Rabu, 27 Mei 2015

KONDISI INDONESIA DI BAWAH KEKUASAAN REZIM JOKOWI-JK

I. KEMEROSOTAN EKONOMI NASIONAL: 1. Pertumbuhan Ekonomi Merosot: Indonesia dibawah Rezim Jokowi terus mengalami kemerosotan. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Triwulan I-2015 hanya 4,71 %, merosot dibandingkan pertumbuhan yang sama tahun yang sama sebesar 5,14 %. Pertumbuhan ekonomi 4,71 % merupakan pertumbuhan ekonomi terendah sejak tahun 2009. Di lain fihak, tercatat 20 Mei 2015, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui, realisasi penerimaan mencapai Rp.502,7 triliun atau 28,5 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Sementara, realisasi belanja Negara tercatat Rp. 548,7 triliun. Anggaran Negara mengalami defisit sebesar Rp. 46 triliun! Perdagangan antarpulau ikut terkena dampak dari kemerosotan ekonomi nasional ini. Menurut Kompas, 28 Mei 2015, pada Triwulan I-2015, komoditas perdagangan antarpulau seperti semen, pupuk, gula dan barang elektronik/kenderaan di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta menurun apabila dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kelesuan ekonomi dan perubahan harga bahan bakar minyak dianggap menjadi penyebabnya. Di Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta dari puluhan kapal layar motor (KLM) hanya dua sampai tiga kapal yang bersandar di dermaga pelabuhan yang mengirim banrang ke wilayah Nusantara tersebut. Bahkan, sejumlah kapal telah bersandar lebih dari sebulan. Aktivitas buruh angkut pun minim. Data PT. Pelabuhan Indonesia II Cabang Sunda Kelapa menunjukkan penurunan pengiriman komoditas antarpulau untuk KLM dan kapal motor. Pengiriman semen pada triwulan pertama tahun ini 369.509 ton semen. Padahal, pada periode yang sama tahun lalu, pengiriman mencapai 447.278 ton semen. Adapun pengiriman terigu menurun dari 7.532 ton pada Triwulan I-2014 mencapai 6.999 pada Triwulan Pertama tahun ini. Di lain fihak, kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Sunda Kelapa ini merosot hingga 60 %. Para buruh mengalami penurunan upah karena tidak ada aktivitas bongkar muat barang. Kualitas pertumbuhan menurun juga dilaporkan oleh Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Indef dalam tulisannya "Mengembalikan Kredibilitas Pemerintah" (Media Indonesia, 15 Juni 2015). Berdasarkan hasil penelitian Indef, ditunjukkan beberapa kesimpulan. Pertama, kualitas pertumbuhan menurun, terlihat semakin gagalnya harapan terjadinya transformasi struktur ekonomi ini. Pertumbuhan sektor tradable justru merosot cukup tajam. Sektor jasa masih tumbuh tinggi, terutama jasa informasi dan komunikasi (10,53 %) serta jasa keuangan dan asuransi (7,57 %). Padahal sektor-sektor tersebut relatif kedap dalam menyerap tenaga kerja, khususnya tenaga kerja formal. Sementara itu, industri yang mempunyai kontribusi sekitar 23,7% terhadap GDP, hanya mampu tumbuh 3,87 %. Kedua, penurunan investasi dan indeks tendensi bisnis. Pertumbuhan investasi masih tetap melambat dari 20,22 % (yoy) pada triwulan I 2014 menjadi 10,16 % pada triwulan I 2015. Bahkan porsi investasi terhadap GDP turun dari 33,46 % pada triwulan IV 2014 menjadi 31,94 % pada triwulan I 2015. Ketiga, indeks tendensi bisnis (ITB) yang merupakan refleksi persepsi pelaku usaha terhadap prosfek ekonomi pada triwulan I 2015 anjlok menjadi 96,30. Padahal para triwulan IV 2014 masih berada pada level 104,07. Turunnya ITB itu disebabkan turunnya indeks pendapatan usaha (95,06), indeks penggunaan kapasitas produksi (95,13), dan indeks rata-rata jam kerja (97,83). Keempat, neraca perdagangan selama lima bulan terakhir memang telah mengalami perbaikan. Sayangnya, surplus neraca perdagangan bukan karena ditopang membaiknya kinerja ekspor, melainkan tertolong oleh turun drastisnya impor. Pada Januari-April 2015, ekspor turun 11,01 % dan impor turun hingga 17,03%. 2. Nilai Ekspor Merosot: Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dibarengi dengan kemerosotan nilai ekspor Indonesia ke Negara lain. Nilai ekspor pada Januari-Maret 2015 hanya mencapai US$ 39,13 Miliyar atau turun 11, 67 % dibandingkan dengan ekspor periode yang sama tahun 2014. Juga ekspor nonmigas mencapai US $ 33,43 Miliyar, atau turun 8,23 %. Harga-harga komoditas ekspor merosot, seperti minyak sawit mentah (CPO) dan karet merosot. 3. Peningkatan Nilai Impor: Dalam situasi kemesosotan pertumbuhan ekonomi dan nilai ekspor, terjadi pula peningkatan nilai impor. Nilai impor Maret 2015 sebesar US$ 12,58 Miliyar, meningkat 9,29 % dibandingkan dengan impor bulan Februari 2015 dan 13,39 % jika dibandingkan dengan impor Maret 2014. 4. Peningkatan Impor Migas: Juga terjadi peningkatan impor Migas. Impor Migas Maret 2015 sebesar US$ 2,27 Miliyar, menaik 31,89% dibandingkan dengan Februari 2015 (US$ 1,72 Miliyar). 5. Nilai Tukar Petani Merosot: Nilai tukar Petani (NTP) pada April 2015 merosot 1,37 % dibandingkan pada Maret 2015. Pembangunan pertanian belum terdengar realisasinya. 