunjukkan beberapa kesimpulan. Pertama, kualitas pertumbuhan menurun, terlihat semakin gagalnya harapan terjadinya transformasi struktur ekonomi ini. Pertumbuhan sektor tradable justru merosot cukup tajam. Sektor jasa masih tumbuh tinggi, terutama jasa informasi dan komunikasi (10,53 %) serta jasa keuangan dan asuransi (7,57 %). Padahal sektor-sektor tersebut relatif kedap dalam menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja formal. Sementara itu, industri yang mempunyai kontribusi sekitar 23,7% terhadap GDP, hanya mampu tumbuh 3,87 %. Kedua, penurunan investasi dan indeks tendensi bisnis. Pertumbuhan investasi masih tetap melambat dari 20,22 % (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 10,16 % pada triwulan I 2015. Bahkan porsi investasi terhadap GDP turun dari 33,46 % pada triwulan IV 2014 menjadi 31,94 % pada triwulan I 2015. Ketiga, indeks tendensi bisnis (ITB) yang merupakan refleksi persepsi pelaku usaha terhadap prosfek ekonomi pada triwulan I 2015 anjlok menjadi 96,30. Padahal para triwulan IV 2014 masih berada pada level 104,07. Turunnya ITB itu disebabkan turunnya indeks pendapatan usaha (95,06), indeks penggunaan kapasitas produksi (95,13), dan indeks rata-rata jam kerja (97,83). Keempat, neraca perdagangan selama lima bulan terakhir memang telah mengalami perbaikan. Sayangnya, surplus neraca perdagangan bukan karena ditopang membaiknya kinerja ekspor, melainkan tertolong oleh turun drastisnya impor. Pada Januari-April 2015, ekspor turun 11,01 % dan impor turun hingga 17,03%. 2. NILAI EKSPOR DAN IMPOR: Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dibarengi dengan kemerosotan nilai ekspor Indonesia ke Negara lain. Nilai ekspor pada Januari-Maret 2015 hanya mencapai US$ 39,13 Miliyar atau turun 11, 67 % dibandingkan dengan ekspor periode yang sama tahun 2014. Juga ekspor nonmigas mencapai US $ 33,43 Miliyar, atau turun 8,23 %. Harga-harga komoditas ekspor merosot, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan karet merosot. Dalam situasi kemesosotan pertumbuhan ekonomi dan nilai ekspor, terjadi pula peningkatan nilai impor. Nilai impor Maret 2015 sebesar US$ 12,58 Miliyar, meningkat 9,29 % dibandingkan dengan impor bulan Februari 2015 dan 13,39 % jika dibandingkan dengan impor Maret 2014. Juga terjadi peningkatan impor Migas. Impor Migas Maret 2015 sebesar US$ 2,27 Miliyar, menaik 31,89% dibandingkan dengan Februari 2015 (US$ 1,72 Miliyar). 3. NILAI TUKAR PETANI (NTP): Nilai tukar Petani (NTP) pada April 2015 merosot 1,37 % dibandingkan pada Maret 2015. Pembangunan pertanian belum terdengar realisasinya. 4. INFLASI DAN NILAI RUPIAH: Menurut Gubernur BI Agus Martowardojo (27 Mei 2015), inflasi di Tanah Air sepanjang kuartal satu tahun 2015 ini mencapai 6,39 % dibanding tahun lalu (year on year) dan meningkat menjadi 6,79 % (yoy) pada April lalu. Artinya, inflasi pada April 2015 menaik sebesar 0,40 %.Inflasi Indonesia masih tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara yang laju kenaikan harganya jauh di bawah 5 %. Filipina, inflasinya 2,29%, Malaaysia 0,9%, Singapura deflasi 0,3 %, dan Thailand deflasi 1 %. Sementara itu, Rupiah terjun bebas dari Rp. 10.000 di akhir Juli 2014 ketika Jokowi-Jk ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014 dan sekarang telah mencapai melewati Rp. 13.000 per US Dollar.Menurut Gubernur BI, Indonesia menghadapi enam tantangan struktural pengendalian inflasi. Pertama, terbatasnya kapasitas produksi pangan strategis. Hal ini terjadi karena luas lahan pertanian menyusut berganti dengan permukiman dan kawasan industri. Kedua, nilai rupiah masih rentan karena bahan baku manufaktur Indonesia masih bergantung pada barang impor. Ketiga, produksi pangan juga masih rentan terhadap iklim sehingga pasokan kerap terganggu. Keempat, Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar minyak. Kelima, konektivitas antardaerah, terutama antarpulau, masih lemah sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Keenam, rantai distribusi pangan di Indonesia maih panjang dan dikuasai segelintir pelaku saja sehingga selalu ada oligopoli dan monopoli. Bukan petani yang menikmati harga pangan, melainkan para pemain tersebut. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dan nilai tukar rupiah melemah. IHSG bias menjadi indicator gairah investor di pasar modal. Adapun nilai tukar rupiah bias menjadi cermin kekuatan di pasar keuangan valuta asing. Pada penutupan perdagangan selasa 25 Agustus 2015, IHSG ditutup pada posisi 4.228,501 atau meningkat 1,556 persen. Namun, sejak awal 2015, IHSG masih turun 19,1 persen. Rupiah pun demikian. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), menunjukkan bahwa rupiah masih melemah, menjadi Rp. 14.067 per dollar AS. Sejak awal 2015, rupiah sudah melemah 13,4 persen. Rontoknya harga saham merupakan indicator berkurangnya kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Investor menjual asset dalam bentuk portfolio di Indonesia tidak saja karena ingin mengkonversinya ke asset berdenominasi dollar AS, tetapi juga karena melihat arah pembalikan pertumbuhan ekonomi masih lambat, yakni pada Triwulan I- 2015 sebesar 4,72 persen melambat menjdai 4,67 persen pada tribulan II -2015. Kompas 26 Agustus 2015 melaporkan, keterburukan nilai tukar rupiah terhadap Doillar AS mulai dirasakan kalangan pelaku industri manufaktur. Mereka bukan hanya dihantui penurunan harga jual, tergerusnya pasar, melainkan juga membengkaknya biaya produksi akibat melonjaknya harga bahan baku impor. Pengusaha berusaha bertahan dengan mengurantgi kapasitas produksi dan jam kerja untuk menekan biaya produksi. Di sisi lain, kalangan pekerja mulai resah karena khawatir menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) jika situasi bisnis tidak kondusif. Pelemahan rupiah juga dialami pelaku industri manufaktur di Jawa Timur. Sekitar 60 % dari 34.000 perusahaan di Jawa Timur bergantung pada bahan baku impor. Upaya yang bias mereka lakukan adalah melakukan efsiens dengan cara mengunrangi jam kerja atau pekerja. Industri paling terpengaruh adalah industry loganm dan plastic karena 50 persen bahan bakunya harus diimpor. Berdasarkan data BPS Jatim, impor komoditas besi/baja dan plastic menurun dibandingkan tahun lalu. Semester I 2015, impor besi dan baja 754 juta dollar AS, turun dibandingkan tahun lalu yang 964 juta dollar AS. Impor plastic turun dari 714 juta doillar AS tahun lalu menjdai 619 juta dollar AS di Semester I 2015. Data ini indiaksi melambatnya laju produksi industry. Dari Bandung dilaporkan, pelaku industri tekstil melakukan berbagai cara untuk mempertahanikan industrinya. Salah satunya menurunkan kapasitas produksi dan mengurangi jam kerja agar tidak terjadi PHK, dan jam lembur ditiadakan. 5. CADANGAN DEVISA: Posisi cadangan devisa merosot dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2015 sebesar 115,5 Miliyar Dollar AS. Merosotnya posisi cadangan devisa tersebut akibat peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan dalam rangka stabilitas nilai tukar rupiah. 6. PENERIMAAN PAJAK: Penerimaan pajak sampai pada Maret 2015 dibandingkan yang sama Maret 2014 merosot hingga Rp. 50 triliun. Menurut Pengamat Ekonomi Didik J.Rachbini (Koran Sindo, 1 November 2015, realisasi penerimaan pajak tahun ini baru mencapai 58,59 % atau Rp. 758 triliun dari terget Rp. 1.294,2 triliun per 29 Oktober 2015. Seretnya penerimaan pajak tidak diimbangi dengan efisiensi belanja yang dilakukan Pemerintah. Dia mengatakan, Pemrintah saat ini terus mendorong pembangunan berbagai proyek secara besar-besaran. "Dalam kondisi penerimaan yang sulit, mestinya jangan terlalu ekspansif. Proyek-proyek yang ada harus diseleksi. 7. HUTANG: Pada saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi berjanji tidak akan berhutang dan tidak belanja berlebihan. “Pembekuan belanja, tidak perlu belanja terlalu over. Artinya uang yang ada ini dibelanjakan, uang yang ada saja yang dibelanjakan,” ungkapnya di Balai Kota DKI Jakarta, 19 Agustus 2014. Setelah terpilih di kampanye, Jokowi sapaan akrabnya kembali menegaskan janjinya tidak akan menambah utang. “Ya penggunaan APBN itu secara efisien dan tepat sasaran. Tidak perlu ngutang,” ujarnya kala itu, sebagaimana dikutip dari laman Merdeka Online (19/4/2015). Sedangkan untuk pembayaran utang yang semakin menumpuk, Jokowi menjawab dengan enteng. “Kalau utang ya dibayar.” Di bawah Rezim Jokowi hutang Indonesia bertambah Rp. 250 triliun. Rasio utang Indonesia tidak aman. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia menembus angka US$ 299,8 miliar atau mengalai kenaikan 7,8 persen pada April 2015 (Liputan6.com) . Kondisi utang tersebut sudah sangat mengkhawatirkan dari sisi Debt Service Ratio (DSR), yaitu rasio totalpembayaran pokok dan Bungan ULN relatif terhadap total penerimaan transaksi berjalan. Dirktur Eksekutif Core Indonesia, Hendri Saparini ( 28 Juli 2015) menegaskan bahwa CSR utang luar negeri Indonesia sudah mencapai lebih dari 50 persen. DSR sudah di atas 50 persen.bukan berarti aman. Mengacu hasil analisis Merdeka Online (19/4/2015) utang luar negeri Indonesia bertambah mencapai Rp 3.940 triliun. Per Januari 2015, utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar USD 298,6 miliar atau setara dengan Rp 3.940 triliun. Angka utang ini meroket jika dibandingkan posisi per Desember 2014 yang hanya USD 292,6 miliar atau setara dengan Rp 3.860 miliar. Angka utang ini terdiri dari utang luar negeri pemerintah bersama Bank Indonesia USD 135,7. Sedangkan utang luar negeri swasta sebesar USD 162,9 miliar. Khusus utang luar negeri Pemerintah Jokowi-Jk tembus mencapai Rp 1.710 triliun. Per Januari 2015 utang luar negeri pemerintah mencapai USD 129,7 miliar atau setara dengan Rp 1.710 triliun. Angka utang pemerintah ini naik USD 5,9 miliar atau setara dengan Rp 78 triliun jika dibandingkan Desember tahun lalu yang hanya USD 123,8 miliar atau Rp 1.632 triliun. 8. KEBUTUHAN DASAR RAKYAT: Di bawah Rezim Jokowi semua kebutuhan sembako menaik naik. Harga BBM menaik. Harga beras menaik. Harga gas menaik. Tarif kereta api menaik. Jalan tol dikenakan pajak. Impor beras, gula dan daging semakin mantap. Daya beli rakyat menurun, biaya hidup menaik mengikuti kenaikan harga BBM. Saat masa kampanye, Jokowi menekankan, Indonesia harus berani menghentikan impor daging sapi. Indonesia memiliki kemampuan untuk menciptakan swasembada daging sepenuhnya bergantung pada produksi dalam negeri. "Kita harus punya keberanian untuk beralih dari konsumsi ke produksi. Selama ini kita tidak berani berproduksi karena tidak ada kemauan," kata Jokowi 29 Maret 2014. Namun, Direktur Jenderal Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan, mengumumkan pada bulan September 2014 Indonesia tengah meningkatkan jumlah sapi Australia, biasanya diimpor di kuartal terakhir sehingga mereka dapat menambah simpanan untuk kuartal pertama tahun depan. Kementerian Perdagangan Indonesia berharap dapat menerbitkan izin untuk mengimpor 264.000 ekor sapi pada kuartal keempat tahun ini-sebuah peningkatan yang signifikan dari perkiraan awal sekitar 136.000 ekor. Kini, Jokowi telah mengambil kebijakan impor sapi yang sebelumnya ditentang. 9. TOL LAUT: Jokowi berjanji dalam Pilpres akan membangun tol laut dalam beragam bentuk kegiatan, antara lain membangun puluhan Pelabuhan, lebih seratus pembangunan antar pulau, penyediaan armada kapal, dll. Namun, hingga kini dapat dinilai, janji kampanye tol laut hanya dalam kata-kata kampanye saja. Justru yang diutamakan bukanlah tol laut, malahan jalan tol darat dan kereta api cepat. Janji-janji tol laut setelah hampir mencapai dua tahun kekuasan Jokowi sebagai Presiden, tidak pernah terdengar lagi bagaikan sirna dari percakapan publik. 10. KEHIDUPAN KEPARTAIAN: Perpecahan parpol, khususnya PPP dan Golkar, sesungguhnya akibat intervensi Rezim Jokowi-Jk melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Partai Golkar dan PPP menjadi korban dari intervensi Rezim Jokowi. Jokowi seharusnya bertanggungjawab untuk membangun tatanan politik yang sehat, dan politik kepartaian yang stabil tanpa perpecahan. Sejatinya, dengan perpecahan parpol di Indonesia, hal itu sama saja kegagalan Jokowi sendiri menjadi kepala pemerintahan. Namun, Jokowi melakukan politik pembiaran atas perpecahan Parpol. Jokowi gagal membangun politik kepartauan. 11. DEMOKRASI: Rezim Jokowi-JK mengehendaki tidak aka kekuatan oposisi di Parlemen/DPR. Semua kekuatan politik harus berkoalisi dengan Parpol-Parpol pengusung Rezim. Intevensi Rezim dalam konflik internal dan perpecahan PPP dan Golkar agar tidak menjadi Parpol oposisi, tetapi koalisi terhadap Rezim. Karena itu,dari ukuran pentingnya oposisi dalam demokrasi, Rezim Jokowi-JK tergolong anti-demokrasi, bukan pro demokrasi. 