Jumat, 21 Agustus 2015

KINERJA PEMERINTAHAN JOKOWI-JK DAN HARAPAN SETELAH RESHUFFLE

I. PENGANTAR DPP SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), 20 Agustus 2015, menyelenggarakan Seminar Bertema “Evaluasi Kinerja Pemerintahan Jokowi-JK Oktober 2014-Agustus 2015 dan Harapan setelah Reshuffle”. Saya diminta untuk menjadi Penanggap Utama di dalam Acara ini. Sekalipun saya sebagai Penanggap Utama, perkenankanlah saya memberikan kontribusi Makalah untuk memperkaya wawasan dan memberikan masukan kepada Pengambil Keputusan yang relevan dengan Tema Seminar ini. Setelah hampIr setahun penuh Jokowi-JK memimpin pemerintahan di Republik Indonesia, perjalanan Negara dan rakyat bukan saja terkesan “lambat” dan “merosot”, melainkan juga telah berada di dalam “kegelapan” dan dapat dinilai “Negara Gagal”, dalam pengertian lembaga-lembaga pemerintahan/Negara cenderung tidak berfungsi (disfungsi) sebagaimana mestinya. Adanya Reshuffle atau perombakan Kabinet menunjukkan salah satu indikator “Negara Gagal”. Perlunya Reshuffle Kabinet di mata public acapkali disebabkan kinerja Tim Ekonomi tidak mampu untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi Indonesia. Pertanyaan dasar untuk solusi ini, setelah dilakukan reshuffle Kabinet Kerja, apakah prospek kondisi social politik dan ekonomi Indonesia akan lebih baik? II. KONDISI SOSIAL EKONOMI Kehidupan sosial ekonomi mengalami “kemerosotan”, ditunjukkan dengan berbagai indikator antara lain: 1. Pertumbuhan Ekonomi. Pertumbuhan Ekonomi Triwulan I-2015 hanya 4,71 %, merosot dibandingkan pertumbuhan sama pada tahun sama sebesar 5,14 %. Pertumbuhan ekonomi 4,71 % merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 2009. Kualitas pertumbuhan menurun juga dilaporkan oleh Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef dalam tulisannya "Mengembalikan Kredibilitas Pemerintah" (Media Indonesia, 15 Juni 2015). Berdasarkan hasil penelitian Indef, ditunjukkan beberapa kesimpulan. Pertama, kualitas pertumbuhan menurun, terlihat semakin gagalnya harapan terjadinya transformasi struktur ekonomi ini. Kedua, penurunan investasi dan indeks tendensi bisnis. Pertumbuhan investasi masih tetap melambat dari 20,22 % (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 10,16 % pada triwulan I 2015. Bahkan porsi investasi terhadap GDP turun dari 33,46 % pada triwulan IV 2014 menjadi 31,94 % pada triwulan I 2015. Ketiga, indeks tendensi bisnis (ITB) merupakan refleksi persepsi pelaku usaha terhadap prosfek ekonomi pada triwulan I 2015 anjlok menjadi 96,30. Padahal para triwulan IV 2014 masih berada pada level 104,07. Turunnya ITB itu disebabkan turunnya indeks pendapatan usaha (95,06), indeks penggunaan kapasitas produksi (95,13), dan indeks rata-rata jam kerja (97,83). Keempat, neraca perdagangan selama lima bulan terakhir memang telah mengalami perbaikan. Sayangnya, surplus neraca perdagangan bukan karena ditopang membaiknya kinerja ekspor, melainkan tertolong oleh turun drastisnya impor. Pada Januari-April 2015, ekspor turun 11,01 % dan impor turun hingga 17,03%. 2. Nilai Ekspor Merosot Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dibarengi dengan kemerosotan nilai ekspor Indonesia ke Negara lain. Nilai ekspor pada Januari-Maret 2015 hanya mencapai US$ 39,13 Miliyar atau turun 11, 67 % dibandingkan dengan ekspor periode sama tahun 2014. Juga ekspor nonmigas mencapai US $ 33,43 Miliyar, atau turun 8,23 %. Harga-harga komoditas ekspor merosot, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan karet merosot. 