6. Inflasi Menaik dan Rupiah Terjun Bebas: Menurut Gubernur BI Agus Martowardojo (27 Mei 2015), inflasi di Tanah Air sepanjang kuartal satu tahun 2015 ini mencapai 6,39 % dibanding tahun lalu (year on year) dan meningkat menjadi 6,79 % (yoy) pada April lalu. Artinya, inflasi pada April 2015 menaik sebesar 0,40 %.Inflasi Indonesia masih tertinggi di antara negara-negara Asia Tenggara yang laju kenaikan harganya jauh di bawah 5 %. Filipina, inflasinya 2,29%, Malaaysia 0,9%, Singapura deflasi 0,3 %, dan Thailand deflasi 1 %. Sementara itu, Rupiah terjun bebas dari Rp. 10.000 di akhir Juli 2014 ketika Jokowi-Jk ditetapkan sebagai pemenang Pilpres 2014 dan sekarang telah mencapai melewati Rp. 13.000 per US Dollar.Menurut Gubernur BI, Indonesia menghadapi enam tantangan struktural pengendalian inflasi. Pertama, terbatasnya kapasitas produksi pangan strategis. Hal ini terjadi karena luas lahan pertanian menyusut berganti dengan permukiman dan kawasan industri. Kedua, nilai rupiah masih rentan karena bahan baku manufaktur Indonesia masih bergantung pada barang impor. Ketiga, produksi pangan juga masih rentan terhadap iklim sehingga pasokan kerap terganggu. Keempat, Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar minyak. Kelima, konektivitas antardaerah, terutama antarpulau, masih lemah sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Keenam, rantai distribusi pangan di Indonesia maih panjang dan dikuasai segelintir pelaku saja sehingga selalu ada oligopoli dan monopoli. Bukan petani yang menikmati harga pangan, melainkan para pemain tersebut. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun dan nilai tukar rupiah melemah. IHSG bias menjadi indicator gairah investor di pasar modal. Adapun nilai tukar rupiah bias menjadi cermin kekuatan di pasar keuangan valuta asing. Pada penutupan perdagangan selasa 25 Agustus 2015, IHSG ditutup pada posisi 4.228,501 atau meningkat 1,556 persen. Namun, sejak awal 2015, IHSG masih turun 19,1 persen. Rupiah pun demikian. Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), menunjukkan bahwa rupiah masih melemah, menjadi Rp. 14.067 per dollar AS. Sejak awal 2015, rupiah sudah melemah 13,4 persen. Rontoknya harga saham merupakan indicator berkurangnya kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia. Investor menjual asset dalam bentuk portfolio di Indonesia tidak saja karena ingin mengkonversinya ke asset berdenominasi dollar AS, tetapi juga karena melihat arah pembalikan pertumbuhan ekonomi masih lambat, yakni pada Triwulan I- 2015 sebesar 4,72 persen melambat menjdai 4,67 persen pada tribulan II -2015. Kompas 26 Agustus 2015 melaporkan, keterburukan nilai tukar rupiah terhadap Doillar AS mulai dirasakan kalangan pelaku industri manufaktur. Mereka bukan hanya dihantui penurunan harga jual, tergerusnya pasar, melainkan juga membengkaknya biaya produksi akibat melonjaknya harga bahan baku impor. Pengusaha berusaha bertahan dengan mengurantgi kapasitas produksi dan jam kerja untuk menekan biaya produksi. Di sisi lain, kalangan pekerja mulai resah karena khawatir menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK) jika situasi bisnis tidak kondusif. Pelemahan rupiah juga dialami pelaku industri manufaktur di Jawa Timur. Sekitar 60 % dari 34.000 perusahaan di Jawa Timur bergantung pada bahan baku impor. Upaya yang bias mereka lakukan adalah melakukan efsiens dengan cara mengunrangi jam kerja atau pekerja. Industri paling terpengaruh adalah industry loganm dan plastic karena 50 persen bahan bakunya harus diimpor. Berdasarkan data BPS Jatim, impor komoditas besi/baja dan plastic menurun dibandingkan tahun lalu. Semester I 2015, impor besi dan baja 754 juta dollar AS, turun dibandingkan tahun lalu yang 964 juta dollar AS. Impor plastic turun dari 714 juta doillar AS tahun lalu menjdai 619 juta dollar AS di Semester I 2015. Data ini indiaksi melambatnya laju produksi industry. Dari Bandung dilaporkan, pelaku industri tekstil melakukan berbagai cara untuk mempertahanikan industrinya. Salah satunya menurunkan kapasitas produksi dan mengurangi jam kerja agar tidak terjadi PHK, dan jam lembur ditiadakan. 7. Cadangan Devisa Merosot: Posisi cadangan devisa merosot dibandingkan dengan posisi akhir Februari 2015 sebesar 115,5 Miliyar Dollar AS. Merosotnya posisi cadangan devisa tersebut akibat peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri Pemerintah dan dalam rangka stabilitas nilai tukar rupiah. 8. Penerimaan Pajak Merosot: Penerimaan pajak sampai pada Maret 2015 dibandingkan yang sama Maret 2014 merosot hingga Rp. 50 triliun. Menurut Pengamat Ekonomi Didik J.Rachbini (Koran Sindo, 1 November 2015, realisasi penerimaan pajak tahun ini baru mencapai 58,59 % atau Rp. 758 triliun dari terget Rp. 1.294,2 triliun per 29 Oktober 2015. Seretnya penerimaan pajak tidak diimbangi dengan efisiensi belanja yang dilakukan Pemerintah. Dia mengatakan, Pemrintah saat ini terus mendorong pembangunan berbagai proyek secara besar-besaran. "Dalam kondisi penerimaan yang sulit, mestinya jangan terlalu ekspansif. Proyek-proyek yang ada harus diseleksi. 9. Hutang Bertambah Di bawah Rezim Jokowi hutang Indonesia bertambah Rp. 250 triliun. Rasio utang Indonesia tidak aman. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia menembus angka US$ 299,8 miliar atau mengalai kenaikan 7,8 persen pada April 2015 (Liputan6.com) . Kondisi utang tersebut sudah sangat mengkhawatirkan dari sisi Debt Service Ratio (DSR), yaitu rasio totalpembayaran pokok dan Bungan ULN relatif terhadap total penerimaan transaksi berjalan. Dirktur Eksekutif Core Indonesia, Hendri Saparini ( 28 Juli 2015) menegaskan bahwa CSR utang luar negeri Indonesia sudah mencapai lebih dari 50 persen. DSR sudah di atas 50 persen.bukan berarti aman. 10. Semua Kebutuhan Dasar Rakyat Menaik: Di bawah Rezim Jokowi semua kebutuhan sembako menaik naik. Harga BBM menaik. Harga beras menaik. Harga gas menaik. Tarif kereta api menaik. Jalan tol dikenakan pajak. Impor beras dan gula semakin mantap. Daya beli rakyat menurun, biaya hidup menaik mengikuti kenaikan harga BBM. 11. Kinerja Merosot: Kinerja ekonomi pemerintah Jokowi merosot karena semua indikator menunjukkan demikian. Berdasarkan hasil Survei Litbang Kompas, 7-15 April terhadap 1.200 responden, hanya 25,4 % responden yang puas terhadap kinerja Pemerintah Jokowi di bidang ekonomi. Sebanyak 65 % responden menilai keadaan ekonomi nasional saat ini dalam kondisi buruk. 12. Tidak Memiliki Kemampuan: Jokowi sebagai Presiden RI tidak memiliki kemampuan untuk mengelola ekonomi nasional, menciptakan kemandirian ekonomi dan mewujudkan bangsa yang berdaya saing. II. KEMEROSOTAN KEHIDUPAN POLITIK: 1. Perpecahan Parpol: Perpecahan parpol, khususnya PPP dan Golkar, sesungguhnya akibat intervensi Rezim Jokowi-Jk melalui Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly. Partai Golkar dan PPP menjadi korban dari intervensi Rezim Jokowi. Jokowi seharusnya bertanggungjawab untuk membangun tatanan politik yang sehat, dan politik kepartaian yang stabil tanpa perpecahan. Sejatinya, dengan perpecahan parpol di Indonesia, hal itu sama saja kegagalan Jokowi sendiri menjadi kepala pemerintahan. Namun, Jokowi melakukan politik pembiaran atas perpecahan Parpol. Jokowi gagal membangun politik kepartauan. 2. Demokrasi Tanpa Oposisi: Rezim Jokowi-JK mengehendaki tidak aka kekuatan oposisi di Parlemen/DPR. Semua kekuatan politik harus berkoalisi dengan Parpol-Parpol pengusung Rezim. Intevensi Rezim dalam konflik internal dan perpecahan PPP dan Golkar agar tidak menjadi Parpol oposisi, tetapi koalisi terhadap Rezim. Karena itu,dari ukuran pentingnya oposisi dalam demokrasi, Rezim Jokowi-JK tergolong anti-demokrasi, bukan pro demokrasi. 3. Perombakan Kabinet Pada 12 Agustus 2015 Jokowi melakukan perombakan Kabinet, mengangkat wajah-wajah baru di Kabinet, yaitu Darmin Nasution (Menko Bidang Perekonomian), Luhut Binsar Panjaitan (Menko Bidang Polhukam), Rizal Ramli (Menko Bidang Kemaritiman), Thomas Trikasih Lembong (Menteri Perdagangan) dan Pramono Anung Wibowo (Sekretaris Kabinet). Dilaporkan Kompas 24 Agustus 2015, Jajak Pendapat “Kompas” 19-21 Agustus 2015 dengan 519 responden via telepon, menunjukkan bahwa secara keseluruhan, bagian publik yang menyatakan “tidak puas” dengan hasil perombakan Kabinet Kerja (43,4 persen) “lebih besar” daripada yang merasa puas (32,9 persen). Hal ini antara lain karena tidak terpenuhinya harapan publik terkait dengan penggantian sejumlah Menteri yang kinerjanya selama ini dinilai kurang memuaskan. Apa faktor pertimbangan perombakan Kabinet? Sebagian besar responden (63,6 persen) menunjukkan faktor pertimbangan kinerja menteri buruk, menyusul mengubah komposisis orang parpol di Kabinet (12,7 persen), tersangkut kasus (7,7 persen), 6,6 persen masalah moralitas/perilaku, sisanya tidak tahu dan lainnya. Sementara itu, persoalan utama yang harus segera diselaikan Pemerintah adalah kenaikan harga berbagai bahan kebutuhan pokok (40,8 persen), diikuti melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (30,3 persen), penegakan hukum dan penangan korupsi (8,8 persen), ketersediaan bahan pangan (7,5 persen), menurunnya impor berbagai produk (4 persen), dan lainnya (8,6 persen). 4. Politik Gaduh: Jokowi pernah berucap, tidak mungkin ekonomi kita maju kalau politik kita terus gaduh. Namun, faktanya, kegaduhan-kegaduhan justru ditimbulkan oleh beberapa individu dalam pemerintah sendiri. Banyak kegaduhan tak perlu. Ketenangan politik akan terwujud kalau demokrasi dihormati dan dijalankan. Kegaduhan politik belum berlalu dari kehidupan demokrasi di Indonesia. Hingga 325 hari Rezim Jokowi berkuasa, lebih dari separuh perjalanannya diwarnai kegaduhan politik. Mulai dari kisruh KPK – Polri, tumpang tindih pemberantasan korupsi, hingga komunikasi antar pejabat negara yang dinilai buruk. Dampak kegaduhan politik pun semakin melebar. Bahkan sektor ekonomi pun terkena imbasnya. Terakhir, Rizal Ramli (RR) member pernyataan menolak ide Wapres terkait pembangunan 35 ribu megawatt pembangkit listrik. Atas pernyataan ini, Juru Bicara Wapres Jusuf Kala menilai, RR telah membuat gaduh suasana politik. Sebaliknya, RR menolak dianggap sebagai biang kegaduhan di tubuh kabinet. Dia balik menuding pihak yang menuduhnya punya kepentingan terhadap proyek-proyek yang dikritiknya. “Tokoh-tokoh yang otoriter menganggap ini gangguan terhadap kepentingan mereka,” kata Rizal. “Kalau tak punya kepentingan, pasti senang dengan langkah saya.” RR mengatakan perbedaan pendapat, apalagi disertai solusi, adalah hal biasa. Dia juga menegaskan, semua kritiknya telah disampaikan secara terbuka dalam rapat-rapat kabinet. III. KEMOROSOTAN KEHIDUPAN SOSIAL: 1. Janji Buka 10 Juta Lapangan Kerja: Jokowi berjanji dalam Pilpres 2014 untuk