12. PEROMBAKAN KABINET: Pada 12 Agustus 2015 Jokowi melakukan perombakan Kabinet, mengangkat wajah-wajah baru di Kabinet, yaitu Darmin Nasution (Menko Bidang Perekonomian), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Bidang Polhukam), Rizal Ramli (Menko Bidang Kemaritiman), Thomas Trikasih Lembong (Menteri Perdagangan) dan Pramono Anung Wibowo (Sekretaris Kabinet). Dilaporkan Kompas 24 Agustus 2015, Jajak Pendapat “Kompas” 19-21 Agustus 2015 dengan 519 responden via telepon, menunjukkan bahwa secara keseluruhan, bagian publik yang menyatakan “tidak puas” dengan hasil perombakan Kabinet Kerja (43,4 persen) “lebih besar” daripada yang merasa puas (32,9 persen). Hal ini antara lain karena tidak terpenuhinya harapan publik terkait dengan penggantian sejumlah Menteri yang kinerjanya selama ini dinilai kurang memuaskan. Apa faktor pertimbangan perombakan Kabinet? Sebagian besar responden (63,6 persen) menunjukkan faktor pertimbangan kinerja menteri buruk, menyusul mengubah komposisis orang parpol di Kabinet (12,7 persen), tersangkut kasus (7,7 persen), 6,6 persen masalah moralitas/perilaku, sisanya tidak tahu dan lainnya. Sementara itu, persoalan utama yang harus segera diselaikan Pemerintah adalah kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok (40,8 persen), diikuti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (30,3 persen), penegakan hukum dan penangan korupsi (8,8 persen), ketersediaan bahan pangan (7,5 persen), menurunnya impor berbagai produk (4 persen), dan lainnya (8,6 persen). Jokowi pernah berucap, tidak mungkin ekonomi kita maju kalau politik kita terus gaduh. Namun, faktanya, kegaduhan-kegaduhan justru ditimbulkan oleh beberapa individu dalam pemerintah sendiri. Banyak kegaduhan tak perlu. Ketenangan politik akan terwujud kalau demokrasi dihormati dan dijalankan. Kegaduhan politik belum berlalu dari kehidupan demokrasi di Indonesia. Hingga 325 hari Rezim Jokowi berkuasa, lebih dari separuh perjalanannya diwarnai kegaduhan politik. Mulai dari kisruh KPK – Polri, tumpang tindih pemberantasan korupsi, hingga komunikasi antar pejabat negara yang dinilai buruk. Dampak kegaduhan politik pun semakin melebar. Bahkan sektor ekonomi pun terkena imbasnya. Terakhir, Rizal Ramli (RR) member pernyataan menolak ide Wapres terkait pembangunan 35 ribu megawatt pembangkit listrik. Atas pernyataan ini, Juru Bicara Wapres Jusuf Kala menilai, RR telah membuat gaduh suasana politik. Sebaliknya, RR menolak dianggap sebagai biang kegaduhan di tubuh kabinet. Dia balik menuding pihak yang menuduhnya punya kepentingan terhadap proyek-proyek yang dikritiknya. “Tokoh-tokoh yang otoriter menganggap ini gangguan terhadap kepentingan mereka,” kata Rizal. “Kalau tak punya kepentingan, pasti senang dengan langkah saya.” RR mengatakan perbedaan pendapat, apalagi disertai solusi, adalah hal biasa. Dia juga menegaskan, semua kritiknya telah disampaikan secara terbuka dalam rapat-rapat kabinet. 13. LAPANGAN KERJA: Jokowi berjanji dalam Pilpres 2014 untuk membuka 10 juta lapangan pekerjaan selama lima tahun ke depan. Bagaimana kemajuan janji Jokowi itu? Selama satu tahun sedikitnya 2 Juta lapangan kerja baru. Selama enam bulan Rezim Jokowi berkuasa, sudah ada 1 juta lapangan kerja baru. Apakah itu terealisasi ? Hingga 7 bulan berkuasa Rezim Jokowi, masih sebatas retorik atau “ngomong doang”. Bahkan, kini telah bertambah 300.000 penganggur baru. Kepala BPS Suryamin mengatakan jumlah pengangguran pada Februari 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan Agustus 2014 sebanyak 210 ribu jiwa. Sementara jika dibandingkan dengan Februari tahun lalu bertambah 300 ribu jiwa. Jumlah pengangguran pada Februari 2015 mencapai 7,4 juta orang. Pelemahan ekonomi terjadi pada kuartal I tahun 2015 berdampak buruk pada para pekerja. Ratusan ribu pekerja harus menanggung nasib pahit karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).Kondisi tersebut di antaranya dialami pekerja tambang, tekstil, alas kakai, dan ritel. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir menungkapkan, setidaknya 40 persen dari pekerja pertambangan terpaksa diputus kontrak kerjanya. Artinya, dari 350 ribu pekerja di seluruh Indonesia terdapat 100 hingga 150 ribu karyawan tambang yang terpaksa putus kontrak (Harian REPUBLIKA, 1 Juni 2015). Kondisi para pekerja terpaksa diPHK, juga berlaku pada sejumlah perusahaan di kawasan industri Batam, Kepulauan Riau. Yakni memutuskan untuk menutup pabriknya dan hengkang dari Indonesia. Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Seluruh Indonesia, Sanny Iskandar, menjeloaskan, rata-rata perusahaan itu bergerak pada sektor "labour intensive industry" atau industri padat karya. Perusahaan-perusahaan itu merelokasi pabriknya ke Vietnam dan Myanmar. Kedua negara itu, dianggap memberikan dukungan investasi yang baik, kondusif, dan menguntungkan. Perusahaan yang pindah, sebagian besar mengeluhkan soal birokrasi perizinan dan gangguan keamanan di Indonesia (Harian REPUBLIKA, 4 Juli 2015). 14. KESENJANGAN SOSIAL: Jokowi saat Pilpres 2014 berjanji akan melakukan pengurangan kesenjangan social, yang diukur dengan “gini ratio” 0,30. Angka ini ternyata telah dirubah ke dalam Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menjadi 0,36. Jokowi telah ingkar janji sejak dari perencanaan pembangunan. Padahal, janji adalah utang, yang dalam keyakinan agama Islam, harus dilunasi. Bahkan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menuding pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengabaikan kesejahteraan masyarakat pribumi. Rezim Jokowi-JK dianggap lebih mementingkan kebutuhan kelompok asing. Bahkan,Pemerintah mengaku,jumlah penduduk miskin akan semakin banyak (Republika, 17 September 2015).Berdasarkan data BPS,penduduk miskin menjadi 28,59 juta orang. Penyebab meningkatnya angkakemiskinan,menurut5 Menko Perekonomian,Darwin Nasution, karena jartuhnya harga komoditas bakibat melambatnya ekonomi global.Banyak masyarakat yang menanam karet, kelapa sawit,kopi, dan komoditas lainnya akhirnya tergerus pendapatannya akibat harga komoditas jatuh. Faktor penting lainnya adalah harga pangan. Darwin mengakui harga pangan , terutama beras, cenderung meningkat.Menurut data BPS, harga beras memang menjadi penyumbang utama meningkatnya angka kemiskinan. Pendapatan masyarakat turun,harga pangan tidak turun. Dalam laporan Perekonomian Indonesia 2015 oleh BPS, awal September 2015, disebutkan bahwa ekonomi di luar Jawab tumbuh melambat sebagai penurunan nilai ekspor komoditas bahan tambang dan pemberlakuan UU Minerba. Sementara untuk Jawa, yang masih ditopang ekspor manufaktur,belum pulih karena permintaan global yang lesu. Pelambatan ekonomi di Jawa sangat mempengaruhi perekonomian nasional.Ini karena pangsa ekonomi Jawa terhadap nasional lebih dari 50 persen. Apa yang membuat ekonomi di Jawa melambat? Dari hasil kajian BPS,tercatat menurunnya kinerja usaha pertanian dan bangunan.Pertanian,produksi padi mengalami penurunan akibat banjir.Sementara sektor konstruksi lesu karena lemahnya investasi dan terbatasnya pembangunan infrastruktur. 15. SEJUTA RUMAH: Rezim Jokowi-Jk berjanji untuk membangun sejuta rumah, terdiri atas 603.516 unit rumah (60%) untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Harga patokan penjualan rumah MBR maksimal Rp. 88 juta per unit. Sisanya sebanyak 396.484 unit rumah (40%) untuk kalangan menengah atas (Non MBR). Sebanyak 331.693 unit rumah akan dibangun pada tahap pertama, yakni di Nias Utara, Banyuasin, Jakarta barat, Tanggerang, Cirebon, Semarang, Malang, Kotawaringin Timur, dan Bantaeng. Perumahan itu diperuntukkan bagi pegawai negeri, masyarakat umum, buruh dan nelayan. Dari total rumah dibangun tahap pertama tersebut, 94.426 unit merupakan rumah tapak, 6.421 unit rumah susuan sederaha milik (Rusunami) dan 288 unit rumah susun sewa (Rusunawa). Proyek pembangunan sejuta rumah yang dicanangkan Rezim Jokowi-JK ini sangat berbeda dengan Proyek Rumah Murah untuk MBR (harga maksimal Rp. 30 juta per unit) yang pernah dicanangkan oleh Rezim SBY-Boediono, tetapi mengalami kegagalan. Proyek Rezim Jokowi-JK ini diperkirakan juga akan mengalami kegagalan, dan hingga Mei 2015 belum ada realisasainya. Hanya baru sekedar wacana atau janji belaka! Mengapa? Kalau sejuta rumah diperkirakan akan dibangun selama lima tahun, rata-rata 200 ribu per tahun. Kini Rezim Jokowi-JK telah berlangsung tujuh bulan, tentunya sudah harus melebihi 100 ribu rumah. Tapi, dalam kenyataannya satu unit rumah pun belum terbangun, terutama untuk MBR.Bahkan, akhir-akhir ini di DKI Jakarta terus terjadi penggusuran penduduk yang menyebabkan rumah tempat tinggal mereka tergusur juga. 16. MASYARAKAT MADANI: Dalam kondisi keuangan dan ekonomi Indonesia merosot, terjadi pula peningkatan aksi demo mengkritik dan menuntut Rezim Jokowi-JK dari kalangan buruh,mahasiswa, LSM,Ormas, dan komponen masyarakat madani lainnya. Salah satunya aksi buruh turun ke jalan di 20 Kota, 1 Sebtember 2015, atas nama Gerakan Buruh Indonesia (GBI). Sekitar 20 ribu buruh turun ke jalanandengan berbagai tuntutan sebagai berikut: a. Mendesak Pemerintah Jokowi-JK melakukan aksi nyata untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. b. Mendesak Pemerintah untuk menurunkan harga bahan pokok dan bahan bakar minyak(BBM). c.Menolak PHK yang disebabkan pelemahan rupiah. d.Menolak rencana Pemerintah untuk memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia melalui kebijakan yang tidak mewajibkan mereka bisa berbahasa Indonesia. e. Menuntut upah minimum 2016 dinaikkan 22 persen serta kebutuhan hidup layak sebagai landasan perhitungan upah minimum mencantumkan 84 butir. f.Mendesak Pemerintah merevisi Peraturaan Pemerintah tentang Jaminan Pensiun sehingga manfaat pensiun yang diterima pekerja sama dengan pegawai negeri sipil (PNS) bukan Rp.300 ribu per bulan setelah bekerja 15 tahun. g.Mendesak BPJS memperbaiki pelayanan dan menghapuskan system INA CBGs dan peraturan Menteri Kesehatan No.59 Tahun 2014 yang membuat tariff untuk rumah sakit menjadi murah. h.Mendesak agar pengadilan hubungan industrial (PHI) dibubarkan dengan merevisi UU No.2 tahun 2004. PHI dipandang hanya jadi kuburan bagi buruh.(Muchtar Effendi Harahap/NSEAS). Jokowi sebagai Presiden RI tidak memiliki kemampuan untuk menghadirkan kembali Negara untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. 17. KABINET: Jokowi berjanji akan membentuk Kabinet ramping dalam pemerintahannya. Maksud Kabinet Ramping tidak sekedar untuk memberikan pos-pos pada partai tertentu, bebas bagi-bagi kursi bagi Parpol pendukungya, bukan Kabinet transaksional, tanpa syarat. Dalam kenyataannya, Jokowi menetapkan struktur Kabinetnya tidak ramping dan dipenuhi kader Parpol. Susunan Kabinet sebanyak 34 Kementerian. Jumlah Kementerian ini sama dengan cabinet SBY-Boediono. Bahkan, hampir separuh kursi Menteri untuk kader Parpol Pengusung Jokowi-Jk. 18. JAKSA AGUNG: Jokowi berjanji dan memastikan tidak akan memiliki Jaksa Agung dari Parpol, tetapi dari kalangan professional atau eksternal Kejaksaan Agung. Tapi, dalam kenyataannya, Jokowi menetapkan Jaksa Agung adalah Politikus dan kader Partai NasDem, dan mantan jakas Agung Muda, H.M.Prasetyo. Selain berasal dari Partai Politik, Prasetyo juga dinilai tidak memiliki prestasi signifikan selama menjabat Jaksa Agung Muda. 19. SUMBER ENERGI BBM KE GAS: Jokowi berjanji, untuk meminimalisir dengan mengalihkan sumber energy dari BBM ke gas karena Indonesia memiliki depot gas sehingga anggarannya jadi lebih murah. Tidak akan melakukan penghapusan subsidi BBM. Keinginan tidak menghapuskan untuk subsidi BBM tidak masalah, karena bagi rakyat kecil adalah sebuah keharusan dan kewajiban Negara. Namun, dalam kenyataannya, baru berumur beberapa hari, Rezim Jokowi telah menaikkan harga BBM. Padahal harga minyak dunia saat itu telah turun. Juga harga BBM naik-turun-naik. Bahkan, kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM ini telah melanggar Konstitusi, UUD 1945. Adanya janji Jokowi tidak akan menaikkan harga BBM juga diungkapkan oleh Indro Tjahyono, Koordinator Forum Relawan Pemenangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 (Sumber Website:RMOI). Menurut Indro, Jokowi mengingkari janjinya sendiri kalau menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Karena semasa kampanye, Jokowi berjanji tidak menghapus subsidi BBM. Janji untuk tidak menghapus subsidi BBM tersebut diucapkan Jokowi di depan anggota IPOI (Ikatan Persaudaraan Ojek Indonesia) tanggal 16 Juni 2014 di jalan Borobudur 18 Jakarta Pusat. 