3. Peningkatan Nilai Impor Dalam situasi kemerosotan pertumbuhan ekonomi dan nilai ekspor, terjadi pula peningkatan nilai impor. Nilai impor Maret 2015 sebesar US$ 12,58 Miliyar, meningkat 9,29 % dibandingkan dengan impor bulan Februari 2015 dan 13,39 % jika dibandingkan dengan impor Maret 2014. 4. Peningkatan Impor Migas Juga terjadi peningkatan impor Migas. Impor Migas Maret 2015 sebesar US$ 2,27 Miliyar, menaik 31,89% dibandingkan dengan Februari 2015 (US$ 1,72 Miliyar). 5. Nilai Tukar Petani Merosot Nilai tukar Petani (NTP) pada April 2015 merosot 1,37 % dibandingkan pada Maret 2015. Pembangunan pertanian belum terdengar realisasinya. 6. Inflasi Menaik dan Rupiah Terjun Bebas Menurut Gubernur BI Agus Martowardojo (27 Mei 2015), inflasi di Tanah Air sepanjang kuartal satu tahun 2015 ini mencapai 6,39 % dibanding tahun lalu (year on year) dan meningkat menjadi 6,79 % (yoy) pada April lalu. Artinya, inflasi pada April 2015 menaik sebesar 0,40 %.Inflasi Indonesia masih tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara yang laju kenaikan harganya jauh di bawah 5 %. Filipina, inflasinya 2,29%, Malaaysia 0,9%, Singapura deflasi 0,3 %, dan Thailand deflasi 1 %. 7. Rupiah Terjun Bebas Nilai Rupiah semula Rp. 10.000 di akhir Juli 2014 ketika Jokowi-Jk ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014 dan sekarang telah mencapai hampir Rp. 14.000 per US Dollar. 8. Cadangan Devisa Merosot Posisi cadangan devisa merosot dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2015 sebesar 115,5 Miliyar Dollar AS. Merosotnya posisi cadangan devisa tersebut akibat peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan dalam rangka stabilitas nilai tukar rupiah. 9. Penerimaan Pajak Merosot Penerimaan pajak sampai pada Maret 2015 dibandingkan yang sama Maret 2014 merosot hingga Rp. 50 triliun. 10. Utang Bertambah Utang Indonesia bertambah Rp. 250 triliun. Padahal Jokowi dalam Kampanye pernah berjanji tidak akan menambah utang. 11. Semua Kebutuhan Dasar Rakyat Menaik Harga BBM menaik. Harga beras menaik. Harga gas menaik. Tarif kereta api menaik. Jalan tol dikenakan pajak. Impor beras dan gula semakin mantap. Daya beli rakyat menurun, biaya hidup menaik mengikuti kenaikan harga BBM. 12. Tidak Memiliki Kemampuan Berdasarkan pengalaman setahun terakhir ini, Pemerintahan Jokowi-JK tidak memiliki kemampuan untuk mengelola ekonomi nasional, menciptakan kemandirian ekonomi dan mewujudkan bangsa berdaya saing. III. KONDISI SOSIAL POLITIK Khusus kelambanan dan kemerosotan kehidupan politik di Indonesia ditunjukkan dengan berbagai indikator, antara lain: 1. lembaga-lembaga Negara/pemerintahan cenderung “disfungsional” atau “gagal”. Kabinet Kerja tidak efektif ditandai antara lain Reshuffle Kabinet. 2. Demokrasi Tanpa Oposisi Di lembaga DPR tidak terdapat kekuatan oposisi, keseluruhan kader Parpol cenderung berkoalisi. Pemerintahan Jokowi-JK menghendaki tidak akan kekuatan oposisi di Parlemen/DPR. Dari ukuran pentingnya oposisi dalam demokrasi, Pemerintahan Jokowi-JK tergolong tidak pro demokrasi. Kekuatan oposisi parpol di parlemen/DPR sebagai syarat untuk peningkatan kehidupan demokrasi dan produksi kebijakan publik yang berkualitas dalam realitasnya tidak dapat ditemukan. Parpol-parpol berkoalisi dalam KMP (Koalisi Merah Putih) yang kalah dalam Pilpres oleh KIH (Koalisi Indonesia Hebat), ternyata juga tidak memainkan peranan oposisional di DPR, kecuali berkoalisi secara substanasial dengan KIH yang lagi berkuasa dalam pemerintahan. 