membuka 10 juta lapangan pekerjaan selama lima tahun ke depan. Bagaimana kemajuan janji Jokowi itu? Selama satu tahun sedikitnya 2 Juta lapangan kerja baru. Selama enam bulan Rezim Jokowi berkuasa, sudah ada 1 juta lapangan kerja baru. Apakah itu terealisasi ? Hingga 7 bulan berkuasa Rezim Jokowi, masih sebatas retorik atau “ngomong doang”. Bahkan, kini telah bertambah 300.000 penganggur baru. Kepala BPS Suryamin mengatakan jumlah pengangguran pada Februari 2015 mengalami peningkatan dibandingkan dengan Agustus 2014 sebanyak 210 ribu jiwa. Sementara jika dibandingkan dengan Februari tahun lalu bertambah 300 ribu jiwa. Jumlah pengangguran pada Februari 2015 mencapai 7,4 juta orang. Pelemahan ekonomi terjadi pada kuartal I tahun 2015 berdampak buruk pada para pekerja. Ratusan ribu pekerja harus menanggung nasib pahit karena mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).Kondisi tersebut di antaranya dialami pekerja tambang, tekstil, alas kakai, dan ritel. Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir menungkapkan, setidaknya 40 persen dari pekerja pertambangan terpaksa diputus kontrak kerjanya. Artinya, dari 350 ribu pekerja di seluruh Indonesia terdapat 100 hingga 150 ribu karyawan tambang yang terpaksa putus kontrak (Harian REPUBLIKA, 1 Juni 2015). Kondisi para pekerja terpaksa diPHK, juga berlaku pada sejumlah perusahaan di kawasan industri Batam, Kepulauan Riau. Yakni memutuskan untuk menutup pabriknya dan hengkang dari Indonesia. Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Seluruh Indonesia, Sanny Iskandar, menjeloaskan, rata-rata perusahaan itu bergerak pada sektor "labour intensive industry" atau industri padat karya. Perusahaan-perusahaan itu merelokasi pabriknya ke Vietnam dan Myanmar. Kedua negara itu, dianggap memberikan dukungan investasi yang baik, kondusif, dan menguntungkan. Perusahaan yang pindah, sebagian besar mengeluhkan soal birokrasi perizinan dan gangguan keamanan di Indonesia (Harian REPUBLIKA, 4 Juli 2015). 2. Janji Pengurangan Kesenjangan Sosial: Jokowi saat Pilpres 2014 berjanji akan melakukan pengurangan kesenjangan social, yang diukur dengan “gini ratio” 0,30. Angka ini ternyata telah dirubah ke dalam Rencana Jangka Panjang dan Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menjadi 0,36. Jokowi telah ingkar janji sejak dari perencanaan pembangunan. Padahal, janji adalah utang, yang dalam keyakinan agama Islam, harus dilunasi. Bahkan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menuding pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla mengabaikan kesejahteraan masyarakat pribumi. Rezim Jokowi-JK dianggap lebih mementingkan kebutuhan kelompok asing. Bahkan,Pemerintah mengaku,jumlah penduduk miskin akan semakin banyak (Republika, 17 September 2015).Berdasarkan data BPS,penduduk miskin menjadi 28,59 juta orang. Penyebab meningkatnya angkakemiskinan,menurut5 Menko Perekonomian,Darwin Nasution, karena jartuhnya harga komoditas bakibat melambatnya ekonomi global.Banyak masyarakat yang menanam karet, kelapa sawit,kopi, dan komoditas lainnya akhirnya tergerus pendapatannya akibat harga komoditas jatuh. Faktor penting lainnya adalah harga pangan. Darwin mengakui harga pangan , terutama beras, cenderung meningkat.Menurut data BPS, harga beras memang menjadi penyumbang utama meningkatnya angka kemiskinan. Pendapatan masyarakat turun,harga pangan tidak turun. Dalam laporan Perekonomian Indonesia 2015 oleh BPS, awal September 2015, disebutkan bahwa ekonomi di luar Jawab tumbuh melambat sebagai penurunan nilai ekspor komoditas bahan tambang dan pemberlakuan UU Minerba. Sementara untuk Jawa, yang masih ditopang ekspor manufaktur,belum pulih karena permintaan global yang lesu. Pelambatan ekonomi di Jawa sangat mempengaruhi perekonomian nasional.Ini karena pangsa ekonomi Jawa terhadap nasional lebih dari 50 persen. Apa yang membuat ekonomi di Jawa melambat? Dari hasil kajian BPS,tercatat menurunnya kinerja usaha pertanian dan bangunan.Pertanian,produksi padi mengalami penurunan akibat banjir.Sementara sektor konstruksi lesu karena lemahnya investasi dan terbatasnya pembangunan infrastruktur. 3. Janji Bangun Sejuta Rumah: Rezim Jokowi-Jk berjanji untuk membangun sejuta rumah, terdiri atas 603.516 unit rumah (60%) untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah). Harga patokan penjualan rumah MBR maksimal Rp. 88 juta per unit. Sisanya sebanyak 396.484 unit rumah (40%) untuk kalangan menengah atas (Non MBR). Sebanyak 331.693 unit rumah akan dibangun pada tahap pertama, yakni di Nias Utara, Banyuasin, Jakarta barat, Tanggerang, Cirebon, Semarang, Malang, Kotawaringin Timur, dan Bantaeng. Perumahan itu diperuntukkan bagi pegawai negeri, masyarakat umum, buruh dan nelayan. Dari total rumah dibangun tahap pertama tersebut, 94.426 unit merupakan rumah tapak, 6.421 unit rumah susuan sederaha milik (Rusunami) dan 288 unit rumah susun sewa (Rusunawa). Proyek pembangunan sejuta rumah yang dicanangkan Rezim Jokowi-JK ini sangat berbeda dengan Proyek Rumah Murah untuk MBR (harga maksimal Rp. 30 juta per unit) yang pernah dicanangkan oleh Rezim SBY-Boediono, tetapi mengalami kegagalan. Proyek Rezim Jokowi-JK ini diperkirakan juga akan mengalami kegagalan, dan hingga Mei 2015 