20.TATA KELOLA PEMERINTAHAN: Dalam Pilpres 2014, pasangan capres cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mengusung visi 'Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong'. Visi itu ditegaskan sebagai sebuah Jalan Perubahan Salah satunya berbunyi, “Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya”. Jokowi berjanji akan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Ketika menentukan calon pembantunya (Menteri) dalam Kabinet Kerja, Jokowi telah melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan. Namun, ketika mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri, tidak melibatkan KPK dan PPATK. Nama Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu perwira yang memiliki rekening gendut. Majalah Tempo pada Juni 2010 lalu memuat laporan tentang rekening gendut polisi. Dalam laporan itu disebutkan kekayaan Budi Gunawan mencapai Rp 54 miliar. Meskipun akhirnya Komjen Budi Gunawan dinyatakan batal status tersangka oleh KPK setelah menang di sidang praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), komitmen Jokowi mulai diragukan. Di lain fihak, sejumlah mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI) hari ini akan turun ke jalan. Diperkirakan ada 1.000 mahasiswa dan alumni UI yang akan hadir dalam rapat akbar gerakan antikorupsi nasional yang digelar di kampus UI Salemba, Jakarta Pusat.. Ketua Ikatan Alumni UI (Iluni), Chandra Motik menjelaskan, alasan Iluni turun ke jalan, karena prihatin dengan kondisi negara saat ini. "Kami bukan geram, kami kecewa. Jokowi ingkar janji. Dulu saat kampanye dia akan memberantas korupsi. Tapi kini KPK justru dilemahkan. Kami bergerak untuk melawan koruptor," kata dia. Jokowi, kata Chandra, gagal memenuhi janji-janjinya saat kampanye. "Tujuam kami hanya mengingatkan Jokowi. Makanya kami bergerak," ungkapnya. 21. ANGGARAN IPTEK: Jokowi ketika berkampanye dalam Pilpres 2014 berjanji akan mengembangkan Iptek di Indonesioa dengan menyediakan anggaran yang jauh lebih besar dibandingkan masa pemerintahan sebelumnya (SBY-Boediono). Jokowi-Jk berjanji akan mewujudkan bangsa berdaya saing dengan membangun SDM berkualitas dan berdaya saing; meningkatkan penguasaan dan pemanfaatan iptek melalui penelitian, pengembangan, dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan, dst. Namun, dalam realitas obyektif, tidak ada peningkatan anggaran untuk penegmbangan Iptek ini. Perahtian Oenrintah terhadap riset masih jauh dari harapan. Ini terbukti anggaran untuk pengembangan Iptek hanya sekitar Rp. 10 triliun atau sekitar 0,08 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Tidak heran jika ahsil riset dan penelitian Indonesaia masih tidak terdengar. 22. PEMBERANTASAN KORUPSI: Mengacu pada Nawacita butir 4, disebutkan bahwa Jokowi-Jk akan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya . Janji politik dalam pemberantasan korupsi ini, acapkali diucapkan dalam berbagai kesempatan. Janji itu diucapkan dalam satu kalimat pendek, yakni keberpihakan pada pemberantasan korupsi, diujudkan dalam bentuk keberpihakan pada legislasi mendukung pemberantasan korupsi, reformasi lembaga penegak hukum, politik, pajak, bea-cukai, dan SDA, dll. Juga dijanjikan akan membangun system pencegahan korupsi di birokrasi. Hal ini juga dituangkan dalam butir 2 Nawacita, yakni membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya. Namun, dalam kenyataannya, perilaku korupsi pejabat pemerintahan/negara terus berlangsung, dan sikap Jokowi terhadap adanya upaya revisi UU KPP menunjukkan Jokowi gagal memepati janji. Sebagian penggiat pemberantasan korupsi menilai Jokowi tidak melakukan pencabutan RUU KPK dari Prolegnas DPR dan karena itu tidak menetapi janji-janji pemberantasan korupsi dalam kampanye Pilpres 2014. 23. BANK NELAYAN: Di hadapan segmen masyarakat nelayan saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi berjanji akan membantu meningkatkan usaha mikro, kecil dan menengah sektor perikanan terutama nelayan dengan membentuk Bank Nelayan. Namun, setelah menjadi Presiden, Jokowi tidak pernah lagi menyinggung janjinya akan membentuk Bank Nelayan ini. 24. KINERJA JOKOWI-JK DIMATA PUBLIK: Seiring dengan kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia mengalami kemerosotan dan penurunan, juga kualitas kinerja Jokowi-Jk di mata publik mengalami kemerosotan dan penurunan. Beberapa hasil survei tentang kinerja Jokowi-JK dapat dilihat di bawah ini. Pertama, pada April 2015 Lembaga jajak pendapat Poltracking merilis hasil survey terbaru mereka tentang kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Poltracking menyebut, sebanyak 48,5 persen narasumber mereka menyatakan tidak puas pada hasil kerja sementara Kabinet Kerja. Angka ketidakpuasan tersebut lebih rendah dibandingkan presentase narasumber yang menyatakan puas terhadap pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yakni 44 persen. Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha mengatakan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Kabinet Kerja ini merupakan yang terendah dalam enam bulan terakhir. "Kalau kami tracking, ini yang terendah. Survey-survey sebelumnya, kepuasan pada pemerintah belum ada yang di bawah 50 persen," ujarnya di Hotel Sofyan, Jakarta, Minggu (19/4).Hanta mengemukakan, berdasarkan jajak pendapat terhadap 1200 responden itu, kekecewaan masyarakat paling besar merujuk pada kinerja pemerintah di bidang ekonomi, yakni sebanyak 52,2 responden. Hanta berkata, hal ini setidaknya disebabkan tiga hal, yaitu instabilitas dan fluktuatifnya harga bahan pokok, kenaikan harga bahan bakar minyak serta daya beli masyarakat yang menurun akibat tidak meningkatnya penghasilan mereka. Terkait penghasilan, Poltracking juga memotret kecenderungan masyarakat yang tidak mengalami mendapatkan kenaikan penghasilan sejak setahun lalu. Dalam data survey itu terlihat, sebanyak 55 persen responden mengaku penghasilan rumah tangga mereka tidak berbeda dengan tahun lalu. Bahkan, mayoritas dari mereka juga pesimis pengasilan rumah tangga mereka sama melonjak tahun depan. Tidak hanya ekonomi, Poltracking juga mencatat ketidakpuasan masyarakat pada pemerintah di dua bidang lain, yaitu keamanan serta hukum dan pemberantasan korupsi. Kedua, hasil survei berikutnya disajikan di dalam Merdeka.com (22 Juni 2015) - Indeks kepercayaan masyarakat atas pemerintahan Jokowi- Jusuf Kalla mengalami penurunan drastis. Berdasarkan survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) sebanyak 58,8 persen responden menyatakan ketidakpuasan dengan kinerja pemerintah hari ini. Kemudian 30,8 persen menyatakan cukup puas, sedangkan 8 persen responden menyatakan ketidakpuasannya sama sekali. Untuk responden yang puas hanya mencapai 1,6 persen. Survei dilakukan pada 26 Mei sampai 3 Juni 2015 dengan 250 responden di wilayah Jalan Sudirman, Thamrin dan Kuningan. Jakarta. Menurut Hendri Satrio dari KedaiKOPI, mereka berasal dari pebisnis setara asisten manager dengan gaji minimal Rp 5 juta. "Mereka yang berasal dari orang kelas menengah menunjukkan ketidakpuasannya terutama dari kebijakan ekonomi pemerintah," kata Hendri. Adapun sebabnya menurut Hendri karena berbagai berbagai kebijakan strategis pemerintah yang tak berpihak kepada publik. Dia mengatakan, warga banyak tertekan dengan naiknya kebutuhan pokok dan biaya hidup. "Mereka menilai beberapa kebijakan strategis justru menekan warga Jakarta. Seperti harga BBM naik, impor beras, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga gas, menggejot penerimaan pajak, posisi tim sukses di BUMN dan menambah utang," ungkap Satrio. Penilaian kelompok pro demokrasi juga menunjukkan negatif terhadap Jokowi-JK sehubungan dengan perlindungan WNI di luar negeri. Pada April 2015 Pemerintah Arab Saudi telah mengeksekusi dua WNI secara beruntun, yakni Siti Zaenab dan Karni Bt Medi Tarsim. Proses eksekusi mati terhadap Karni Bt Medi Tarsim telah terdengar kabarnya sejak Rabu, 15 April 2015. Sejumlah organisasi penggiat HAM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati menilai pemerintahan Jokowi-JK gagal menlindungi WNI di luar negeri. Koalisi terdiri dari ICJR, Elsam, Imparsial, HRWG, LBH Masyarakat, Ikohi dan Setara Institute memandang Jokowi-JK tidak bisa menjalankan Amanat UUD 1945. Padahal, perintah Pembukaan UUD 1945 dalam Alinea ke 4 sangat jelas, yakni "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". "Eksekusi mati Siti Zaenab dan Karni Bt Medi Tarsim merupakan kegagalan pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalankan amanat UUD 1945 agar melindungi segenap warga Negara Indonesia," ujar peneliti ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Jumat (17/4/2015). Ketiga, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, 9 Juli 2015, melaporkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahwa masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi, selama hampir sembilan bulan memerintah. Secara umum sebesar 56 persen masyarakat merasa kurang atau tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi, sementara 41 persen sisanya merasa puas. BAgi SMRC, pemerintah harus sadar bahwa masyarakat terlihat cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi. Di bidang ekonomi, sekitar 31,5 persen warga menyatakan kondisi ekonomi sekarang lebih buruk daripada tahun lalu, sementara yang menyatakan lebih baik hanya 24 persen. Untuk bidang politik, hasil survei menunjukkan 37,5 persen warga menganggap kondisi politik Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 21,6 persen. Sedangkan, dalam hal hukum, 38 persen warga menyatakan kondisi hukum Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 32 persen. Jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY, citra Jokowi saat ini jauh tertinggal. Bila saat ini hanya 40,7 persen warga yang menyatakan puas dengan kinerja Jokowi, dalam periode yang sama, lima tahun lalu, terdapat 70 persen warga menyatakan puas dengan kinerja SBY. Survei dilakukan pada 25 Mei hingga 2 Juni 2015 tersebut menggunakan 1.220 responden, merupakan warga negara Indonesia punya hak pilih dalam Pemilu, yakni mereka sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Hasil survei menunjukkan bahwa rakyat menginginkan agar kinerja pemerintah Jokowi diperbaiki secepatnya, namun dengan tetap menjaga proses politik secara konstitusional. Namun, Jokowi harus mencegah kondisi nasional terus memburuk, terutama di bidang ekonomi, agar masyarakat tidak menjadi anarkis dan meruntuhkan demokrasi. Keempat, dalam hal kinerja ekonomi Jokowi-Jk, Litbang Kompas pada 25 Juni hingga 7 Juli 2015 melakukan survey tingkat kepuasan publik. Hasil survey menunjukkan,kKepuasan publik hanya mencapai 44,2 persen. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan masa tiga bulan Jokowi-Jk berkuasa di Republik ini, yakni 49,6 persen (Kompas, 29 Juli 2015). Tantangan kemerosotan ekonomi sejak awal tahun 2015 ternyata belum bisa berhasil diatasi oleh Rezim Jokowi-Jk. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi masih mendominasi. Kepuasan terhadap kinerja Jokowi-JK bidang ekonomi dengan indikator "mengendalikan harga barang dan jasa" hanya mencapai 32, 1 persen; "menyediakan lapangan kerja" lebih rendah hingga 31,1 persen; "memeratakan pembangunan" mencapai 50,3 persen; "mengembangkan pasar tradisional" mencapai 69,9 persen; "mewujudkan swasembada pangan" sebesar 53,1 persen; :"memberdayakan petani dan nelayan" mencapai 51,5 persen; dan "mengendalikan nilai tukar rupiah" paling rendah yakni 21,4 persen. Jika digunakan indikator " mengendalikan harga barang dan jasa" (32,1 persen) dan "menyediakan lapangan kerja" (31,1 persen), maka dapat disimpulkan bahwa kinerja Jokowi-Jk dalam hal kebutuhan dasar rakyat tergolong buruk dan jelek, jika tidak boleh dinilai sangat butruk dan sangat jelek. Sorotan tajam publik terdapat pada tiga issue yakni pengendalian barang dan jasa, pengendalian nilai tukar rupiah, serta penyediaan lapangan kerja. Di ketiga issue tersebut rata-rata proporsi hanya 21,4 persen. Issue-issue inilah menjadi ketidakpuasan publik di bidang ekonomi. Kelima, Kinerja ekonomi pemerintah Jokowi merosot karena semua indikator menunjukkan demikian. Berdasarkan hasil Survei Litbang Kompas, 7-15 April terhadap 1.200 responden, hanya 25,4 % responden yang puas terhadap kinerja Pemerintah Jokowi di bidang ekonomi. Sebanyak 65 % responden menilai keadaan ekonomi nasional saat ini dalam kondisi buruk. Jokowi sebagai Presiden RI tidak memiliki kemampuan untuk mengelola ekonomi nasional, menciptakan kemandirian ekonomi dan mewujudkan bangsa yang berdaya saing. Keenam, penilaian para pengamat/ilmuwan/cendikiawan/tokoh politik, antara lain Ekonom senior, Kwik Kian Gie. Melalui media massa dan sosial, Kita dapat menemukan penilaian Kwik Kian Gie tentang kabinet pemerintahan Jokowi yang sesungguhnya "tidak layak" disebut Kabinet Kerja. Namun, lebih tepat disebut Kabinet Saudagar. Karena faktanya, menurut Kwik, dalam mengelola kebutuhan hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu saja mencari untung. “Sekarang pemerintah ambil untung dari transaksi impor bahan bakar minyak dan LPG. Setelah itu menyusul impor pangan dan pemerintah juga cari untung dengan cara manarik pajak impor. Itu kan Kabinet Saudagar namanya,” kata Kwik Kian Gie, di press room DPR, Senayan Jakarta, Selasa (31/3). Terjebaknya pemerintahan Jokowi jadi Kabinet saudagar menurut mantan Kepala Litbang DPP PDIP ini, disebabkan karena di belakang Jokowi-Jusuf Kalla ada sekelompok pengusaha yang dari awal memback-up Jokowi-JK saat kampanye pilpres 2014 lalu. “Jauh sebelum Jokowi-JK jadi presiden dan wapres, masa-masa kampanye pasangan ini jelas-jelas didukung oleh sembilan Taipan. Informasi tersebut tersebar demikian luasnya,” ungkap Kwik. Targetnya lanjut Kwik, jika Jokowi-JK menang, maka presiden bisa didikte oleh sembilan Taipan tadi.