3. Parpol Tidak Melaksanakan Pendidikan Politik Dalam realitas obyektif, Parpol tidak melaksanakan pendidikan politik masyarakat sebagai salah satu tugas dan fungsi Parpol sesuai peraturan perundang-undangan. 4. Media Massa Bukan Pilar Demokrasi Media massa cetak dan audiovisual sebagai industri dan korporasi ekonomi. tidak mengambil peran sebagai “pilar demokrasi” melainkan bermotip ekonomi dan bisnis. Beberapa diantaranya cenderung menjadi “corong” Rezim Kekuasaan dan partisan. 5. Tidak Punya “Visi” dan “Misi” Negara dan rakyat tidak punya “visi” dan “misi” sama mau dibawah perjalanan Negara dan rakyat ke depan; kekuatan rakyat anti Rezim Kekuasaan semakin membesar diperkirakan melebihi 50 %, kekuatan pro/pendukung Rezim semakin berkurang per lahan-lahan dari bulan ke bulan. Legitimasi/pengakuan politik atau kepercayaan politik secara kultural rakyat terhadap Rezim semakin merosot tajam. 6. Kepercayaan Jurnalis Terhadap Institusi Politik pada Level Rendah Kondisi politik di bawah Jokowi-JK semakin diperparah dengan kepercayaan jurnalis terhadap institusi politik berada pada level yang rendah. Institusi politik dimaksud antara lain parlemen, parpol, pemerintahan, politisi, lembaga peradilan, dan kebijakan publik. Guru Besar Ilmu Komunikasi dari Universitas Ludwig Maximillians, Munich, Jerman, Thomasa Hamitzsch mengungkapkan (Kompas, 12 Agustus 2015), di Indonesia, skor kepercayaan jurnalis terhadap parlemen hanya 2,46 dari skala 5, sementara skor kepercayaan kepada partai politik 1,78. Kepercayaan jurnalis Indonesia terhadap politisi secara umum ternyata lebih rendah lagi, yakni 1,77, tetapi kepercayaan kepada pemerintah lebih tinggi, yaitu 2,68. Walaupun angka untuk kepercayaan terhadap pemerintah mencapai 2,68, namun angka ini menunjukkan kepercayaan rendah. Kepercayaan jurnalis kepada institusi politik lebih rendah daripada kepercayaan masyarakat umum terhadap lembaga politik. Bagi Hanitzsch, kondisi itu justru terbalik di Jerman justru lebih tinggi (dibandingkan dengan masyarakat). 7. Konflik Manifest Lembaga Politik Kondisi politik di Indonesia juga dapat ditunjukkan semakin meningkatnya konflik manifest di lembaga politik, antara lain perpecahan Parpol, khususnya PPP dan Golkar. Indikator perpecahan parpol sesungguhnya akibat intervensi pemerintahan Jokowi-JK melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Partai Golkar dan PPP menjadi korban dari intervensi Pemerintah. Pemerintahan Jokowi-JK seharusnya bertanggungjawab untuk membangun tatanan politik yang sehat, dan politik kepartaian yang stabil tanpa perpecahan. Sejatinya, dengan perpecahan Parpol di Indonesia, hal itu sama saja kegagalan Pemerintahan Jokowi-JK. Namun, Jokowi-JK melakukan politik pembiaran atas perpecahan Parpol dan Jokowi-JK gagal membangun politik kepartaian. Indikator demokrasi sesungguhnya belum menunjukkan konsistensi dan konsekuen dengan penegakan prinsip-prinsip demokrasi seperti partisipasi, nondiskriminatif/kesetaraan, transparansi, akuntabilitas public, penegakan hukum, dll. V. KINERJA JOKOWI-JK DI MATA PUBLIK Seiring dengan kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia mengalami kemerosotan dan penurunan, juga kualitas kinerja Jokowi-Jk di mata publik mengalami kemerosotan dan penurunan. 