Kamis, 10 Desember 2015

FASILITASI KERJASAMA PEMANFAATAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PERUMAHAN

I. PENGANTAR Setiap orang berhak atas rumah. Rumah merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup manusia. Pada rumah melekat dimensi budaya dan sosial sehingga makna rumah tidak dapat diartikan secara sempit dengan tempat berlindung yang memiliki atap di atas kepala. Sebagian masyarakat di Indonesia menganggap rumah seperti manusia yang juga harus dihargai dan dihormati. Hal tersebut terlihat dengan adanya upacara adat saat pembuatan rumah di banyak daerah di Indonesia. Dalam prakteknya, pemenuhan hak atas rumah masih jauh dari diharapkan karena berbagai kendala. RPJMN tahun 2010-2014 menetapkan, target rumah MBR selama 5 tahun sebesar 1.350.000 unit dan untuk 2014 sebesar 300.000 unit. MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan Pemerintah untuk memperoleh rumah. Target pembangunan perumahan rakyat setiap tahun cenderung meningkat, tetapi dalam realisasinya selalu dibawah target. Hal ini memperlihatkan, masih banyak masalah dalam pelaksanaan program perumahan rakyat. Sangat terbatasnya ketersediaan tanah menjadi salah satu penyebab rendahnya realisasi rumah bagi MBR. Berbagai cara pemecahan permasalahan ketersediaan tanah ini telah ditawarkan baik oleh Pemerintah, Pemda, Asosiasi Perusahaan Perumahan, Pakar/Pengamat Perumahan, dan juga masyarakat. Salah satu cara pemecahan adalah perlunya peningkatan kolaborasi kerjasama sinerjik antara Pemerintah, Pemda dan Swasta/masyarakat. Dalam konteks ini, Kementerian PUPR, menawarkan untuk berperan dalam memfasilitasi atau mempermudah kolaborasi kerjasama dimaksud. Makalah ini mencoba menyajikan hal-ikhwal kolaborasi kerjasama dimaksud yakni hak atas perumahan untuk setiap orang; kebijakan pemerintah tentang perumahan; permasalahan penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan; peran pemerintah, pemerintah daerah dan swasta; dan, fasilitasi kolaborasi kerjasama pemanfaatan tanah potensial untuk pembangunan perumahan. II. HAK ATAS PERUMAHAN UNTUK SETIAP ORANG Pada dasarnya pemenuhan perumahan yang layak adalah hak untuk setiap orang (HAM). Hal ini dipertegas antara lain: 1. Resolusi PBB. 2. Deklarasi Universal HAM. 3. Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial tahun 1987/62. 4. Resolusi Komisi Pemukiman Manusia 14/6. 5. UUD 1945. 6. UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. 7. UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya). 8. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pada level internasional, hak atas perumahan yang layak telah ditetapkan melalui Resolusi PBB No. 41/146 berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 4 Desember 1986 menyatakan antara lain: “Majelis Umum menunjukkan keprihatinan mendalam atas adanya jutaan orang tidak menikmati hak atas perumahan yang layak.” Kemudian Resolusi PBB 42/146, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 7 Desember 1987 menyatakan antara lain: “Majelis Umum menyatakan kembali perlunya dilakukan upaya-upaya, pada tingkat nasional dan internasional, untuk pemajuan hak setiap orang untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk perumahan yang layak; dan mengajak semua Negara dan organisasi internasional terkait untuk memberikan perhatian khusus terhadap pelaksanaan hak atas perumahan yang layak dalam melakukan upaya-upaya untuk membangun strategi tempat berteduh nasional dan program perbaikan pemukiman dalam kerangka kerja Strategi Global untuk Tempat Tinggal sampai tahun 2000” Di lain fihak penegasan melalui Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1986/36, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak.” Resolusi ini ditetapkan 29 Mei 1987, menyatakan antara lain: “Komisi Hak Asasi Manusia menyatakan kembali hak bagi setiap orang untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya termasuk perumahan yang layak.” Selanjutnya, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1987/22, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan 10 Maret 1987, menyatakan antara lain: “Komisi Hak Asasi Manusia menyatakan kembali perlunya dilakukan, baik pada tingkat nasional maupun internasional, upaya-upaya untuk pemajuan hak setiap orang untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk perumahan yang layak” .Kemudian, Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1988/24, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan pada 7 Maret 1988, antara lain menyatakan: “Komisi Hak Asasi Manusia memutuskan….untuk tetap meninjau secara berkala persoalan hak atas perumahan yang layak’. Masih sekitar resolusi Komisi HAM, juga dikeluarkan Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1993/77, berjudul “Pengusiran secara Paksa,” ditetapkan 10 Maret 1993, menyatakan: antara lain : “Komisi Hak Asasi Manusia ….menegaskan bahwa praktek-praktek pengusiran secara paksa merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, khususnya terhadap hak atas perumahan yang layak; “…mendesak pemerintah untuk segera melakukan upaya-upaya di semua tingkat, untuk menghapus praktek-praktek pengusiran secara paksa….untuk memberi jaminan hukum atas penghunian bagi semua orang yang saat ini terancam oleh pengusiran secara paksa;. “…mengajukan permintaan kepada Sekretaris Jenderal untuk mengumpulkan analisis laporan tentang praktek pengusiran secara paksa, berdasarkan analisis hukum dan yurisprudensi internasional dan laporan yang disampaikan (oleh) Pemerintah, badan PBB yang relevan…organisasi pemerintah regional dan organisasi non-pemerintah dan organisasi berwawasan lingkungan.” Hak atas perumahan untuk setiap orang ini juga dipertegas melalui Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial tahun 1987/62, berjudul “Pelaksanaan Hak atas Perumahan yang Layak,” ditetapkan 29 Mei 1987. Resolusi ini menegaskan antara lain: “Mengakui bahwa Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya menetapkan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak bagi dirinya dan keluarganya, termasuk perumahan yang layak, dan bahwa Negara harus melakukan langkah-langkah yang tepat untuk melaksanakan hak tersebut. Penegasan hak atas perumahan untuk setiap orang muncul melalui Resolusi Komisi Pemukiman Manusia 14/6, berjudul “Hak Asasi Manusia atas Perumahan yang Layak”. Resolusi ini ditetapkan 5 Mei 1993, menyatakan antara lain: a. Komisi Pemukiman Manusia mendesak semua Negara untuk menghentikan setiap praktek yang akan atau dapat menyebabkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia atas perumahan yang layak, terutama praktek pengusiran paksa secara massal, dan semua bentuk diskriminasi ras atau diskriminasi lainnya dalam masalah perumahan. b. Mengajak semua Negara untuk mencabut, mengubah atau mengamandemen setiap peraturan, kebijakan, program atau proyek yang mempunyai pengaruh negatif terhadap pelaksanaan hak atas perumahan yang layak. c. “Mendesak semua Negara untuk mematuhi perjanjian internasional yang ada tentang hak atas perumahan yang layak, dan untuk hal ini, membentuk…mekanisme pemantauan yang tepat untuk memberikan, demi pertimbangan nasional dan internasional, data akurat dan indikator-indikator besarnya jumlah orang tanpa rumah, kondisi perumahan tidak layak, orang-orang yang tidak mendapatkan jaminan hukum atas penghunian, dan masalah lain yang muncul dari hak atas perumahan yang layak, serta memberikan pengertian terhadap kebijakan, struktur yang menghalangi atau rintangan lainnya agar sektor perumahan dapat berjalan dengan efisien. Bahkan Deklarasi Universal HAM telah memasukkan ke dalam Pasal 25 ayat (1) berbunyi: “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.” Pada level nasional, UUD 1945 sesungguhnya telah memuat HAM dalam Pembukaan. Namun, hak atas rumah lebih dipertegas lagi sejak Amandemen UUD 1945, terutama Pasal 28H ayat (1), berbuni: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Selanjutnya, UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 40 berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak”.Hal ini diperkuat lagi dengan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya (Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi Sosial Budaya. Antara lain Pasal 11 ayat (1) berbunyi: “Negara mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak bagi keluarganya, termasuk cukup pangan, sandang dan papan yang layak, dan atas perbaikan kondisi yang berkelanjutan….” Sementara ini, UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman juga mengakui dan mempertegas hak warganegara Indonesia atas rumah