Minggu, 14 Februari 2016

PARPOL, DEMOKRASI DAN PERSPEKTIF PARPOLISASI

Kekuatan reformasi di Indonesia sesungguhnya mencita-citakan sistem demokrasi berlaku menunjukkan kekuasaan dibagi-bagi dengan sengaja melalui konstitusi dan peraturan perundang-undangan sehingga tidak terjadi pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan terdapat “checks and balances”. Dalam masyarakat demokratis, kebenaran tidak ditentukan oleh orang kuat serba tahu. Kebenaran justru berasal dari orang-orang ramai dengan kemampuan terkadang sangat biasa. Demokrasi, diibaratkannya seperti pasar dimana semua orang berkumpul dan bertumpuk di sana dan melakukan tawar menawar untuk mencapai kesepakatan, walaupun kadangkala kesepakatan diambil bukanlah terbaik. Pemilihan demokratis menjadi keharusan bertujuan untuk menyediakan kesempatan bagi warga negara untuk menggantikan politisi di bawah performa dengan alternatif lain sesuai pilihan warganegara. Kekuatan reformasi mendorong pengembangan demokrasi menuntut adanya organisasi sebagai sarana massa rakyat menyalurkan apa disebut sebagai kehendak bersama, hanya mungkin diberikan melalui organisasi. Dalam perspektif demokrasi, Parpol sebagai organisasi dan bagian masyarakat madani sangat dibutuhkan untuk merealisasikan kedaulatan massa rakyat, bukan sekedar retorik in abstracto sebagaimana dikatakan seorang akademisi politik terkenal Gaetano Mosca. Secara umum peran Parpol itu bagaikan “intermediate-structure”, sebagai perantara antara masyarakat politik dan negara. Karena itu, jika kader Parpol terpilih sebagai anggota legislatif, maka seharusnya mereka memperjuangkan agea-agenda kepentingan atau harapan konstituen/pemilihnya. Proses pengangkatan pemimpin Parpol dalam perspektif demokrasi harus melalui jalan kompetisi dan pengambilan keputusan harus melibatkan banyak pihak dengan kepentingan berbeda-beda. Pemimpin Parpol harus memberi pertanggungjawaban dalam pemilihan demokratis, dan jika mereka kalah dalam pemilihan mereka akan kehilangan kekuasaan. Di dalam masyarakat demokratis, keberadaan Parpol sangat diperlukan untuk berfungsinya demokrasi. Namun, parpol saja tidak cukup untuk membuat demokrasi berfungsi. Diperlukan institusi-institusi lain dan mekanisme politik lain seperti kelompok kepentingan dan pembagian kekuasaan Negara secara berimbang dan saling mengecek, rule oflaw dan partisipasi warganegara. Parpol dinilai sebagai factor utama untuk menggerakkan demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis karena peran-peran dimiliknya, antara lain sebagai sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, menetapkan dan mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, menjadi peserta pemilu untuk memilih anggota legislative. Pertama, Parpol sebagai sarana komunikasi politik. Di masyarakat demokratis terdapat luas dan beragam pendapat dan aspirasi. Pandapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok perlu ditampung dan digabung dengan pendapat atau aspirasi orang lain yang senada, disebut sebagai penggabungan kepentingan (interest aggregation) dan kemudian dirumuskan dalam bentuk lebih teratur(interest articulation). Agregasi dan artikulasi kepentingan ini merupakan salah satu peran komunikasi politik Parpol. Tindak lanjutnya adalah permussan Parpol menjadi usul kebijakan, sebagai progam atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau di sampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Kecuali itu, Parpol juga berperan memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Parpol memainkan peran sebagai penghubung antara memerintah dan diperintah. Peran Parpol sebagai jembatan sangat penting, karena setiap kebijakan Pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan Pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat. Dalam hal ini Parpol merumuskan pola dan arah kebijaka public dalam berbagai persamalahan pokok public dan kemudian menawarkan kepada rakyat pada kampanye Pemilu. Parpol melakukan interaksi dan mendengarkan aspirasi berbagai lapian masyarakat; menjabarkan ideology parpol menjadi preskripsi untuk tuntutan kebijakan parpol; dan merumuskan pola dan arah kebijakan public. Kedua, Parpol sebagai sarana sosialisasi politik. Sosialisasi politik bermakna suatu proses melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi tehadap fenomena politik umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dari proses menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideologi, hak dan kewajiban . Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses melalui masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikut. Sosialisasi politik merupakan faktor penting dalam terbentuknya budaya pilitik (political culture) suatu bangsa. Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik, ia juga menjadi penghubung mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya Parpol dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik.pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, perkaderan, penataran dll. Terkait dengan peran sosialisasi politik ini, juga sebagai upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan Parpol untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam Pemilu. Parpol harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukung mempunyai solidaritas kuat dengan Parpol bersangkutan. Ketiga, Parpol sebagai jembatan antaraa warganegara dengan Negara. Parpol melakukan rekruitmen warganegara menjadi anggota parpol, dan menjadikan Parpol wahana partisipasi politik warganegara. Keempat, Parpol menyiapkan valon pemimpin dan menawarkan kepa rakyat pada masa kampanye Pemilu. Untuk ini, Parpol melakukan kaderisasi anggota menjadi kader Parpol, menugaskan kader Parpol melakukan berbagai jenis kegiatan Parpol, seperti anggota legislative, mendampingi kader Parpol yang menjadi kepala daerah atau Menteri, memimpin kepantiataan kegiatan Parpol, mendengarkan dan merumuskan aspirasi rakyat, dan mendominasikan kader Parpol telah teruji menjadi calon berbagai jenis Pemilu. Dalam sistem demokrasi kekuasaan oligarki terpenjara oleh sistem bekerja secara rasional, nantinya menyeleksi beragam kepentingan individu dan kelompok ada di dalamnya. Demokrasi memberi ruang kepada rakyat berdaulat meletakkan kedaulatan dalam bentuk Negara. Demokrasi menjadikan negara sebagai kumpulan daulat rakyat dalam realitasnya terwujud bagian-bagian atau organ-organ kelembagaan Negara. Untuk itu, politik kepartaian harus didorong menjadi lebih kompetitif, ditandai jarak ideologi di antara Parpol dalam kehidupan kepartaian. Kompetisi antar Parpol harus konsisten di berbagai arena politik baik Pemilu maupun pemerintahan sehingga terdapat tautan elektoral (hubungan pemilihan) di antara Parpol sebelum Pemilu dan Pasca Pemilu. Kaitan antara ideologi, pola koalisi, pola oposisi, proses kebijakan dan basis dukungan akan membuat demokrasi menjadi lebih bermakna. Sebagai pilar demokrasi, Parpol haruslah terlebih dahulu menata dirinya berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi antara lain partisipasi, kesetaraan (non diskriminatif), keterbukaan (transparansi), pertanggungjawaban publik (akuntabilitas publik), supremasi hukum (taat hukum), efisien dan effektif, dll. Parpol dapat berperan sebagai pilar demokrasi bagi kehidupan masyarakat madani, pemerintahan dan juga dunia usaha manakala tata pengelolaan Parpol itu sendiri sungguh-sungguh berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi dimaksud. UUD 1945 telah menjamin penegakan prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan kebangsaan kuat dalam NKRI merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum. Dalam kehidupan demokrasi, peran, fungsi dan tanggungjawab Parpol dituntut berkembang secara konstitusional. Parpol sebagai sarana partisipasi politik masyarakat dalam upaya mewujudkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI, dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Kedaulatan rakyat bermakna rakyat pemilik kekuasaan, bebas berkehendak, mutlak memiliki, klaim menguasai, menjaga dengan hak penuh. Seluruh harta bumi dan kekayaan alam negara Indonesia mutlak milik pemegang kekuasaan dimaksud, yakni rakyat. Rakyat harus menyadari hak-haknya mengontrol bagi kemungkinan terjadinya penyelewengan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan negara Indonesia. Dasar filosofis dan konstitusional prinsip kedaulatan rakyat ini sesungguhnya telah tertuang di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945, yakni Negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Setiap warganegara Indonesia adalah pemegang kedaulatan atau pemilik seluruh harta bumi dan kekayaan alam Indonesia. UUD 1945 mengharuskan sistem negara terbentuk berdasarkan “kedaulatan rakyat”. UUD 1945 mewajibkan pemerintah dan penyelenggara negara untuk menjamin rakyat menyalurkan aspirasi politik kepada lembaga-lembaga Negara, terutama lembaga perwakilan rakyat (DPR dan DPRD). Parpol harus berfungsi untuk menyalurkan aspirasi politik sebagai manifestasi dari penegakan prinsip kedaulatan rakyat. Karena itu, Parpol dalam hubungannya dengan Negara (khususnya legislatif dan eksekutif) tidak boleh hanya mewakili konstituen atau anggota semata, tetapi harus berfungsi sebagai sarana aspirasi politik rakyat keseluruhan. Untuk menegakkan prinsip kedaulatan rakyat dan meningkatkan kehidupan demokrasi, Parpol perlu melakukan pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan politik rakyat melalui Parpol diharapkan dapat membangun karakter bangsa merupakan watak atau keperibadian bangsa Indonesia terbentuk atas dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan lahir dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban bagi kepentingan bangsa.