1. Litbang Kompas Kinerja ekonomi pemerintah Jokowi merosot karena semua indikator menunjukkan demikian. Berdasarkan hasil Survei Litbang Kompas, 7-15 April 2015 terhadap 1.200 responden, hanya 25,4 % responden yang puas terhadap kinerja Pemerintah Jokowi di bidang ekonomi. Sebanyak 65 % responden menilai keadaan ekonomi nasional saat ini dalam kondisi buruk. Berikutnya, Litbang Kompas , 25 Juni hingga 7 Juli 2015, melakukan survey tingkat kepuasan publik. Hasil survey menunjukkan,kepuasan publik hanya mencapai 44,2 persen. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan masa tiga bulan Jokowi-Jk berkuasa, yakni 49,6 persen (Kompas, 29 Juli 2015). Tantangan kemerosotan ekonomi sejak awal tahun 2015 ternyata belum bisa berhasil diatasi oleh Jokowi-Jk. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi masih mendominasi. Kepuasan terhadap kinerja Jokowi-JK bidang ekonomi dengan indikator "mengendalikan harga barang dan jasa" hanya mencapai 32, 1 persen; "menyediakan lapangan kerja" lebih rendah hingga 31,1 persen; "memeratakan pembangunan" mencapai 50,3 persen; "mengembangkan pasar tradisional" mencapai 69,9 persen; "mewujudkan swasembada pangan" sebesar 53,1 persen; :"memberdayakan petani dan nelayan" mencapai 51,5 persen; dan "mengendalikan nilai tukar rupiah" paling rendah yakni 21,4 persen. Jika digunakan indikator " mengendalikan harga barang dan jasa" (32,1 persen) dan "menyediakan lapangan kerja" (31,1 persen), maka dapat disimpulkan bahwa kinerja Jokowi-Jk tergolong “buruk” dan “jelek” dalam hal (1) kebutuhan dasar rakyat; (2) pengendalian nilai tukar rupiah; (3) penyediaan lapangan kerja. Pada ketiga issue tersebut rata-rata proporsi hanya 21,4 persen. Issue-issue inilah menjadi ketidakpuasan publik di bidang ekonomi jelek. 2. KedaiKOPI Selanjutnya, sesuai laporan Merdeka.com (22 Juni 2015) - Indeks kepercayaan masyarakat atas pemerintahan Jokowi-JK mengalami penurunan drastis. Berdasarkan survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) sebanyak 58,8 persen responden menyatakan ketidakpuasan dengan kinerja pemerintah hari ini. Kemudian 30,8 persen menyatakan cukup puas, sedangkan 8 persen responden menyatakan ketidakpuasannya sama sekali. Untuk responden yang puas hanya mencapai 1,6 persen. Survei dilakukan pada 26 Mei sampai 3 Juni 2015 dengan 250 responden di wilayah Jalan Sudirman, Thamrin dan Kuningan. Jakarta. Menurut Hendri Satrio dari KedaiKOPI, mereka berasal dari pebisnis setara asisten manager dengan gaji minimal Rp 5 juta. "Mereka yang berasal dari orang kelas menengah menunjukkan ketidakpuasannya terutama dari kebijakan ekonomi pemerintah," kata Hendri. 3. Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, 9 Juli 2015, melaporkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahwa masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi, selama hampir sembilan bulan memerintah. Survei dilakukan 25 Mei hingga 2 Juni 2015 dengan 1.220 responden. Secara umum sebesar 56 persen masyarakat merasa kurang atau tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi, sementara 41 persen sisanya merasa puas. Bagi SMRC, pemerintah harus sadar bahwa masyarakat terlihat cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi. Di bidang ekonomi, sekitar 31,5 persen warga menyatakan kondisi ekonomi sekarang lebih buruk daripada tahun lalu, sementara yang menyatakan lebih baik hanya 24 persen. Untuk bidang politik, hasil survei menunjukkan 37,5 persen warga menganggap kondisi politik Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 21,6 persen. Sedangkan, dalam hal hukum, 38 persen warga menyatakan kondisi hukum Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 32 persen. Jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY, citra