yang layak. Di dalam pertimbangan, UU ini menyebutkan antara lain bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai kebutuhan dasar manuasia. Selanjutnya dipertegas pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 19 dan Pasal 129. Pasal 5 ayat (1) berbunyi “Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah”. Sedangkan Pasal 19 lebih detail menegaskan: (1) Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. (2) Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Pasal 129 berbunyi: Dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, setiap orang berhak: 1. Menempati, menikmati, dan/atau memiliki/memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur; 2. Melakukan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; 3. Memperoleh informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; 4. Memperoleh manfaat dari penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; 5. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; dan 6. Mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan terhadap penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang merugikan masyarakat. Mengacu pada berbagai sumber di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hak atas perumahan adalah hak melekat pada diri setiap orang untuk mendapatkan rumah/tempat tingal dan hidup di suatu tempat dengan aman, damai dan bermartabat. Hak atas perumahan merupakan hak utama dalam pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya. Hal tersebut dikarenakan di dalam hak atas perumahan juga menyangkut hak-hak lain seperti hak atas lingkungan hidup yang baik, hak atas identitas berkaitan dengan hak atas pelayanan kesehatan dan juga hak atas jaminan sosial serta hak-hak lain. Jika hak atas perumahan dilanggar, maka ada banyak hak lain juga terancam dilanggar. Di Indonesia penyelenggaran perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Penyelenggaran perumahan dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemda dan/atau setiap orang untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Dalam realitas obyektif, pemenuhan hak atas perumahan di Indonesia masih jauh dari harapan. Berbagai kendala harus dihadapi, termasuk kendala ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan. Hingga tahun 2014 beragam perkiraan kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal (backlog). Sumber RPJMN 2015-2019 memperkirakan, angka backlog mencapai 17,2 juta unit rumah. Sumber Perpres No.2 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015-2019 menunjukkan angka backlog sebesar 7,6 juta unit (2014) berdasarkan konsep penghunian dan 7,6 juta dari segi keterhunian dengan rata-rata kebutuhan 800.000 unit/tahun Dari sumber “Proyeksi Data Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan (Inperkesling) Tahun 2011”, BPS, berdasarkan konsep kepemilikan, pada 2014 angka backlog 13,5 juta unit. Di lain fihak, dari sumber BPS dan Bappenas, berdasarkan konsep kepemilikan, pada 2014 terdapat 3,4 juta unit rumah tidak layak huni, menjadi 1,9 juta unit pada 2019. Ada juga perkiraan seorang pengamat perumahan, saat ini backlog sekitar 15 juta unit. Masih terdapat kawasan permukiman kumuh mencapai 3,4 juta unit rumah tidak layak huni tersebar di beberapa daerah. III. KEBIJAKAN PEMERINTAH RI TENTANG PERUMAHAN Berdasarkan amanat konstitusional dan pemecahan permasalahan backlog ini, maka Pemerintah harus menerbitkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait dengan pembangunan perumahan melalui RPJM 2015-2019, Kebijakan Sejuta Rumah per Tahun, dan Kebijakan Kemenpupr. Mengacu pada RPJMN 2015-2019, sasaran pembangunan perumahan, target hunian akan dibangun Pemerintah sebesar 2,2 juat hunian dalam jangka waktu 5 tahun. Namun, target pembangunan rumah rakyat pada 2015 direvisi karena dinilai terlalu lambat untuk menutupi kebutuhan rakyat akan perumahan. Target semula ditetapkan sebesar 172.650 unit di tahun 2015, kini disesuaikan menjadi 1 (satu) juta unit pertahun dengan rincian 603.516 unit untuk MBR dan 394 unit untuk Non MBR. Sasaran program pembangunan rakyat adalah menyediakan rumah layak huni bagi MBR dan masyarakat golongan menengah atas (Non-MBR). Pada 29 April 2015 lalu Presiden Jokowi melakukan “groundbreaking” dan meresmikan pencanangan Program Sejuta Rumah setiap