PARTAI POLITIK: TELAAH NORMATIF DAN TEORITIS

I. PARTAI POLITIK MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN: Bagi sekelompok kecil pengamat dan politisi Parpol, kiprah Parpol era reformasi menunjukkan kemajuan positif, memberi kontribusi terhadap meningkatnya kehidupan demokrasi, dan karena itu “dinobatkan” sebagai kekuatan politik “pro demokrasi”. Beragam penilaian baik negative maupun positif telah muncul terhadap perkembangan atau kiprah partai politik era reformasi. Beragam peraturan perundang-undangan (normatof) dan teori digunakan untuk menilai perkembangan atau kiprah partai politik ini juga beragam, antara lain teori agensi, teori pencitraan, teori oligarki, dan teori politik kartel. Dari sisi normative, tentu saja perkembangan atau kiprah partai politik dapat dinilai berdasarkan peraturan perundang-undangan diterbitkan pada era reformasi ini, yakni: a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. b. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. c. Undang- Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik. d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. 1.1: UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik: Menurut Penjelasan UU Nomor 2 tahun 2009 ini, Pembentukan Partai Politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945. Melalui Partai Politik rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan berbangsa dan bernegara. Keragaman pendapat di dalam masyarakat akan melahirkan keinginan untuk membentuk berbagai Partai Politik sesuai dengan ragam pendapat yang hidup. Dengan demikian, pada hakekatnya, negara tidak membatasi jumlah Partai Politik yang dibentuk oleh rakyat. Dalam keragaman Partai Politik ini, setiap Partai Politik mempunyai kedudukan, fungsi, hak, dan kewajiban yang sama dan sederajat. Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggotanya, dan karena itu Partai Politik bersifat mandiri dalam mengatur rumah tangga organisasinya.Dengan demikian, pihak-pihak yang berada di luar partai tidak dibenarkan campur tangan dalam urusan rumah tangga suatu Partai Politik. Untuk mencapai suatu kehidupan berbangsa dan bernegara yang *9253 sehat yang dicita-citakan oleh para pendiri negara sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, setiap Partai Politik dalam kehidupan bernegara melaksanakan secara konsisten Pancasila sebagai dasar Negara.Dengan demikian dinamika demokrasi di Indonesia mendapatkan landasan yang kokoh.Karena acuan utama Partai Politik telah disepakati, maka setiap Partai Politik dapat mempunyai asas atau ciri, aspirasi dan program tersendiri yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Aspirasi dan program Partai Politik merupakan pengejawantahan dari asas atau ciri dalam upaya memecahkan masalah bangsa Indonesia. Program tersebut diarahkan untuk mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagai tujuan umum dan memperjuangkan cita-cita para anggotanya sebagai tujuan khusus Partai Politik. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang merupakan cita-cita demokrasi berdasarkan Pancasila, hanya dapat tercapai jika perbedaan yang ada dalam masyarakat tidak dijadikan alasan untuk mendiskriminasikan keanggotaan Partai Politik.Prinsip nondiskriminasi dalam keanggotaan Partai Politik dimaksudkan agar demokrasi berdasarkan Pancasila dapat terwujud secara dinamis, sehingga setiap Partai Politik bersifat terbuka bagi setiap warga negara Republik Indonesia.Dengan demikian, keragaman Partai Politik itu tidak menjadi pemecah belah bangsa tetapi justru menjadi pengikat persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai salah satu lembaga demokrasi, Partai Politik berfungsi mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat, menyalurkan kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijakan negara, serta membina dan mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi. Partai Politik juga merupakan salah satu wahana guna menyatakan dukungan dan tuntutan dalam proses politik. Semua fungsi ini diwujudkan melalui Pemilihan Umum yang diselenggarakan secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR Nomor XIV/MPR/1998 tentang Perubahan dan Tambahan Atas TAP MPR Nomor III/MPR/1988 tentang Pemilihan Umum. Oleh karena itu setiap Partai Politik berhak ikut serta dalam Pemilihan Umum setelah memenuhi syarat keikutsertaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pemilihan Umum. Negara harus menjamin bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk mempengaruhi kebijakan negara melalui Partai Politik dan terwujudnya asas demokrasi yaitu satu orang satu suara. Mengingat pembentukan Partai Politik merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, bukan perwujudan kekuatan ekonomi, maka perlu pembatasan sumber keuangan Partai Politik untuk mencegah penyalahgunaan uang demi kepentingan politik (money politics).Keterbukaan Partai Politik dalam hal keuangan merupakan informasi penting bagi warganegara untuk menilai dan memutuskan dukungannya terhadap Partai Politik tersebut. 1). Tujuan Partai Politik Pengertian Partai Politik menurut UU ini adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggotanya. Setiap Partai Politik mempunyai kedudukan, fungsi, hak, dan kewajiban yang sama dan sederajat. Partai Politik bersifat mandiri dalam mengatur rumah tangga organisasinya. Tujuan umum Partai Politik adalah: (1) Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; (2) Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI. Tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Setiap Partai Politik wajib mencantumkan tujuan umum dan tujuan khusus di dalam anggaran dasarnya. 2). Fungsi Partai Politik Partai politik berfungsi untuk : (1) Melaksanakan pendidikan politik dengan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (2) Menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijakan negara melalui mekanisme badan-badan permusyawaratan/ perwakilan rakyat; (3) Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi. Partai Politik sebagai lembaga demokrasi merupakan wahana guna menyatakan dukungan dan tuntutan dalam proses politik. 3). Hak Partai Politik Partai politik mempunyai hak :(1) Ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum; (2) Memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara. 4). Kewajiban Partai Politik Partai Politik berkewajiban: (1) Memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) Mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa; (4) Menyukseskan pembangunan nasional; (5) Menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. 1.2. UU Nomor 31 Tahun 2003 tentang Partai Politik: 1). Tujuan Partai Politik Tujuan umum partai politik yakni: a). Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b). Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan tujuan khusus partai politik adalah memperjuangkan cita-citanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tujuan partai politik baik secara umum maupun secara khusus yakni diwujudkan secara konstitusional demi mewujudkan kesejahteraan dan cita-cita seluruh rakyat Indonesia dalam kehidupan berdemokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pedoman hidup bangsa. 2). Fungsi Partai Politik Fungsi Partai politik adalah: • Partai politik berfungsi sebagai sarana : • Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; • Penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk mensejahterakan masyarakat; • Penyerap, penghimpunan, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; • Paritsipasi politik warga negara; dan • Rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan jender. 3). Hak Partai Politik Hak partai politik adalah • Memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara; • Mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri; • Memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar partainya dari departemen kehakiman sesuai dengan peraturan perundang-undangan; • Ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang pemilihan umum; • Mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat; • Mengusulkan penggantian antar waktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; • Mengusulkan pemberhentian anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan • Mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 4) Kewajiban Partai Politik Partai politik berkewajiban • Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya; • Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; • Berpartisipasi dalam pembangunan nasional; • Menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia; • Melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik; • Menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum; • Melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota; • Membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah; • Membuat laporan keuangan secara berkala satu Tahun sekali kepada komisi pemilihan umum setelah diaudit oleh akuntan publik; dan • Memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum dan menyerahkan laporan neraca keuangan hasil audit akuntan publik kepada Komisi Pemilihan Umum paling lambat 6 (enam) bulan setelah pemungutan suara. 1.3: UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik: 1). Tujuan Partai Politik: Mengacu pada UU ini, Partai Politik adalah setiap organisasi yang dibentuk oleh warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak untuk memperjuangkan baik kepentingan anggotanya maupun bangsa dan negara melalui pemilihan umum.Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggotanya. Setiap Partai Politik mempunyai kedudukan, fungsi, hak, dan kewajiban yang sama dan sederajat. Partai Politik bersifat mandiri dalam mengatur rumah tangga organisasinya. Tujuan umum partai politik yakni: (1) Mewujudkan cita-cita nasional Bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945; (2) Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam NKRI. Sedangkan tujuan khusus Partai Politik adalah memperjuangkan cita-cita para anggotanya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.Setiap Partai Politik wajib mencantumkan tujuan umum dan tujuan khusus di dalam anggaran dasarnya. 2). Fungsi Partai Politik: Partai Politik berfungsi untuk (1) Melaksanakan pendidikan politik dengan menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran atas hak dan kewajiban politik rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (2) Menyerap, menyalurkan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat dalam pembuatan kebijakan negara melalui mekanisme badan-badan permusyawaratan/ perwakilan rakyat; (3) Mempersiapkan anggota masyarakat untuk mengisi jabatan-jabatan politik sesuai dengan mekanisme demokrasi. Partai Politik sebagai lembaga demokrasi merupakan wahana guna menyatakan dukungan dan tuntutan dalam proses politik. 3). Hak Partai Politik: Partai Politik mempunyai hak (1) Ikut serta dalam pemilihan umum sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum; (2) Memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara. 4). Kewajiban Partai Politik: Partai Politik berkewajiban (1) memegang teguh serta mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (2) mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (3) memelihara persatuan dan kesatuan bangsa; (4) menyukseskan pembangunan nasional; (5) Menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur, dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. 1.4. UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik: Sesungguhnya tujuan, fungsi, hak dan kewajiban partai politik tertera di dalam UU Nomor 2 tahun 2008 tidak berbeda dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 ini. Di dalam Penjelasan UU Nomor 2 tahun 2011 ini disampaikan bahwa UUD 1945 mengamantkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat merupakan hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk memperkuat semangat kebangsaan dalam NKRI yang demokratis. Hak untuk berserikat danberkumpul ini kemudian diwujudkan dalam pembentukan Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi dalam sistem politik Indonesia. Partai Politik sebagai pilar demokrasi perlu ditatadan disempurnakan untuk mewujudkan sistem politik yang demokratis guna mendukung sistem presidensiil yang efektif. Penataan dan penyempurnaan Partai Politik diarahkan pada dua hal utama, yaitu, pertama, membentuk sikap dan perilaku Partai Politik yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistemdemokrasi. Hal ini ditunjukkan dengan sikap dan perilaku Partai Politik yang memiliki sistem seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi Partai Politik baik fungsi Partai Politik terhadap negara maupun fungsi Partai Politik terhadap rakyatmelalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik. Selanjutnya ditegaskan bahwa upaya untuk memperkuat dan mengefektifkan sistem presidensiil, paling tidak dilakukan pada empat hal yaitu pertama, mengkondisikan terbentuknya sistem multipartai sederhana, kedua, mendorong terciptanya pelembagaan partai yang demokratis dan akuntabel, ketiga, mengkondisikan terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel dan keempat mendorong penguatan basis dan struktur kepartaian pada tingkat masyarakat. Baik menurut UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik maupun UU Nomor 2 Tahun 2011 telah menetapkan fungsi Parpol sebagai sarana: a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara RI sadar akan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. b. Penciptaan iklim kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. c. Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik rakyat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. d. Partisipasi politik warga negara. e. Rekruitmen politik dalam proses pengisian/penempatan jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan gender. Mengacu pada UU ini, Partai Politik melakukan rekruitmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi: • Anggota Partai Politik. • Bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. • Bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, • Bakal calon Presiden dan Wakil Presiden. Rekrutmen dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Rekrutmen dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan. Keuangan Partai Politik bersumber dari: a. iuran anggota; b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.Sumbangan dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. Pendidikan Politik dimaksud berkaitan dengan kegiatan: a. Pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik. c. Pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan. Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kepada Badan Pemeriksa Keuangan secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diaudit paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Audit laporan dimaksud dilakukan 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Hasil audit atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran disampaikan kepada Partai Politik paling lambat 1 (satu) bulan setelah diaudit. II. TEORI AGENSI: Salah satu teori dapat digunakan untuk memahami dan menjelaskan kiprah Parpol “pro demokrasi” atau memiliki kemajuan positif yakni perspektif agensi atau teori agensi.Teori ini merupakan basis teori mendasari praktik Parpol berakar dari teori organisasi, teori sosiologi, teori keputusan dan juga teori ekonomi.Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan politik antara pihak memberi wewenang (prinsipal) dalam hal ini kalangan pemilih/konstituen dengan pihak menerima wewenang (agensi) yaitu pengurus/elite Parpol dalam bentuk kontrak kerjasama (Pemilu). Teori agensi acapkali digunakan untuk menjustifikasi pandangan elite Parpol bahwa mereka telah bertindak atas kepentingan konstituen.Karena itu diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi suara dan syarat-syarat menyertai dalam hubungan elite Parpol dan konstituen.Teori agensi membantu elite Parpol untuk menggambarkan, berlakunya hubungan kerjasama saling menguntungkan antara elite Parpol (the agent), dan pemilih/konstituen (the principal). Pemilih/ konstituen akan memberikan suara terhadap elite Parpol bersangkutan dalam pemilihan , dengan harapan dapat melaksanakan preferensi atau kepentingan pemilih/konstituen bersangkutan. Parpol telah berjanji dan menawarkan program kepada pemilih/konstituen akan merealisasikan sehingga Parpol dimaksud dalam Pemilu selanjutnya akan dipilih kembali. Jika Parpol tidak merealisasikan janji dan program tersebut, maka akan mendapatkan ”hukuman”, yakni tidak dipilih kembali dalam Pemilu berikutnya. Karena itu, Parpol akan berusaha sebaik mungkin menjalankan fungsi perwakilannya di parlemen dan sebagai kekuatan politik pro demokrasi atau turut mempercepat proses demokratisasi politik dan pada gilirannya peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat. Sesungguhnya beragam kritik telah muncul atas teori agensi ini.Salah satunya memiliki hipotetis bahwa elite politik dalam mengelola Parpol (the agent) cenderung lebih mementingkan kepentingan peribadi daripada meningkatkan “nilai” Parpol dan kepentingan pemilih/konstituen.Satu kritik mencontohkan keberadaan Parpol bagaikan lembaga kemahasiswaan.Pengurus lembaga kemahasiswaan dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga mahasiswa untuk pengelolaan organisasi menjadi agen idealnya mampu mengakomodasi semua kepentingan keluarga.Tetapi, dalam realitas obyektifnya, terkadang Pengurus lembaga kemahasiswaan itu tidak mampu menjalankan ini dengan baik.Kecenderungan Pengurus lebih memilih melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginan mereka.Kepentingan keluarga menjadi terabaikan. III. TEORI PENCITRAAN: Beberapa pengamat politik dan politisi Parpol terutama era reformasi di Indonesia memperkenalkan teori pencitraan kepada publik untuk memperoleh suara pemilih dalam Pemilu. Teori pencitraan didukung kalangan khususnya teoritisi komunikasi politik dan umumnya ilmu politik meyakini penggunaan teori pencitraan terhadap Parpol dapat memiliki peran atau memberi kontribusi di dalam menentukan proses demokratisasi. Dalam perkembangannya, teori pencitraan diperkuat dengan kemunculan teori pemasaran politik (political marketing) didukung kalangan khususnya teoritisi manajemen pemasaran dan umumnya ilmu ekonomi. Pendukung teori pemasaran politik juga meyakini, penggunaan pemasaran politik memiliki kontribusi atau peran di dalam menentukan proses demokratisasi. Citra (image) adalah salah satu asset terpenting Parpol.Citra Parpol positif atau baik di mata publik bergantung pada pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik tentang Parpol dan pada gilirannya dapat mendorong publik untuk mendukung dan memberikan suara kepada Parpol tersebut dalam Pemilu. Untuk menciptakan pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik ini diperlukan komunikasi politik melalui kegiatan seperti pemberitaan dan iklan politik di media massa, pampflet, bulletin, selebaran, press release atau konferensi press di surat kabar, media elektronik, dialog interaktif atau dialogis di radio-radio dan televisi, dll. Politik pencitraan ini memperkuat kesadaran Parpol akan pentingnya fungsi dan strategi kehumasan Parpol secara tepat mampu menjembatani komunikasi politik efektif antara Parpol dan konstituen. Fungsi dan peran kehumasan dinilai penting oleh Parpol, termasuk juga penggunaan jasa konsultan kehumasan turut membantu merancang strategi komunikasi Parpol ditujukan untuk kepentingan publik maupun kegiatan kampanye. Di Indonesia perkembangan politik kepartaian sejak Pemilu tahun 1990-an ditandai dengan kesadaran akan upaya kehumasan tampak tidak hanya terfokus pada kegiatan kampanye dengan metode orasi di tengah lapang, namun lebih pada komunikasi politik melalui berbagai media massa. Karena berdasarkan riset tentang pengaruh pesan disampaikan Parpol melalui media masa memiliki nilai signifikan terhadap keputusan memilih masyarakat, meskipun ini memang bukan satu-satunya faktor. Parpol tidak hanya memanfaatkan jasa Konsultan kehumasan, juga membuat media khusus untuk mengkomunikasikan visi, misi dan program Parpol. Selain itu, ada Parpol mempunyai website sebagai kelengkapan instrumen kampanye. Semua informasi Parpol disajikan secara detil di website tersebut. Teori pencitraan Parpol pada umumnya menggunakan pendekatan pemasaran politik.Pemasaran politik (political marketing) adalah ilmu baru mencoba menggabungkan teori-teori marketing dalam kehidupan politik.Sebagai cabang ilmu, pemasaran politik masih tergolong baru namun telah menjadi popular dalam ranah politik di negara demokrasi industri maju.Parpol berlomba-lomba memanfaatkan ilmu ini untuk strategi kampanye baik untuk mendapatkan dukungan politik dalam Pemilu maupun memilihara citra sepanjang saat dalam jeda Pemilu. Konsep inti pemasaran adalah bagaimana transaksi diciptakan, difasilitasi dan dinilai.Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak, juga terjadi saat seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintahan lebih baik.Konsep pemasaran politik merupakan kegiatan memasyarakatkan ideologi politik, tokoh politik, perjuangan politik telah lama dipraktekkan di Negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat.Semula menempatkan arti penting radio kemudian televisi sebagai medium komunikasi mampu membantu pemirsa menentukan pilihan. Chaterin Shaw dalam The Campaign Manager Running and Winning Local Election (2004), mengutip hasil studi “Americans Speak Out About the 2000 Campaign”, diselenggarakan oleh The Centre for Congressional and Presidential Studies at American University. Hasil studi menunjukkan 74 % yang diwawancarai percaya bahwa radio adalah sumber penting informasi politik.Banyak warga mendengar radio tatkala dalam perjalanan pergi atau pulang dari tempat pekerjaan sehari-hari.Sementara televisi memiliki jangkauan luas, terutama di kawasan perdesaan (rural areas). Melalui logika pemasaran politik, kedekatan Parpol dengan konstituen dan massa mengambang tetap terjaga setiap saat. Tercipta pendidikan politik masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek politik, bukan obyek politik sebagaimana disikapi pada saat kampanye Pemilu saja.Logika pemasaran politik menghindari keterputusan hubungan Parpol dan masyarakat konstituen. Pendekatan pemasaran politik menggunakan teori-teori mengenai perilaku konsumen. Pendekatan ini digunakan karena saat menggunakan hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap Parpol tertentu sama seperti perilaku konsumen mempertukarkan uang untuk membeli barang/jasa tertentu. Pendekatan pemasaran politik memperkirakan, individu berperilaku berdasarkan keingingan untuk terikat dengan perilaku tersebut dan faktor apa saja mempengaruhi keinginan untuk memilih Parpol. Penerapan pendekatan pemasaran memungkinkan Parpol mengetahui apa secara siginifikan mempengaruhi keinginan untuk memilih Parpol dan memasarkan Parpol secara tepat demi mendapatkan suara pemilih. Pendekatan pemasaran politik juga percaya, keinginan untuk memlih Parpol signifikan dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap Parpol dan norma subyektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap Parpol signifikan karena orang mengidentifikasikan diri terhadap Parpol, bukan terhadap pemimpin.Pengaruh sikap terhadap Parpol secara langsung lebih tinggi dibandingkan pengaruh secara tidak langsung.Pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut Parpol seperti visi/misi/program atau isu.Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang dan bangga terhadap suatu Parpol dalam memilih.Kepercayaan ini semakin menguat jika digunakan menganalisis masyarakat memiliki karakteristik menekankan harmonisasi dan kedekatan antar anggota masyarakat seperti di Indonesia.Yakni sosialisasi politik sudah berlangsung sejak individu belum mempunyai hak pilih dan juga terjadi pada saat individu bersama keluarga, teman, di tempat kerja, bahkan di kedai kopi. Bagi pendukung pendekatan pemasaran politik, ada sejumlah alasan mengapa penting menggunakan pemasaran politik bagi parpol.Pertama, politisi Parpol percaya telah terjadi pergeseran paradigm pemilih dari paradigma ideologis menjadi paradigma pragmatis.Masyarakat cenderung melihat program kerja ditawarkan oleh Parpol dibandingkan dengan alasan ideologis.Hal ini terlihat dari fenomena semakin membesarnya persentase pemilih non-partisan dan juga masa mengambang.Pemilih non-partisan yakni kelompok pemilih tidak menjadi angota atau mengikat diri secara ideologis dengan Parpol tertentu.Di samping itu, adanya persaingan politik dan sistem multipartai dianut serta semakin kritis masyarakat dalam memilih Parpol.Parpol dituntut menjadi lebih kreatif dalam menganalisis permasalahan negara dan rakyat.Parpol paling bagus menyusun program kerja mempunyai peluang lebih besar memenangkan perolehan suara pemilih dalam Pemilu. Agar menganalisis permasalahan dan menyusun program kerja bagus, maka dilakukan polling dan berbagai kegiatan riset lain. Riset merupakan kebutuhan penting untuk pemetaaan permasalahan, segmentasi pemilih dan pemetaan program kerja. Lebih jauh pemasaran Parpol harus didukung oleh riset kuat mengangkut aspirasi masyarakat aktual.Kemampuan mengidentifikasikan permasalahan daerah untuk diketengahkan sebagai permasalahan kampanye di daerah tertentu, memungkinkan Parpol bersangkutan menumbuhkan citra sebagai organisasi politik peduli pada kebutuhan aktual daerah. Indonesia sedang mengalami transisi dari otoriter menuju demokrasi, implementasi pemasaran politik oleh parpol merupakan fenomena baru dan masih dilaksanakan secara parsial, bahkan seringkali tanpa disadari Parpol telah melaksanakan praktek pemasaran politik dalam berkomunikasi dengan komunitas konstituen dan masyarakat umum. Di Indonesia pemasaran politik mulai dikenal tetapi belum meluas dalam ranah politik maupun kajian akademis. Kegiatan politik Parpol disadari atau tidak Parpol telah melakukan serangkaian kegatan ini sebagai missal pengumpulan massa (temu kader, tabligh akbar dan deklarasi), pawai di jalan-jalan, liputan media cetak (TV, Koran, Majalah, Radio, dll) atas kegiatan Parpol sampai ke kunjungan wakil-wakil parpol ke komunitas konstituen maupun komunitas tertentu telah biasa dilakukan, Intenstitas interaksi Parpol dan masyarakat sering hanya terjadi pada waktu menjelang Pemilu melalui pelaksanaan kampanye.Pada masa ini Parpol berlomba-lomba menawarkan produk politik berupa ideologi, gagasan, kebijakan dan rekan jejak.Masyarakat dijadikan seperti “pasar sesaat” atau “pasar kaget” untuk mendengar, melihat dan memilih produk mereka.Di luar “pasar sesaat” ini, komunikasi politik Parpol dengan masyarakat terputus.Akibatnya, Parpol tidak menjalankan fungsi pendidikan politik bagi masyarakat dan pada gilirannya kehilangan daya kritis untuk mengontrol Parpol dan pemerintahan.Karena itu, Parpol menggunakan pendekatan pemasaran politik hanya pada kampanye Pemilu semata.Padahal pendekatan pemasaran politik sendiri sesungguhnya menekankan pentingnya kinerja sebuah Parpol selain kegiatan pemasaran atau pencitraan.Setelah masa Pemilu berakhir, Parpol harus dapat memenuhi janji-janji atau produk politik sudah ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih.Pemilih atau masyarakat harus memperoleh kepuasan. Baik teori pencitraan dalam komunikasi politik maupun pendekatan pemasaran politik percaya, ada hubungan erat antara citra parpol dan perilaku pemilih.Penciptaan dan pembentukan pencitraan positif Parpol digarap dan dikelola sedemikian rupa baik sepanjang maupun pasca kampanye.Untuk menciptakan pengetahuan dan persepsi masyarakat ini diperlukan komunikasi politik. Dalam perkembangannya, teori pencitraan mendorong Parpol untuk melakukan komunikasi politik melalui media massa, terutama radio, televisi dan media cetak karena luas jangkauan jauh lebih luas ketimbang sarana-sarana komunikasi politik lain. Pesan dan informasi politik Parpol lebih mudah menjangkau rumah-rumah pemilih dalam Pemilu melalui media massa ini ketimbang melalui komunikasi interpersonal dengan kader-kader Parpol pada strata masyarakat bawah umumnya di daerah perdesaan (rural areas) Penggunaan media massa sangat penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik dalam Pemilu. Dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi sentral dalam politik. Media massa merupakan saluran komunikasi politik banyak digunakan untuk kepentingan menyebarluaskan informasi, menjadi forum diskusi publik dan mengartikulasikan tuntutan masyarakat beragam. Semua itu dikarenakan sifat media massa dapat mengangkut informasi dan citra secara massif dan menjangkau khalayak begitu jauh, beragam dan luas terpencar. Media menjadi kekuatan bisa menyatukan dan menggiring opini masyarakat kepada salah satu Parpol peserta pemilu dengan memberikan arah ke mana mereka harus berpihak dan prioritas-prioritas apa harus dilakukan. Media massa dapat memberi semangat, menggerakkan perubahan dan memobilisasi masyarakat untuk memberikan suara dalam Pemilu. Media massa merupakan wahana komunikasi dapat menembus batas ruang dan waktu. Bahkan para ilmuwan komunikasi politik menekankan, dalam perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, media massa memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia untuk berhubungan dengan hampir setiap pelosok dunia. Penggunaan media massa mampu menyampaikan dan mengenalkan visi, misi dan program kerja Parpol kepada publik secara luas. Komunikai politik melalui media massa dapat diarahkan kepada audiens relatif besar dan heterogen, sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk menggerakkan, mengukuhkan, memperkuat atau mengubah sikap dan kepercayaan/nilai seseorang untuk memberikan suara kepada Parpol tertentu. Peran media massa dalam kampanye Pemilu menjadi sangat penting. Namun, ada sejumlah kritik atas teori pencitraan menggunakan media massa, antara lain: a. Mengkhawatirkan kepercayaan bahwa pengaruh media massa tergolong besar terhadap perilaku pemilih dalam Pemilu. Mereka sebaliknya percaya, pengaruh media massa tergolong sangat kecil dalam mengubah sikap dan perilaku pemilih. Media massa hanya mampu dalam tataran memperkokoh sikap dan perilaku telah ada, bukan mempengaruhi untuk mengubah sikap dan perilaku tersebut. b. Media massa bukanlah segala-galanya. Jika orang ingin memperkenalkan Parpol memang media massa merupakan sarana komunikasi paling tepat. Jadi sebagai sarana pengenalan Parpol media massa memang sangat efektif. Apalagi di saat masyarakat harus memilih salah satu di antara puluhan Parpol berebut kursi dalam Pemilu.Namun, mereka mengakui juga bahwa media massa memiliki pengaruh besar dalam kampanye Parpol dikaitkan dengan segmen pemilih nonpartisan dan “massa mengambang”. Namun, untuk negara-negara terbelakang seperti Indonesia, kegiatan media massa ini akan berpengaruh jika mendapatkan sikap positif dari pemuka masyarakat (opinion leader) atau “lembaga mediasi”. Strategi kampanye Parpol ideal adalah penggabungan pemanfaatan media massa dengan strategi komunikasi antar peribadi Parpol dan pemuka masyarakat atau “lembaga mediasi” (strata klas menengah bawah). Lembaga mediasi pada umumnya berdomisili dan hidup sehari-hari di lingkungan pedesaan atau lapisan akar rumput. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik tergolong rendah dibandingkan klas menengah dan atas. Media massa dapat mempengaruhi kebanyakan pemilih akar rumput (lapisan bawah) masih membutuhkan masih membutuhkan “medium”, dinamakan lembaga mediasi. Lapisan akar rumput sesungguhnya belum dapat dibiarkan sendiri untuk memformulasikan prakarsa dan aspirasi politik serta kemudian mengaktualisasikan sebagai suatu kebijakan. Struktur mediasi merupakan sarana vital untuk mewujudkan keberhasilan komunikasi politik di lapisan akar rumput.. Karena itu, di Indonesia misalnya, agar komunikasi politik melalui media massa bisa efektif, maka sasaran utama Parpol seyogyanya adalah lembaga mediasi di tingkat Kabupaten/kota/kecamatan. c. Dana atau biaya dibutuhkan untuk menggunakan teori pencitraan untuk perolehan suara pemilih Parpol melalui iklan politik di media massa (radio, televisi dan media cetak) adalah jauh lebih besar ketimbang penguatan kelembagaan melalui komunikasi interpersonal, kegiatan pendidikan politik dalam bentuk pelatihan, lokakarya (workshop) atau temu kader di tengah-tengah masyarakat pemilih. Juga dibandingkan dengan pembentukan dan penyediaan struktur organisasi dan personil/kader di tingkat perdesaan atau lapisan masyarakat strata bawah, biaya diperlukan untuk pemasangan iklan di media massa jauh lebih besar. Penggunaan media massa terutama radio, televisi dan media cetak sesungguhnya dapat mengabaikan fungsi Parpol sebagai sarana pendidikan politik anggota dan rakyat. Bisa jadi fungsi Parpol sebagai sarana pendidikan politik sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan menjadi tidak relevan karena dipercaya bahwa perolehan suara pemilih lebih ditentukan oleh pesan dan informasi disampaikan melalui media massa, bukan komunikasi politik “interpersonal” Parpol dan rakyat. d. Pernyataan mengkhawatirkan: bagaimana bila kepuasan masyarakat diperoleh melalui pencitraan dan bukan hasil nyata? Penekanan berlebihan pada teori pencitraan dapat menimbulkan pemahaman negatif. Masuknya teori pencitraan melalui kegiatan komunikasi politik intensif dipandang sebagai alat untuk melengkapi hasil kerja yang tidak maksimal, atau bahkan mungkin tidak adanya hasil kerja. Dalam menjalankan fungsi Parpol, komunikasi politik atau politik pencitraan berfungsi untuk menginformasikan pekerjaan Parpol telah dilakukan, bukan menciptakan “ilusi keberhasilan”. Parpol harus memperoleh kepercayaan masyarakat bukan dengan ilusi keberhasilan tetapi dengan hasil nyata. e. Realitas obyektif era reformasi di Indonesia menunjukkan, teori pencitraan digunakan hanya untuk mempengaruhi pemilih agar memberikan suara kepada Parpol, bahkan dalam batas-batas tertentu teori pencitraan digunakan untuk menutup-nutupi “politik uang” atau “pembelian suara” di tingkat daerah maupun nasional. Teori pencitraan digunakan semata untuk menghindar dari penyingkapan perolehan suara pemilih melalui politik uang. Teori pencitraan semula diyakini dapat berperan dan memberi kontribusi positif, justru menjadi kontra terhadap proses demokratisasi. Maknanya adalah teori pencitraan digunakan untuk memperkuat politik kartel dalam kehidupan kepartaian. IV. TEORI OLIGARKI: Sebaliknya, terdapat beberapa kritik mendasar, umumnya menilai kiprah Parpol secara substansial tidak demokratis dan tidak berperanan sebagai pilar/komponen strategis/aktor demokrasi tetapi justru anti demokrasi, lebih mengutamakan kepentingan elite, tidak merealisasikan janji dan program dikampanyekan dalam Pemilu. Beberapa teori tentang Parpol telah digunakan mengkritik kiprah Parpol, antara lain teori oligarki dan teori politik kartel. Teori oligarki ini sesungguhnya sudah lama digunakan para ilmuwan politik dalam menganalisis politik kepartaian, antara lain Daniel Dhakidae dalam Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004-2009 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004). Daniel menujukkan kecenderungan oligarkis dalam sistem kepartaian Indonesia.Kecenderungan oligarkis dari hari ke hari semakin nyata bila Parpol memerintah diperiksa dengan seksama. Pertama adalah konservatisme atau lebih tepat neo-konservatisme, bukan saja dalam pengertian mengabaikan nilai-nilai dibela pada masa reformasi akan tetapi semakin kuat gerak balik untuk membela Parpol demi kepentingan Parpol. Neo-konservatisme memaksa Parpol untuk mengadakan re-aliansi antara Parpol di tengah adanya perpecahan.Dua gerak di atas, lanjut Daniel, hampir-hampir dengan sendirinya menunjukkan adanya perkembangan menuju oligarki.Parpol semakin menjadi birokrasi dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri sedangkan pejabat Parpol di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi birokrat.Parlemen terlepas dari para pemilih yang juga tidak berdaya lagi mengontrol karena tidak mampu juga mengontrol Parpol pilihannya dalam Pemilu.Parlemen dirubah menjadi mesin pemilih birokrat. Daniel kemudian mempertanyakan: “apakah ada gunanya disebut sebagai demokrasi dan terutama demokrasi perwakilan bila wakil-wakil secara terencana melepaskan yang diwakili, pemegang mandat meninggalkan pemberi mandat?” Teori oligarki menunjukkan kiprah Parpol lebih mengutamakan kepentingan elite Parpol, bukan konstituen/pemilih, apalagi rakyat kebanyakan.Reformasi dan demokratisasi di Indonesia gagal menghentikan kecenderungan oligarki untuk muncul ke permukaan.berlaku hanyalah apa banyak pengamat politik menyebut sebagai demokrasi “prosedural” di mana faktor kelembagaan (organisasi) menempati kedudukan sentral . Reformasi dan demokratisasi di Indonesia telah menciptidakan demokrasi prosedural, gagal membawa bangsa ini ke arah kehidupan lebih baik. Substansi demokrasi menghandalkan meluasnya partisipasi rakyat sebagai refleksi kedaulatan di tangan rakyat justru dikebiri dalam “ritual demokrasi” atau istilah populernya “pesta demokrasi” lima tahun sekali (Pemilu). Runtuhnya rezim outoritarian Orde Baru Soeharto ternyata tidak otomatis melahirkan pemerintahan demokratis mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat.Yang terjadi adalah “demokrasi procedural”, pemasungan kedaulatan rakyat. Pemilu hanya sebagai kegiatan ritual lima tahunan Rakyat hanya bisa menggunakan kedaulatan mereka di bilik suara selama lima tahun sekali. Demokrasi prosedural ini tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan keterbelakangan rakyat sementara peradaban terus bergerak cepat. Teknologi informasi melekat dalam globalisasi telah pula membentuk cara pandang baru. Praktek demokrasi prosedural sekarang berlaku, dipercaya oleh para kritisi politik, tidak akan pernah melahirkan elite politik benar-benar mampu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan atau memenuhi kepentingan rakyat kebanyakan. Elite politik produk demokrasi prosedural hanya mampu melindungi kepentingan elite politik itu sendiri, termasuk pemilik kapital (kaum kapitalis) dalam negeri maupun internasional (asing).Sejumlah UU hasil DPR era reformasi telah dijadikan bukti bahwa Parpol di DPR lebih mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan korporasi asing. Demokrasi prosedural ini juga diyakini telah menempatkan Parpol sebagai peserta elite kepemimpinan pada hakekatnya justru melanggengkan kesenjangan sosial atau perbedaan klas atas sekitar 10 % dan klas bawah sekitar 90 %.Elite politik baik anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif bisa menikmati kedaulatan sebagai orang-orang terpilih sepanjang hari, bahkan memiliki hak imunitas, pengelolaan akses sumber daya, beragam otoritas/kewenangan dan hak-hak istimewa. Rakyat hanya bisa menggunakan kedaulatan mereka di bilik suara selama lima tahun sekali. Semua itu menjadi absah setelah rakyat memberikan pilihan di bilik suara dalam Pemilu. Kedaulatan rakyat dideligasikan sebagai hak tetap selama lima tahun ke Parpol dan lembaga perwakilan. Sesungguhnya dinamika Parpol selalu ditentukan oleh faktor intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan. Dalam kenyataannya, di era demokrasi prosedural ini, ketiga faktor ini selalu direpresentasikan oleh elite, bukan oleh massa atau rakyat kebanyakan dengan kemampuan beragam, menyebabkan Parpol jatuh ke dalam kekuasaan oligarki. Adalah Parpol menyebabkan lahirnya kedaulatan para wakil atas pemilih, diberi mandat atas pemberi mandat, para delegasi atas pemberi delegasi.Siapa bicara Parpol, bicara oligarki. Parpol adalah pertarungan tanpa henti antara kepentingan massa dengan kepentingan elite. Oligarki tidak hanya terjadi di internal Parpol tetapi juga di antara Parpol berkuasa.Kontrol terhadap dominasi politik dilakukan melalui birokrasi oligarki untuk menjadikan Parpol sekadar mesin pendulang suara pemilih dan konstituen. Salah satu contoh kiprah Parpol oligarki yakni proses nominasi dan pencalonan legislatif, fenomena oligarki begitu kental. Fenomena ini merupakan warisan otentik dari struktur otoriter Orde Baru mengharamkan partisipasi rakyat, menghalalkan “massa mengambang” di tingkat Kecamatan ke bawah, dan menghalalkan mobilisasi oleh negara beserta agen-agennya seperti birokrasi sipil dan militer. Para politisi Parpol era reformasi terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru, struktur dan kepemimpinan Parpol merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural lokal. Kesempatan rakyat menjadi faktor determinan dalam proses politik telah dibuka melalui gerakan reformasi acapkali terbelenggu oleh struktur dan paham masyarakat Indonesia masih patrimonial dan feodalistik. Paham masyarakat ini merupakan sumber berkembangnya sikap dan perilaku koruptif. Karena itu, bagi kritisi politik menggunakan teori oligarki ini menekankan, demi percepatan proses demokratisasi di Indonesia, masyarakat pro demokrasi harus selalu menggugat perilaku feodalistik ini. Bahkan, harus berani menghardik agar korupsi tidak terus berjalan, dan reformasi harus terus berjalan. Sementara itu, berbagai instrumen demokratis direkayasa untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pada akhirnya hanya menjadi proforma birokratis justru menjustifikasi berulangnya praktik oligarki dalam kehidupan Parpol. Kiprah Parpol tidak melakukan institusionalisasi politik sebagai kata kunci dalam demokratisasi.Parpol tidak mampu menyumbangkan inovasi politik untuk kebangkitan sebagai kekuatan pro demokrasi. Pengurus Parpol dominan menganut pragmatisme, dan menjadikan politik transaksional menjadi norma baku. Dominan Parpol memiliki pragmatisme kekuasaan, misalnya merapat ke kekuasaan Istana (Presiden) demi beberapa jabatan dan konsesi politik. Pragmatisme telah menjadi norma bagi Parpol tanpa peduli eksistensi (keberadaan) di masa depan, kemungkinan bisa berkembang atau menang lagi. Kiprah Parpol di tingkat nasional dan juga daerah tanpa harus konsisten dan bertanggungjawab atas janji-janji kampanye Pemilu. Perilaku membeli suara atau fenomena “kedaulatan uang”, bukan kedaulatan anggota, menjadi ”dimaklumi” baik dalam Pemilu maupun Kongres/Muktamar/Munas Parpol. Amat sangat sedikit pengurus Parpol dalam Kongres, misalnya, memberikan apresiasi pada visi dan misi dari kandidat/calon Ketua Umum Parpol bersangkutan.Juga sangat sedikit memiliki kesadaran kolektif untuk memilih berdasarkan pertimbangan non-material.Memberikan suara untuk kandidat/calon Ketua Umum Parpol hanya bermodal visi dan misi menjadi tindakan percuma sekalipun memberikan sinyal tidak bagus bagi konstituen dan pemilih pada umumnya. Kedaulatan uang menyebabkan kebutuhan finansial bagi Parpol menjadi sangat besar karena kerja kolektif Parpol tidak digerakkan oleh semangat bekerja untuk publik/konstituen, namun lebih karena dana. Tanpa dana, maka hampir dapat dipastikan Parpol di banyak daerah akan melakukan “hibernasi” politik sampai menjelang Pemilu berikutnya. Hibernasi politik bermakna Parpol tidak melakukan kegiatan politik apa-apa (bagaikan tertidur sepanjang musim dingin) di tengah-tengah masyarakat. Investasi elektoral (pemilihan umum) tidak dilakukan dengan kerja-kerja politik tekun sejak sekarang, tetapi tergantung pasokan dana dari pengurus pusat dipimpin oleh pemilik uang banyak (kaya), beberapa diantaranya klas pemodal/atas. Realitas obyektif ini cenderung menghasilkan pimpinan politik jenis tertentu. Orang-orang kaya atau dapat meyakinkan pihak lain untuk melakukan investasi dengan menominasikan dirinya (penggalang dana berhasil) mendominasi personil-personil politik dan pada gilirannya akan mendominasi jabatan-jabatan pimpinan politik. Selain itu, sulit pula menerapkan kontrol publik terhadap realitas obyektif Parpol semacam itu. Hasil negatif lainnya, penyandang dana kaya dapat menyandera Parpol. Penyandang dana kaya menentukan apa terjadi di dalam Parpol. Mereka bisa jadi terlibat melatih personil-personil politik Parpol, dan memilih pimpinan dan kandidat-kandidat Parpol. Menguatnya pragmatisme dan kedaulatan uang tidak didukung dengan pelembagaan pendanaan mandiri oleh anggota, simpatisan atau konstituen, Parpol menjadi tergantung pada para oligarch maupun financiers (pendana) untuk menjamin berjalannya roda atau mesin kegiatan Parpol.Pada akhirnya, Parpol tersebut menjadi pelindung kepentingan bisnis atau bahkan sekadar alat politik dari klas pemilik modal/atas (oligarch dan financiers). Parpol besar hasil Pemilu 2009 sangat mungkin telah mengalami nasib sama karena kepemimpinan sekarang ini bermula dari dan beroperasi dalam pragmatisme kental. Kongres/Muktamar/Munas Parpol tidak menghasilkan inovasi dan kreativitas menyegarkan bagi kehidupan politik kepartaian.Adalah suatu kesalahan bagi Parpol keberadaannya terancam karena tidak mampu keluar dari cengkaraman kaum oligarki baik di pusat maupun daerah. Di tingkat daerah, setidaknya ada 3 (tiga) bentuk