Jokowi saat ini jauh tertinggal. Bila saat ini hanya 40,7 persen warga yang menyatakan puas dengan kinerja Jokowi, dalam periode yang sama, lima tahun lalu, terdapat 70 persen warga menyatakan puas dengan kinerja SBY. VI. KEPEMIMPINAN KOLEKTIF: SEBUAH HARAPAN Harapan Kita tentu Negara dan rakyat ke depan lebih baik, dan pemerintahan Jokowi-JK dapat bekerja sesuai dengan janji-janji kampanye dan cita-cita selama ini dikampanyekan. Namun, realitas obyektif menunjukkan bahwa kondisi social ekonomi mengalami “kemerosotan” sementara social politik ditandai dengan “Negara gagal”. Dari segi politik pemerintahan, setelah Reshuffle Kabinet, untuk memecahkan permasalahan Negara dan rakyat Indonesia ini diperlukan pembentukan “kepemimpinan kolektif” tingkat pusat pemerintahan. Karakteristik Kepemimpinan kolektif ini antara lain: 1. Memecahkan permasalahan strategis Negara dan rakyat bersama tanpa adanya pembatasan issue yang sedang dihadapi. 2. Mengembalikan kepercayaan public terhadap pemerintahan Jokowi-JK dan pada gilirannya dapat membantu peningkatan kondisi social ekonomi yang sedang merosot ini. 3. Terus menerus mempromosikan pentingnya kembali kemandirian bangsa. 4. Diisi Presiden, Wakil Presiden, para Menko dan beberapa tokoh muda aktivis pergerakan memiliki mentalitas bebas, merdeka dan mandiri, berwawasan nasional dan internasional. 5. Terbebas dari “Korupsi Sandera Negara” (state capture corruption) yang selama ini telah menjerumsukan rakyat Indonesia ke dalam lembah kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan. MUCHTAR EFFENDI HARAHAP

Rabu, 12 Agustus 2015

PROSPEK POLITIK EKONOMI INDONESIA DI BAWAH REZIM JOKOWI

Setelah hampir setahun Jokowi-JK memimpin Rezim Kekuasaan di Republik Indonesia Indonesia , perjalanan rakyat Indonesia bukan saja lambat dan merosot, melainkan juga dalam “kegegelapan”. Beragam saran dan usul solusi untuk memecahkan permasalahan Negara dan rakyat di bawah Rezim Jokowi ini, antara lain paling mengundang polemic di public, yakni dilakukan perombakan atau reshuffle Kabinet Kerja, terutama Tim Ekonom I di dalam Kabinet tersebut. Mengapa kondisi politik ekonomi lambat, merosot dan dalam “kegelapan”? Permasalahan acapkali dikesankan karena ketidakmampuan para Menteri Kabinet, bukan karena ketidakmampuan peribadi Jokowi sebagai Presiden. Pertanyaan dasar untuk solusi ini, setelah dilakukan perombakan Kabinet Kerja, apakah prospek kondisi politik ekonomi Indonesia akan lebih baik? Kehidupan ekonomi ditunjukkan dengan berbagai inikator ekonomi keuangan lambat dan merosot, ditandai dengan indicator/parameter: Pertumbuhan Ekonomi Merosot, Nilai Ekspor Merosot, Peningkatan Nilai Impor, 4. Peningkatan Impor Migas, Nilai Tukar Petani Merosot, Inflasi Menaik dan Rupiah Terjun Bebas, Cadangan Devisa Merosot, Penerimaan Pajak Merosot. 9. Hutang Bertambah, Semua Kebutuhan Dasar Rakyat Menaik, Kinerja ekonomi, Tidak Memiliki Kemampuan mengelola ekonomi nasional. Khusus kelambanan dan kemerosotan kehidupan politik di Indonesia ditunjukkan dengan berbagai indikator, antara lain: lembaga-lembaga Negara/pemerintahan cenderung “disfungsional” atau “gagal”; Kabinet Kerja tidak efektif ditandai reshuffle kabinet sebagai satu tolok ukur; perilaku Parpol tanpa Ideologi dan terkena “virus” politik kartel dan transaksionalisme tanpa memainkan peran oposisi (selurunya koalisi); media massa cetak dan audiovisual sebagai industry dan koorporasi ekonomi, tidak mengambil peran sebagai “pilar demokrasi” melainkan