tahun, dipusatkan di Ungaran, Jawa Tengah dan secara serentak dilakukan di sembilan Provinsi di Indonesia.Yakni Nias Utara, Jakarta, Bantaeng, Ungaran, Tangerang, Cirebon, Malang, Kota Waringin Timur, dan Palembang. Menurut Presiden, kebijakan Pemerintah di bidang perumahan melalui Program Sejuta Rumah diperuntukkan bagi MBR, seperti kelompok nelayan, pekerja, buruh, PNS, TNI, dan Polri. Arah kebijakan Kementrian PUPR tentang perumahan 2015-2019 adalah memperluas akses terhadap tempat tinggal yang layak dilengkapi dengan sarana dan prasarana memadai untuk seluruh kelompok masyarakat secara berkeadilan, melalui pengembangan multi-sistem penyediaan perumahan secara utuh dan seimbang meliputi: pengendalian perumahan komersial; penguatan perumahan umum, rumah susun, pemberdayaan perumahan swadaya dan fasilitasi perumahan Khusus. 1. Meningkatkan harmonisasi, sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan regulasi dan kebijakan pembangunan Perumahan yang implementatif dan berpihak kepada seluruh kelompok masyarakat secara proporsional dan berimbang sehingga tercipta iklim yang kondusif untuk mempercepat penyediaan perumahan yang layak dan terjangkau bagi MBR 2. Memberdayakan seluruh pemangku kepentingan dalam rangka mewujudkan pembangunan Perumahan yang sinergis, efektif dan efisien, yaitu pemerintah sebagai regulator dan enabler, sedangkan masyarakat dan dunia usaha sebagai provider. 3. Meningkatkan kualitas perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan Perumahan. 4. Mengembangkan pengelolaan tanah yang efektif dan efisien untuk pembangunan perumahan bahi MBR sekaligus dalam rangka pengendali harga tanah. 5. Mengembangkan multi-sistem penyediaan perumahan yang berkeadilan. 6. Meningkatkan efisiensi dalam industri pembangunan perumahan yang berkelanjutan. Target program perumahan sesuai RPJMN 2015-2019, total anggaran Rp. 33.099,00 miliar dengan program/kegiatan: 1. Kegiatan Penyusunan Kebijakan, Program dan Anggaran, Kerjasama, Data dan Informasi serta Evaluasi Kinerja Pengembangan Perumahan. Sasarannya, meningkatkan penyusunan kebijakan, program dan anggaran kerjasama, data dan infroamsi serta evaluasi kinerja pengembangan perumahan. 2. Pembangunan Rumah Susun Sederhana Sewa. .Sasarannya, terbangunnya 550.000 unit (satuan rumah susun) yang dilengkapi dengan PSU pendukungnya. 3. Pembangunan rumah khusus. Sasarannya, terbangunnya 50.000 unit rumah khusus di daerah pasca bencana/konflik, maritim dan perbatasan Negara. 4. Pengembangan Perumahan Swadaya. Sasarannya, terwujudnya keswadayaan masyarakat untuk peningkatan kualitas dan pembangunan rumah/hunian yang layak dan terjangkau bagi 1.750.000 MBR dalam lingkungan yang aman, sehat, teratur dan serasi. 5. Pembinaan dan Pengembangan Rumah Umum dan Komersial. Sasarannya: a. Meningkatnya Pembinaan dan Pengembangan Rumah Umum dan Komersial. b. Terselenggaranya pencadangan tanah dan Pembangunan Rusun melalui penyertaan modal negara untuk Perum Perumnas. c. Terfasilitasinya Pengelolaan Rumah Susun Sewa bagi MBR yang dilaksanakan oleh BUMN IV. PERMASALAHAN PENYEDIAAN TANAH UNTUK PEMBANGUNAN PERUMAHAN Kebutuhan rumah yang terus meningkat di setiap tahun simultan dengan kebutuhan tanah. Hal ini terjadi karena ketersediaan tanah sangat terbatas sedangkan permintaan akan sarana hunian selalu meningkat setiap tahun. Keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan tanah untuk pembangunan perumahan terus menjadi masalah memerlukan penanganan secara konprehensif. Beberapa masalah ketersdiaan lahan adalah: 1. Di daerah perkotaan tanah semakin langka dan mahal. Tidak sedikit kita jumpai areal pertanian disulap menjadi kawasan permukiman. Konsekuensi logis dari pengunaan tanah partanian sebagai kawasan parumahan ini menyebabkan menurunnya produksi pangan serta rusaknya ekosistem lingkungan. Jika dikaji lebih lanjut, merupakan awal dari permasalahan lingkungan di perkotaan seperti banjir, tanah longsor dll. 2. Ketidaktersediaan/kelangkaan tanah pada lokasi strategis/pusat dan subpusat. 3. Tanah relative mahal terutama di dekat pusat dan subpusat kota. Suatu sumber (Portal property Lamudi, 27 Oktotober 2015) menunjukkan, harga tanah di Indonesia menempati posisi kedua termahal di Asia setelah Myanmar, bahkan jauh di atas Negara Afrika. Harga tanah di Indoensia rata-rata Rp.3.514.240.240 (US$ 259)/m2 di Afrika, Negara Mauritus rata-rata harga tanah Rp. 1.546.810 (US$ 114)/m2, di Bangklades Rp. 2.835.280 (US$209)/m2. 