belum ada realisasainya. Hanya baru sekedar wacana atau janji belaka! Mengapa? Kalau sejuta rumah diperkirakan akan dibangun selama lima tahun, rata-rata 200 ribu per tahun. Kini Rezim Jokowi-JK telah berlangsung tujuh bulan, tentunya sudah harus melebihi 100 ribu rumah. Tapi, dalam kenyataannya satu unit rumah pun belum terbangun, terutama untuk MBR. 3. Aksi Demo Masyarakat Madani Dalam kondisi keuangan dan ekonomi Indonesia merosot, terjadi pula peningkatan aksi demo mengkritik dan menuntut Rezim Jokowi-JK dari kalangan buruh,mahasiswa, LSM,Ormas, dan komponen masyarakat madani lainnya. Salah satunya aksi buruh turun ke jalan di 20 Kota, 1 Sebtember 2015, atas nama Gerakan Buruh Indonesia (GBI). Sekitar 20 ribu buruh turun ke jalanandengan berbagai tuntutan sebagai berikut: a. Mendesak Pemerintah Jokowi-JK melakukan aksi nyata untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. b. Mendesak Pemerintah untuk menurunkan harga bahan pokok dan bahan bakar minyak(BBM). c.Menolak PHK yang disebabkan pelemahan rupiah. d.Menolak rencana Pemerintah untuk memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia melalui kebijakan yang tidak mewajibkan mereka bisa berbahasa Indonesia. e. Menuntut upah minimum 2016 dinaikkan 22 persen serta kebutuhan hidup layak sebagai landasan perhitungan upah minimum mencantumkan 84 butir. f.Mendesak Pemerintah merevisi Peraturaan Pemerintah tentang Jaminan Pensiun sehingga manfaat pensiun yang diterima pekerja sama dengan pegawai negeri sipil (PNS) bukan Rp.300 ribu per bulan setelah bekerja 15 tahun. g.Mendesak BPJS memperbaiki pelayanan dan menghapuskan system INA CBGs dan peraturan Menteri Kesehatan No.59 Tahun 2014 yang membuat tariff untuk rumah sakit menjadi murah. h.Mendesak agar pengadilan hubungan industrial (PHI) dibubarkan dengan merevisi UU No.2 tahun 2004. PHI dipandang hanya jadi kuburan bagi buruh.(Muchtar Effendi Harahap/NSEAS). 4.Tidak Memiliki Kemampuan: Jokowi sebagai Presiden RI tidak memiliki kemampuan untuk menghadirkan kembali Negara untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. IV. JOKOWI INGKAR JANJI KAMPANYE PILPRES: 1. Kabinet Ramping: Jokowi berjanji akan membentuk Kabinet ramping dalam pemerintahannya. Maksud Kabinet Ramping tidak sekedar untuk memberikan pos-pos pada partai tertentu, bebas bagi-bagi kursi bagi Parpol pendukungya, bukan Kabinet transaksional, tanpa syarat. Dalam kenyataannya, Jokowi menetapkan struktur Kabinetnya tidak ramping dan dipenuhi kader Parpol. Susunan Kabinet sebanyak 34 Kementerian. Jumlah Kementerian ini sama dengan cabinet SBY-Boediono. Bahkan, hampir separuh kursi Menteri untuk kader Parpol Pengusung Jokowi-Jk. 2. Jaksa Agung Bukan Politikus Partai: Jokowi berjanji dan memastikan tidak akan memiliki Jaksa Agung dari Parpol, tetapi dari kalangan professional atau eksternal Kejaksaan Agung. Tapi, dalam kenyataannya, Jokowi menetapkan Jaksa Agung adalah Politikus dan kader Partai NasDem, dan mantan jakas Agung Muda, H.M.Prasetyo. Selain berasal dari Partai Politik, Prasetyo juga dinilai tidak memiliki prestasi signifikan selama menjabat Jaksa Agung Muda. 3. Mengalihkan Sumber Energi BBM ke Gas: Jokowi berjanji, untuk meminimalisir dengan mengalihkan sumber energy dari BBM ke gas karena Indonesia memiliki depot gas sehingga anggarannya jadi lebih murah. Tidak akan melakukan penghapusan subsidi BBM. Keinginan tidak menghapuskan untuk subsidi BBM tidak masalah, karena bagi rakyat kecil adalah sebuah keharusan dan kewajiban Negara. Namun, dalam kenyataannya, baru berumur beberapa hari, Rezim Jokowi telah menaikkan harga BBM. Padahal harga minyak dunia saat itu telah turun. Juga harga BBM naik-turun-naik. Bahkan, kebijakan Jokowi menaikkan harga BBM ini telah melanggar Konstitusi, UUD 1945. Adanya janji Jokowi tidak akan menaikkan harga BBM juga diungkapkan oleh Indro Tjahyono, Koordinator Forum Relawan Pemenangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 (Sumber Website:RMOI). Menurut Indro, Jokowi mengingkari janjinya sendiri kalau menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Karena semasa kampanye, Jokowi berjanji tidak menghapus subsidi BBM. Janji untuk tidak menghapus subsidi BBM tersebut diucapkan Jokowi di depan anggota IPOI (Ikatan Persaudaraan Ojek Indonesia) tanggal 16 Juni 2014 di jalan Borobudur 18 Jakarta Pusat. 4.Tata Kelola Pemerintahan Bersih, Efektif, Demokratis, dan Terpercaya: Dalam Pilpres 2014, pasangan capres cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mengusung visi 'Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong'. Visi itu ditegaskan sebagai sebuah Jalan Perubahan Salah satunya berbunyi, “Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya”. Jokowi berjanji akan mewujudkan pemerintahan yang bersih. Ketika menentukan calon pembantunya (Menteri) dalam Kabinet Kerja, Jokowi telah melibatkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan. Namun, ketika mencalonkan Komjen Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri, tidak melibatkan KPK dan PPATK. Nama Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu perwira yang memiliki rekening gendut. Majalah Tempo pada Juni 2010 lalu memuat laporan tentang rekening gendut polisi. Dalam laporan itu disebutkan