bermotip ekonomi dan bisnis;; Negara dan rakyat tidak memiliki “visi” dan “misi” yang sama mau dibawah perjalanan Negara dan rakyat ke depan; kekuaatan rakyat anti Rezim Jokowi semakin membesar diperkirakan melebihi 50 % rakyat Indonesia, kekuatan pro/pendukung Jokowi semakin berkurang per lahan-lahan dari bulan ke bulan; legitimasi/pengakuan politik atau kepercayaan politik secara kultural rakyat terhadap Rezim Jokowi semakin merosot tajam, dll. Kondisi politik di bawah Rezim Jokowi-JK semakin diperparah dengan kepercayaan jurnalis terhadap institusi politik berada pada level yang rendah. Institusi politik dimaksud antara lain parlemen, parpol, pemerintahan, politisi, lembaga peradilan, dan kebijakan publik. Guru Besar Ilmu Komuniksai dari Universitas Ludwig Maximillians, Municg, Jerman, Thomasa Hamitzsch mengungkapkan, berdasarkan penelitian di 21 negara, kepecayaan jurnalis di Negara di luar Eropa terhadap institusi politik dan para politisi cenderung rendah (Kompas, 12 Agustus 2015). Di Indonesia, skor kepercayaan jurnalis terhadap parlemen hanya 2,46 dari skala 5, sementara skor kepercayaan kepada partai politik 1,78. Kepercayaan jurnalis Indonesia terhadap politisi secara umum ternyata lebih renbdah lagi, yakni 1,77, tetapi kepercayaan kepada pemerintah lebih tinggi, yaitu 2,68. Walaupun angka untuk kepercayaan terhadap pemerintah mencapai 2,68, namun angka ini menunjukkan kepercayaan yang rendah. Kepercayaan jurnalis kepada institusi politik lebih rendah daripada kepercayaan masyarakat umum terhadap lembaga politik. Bagi Hanitzsch, kondisi itu justru terbalik di Jerman justru lebih tinggi (dibandingkan dengan masyarakat). Kondisi politik di Indonesia juga dapat ditunjukkan semakin meningkatnya konflik manifest di lembaga politik, antara lain perpecahan Parpol, khususnya PPP dan Golkar. Indikator perpecahan parpol sesungguhnya akibat intervensi Rezim Jokowi-JK melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Partai Golkar dan PPP menjadi korban dari intervensi Rezim Jokowi. Jokowi seharusnya bertanggungjawab untuk membangun tatanan politik yang sehat, dan politik kepartaian yang stabil tanpa perpecahan. Sejatinya, dengan perpecahan parpol di Indonesia, hal itu sama saja kegagalan Jokowi sendiri menjadi kepala pemerintahan. Namun, Jokowi melakukan politik pembiaran atas perpecahan Parpol. Jokowi gagal membangun politik kepartauan. Indikator demokrasi sesungguhnya belum menunjukkan konsistensi dan konseluen dengan penegakan prinsip-prinsip demokrasi seperti partisipasi, nondiskriinatif/kesetaraan, transparanmsi, akuntabilitas public, penegakan hukum, dll. Demokrasi Tanpa Oposisi: Rezim Jokowi-JK mengehendaki tidak aka kekuatan oposisi di Parlemen/DPR. Semua kekuatan politik harus berkoalisi dengan Parpol-Parpol pengusung Rezim. Intevensi Rezim dalam konflik internal dan perpecahan PPP dan Golkar agar tidak menjadi Parpol oposisi, tetapi koalisi terhadap Rezim. Karena itu,dari ukuran pentingnya oposisi dalam demokrasi, Rezim Jokowi-JK tergolong anti-demokrasi, bukan pro demokrasi. Kekuatan oposisi parpol di parlemen/DPR sebagai syarat untuk peningkatan kehidupan demokrasi dan produksi kebijakan public yang berkualitas dalam realitasanya tidak dapat ditemukan. Parpol-parpol berkoalasi dalam KMP (Koalisi Merah Putih) yang kalah dalam Pilpres oleh KIH (Koalisi Indonesia Hebat), ternyata juga tidak memainkan peranan oposisional di DPR, kecuali berkoalisi secara substanasial dengan KIH yang lagi berkuasa dalam pemerintahan.