4. Adanya status tanah adat dan konsep kepemilikan tradisional di beberapa daerah. 5. Harga beli tanah merupakan nilai sewa pada masa-masa mendatang yang dikapitulasikan. Dua fenomena mengikuti adalah adanya sekulasi tanah dan adanya perbaikan nilai-nilai komersial terhadap lahan, dibangun gedung-gedung dan fasilitas lain. 6. Selama ini penguasaan tanah dibebaskan seluas-luasnya untuk dimiliki Pengembang. Jika sistem penguasaan tanah dibebaskan seluas-luasnya, maka akan selalu menjadi masalah terus menerus ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan. Selama ini banyak tanah tidak terpakai milik pengembang ikut menaikkan harga rumah dan tanah itu sendiri. Banyak tanah nganggur dibangun untuk rumah-rumah “klas atas” dengan istilah “Kota Mandiri” sebenarnya diskriminatif. Kenaikan harga rumah 20 persen pertahun itu tidak normal. Kenaikan ini karena sistem penguasaan tanah oleh segelincir pihak. Kita terlalu konsen pada bisnis penguasaan tanah. Berbisnis dengan mengambil hal publik tidak etis. Beragam cara telah disarankan melalui pubik untuk memecahkan permasalahan ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan ini. Pertama, melalui konsolidasi tanah, yaitu penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dalam usaha penyediaan tanah untuk kepentingan pembangunan perumahan dan permukiman guna meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharan sumber daya alam dengan partisipasi aktif masyarakat. Prinsip konsolidasi tanah adalah membangun tanpa menggugur dan ditempuh melalui penyediaan tanah oleh masyaraat pada permukiman kumuh yang ditata supaya menjadi teratur. Penataan tersebut perlu dilengkapi dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum, serta sarana jalan yang memadaai. Jenis tanah yang bisa dilakukan konsoliadsi ini meliputi tanah milik masyarakat dan aset Pemda. Walaupun dalam implementasinya cukup sulit dan perlu persiapan yang matang dari berbagai aspek, ini perlu dilakukan. Kedua, pembebasan dan tukar-menukar. Dalam hal ini, Pemda dapat membeli tanah yang ada di masyarakat atau dengan cara “land pooling” atas tanah terlantar sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketersediaan tanah di daerah sangat penting dalam pemanfaatan tanah untuk pembangunan perumahan MBR sehingga perlu dilakukan pengaturan terhadap tanah-tanah terlantar bagi pembangunan perumahan, Karena itu, pemanfaaatan tanah untuk pembangunan perumahan MBR perlu didukung oleh penguatan kelembagaan Pemda mengenai perumahan. Selain itu, penetapan lokasi tanah kawasan perumahan Pemda juga harus sesuai dengan RTRW dan bukan pada wilayah rawan bencana. Dalam pelaksanaannya, Pemda perlu mengidentifikasi dan memetakan permasalahan tanah dengan memperhatikan aspek partisipasi berbagai pihak terutama masyarakat. Karena itu, Pemda diharapkan dapat bertindak lebih pro aktif dalam melakukan identifikasi dan memetakan permasalahan tanah sehingga penanganann optimalisasi tanah dapat terlaksana dengan baik. Selama ini, kebutuhan riil tanah untuk pembangunan perumahan MBR belum dilaksanakan secara maksimal. Ketiga, membangun fasilitas hunian di daearh pinggiran kota, relative lebih murah harga. Namun, permasalahan baru muncul, jarak antara tempat tinggal dan lokasi bekerja menjadi semakin jauh sehingga menjadi tidak efisien dan terasa mahal bagi penghuni. Kempat, membentuk BLU Bank Tanah sebagai suatu lembaga non komersial yang dibentuk untuk mempromosikan revitalisasi lingkungan dari properti, khususnya untuk penataan kembali pemilikan dan penggunaan tanah baik untuk pemukiman ataupun untuk keperluan industri. Dalam mendukung program sejuta rumah rakyat, peranan bank Tanah sangat penting. Dengan adanya Bank Tanah, terdapat jaminan ketersediaan tanah yang akan digunakan. Selain itu peningkatan harga tanah dapat lebih dikendalikan. Sejauh ini, Pemerintah telah mewacanakan untuk pembentukan Bank Tanah, namun sampai saat ini Pemerintah belum melakukan langkah nyata dalam pembentukkan Bank Tanah. Bank Tanah menjadi faktor krusial yang seharusnya diperhatikan Pemerintah dari sisi supply, karena tanpa supply maka program ini tidak akan berjalan optimal. Turunnya suku bunga FLPP menjadi 5% dan besaran uang muka hanya 1% akan memperbesar pasar permintaan akibat dari kenaikan daya beli konsumen. Dengan adanya Bank Tanah milik Pemerintah, maka “mismatch” pasar akan dapat dihindari dan Pemerintah dapat mematok harga rumah sesuai. Pembentukan BLU Bank Tanah harus berdasarkan kriteria : a. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 33. b. Orientasi pelayanan masyarakat & non profit . c. Prinsip sustainable dalam pengelolaan keuangan. d. Mempunyai kompetensi sebagai Land Banking. e. Set up cost yang relatif efisien. f. Kecepatan implementasi kebijakan. Bank tanah ini disarankan berada di BPN. Dasar pertimbangannya adalah; 1. BPN dapat menjaga agar BLU tetap merupakan lembaga non profit, sejalan dengan amanat UUD 1945 pasal 33 dan UUPA yang menjadi landasan kerja BPN agar sumber daya tanah dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat; 2. BPN bukan merupakan institusi pengguna lahan sehingga tidak memiliki conflict of interest; 3. Jangkauan wilayah seluruh kab/kota melalui Kantor Kanwil di Provinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten/Kota 4. Memiliki pengalaman dalam administrasi pertanahan. Sistem informasi pertanahan, penilaian tanah, akuisisi tanah. Kelima, Bisnis property harus mulai meninggalkan tanah sebagai salah satu komponen penentu harga rumah. Kuncinya penguasaan tanah oleh Negara. Tanah tidak boleh dibisniskan, tanah dikuasai Negara untuk penyediaan rumah rakyat. Harusnya pengembang mengelola kawasan. Kawasan dimiliki oleh Negara. Pemerintah harus memiliki Bank Tanah. Harus jeli melihat tanah kosong dan nanggur untuk dibeli.. Keenam, mengacu pada UU No.1 Tahun 2011, Pemerintah dan Pemda sesuai dengan kewenangannya bertanggungjawab atas ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan dan kawasan permukiman. Penyediaan tanah dapat dilakukan dengan: a. Pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai Negara. Tanah yang langsung dikuasai oleh Negara digunakan untuk pembangunan rumah, perumahan, dan/atau kawasan permukiman diserahkan melalui pemberian hak atas tanah kepada setiap orang yang melakukan pembangunan rumah, perumahan, dan kawasan permukiman. Pemberian hak atas tanah didasarkan pada keputusan Gubernnur atau Bupati/Waliota tentang penetapan lokasi atau izin lokasi. Dalam hal tanah yang langsung dikuasai Negara terdapat garapan masyarakat, hak atas tanah diberikan setelah pelaku pembangunan perumahan dan permukiman selaku pemohon hak atas tanah menyelesaiakan ganti rugi atas seluruh garapan masyarakat berdasarkan kesepakatan. Jika tidak ada kespakatan tentang ganti rugi, penyelesaiannya dilaksanakn sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah. Konsolidasi tanah dilakukan di atas tanah milik pemegang hak atas tanah dan/atau di atas tanah Negara yang digarap oleh masyarakat. Konsolidasi tanah dilaskanakan berdasarkan kesepakatan: a) Antar pemegang hak atas tanah. b) Antar penggarap tanah Negara. c) Antar penggarap tanah Negara dan pemegang hak atas tanah Konsolidasi tanah dapat dilaksanakan jika paling sedikit 60 % pemilik tanah luas lahannya meliputi sedikit 60 % dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasikan menyatakan persetujuannya. Kesepakatan paling sedikit 60 % tidak mengurangi hak masyarakat sebesar 40 % untuk mendapatkan aksesibilitas.Konsolidasi tanag dapat dilaksanakan bagi pembangunan rumah tunggal, rumah deret atau rumah susun. Penetapan lokasi konsolidasi tanah dilakukan oleh Bupati/Waliota, sedangkan untuk DKI Jakarta oleh Gubernur. Lokasi konsolidasi tanah sudah ditetapkan tidak memerlukan izin lokasi. c. Peralihan atau Pelapasan Hak atas Tanah oleh Pemilik Tanah. Peralihan atau pelepasan hak atas tanah dilakukan setelah badan hukum memperoleh izin lokasi.Peralihan hak atas tanah dibuat di hadapan pejabat pembuat akta tanah setelah ada kesepakatan bersama. Pelepasan hak atas tanah dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang. Peralihan hak atau pelepasan hak atas tanah wajib didaftarkan pada kantor pertanahan Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perunang-undangan. d. Pemanfaatan dan pemindahtangan tanah barang milik Negara atau milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemanfaatan dan pemindahtangan tanah barang milik negara atau milik daerah bagi pembangunan rumah, perumahan dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum dan/atau rumah khusus, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. e. Pendayagunaan tanah Negara bekas tanah terlantar. Pendayagunaan tanah negara bekas tanah terlantar bagi pembangunan rumah, perumahan dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum, rumah khusus dan penataan permukiman kumuh. f. Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku. Pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum bagi permbangunan rumah, perumahan dan kawasan permukiman diperuntukkan pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan penataan permukiman kumuh. Pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketujuh, mengacu pada UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, khususnya Pasal 22 (1), penyediaan tanah untuk pembangunan Rumah Susun (Rusun) dapat dilakukan dengan: a. Pemberian hak atas tanah terhadap tanah yang langsung dikuasai Negara. b. Konsolidasi tanah oleh pemilik tanah. c. Peraliahan atau pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah. d. Pemanfaatan barang milik Negara atau barang milik daerah berupa tanah. e. Pendayagunaan tanah wakaf. f. Pendayagunaan sebagian tanah Negara bekas tanah terlantar. g. Pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. V. PERAN PEMERINTAH, PEMERINTAH DAERAH DAN SWASTA DALAM KERJASAMA Pemerintah, Pemda dan swasta dalam memecahkan permasalahan ketersediaan tanah ini dapat memiliki peran masing-masing dalam bentuk kolaborasi kerjasama pemanfaatan tanah potensial untuk pembangunan perumahan MBR. Penyediaan tanah untuk pembangunan perumahan dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemda dan Masyarakat/Swasta. Ketiga komponen ini harus membangun kolaborasi kerjasama untuk pemanfaatan tanah potensial bagi perumahan MBR. Kolaborasi kerjasama untuk menampung dan menyalurkan aspirasi dan membahas dan merumuskan cara pemecahan permasalahan ketersediaan tanah untuk pembangunan perumahan MBR. Fihak-fihak terlibat dalam kolaborasi kerjasama pemanfaatan tanah untuk pembangunan perumahan dimaksud adalah Pemerintah, Pemda (Provinsi, Kabupaten dan Kota), Asosiasi Perusahaan Penyelenggara Perumahan yang mebutuhkan tanah; Pelaku Usaha dan masyarakat yang memiliki tanah. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PUPR, dengan kewenangan dimiliki dapat memfasilitasi kolaborasi kerjasama Pemda dapat memaksimalkan peran guna mewujudkan program sektor perumahan. Dengan adanya otonomi daerah diharapkan Pemda lebih dapat mengatasi permasalahan berkaitan dengan ketersediaan tanah ini. Pemda harus menyediakan tanah untuk pembangunan perumahan terutama bagi MBR. Pemda bertanggungjawab mmberikan pelayanan dasar dalam peneydiaan tanah dalam rangka pembangnan perumahan bagi MBR di wilayahadministrasnya. UU Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan ekpada Pemda dalam melaksanakan berbagai urusan dalam rangka pelayanan public pemerintah kepada masyarakat sebagaimana ditunagkan di dalam PP Nomor 2007. Hal ini sejalan dengan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Di sini diperlukan komitmen Pemda untuk mendukung ketersediaan tanah bagi perumahan MBR. Swasta dan masyarakat dapat menyediakan tanah untuk digunakan keperluan pembangunan perumahan MBR. Peran swasta dapat dalam bentuk penyediaan tanah milik mereka untuk pembangunan perumahan. Peran masyarakat dilakukan melalui kolaborasi kerjasama dengan Pemerintah, Pemda dan Pelaku Usaha Perumahan. VI. FASILITASI KERJASAMA PEMANFAATAN TANAH Pemerintah dalam hal kerjasama ini melaksanakan program kerja berupa fasilitasi kolaborasi kerjasama pemanfaatan potensi tanah yang dapat didayagunakan untuk pembangunan perumahan. Beragam kegiatan, antara lain melakukan koordinasi dengan Pemda Kabupaten/kota dan kepada para stakeholder yang terkait. Adapun seluruh stakeholder terkait memiliki peran vital masing-masing dalam pembangunan rumah umum. Maksud program ini adalah untuk membantu dan mendorong pembangunan rumah umum dengan terlebih dahulu berbekal “data pencadangan tanah” sehingga dapat mendukung upaya pemecahan permasalahan ketersediaan tanah dan mengurangi kekurangan perumahan yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan tujuan program ini adalah untuk mempertemukan pemilik tanah seperti Kementerian, Lembaga, BUMD, BUMN, Badan Usaha, Organisasi, Perorangan dengan pemilik modal atau pihak lain berkomitmen mendukung penyelenggaraan rumah umum sehingga pertumbuhan rumah yang layak huni bagi MBR dalam suatu lingkungan perumahan dapat sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota dengan memperhatikan aspek hunian berimbang (Permenpera Nomor 10 Tahun 2012). Adapun sasaran program fasilitasi kolaboarsi kerjasama pemanfaatan potensi tanah yang dapat didayagunakan untuk pembangunan perumahan adalah: 1. Penyusunan data dan informasi berkaitan dengan pemanfaatan potensi tanah yang dapat didayagunakan untuk pembangunan perumahan. 2. Berbekal data dan informasi tersebut di atas, dilakukan fasilitisasi kolaborasi kerjasama dengan pihak pemilik modal yang memiliki kualifikasi dan keinginan membangun rumah umum. 3. Adapun fasilitasi kolaborasi kerjasama sebagai jembatan antara pemilik tanah (perorangan/instansi/swasta) dengan pemilik modal, dengan berdasarkan pada naskah hukum kerjasama. Untuk mencapai maksud, tujuan dan sasaran program, Tim Pelaksana harus melakukan pengumpulan dan inventarisasi data primer dan sekunder. Hasil pengumpulan dan inventarisasi data kemudian menjadi data base potensi tanah yang dapat didayagunakan untuk pembangunan perumahan dengan syarat ”free, clean and clear” baik dari sisi status kepemilikan maupun kesesuaian dengan RTRW. Berdasarkan hasil pengumpulan dan inventarisasi data, dilakukan: a) Verifikasi dokumen: Harga Tanah, Peruntukan Penggunaan Lahan,dll. b) Verifikasi fisik/lapangan: Pemeriksaan lokasi tanah. c) Verifikasi kondisi lahan. d) Wawancara menggunakan kuesioner untuk membantu pertanyaan, dan menyimpulkan setiap jawaban yang diberikan. e) Site Report : Laporan hasil wawancara dan Laporan temuan-temuan lainnya. Tanah ”berpotensi” bermakna secara legalitas kavling atau bidang tanah tersebut adalah “free, clean, and clear”. Free artinya bebas sengketa, di mana pemilik tanah sesuai dengan yang tertera di sertifikat tanah. Clean artinya tanah tersebut tidak sedang digunakan untuk kegiatan ekonomi lain atau ditempati oleh orang lain yang tidak berhak. Clear artinya ukuran tanah tersebut tepat seperti apa tertera di dalam sertifikat, serta cocok batas-batasnya. Di samping itu, dilakukan pengumpulan dan inventarisasi data tentang: 1. Pemilik Tanah yang “free, clean and clear” sebagai misal Kementerian, Lembaga Negara, BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), BUMN (Badan usaha Milik Negara) Badan Usaha, Organisasi Masyarakat, Perorangan, serta Pemilik Modal/Investor yang memiliki kualifikasi dan keinginan membangun rumah umum. Kriteria pemilik modal/investor yakni mempunyai dana yang cukup. 2. Menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) di beberapa kota. FGD akan melibatkan stake holder terkait seperti: Bappeda Provinsi; Kantor BPN Wilayah Provinsi; BAPPEDA Kota; Kantor BPN Kota; Dinas PU dan Perumahan Kota; Perumnas; APPERSI, REI, KADINDA, Pelaku Usaha Perumahan, Pakar Pertanahan (Universitas), Pakar Perumahan (Universitas), Konsultan Penilai Tanah/Bangunan Bersertifikat, dan Masyarakat pemilik tanah. 3. Mengidentifikasi model-model kerjasama antara Pemilik Tanah dan Pemilik Modal untuk pembangunan rumah umum di kota-kota kajian. 4. Memfasilitasi kerjasama antara Pemilik Tanah dan Pemilik Modal agar memiliki dasar hukum kerjasama yang jelas. Program ini juga menstimulus pemilik tanah seperti Kementerian, Lembaga, BUMD, BUMN, Badan Usaha, Organisasi dan Perorangan untuk turut berperan serta dalam pembangunan perumahan. Kementerian PUPR akan berusaha semaksimal mungkin “mempermudah” pembuatan MOU (Matual of Understansing) atau Perjanjian Kerjasama antara Pemilik Tanah dan Pemilik Modal agar bisa memastikan para pihak turut berperanseerta dalam pembangunan perumahan MBR. ---meh--- ----------- Makalah ini disajikan pada Forum Diskusi “Kolaborasi Kerjasama dalam Pemanfaatan Potensi Lahan yang Dapat Didayagunakan untuk Pembangunan Perumahan”, 30 November 2015, Royal’s Restro & Function Hall, Kota Ternate, Maluku Utara. Diselenggarakan oleh Direktorat Rumah Umum dan Komersial, Direktorat Jenderal Penyediaan Perumahan, Kementerian PUPR.