penyalahgunaan wewenang.Pertama, wewenang dalam memilih Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Parpol bisa melakukan tawar-menawar dengan Calon/kandidat, dan bagi Calon bisa memberi konsesi ekonomi politik, Parpol dimaksud akan memilihnya. Kedua, wewenang melakukan penilaian Laporan Pertanggungan Jawaban (LPJ) Kepala Daerah (Gubernur,Walikota dan Bupati), baik tahunan maupun di akhir jabatan di legislatif (DPRD. Parpol bisa melakukan tindakan ilegal dengan Kepala Daerah menghendaki LPJ diterima.Ketiga, wewenang menyusun anggaran belanja daerah (APBD).Parpol bisa seenaknya menyusun APBD.Kiprah Parpol semacam ini tidak lepas dari perilaku oligarki, dikendalikan sejumlah kecil elite.Kecenderungan itu, misalnya, terlihat pada model Parpol masih sentralistis memungkinkan pucuk pimpinan Parpol menggerakkan agenda tanpa perlu berpikir apakah agenda itu dikehendaki anggota/konstituen atau tidak.Semua keputusan Parpol tunduk pada perintah Ketua Umum. Teori oligarki ini menunjukkan kiprah Parpol anti demokrasi karena kedaulatan berada pada elite, bukan massa anggota/konstituen. Kecenderungan oligarki Parpol ini bisa jadi karena antara lain pemilih masih belum sepenuhnya rasional. Dalam menentukan pilihan, pemilih tidak mempertanyakan apakah Parpol telah berusaha menepati janji atau program dikampanyekan dalam Pemilu atau tidak.Pemilih masih melihat figur/tokoh Parpol, bukan konsistensi ideologis Parpol tersebut.Realitas obyektif ini kemudian dianggap membuat Parpol nekat untuk menjauh dari preferensi dan kepentingan pemilih/konstituen.Elite Parpol yakin, pada Pemilu mendatang, pemilih masih tetap memilih mereka. Keyakinan semacam ini semakin menguat tatkala proses Pemilu berlangsung, dapat dilakukan perolehan suara pemilih secara ilegal, yakni memberi uang atau politik uang baik langsung ke kalangan calon pemilih maupun petugas resmi pelaksanan Pemilu di tingkat Desa/Kelurahan atau Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan bahkan Pusat. Kecurangan dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan acapkali terjadi atas perbuatan elite parpol tanpa mendapatkan sanksi hukum melalui forum pengadilan.Kebanyakan kasus-kasus kecurangan dan pelanggaran terkait dengan perolehan suara diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), tidak berwenang memberikan sangsi pidana.Peran MK hanya menyelesaikan sengketa perolehan suara.Berdasarkan pengalaman persidangan perkara Pemilu 2009 di MK, pada umumnya perkara disidangkan menyangkut perhitungan suara di tingkat Kecamatan. V.TEORI POLITIK KARTEL: Teori politik kartel menggunakan konsep kartel untuk menggambarkan suatu kelompok elite politik dalam hal ini Parpol-parpol, bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, ditandai minimnya tautan elektoral (hubungan pemilihan) antara perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Parpol melakukan politik kartel berkewajiban menentang sekaligus membatasi kompetisi (persaingan) dan menghalangi akses bagi Parpol pesaing, dan mendistribusikan atau membagi-bagikan keuntungan kekuasaan politik terhadap sesama anggota kartel (elite Parpol). Teori politik kartel ini menjelaskan model Parpol “kartel” sebagai kelanjutan dari model-model Parpol seperti model Parpol “kader”, Parpol “massa”, Parpol “oligarki”. Dalam literatur ilmu politik, Richard S. Katz dan Peter Mair adalah ilmuwan politik mencoba membangun model Parpol kartel, yakni Parpol “berkolusi” menjadi agen dari negara dan menggunakan sumber-sumber daya negara untuk memastikan kehidupan kolektif mereka sendiri sehingga tetap bisa bertahan (eksis). Terbentuknya Parpol kartel ini memberikan pengaruh terhadap Pemilu, yakni menang atau kalah dalam Pemilu hanya membuat sedikit perbedaan pada tujuan Parpol karena tidak adanya pertarungan besar pada aspek kebijakan, tetapi dapat dibuat perjanjian baik terkait dengan survival Parpol di mana sumber daya banyak berasal dari negara. Bahkan, ketika para pemimpin Parpol kalah dalam pemilihan, mereka tidak menjadi kehilangan kekuasaan karena berkolusi untuk saling berbagi kekuasaan. Salah satu alasan paling digandrungi oleh para pengguna teori politik kartel, Parpol akan cenderung menyandarkan pembiayaan operasionalnya pada dua institusi: negara dan kelompok atau segmen masyarakat mampu membiayainya (sebagian besar Pengusaha), pada dasarnya berasal dari “pemburu rente”. Parpol secara kolektif memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, yakni untuk membiayai kegiatan politik. Untuk keperluan memobilisasi dana politik itulah mereka bersama-sama melakukan “kolonisasi” terhadap Kabinet/Pemerintah dan kepemimpinan DPR karena posisi-posisi itu menyediakan rente ekonomi. Hal ini juga disebabkan ketidakmandirian Parpol dalam menggalang dana dari anggotanya. Ketidakmandirian menyebabkan ketidakmandirian pula dalam hal ikhwal bersifat strategis.Parpol mungkin hanya ditunjang oleh beberapa konglemerat (pemburu rente) dan sekelompok simpatisan Parpol membuat keputusan Parpol tidak bisa lepas dari koridor kepentingan politik tertentu.Acapkali terjadi “perkawinan politik” antara pengusaha (pemburu rente) dan penguasa/politisi Parpol. “Pemburu rente” adalah suatu konsep dalam perspektif ekonomi rente, semula dikembangkan oleh ekonom Gordon Tullock dalam Theory of Economic Rent-Seeking. Menurut Tullock, ekonomi rente cenderung terjadi pada mereka memegang kendali struktur monopoli. Di sektor ekonomi mereka memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di pemerintahan (eksekutif dan legislatif).Di Indonesia fenomena ekonomi-rente pernah diuraikan oleh Yoshihara Kunio dalam karyanya The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia.Kunio menganalisis fenomena ekonomi atau pemburu rente di Indonesia.Dijelaskan, praktek kapitalisme semu (ersatz capitalism) di Indonesia menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di kalangan birokrat/pemerintah sehingga pelaku usaha sesungguhnya tidak bisa berkembang.Kehadiran kapitalis di Indonesia karena adanya orang-orang punya kedekatan dengan penguasa (personal contact) dan cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga, bukan berdasarkan pada profesionalisme industrialis.Ekonomi rente telah mewujud dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan antara oknum pengusaha menyediakan modal domestik maupun asing dengan pejabat/penguasa menyediakan fasilitas, insentif dan proteksi.Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber daya, mudahnya akses atas informasi dan opportunity diperoleh melalui kebijakan dikeluarkan untuk itu sementara penguasa/pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan suap, kolusi dan korupsi. Berdasarkan uraian ekonomi rente di atas, istilah “pemburu rente” dimaksud adalah pelaku usaha melakukan kegiatan untuk mendapatkan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis. Pemburu rente memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan sehat di dalam pasar, namun dengan mengundang kekuasaan atau mempengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai tidak dikompensasi. Pemburu rente ini acapkali terlibat dalam pembuatan regulasi (peraturan peundang-undangan) ekonomi melalui lobi kepada penguasa di pemerintah (eksekutif dan legislatif).Dalam era reformasi ini, para pemburu rente dimaksud semakin berperan besar dalam politik kekuasaan melalui penguasaan Parpol atau pendudukan posisi-posisi puncak Parpol. Kembali pembicaraan tentang pendanaan Parpol dan munculnya politik kartel karena adanya kepentingan Parpol untuk mengakses sumber dana negara, ada dua sumber dana negara. Pertama, dana budgeter legal memang dialokasikan sebagai bentuk pendanaan publik untuk Parpol. Kedua, dana ilegal merupakan campuran antara dana budgeter dan nonbudgeter, misalnya dana dalam rekening Departemen, rekening Menteri dan rekening Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sumber kedua ini dinilai ilegal karena tidak dialokasikan untuk pendanaan Parpol. Kondisi Indonesia sangat memungkinkan terciptanya politik kartel karena besarnya dana negara tersedia dan juga masih banyaknya kelemahan baik secara substansi maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan keuangan Parpol. Politik kartel, menurut penguna teori ini, dibutuhkan oleh para elite politik (Parpol) untuk menghindari adanya penyingkapan terhadap penggunaan dana negara secara ilegal oleh elite politik (Parpol) lain. Para teoritisi politik kartel menunjukkan Parpol berorientasi kepada pembangunan kekuasaan politik melalui uang sehingga Parpol sangat bergantung pada sumbangan dari pihak-pihak pemilik modal. Peran Parpol tidak secara konsisten mengawal proses demokratisasi, tetapi hanya untuk perebutan kekuasaan dan uang. Iuran anggota tidak bisa berjalan dan Parpol tidak mampu mandiri dalam mendanai kiprahnya di masyarakat madani umumnya atau di tengah-tengah kelompok pemilih/konstituen khususnya.Calon anggota legislatif juga harus menyiapkan sendiri uang untuk bisa berkampanye. Seorang pengguna teori politik kartel di Indonesia menggunakan beberapa bukti untuk menjustifikasi hipotetisnya, yakni kasus DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan), kasus Buloggate I dan II dan kasus Bank Bali.Kasus-kasus ini dijadikan bukti kecenderungan sifat para elite politik kooperatif, terutama dalam masa-masa Pasca Pemilu, bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah Parpol. Ketika akan dapat menjatuhkan elite politik, terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik. Contoh lain, SBY dan Amien Rais bertemu dan bersalaman hanya beberapa menit di Bandara Halim Perdana Kesumah menjelang Pemilu 2009 bersepakat untuk tidak saling menjatuhkan. Ada semacam upaya untuk menghindari adanya penyingkapan penggunaan dana ilegal oleh elite politik. Khusus kasus DKP telah mengambil tempat pada 2007, yakni penggunaan uang negara secara ilegal untuk kepentingan politik.Kasus ini pada awalnya mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dilakukan mantan Menteri DKP Rohmin Dahuri. Lewat catatan pengakuan Rohmin dan DKP tenyata dana ini juga mengalir ke sejumlah politisi, fungsionaris Parpol, tim sukses Capres-Wacapres Pemilu 2004 dan berbagai Organisasi Kemasyarakatan. Gambaran aliran dana ke kalangan politisi Parpol ( Golkar, PKS, PAN, PDIP, PKB, PPP) berdasarkan pengakuan Rohmin Dahuri ke KPK. Menurut ICW, aliran dana tidak resmi ke Parpol seharusnya ditindaklanjuti oleh pihak berwajib sebagai persoalan pidana. KPU juga harus memberikan sanksi setidaknya teguran keras bagi Parpol sesuai UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol.Namun, hal ini tidak dilakukan karena kasus ini menjadi begitu luas dampak politiknya; melibatkan tidak hanya banyak tokoh nasional, tetapi juga sempat membuat SBY dan kalangan istana negara “kebakaran jenggot”. Kasus ini kemudian diredam oleh elite politik, tidak dibuka lebih luas ke arah penerimaan dana ilegal oleh elite politik atau Parpol. Bagi teoritisi politik kartel, peredaman kasus ini merupakan indikator fenomena politik kartel kepartaian. Pada saat kasus dana DKP ke Parpol mengambil tempat, peraturan perundang-undanagn telah Parpol berlaku antara lain adalah UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Khususnya Pasal 17 UU ini mengatur tentang sumber keuangan Parpol. Parpol dapat menerima dana dari iuran anggota, sumbangan sah menurut hukum dan bantuan dari anggaran negara. Batasan sumbangan sah termasuk iuran anggota dibatasi jumlah maksimumnya.Untuk individu sebesar Rp. 200 juta dan badan hukum/perusahaan sebesar Rp. 800 juta untuk jangka waktu satu tahun (Pasal 18). UU Parpol juga melarang Parpol meminta atau menerima dana dari instansi pemerintah seperti BUMN, BUMD, Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) atau dengan sebutan lainnya, Koperasi, Yayasan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan (Ormas), dan organisasi kemanusiaan (Pasal 19 ayat 3 tentang larangan). Parpol hanya dapat menerima bantuan keuangan dari negara (subsidi) dengan besaran disesuaikan dengan alokasi kursi di DPR/DPRD (maksimum Rp. 21 juta per kursi) sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 tahun 2005. UU Parpol juga mengatur sanksi administratif bagi Parpol menerima dana dari instansi pemerintah seperti ketentuan Pasal 19 ayat 3 berupa teguran secara terbuka oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum). Dana diakui diberikan Menteri DKP Rokhmin Dahuri kepada Parpol jauh melampaui batasan sumbangan individu, ke suatu Parpol tertentu sebesar total Rp. 300 juta.Hal ini telah melanggar ketentuan UU Parpol dan dapat dijerat dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp. 200 juta (Pasal 28). Dalam ketentuan Pasal 28 UU Parpol juga diatur sanksi dapat dikenakan kepada pengurus Parpol menerima sumbangan di atas ketentuan batasan maksimum dengan pidana kurungan maksimum 6 bulan dan/atau pidana denda maksimum Rp. 500 juta. Juga telah terjadi pelanggaran Pasal 19 ayat 3 tentang larangan UU Parpol, yakni menerima dana dari instansi pemerintah dalam hal ini DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan). Secara garis besar, para pengamat politik menilai kehidupan kepartaian berdasarkan politik kartel ini menyebabkan kerugian atau membawa dampak negatif terhadap kehidupan politik sebagai berikut: 1. Politik berada pada tingkat sangat permukaan dan artifisial, tidak ada lagi hal ikhwal bersifat prinsipil. 2. Politik secara mudah digeser dari perdebatan mendalam tentang kesejahteraan publik ke tawar-menawar kekuasaan, dan kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli. 3. Argumen dan debat politik cerdas dan hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. 4. Tidak ada jaminan kehendak publik (rakyat) dititipkan kepada Parpol lewat Pemilu akan direalisasikan. 5. Ada keterputusan mandat dari pemilih, dan institusi Parpol lebih dekat dengan negara ketimbang dengan rakyat. 6. Sikap politik pragmatis dan mayoritas Parpol koalisi bertendensi memaksimalkan kekuasaan di tangan Presiden dan juga politik dinasti. 7. Politik hanya menjadi ajang jual beli suara rakyat sebagai alat tukar dalam mendapatkan kekuasaan. 8. Karena ketidakadaan akuntabilitas publik dari Parpol beroposisi, maka kualitas keputusan publik menjadi rendah. 9. Ideologi dan platform tidak lagi substansial karena telah digantikan oleh prinsip oportunisme. 10. Tidak bisa berharap banyak proses politik akan menghasilkan pemerintahan memperhatikan kepentingan publik secara luas. 11. Pada dasarnya tidak akan pernah menjadi Parpol gerakan atau bagian dari gerakan massa, apalagi massa aksi, kecuali Parpol elite hanya akan melakukan kegiatan menjelang dan saat Pemilu saja. 12. Rakyat akan dipaksa untuk menari di atas genderang ditabuh oleh kalangan elite politik (Parpol) lima tahun sekali (Pemilu). 13. Terciptanya iklim anti demokrasi dan pro korupsi karena Parpol menghasilkan keuntungan sendiri, melindungi khususnya tindakan mengambil uang negara secara ilegal (koruptif) dari tindakan para penegak hukum.