kekayaan Budi Gunawan mencapai Rp 54 miliar. Meskipun akhirnya Komjen Budi Gunawan dinyatakan batal status tersangka oleh KPK setelah menang di sidang praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), komitmen Jokowi mulai diragukan. Di lain fihak, sejumlah mahasiswa dan alumni Universitas Indonesia (UI) hari ini akan turun ke jalan. Diperkirakan ada 1.000 mahasiswa dan alumni UI yang akan hadir dalam rapat akbar gerakan antikorupsi nasional yang digelar di kampus UI Salemba, Jakarta Pusat.. Ketua Ikatan Alumni UI (Iluni), Chandra Motik menjelaskan, alasan Iluni turun ke jalan, karena prihatin dengan kondisi negara saat ini. "Kami bukan geram, kami kecewa. Jokowi ingkar janji. Dulu saat kampanye dia akan memberantas korupsi. Tapi kini KPK justru dilemahkan. Kami bergerak untuk melawan koruptor," kata dia. Jokowi, kata Chandra, gagal memenuhi janji-janjinya saat kampanye. "Tujuam kami hanya mengingatkan Jokowi. Makanya kami bergerak," ungkapnya. 5. Tidak Akan Berhutang: Pada saat kampanye Pilpresw 2014, Jokowi berjanji tidak akan berhutang dan tidak belanja berlebihan. “Pembekuan belanja, tidak perlu belanja terlalu over. Artinya uang yang ada ini dibelanjakan, uang yang ada saja yang dibelanjakan,” ungkapnya di Balai Kota DKI Jakarta, 19 Agustus 2014. Setelah terpilih di kampanye, Jokowi sapaan akrabnya kembali menegaskan janjinya tidak akan menambah utang. “Ya penggunaan APBN itu secara efisien dan tepat sasaran. Tidak perlu ngutang,” ujarnya kala itu, sebagaimana dikutip dari laman Merdeka Online (19/4/2015). Sedangkan untuk pembayaran utang yang semakin menumpuk, Jokowi menjawab dengan enteng. “Kalau utang ya dibayar.” Dalam kenyataannya, mengacu hasil analisis Merdeka Online (19/4/2015) utang luar negeri Indonesia bertambah mencapai Rp 3.940 triliun. Per Januari 2015, utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar USD 298,6 miliar atau setara dengan Rp 3.940 triliun. Angka utang ini meroket jika dibandingkan posisi per Desember 2014 yang hanya USD 292,6 miliar atau setara dengan Rp 3.860 miliar. Angka utang ini terdiri dari utang luar negeri pemerintah bersama Bank Indonesia USD 135,7. Sedangkan utang luar negeri swasta sebesar USD 162,9 miliar. Khusus utang luar negeri Pemerintah Jokowi-Jk tembus mencapai Rp 1.710 triliun. Per Januari 2015 utang luar negeri pemerintah mencapai USD 129,7 miliar atau setara dengan Rp 1.710 triliun. Angka utang pemerintah ini naik USD 5,9 miliar atau setara dengan Rp 78 triliun jika dibandingkan Desember tahun lalu yang hanya USD 123,8 miliar atau Rp 1.632 triliun. 6. Tidak Menepati Janji atau Ingkar Janji: Pemimpin harus menepati janji. Itu sudah sangat jelas hukumnya. Orang yang tidak menepati janji, dosanya berlipat-lipat.Janji merupakan amanah, bahkan juga perintah Allah SET yang termaktub dalam Al Quran. Janji tidak boleh main-main atau hanya sekedar pencitraan diri. Pada Junuoi 2015 Majelis Ulama Indonesia (MUI)telah mengeluarkan fatwa terkait kedudukan seorang pemimpin yang ingkar janji. Dalam fatwa itu juga disebutkan bahwa boleh tidak mentaati pemimpin yang memerintahkan sesuatu yang dilarang agama. Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa, dan tidak boleh dipilih kembali.Pemimpin publik yang melanggar sumpah dan/atau tidak melakukan tugas-tugasnya harus dimintai pertanggungjawaban melalui lembag DPR dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masalahnya, hampir semua Janji Kampanye Jokowi tidak ditepati. Jokowi tidak layak menjadi pemimpin apalagi Presiden, karena tidak melaksanakan amanah, kewajiban, melalaikan janji-janji Kampanye. Berdasarkan data dan fakta inkar janji ini,dan mengacu pada falsafah Pancasila dan UUD 1945 dan juga Fatwa MUI tentang Ingkar Janji Pemimpin Publik, Jokowi sangat tidak layak menjadi Presiden Republik Indonesia. V. KINERJA JOKOWI-JK DI MATA PUBLIK: Seiring dengan kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia mengalami kemerosotan dan penurunan, juga kualitas kinerja Jokowi-Jk di mata publik mengalami kemerosotan dan penurunan. Beberapa hasil survei tentang kinerja Jokowi-JK dapat dilihat di bawah ini. Pertama, pada April 2015 Lembaga jajak pendapat Poltracking merilis hasil survey terbaru mereka tentang kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Poltracking menyebut, sebanyak 48,5 persen narasumber mereka menyatakan tidak puas pada hasil kerja sementara Kabinet Kerja. Angka ketidakpuasan tersebut lebih rendah dibandingkan presentase narasumber yang menyatakan puas terhadap pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, yakni 44 persen. Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yudha mengatakan tingkat kepuasan masyarakat terhadap Kabinet Kerja ini merupakan yang terendah dalam enam bulan terakhir. "Kalau kami tracking, ini yang terendah. Survey-survey sebelumnya, kepuasan pada pemerintah belum ada yang di bawah 50 persen," ujarnya di Hotel Sofyan, Jakarta, Minggu (19/4).Hanta mengemukakan, berdasarkan jajak pendapat terhadap 1200 responden itu, kekecewaan masyarakat paling besar merujuk pada kinerja pemerintah di bidang ekonomi, yakni sebanyak 52,2 responden. Hanta berkata, hal ini setidaknya disebabkan tiga hal, yaitu instabilitas dan fluktuatifnya harga bahan pokok, kenaikan harga bahan bakar minyak serta daya beli masyarakat yang menurun akibat tidak meningkatnya penghasilan mereka. Terkait penghasilan, Poltracking juga memotret kecenderungan masyarakat yang tidak mengalami mendapatkan kenaikan penghasilan sejak setahun lalu. Dalam data survey itu terlihat, sebanyak 55 persen responden mengaku penghasilan rumah tangga mereka tidak berbeda dengan tahun lalu. Bahkan, mayoritas dari mereka juga pesimis pengasilan rumah tangga mereka sama melonjak tahun depan. Tidak hanya ekonomi, Poltracking juga mencatat ketidakpuasan masyarakat pada pemerintah di dua bidang lain, yaitu keamanan serta hukum dan pemberantasan korupsi. Kedua, hasil survei berikutnya disajikan di dalam Merdeka.com (22 Juni 2015) - Indeks kepercayaan masyarakat atas pemerintahan Jokowi- Jusuf Kalla mengalami penurunan drastis. Berdasarkan survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) sebanyak 58,8 persen responden menyatakan ketidakpuasan dengan kinerja pemerintah hari ini. Kemudian 30,8 persen menyatakan cukup puas, sedangkan 8 persen responden menyatakan ketidakpuasannya sama sekali. Untuk responden yang puas hanya mencapai 1,6 persen. Survei dilakukan pada 26 Mei sampai 3 Juni 2015 dengan 250 responden di wilayah Jalan Sudirman, Thamrin dan Kuningan. Jakarta. Menurut Hendri Satrio dari KedaiKOPI, mereka berasal dari pebisnis setara asisten manager dengan gaji minimal Rp 5 juta. "Mereka yang berasal dari orang kelas menengah menunjukkan ketidakpuasannya terutama dari kebijakan ekonomi pemerintah," kata Hendri. Adapun sebabnya menurut Hendri karena berbagai berbagai kebijakan strategis pemerintah yang tak berpihak kepada publik. Dia mengatakan, warga banyak tertekan dengan naiknya kebutuhan pokok dan biaya hidup. "Mereka menilai beberapa kebijakan strategis justru menekan warga Jakarta. Seperti harga BBM naik, impor beras, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga gas, menggejot penerimaan pajak, posisi tim sukses di BUMN dan menambah utang," ungkap Satrio. Penilaian kelompok pro demokrasi juga menunjukkan negatif terhadap Jokowi-JK sehubungan dengan perlindungan WNI di luar negeri. Pada April 2015 Pemerintah Arab Saudi telah mengeksekusi dua WNI secara beruntun, yakni Siti Zaenab dan Karni Bt Medi Tarsim. Proses eksekusi mati terhadap Karni Bt Medi Tarsim telah terdengar kabarnya sejak Rabu, 15 April 2015. Sejumlah organisasi penggiat HAM yang tergabung dalam Koalisi Anti Hukuman Mati menilai pemerintahan Jokowi-JK gagal menlindungi WNI di luar negeri. Koalisi terdiri dari ICJR, Elsam, Imparsial, HRWG, LBH Masyarakat, Ikohi dan Setara Institute memandang Jokowi-JK tidak bisa menjalankan Amanat UUD 1945. Padahal, perintah Pembukaan UUD 1945 dalam Alinea ke 4 sangat jelas, yakni "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia". "Eksekusi mati Siti Zaenab dan Karni Bt Medi Tarsim merupakan kegagalan pemerintahan Jokowi-JK untuk menjalankan amanat UUD 1945 agar melindungi segenap warga Negara Indonesia," ujar peneliti ICJR Erasmus Napitupulu di Jakarta, Jumat (17/4/2015). Ketiga, REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA, 9 Juli 2015, melaporkan hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) bahwa masyarakat Indonesia tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi, selama hampir sembilan bulan memerintah. Secara umum sebesar 56 persen masyarakat merasa kurang atau tidak puas dengan kinerja Presiden Jokowi, sementara 41 persen sisanya merasa puas. BAgi SMRC, pemerintah harus sadar bahwa masyarakat terlihat cenderung tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi. Di bidang ekonomi, sekitar 31,5 persen warga menyatakan kondisi ekonomi sekarang lebih buruk daripada tahun lalu, sementara yang menyatakan lebih baik hanya 24 persen. Untuk bidang politik, hasil survei menunjukkan 37,5 persen warga menganggap kondisi politik Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 21,6 persen. Sedangkan, dalam hal hukum, 38 persen warga menyatakan kondisi hukum Indonesia buruk sementara yang menyatakan baik hanya 32 persen. Jika dibandingkan dengan pemerintahan SBY, citra Jokowi saat ini jauh tertinggal. Bila saat ini hanya 40,7 persen warga yang menyatakan puas dengan kinerja Jokowi, dalam periode yang sama, lima tahun lalu, terdapat 70 persen warga menyatakan puas dengan kinerja SBY. Survei dilakukan pada 25 Mei hingga 2 Juni 2015 tersebut menggunakan 1.220 responden, merupakan warga negara Indonesia punya hak pilih dalam Pemilu, yakni mereka sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan. Hasil survei menunjukkan bahwa rakyat menginginkan agar kinerja pemerintah Jokowi diperbaiki secepatnya, namun dengan tetap menjaga proses politik secara konstitusional. Namun, Jokowi harus mencegah kondisi nasional terus memburuk, terutama di bidang ekonomi, agar masyarakat tidak menjadi anarkis dan meruntuhkan demokrasi. Keempat, dalam hal kinerja ekonomi Jokowi-Jk, Litbang Kompas pada 25 Juni hingga 7 Juli 2015 melakukan survey tingkat kepuasan publik. Hasil survey menunjukkan,kKepuasan publik hanya mencapai 44,2 persen. Angka ini masih lebih rendah dibandingkan dengan masa tiga bulan Jokowi-Jk berkuasa di Republik ini, yakni 49,6 persen (Kompas, 29 Juli 2015). Tantangan kemerosotan ekonomi sejak awal tahun 2015 ternyata belum bisa berhasil diatasi oleh Rezim Jokowi-Jk. Ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah di bidang ekonomi masih mendominasi. Kepuasan terhadap kinerja Jokowi-JK bidang ekonomi dengan indikator "mengendalikan harga barang dan jasa" hanya mencapai 32, 1 persen; "menyediakan lapangan kerja" lebih rendah hingga 31,1 persen; "memeratakan pembangunan" mencapai 50,3 persen; "mengembangkan pasar tradisional" mencapai 69,9 persen; "mewujudkan swasembada pangan" sebesar 53,1 persen; :"memberdayakan petani dan nelayan" mencapai 51,5 persen; dan "mengendalikan nilai tukar rupiah" paling rendah yakni 21,4 persen. Jika digunakan indikator " mengendalikan harga barang dan jasa" (32,1 persen) dan "menyediakan lapangan kerja" (31,1 persen), maka dapat disimpulkan bahwa kinerja Jokowi-Jk dalam hal kebutuhan dasar rakyat tergolong buruk dan jelek, jika tidak boleh dinilai sangat butruk dan sangat jelek. Sorotan tajam publik terdapat pada tiga issue yakni pengendalian barang dan jasa, pengendalian nilai tukar rupiah, serta penyediaan lapangan kerja. Di ketiga issue tersebut rata-rata proporsi hanya 21,4 persen. Issue-issue inilah menjadi ketidakpuasan publik di bidang ekonomi. Kelima, penilaian para pengamat/ilmuwan/cendikiawan/tokoh politik, antara lain Ekonom senior, Kwik Kian Gie. Melalui media massa dan sosial, Kita dapat menemukan penilaian Kwik Kian Gie tentang kabinet pemerintahan Jokowi yang sesungguhnya "tidak layak" disebut Kabinet Kerja. Namun, lebih tepat disebut Kabinet Saudagar. Karena faktanya, menurut Kwik, dalam mengelola kebutuhan hajat hidup orang banyak, pemerintah selalu saja mencari untung. “Sekarang pemerintah ambil untung dari transaksi impor bahan bakar minyak dan LPG. Setelah itu menyusul impor pangan dan pemerintah juga cari untung dengan cara manarik pajak impor. Itu kan Kabinet Saudagar namanya,” kata Kwik Kian Gie, di press room DPR, Senayan Jakarta, Selasa (31/3). Terjebaknya pemerintahan Jokowi jadi Kabinet saudagar menurut mantan Kepala Litbang DPP PDIP ini, disebabkan karena di belakang Jokowi-Jusuf Kalla ada sekelompok pengusaha yang dari awal memback-up Jokowi-JK saat kampanye pilpres 2014 lalu. “Jauh sebelum Jokowi-JK jadi presiden dan wapres, masa-masa kampanye pasangan ini jelas-jelas didukung oleh sembilan Taipan. Informasi tersebut tersebar demikian luasnya,” ungkap Kwik. Targetnya lanjut Kwik, jika Jokowi-JK menang, maka presiden bisa didikte oleh sembilan Taipan tadi.

Senin, 18 Mei 2015

MENGAPA GUBERNUR AHOK HARUS DIMAKZULKAN ?

Lima alasan mengapa Ahok harus dimakzulkan sebagai Gubernur DKI Jakarta: PERTAMA: Ahok Secara Terbuka Bersikap Konflik dengan DPRD. Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta sebagai perwakilan rakyat seharusnya dapat terbangun dalam pelaksana tugas dan wewenang masing-masing dengan dasar kemitraan, hubungan kerjasa sama harmonis dan sinerjik untuk menjamin penyelenggaraan urusan pemerintahan efektif dan demokratis (UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah). Namun, Ahok secara terbuka bersikap konflik, memiliki visi berbeda dan bertentangan dengan DPRD. Ahok juga sering mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar ke publik. KEDUA: Ahok Melakukan Pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-Undangan. Tim Angket DPRD DKI Jakarta secara resmi menilai bahwa Ahok telah melakukan 4 (empat) pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan selama menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, yaitu: 1. Pelanggaran terhadap UU Nomor 11 tahun 2013 Pasal 34 ayat 1, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Peraturan Pemerintah Tahun 2008. 2. Pelanggaran terhadap UU dalam penyelenggaraan system informasi keuangan Negara, yang dianalisiskan dalam tingkat daerah dalam bentuk e-Budgeting. 3. Pelanggaran terhadap etika dan norma, dalam melaksanakan kebijakan, dalam melakukan tindakan menyebarkan fitnah terhadap institusi dan anggota DPRD dengan menyatakan bahwa “DPRD sama seperti dewan perampok daerah”. Selain itu beberapa ucapan kata-kata yang terlontar dari Ahok seperti “bajingan, brengsek, lo piker pake otak, gebrak meja dan marah-marah gebrak mobil”, dari akun youtube dan media online. 4. Pelanggaran terhadap UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal 67, bahwa kewajiban Kepada Daerah dan Wakil untuk mentaati ketentuan dalam UU. KETIGA: Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPRD. Panitia Angket DPRD mengusulkan untuk menindaklanjuti pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang telah dilakukan oleh Ahok melalui penggunaan “Hak Menyatakan Pendapat” (HMP). Penggunaan HMP memaknakan Ahok telah melakukan tindakan melawan hukum dan memungkinkan untuk pemakzulan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. KEEMPAT: Kinerja Ahok Buruk dan Rapor Merah dalam Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan. DPRD DKI Jakarta secara resmi menilai kinerja Ahok dan aparatnya pada 2014 buruk dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Penilaian DPRD ini merupakan “rapor merah” bagi Ahok. Ada 10 penilaian buruk dan rapor merah untuk Ahok: 1. Pendapatan tercapai hanya 66,8 persen atau Rp. 43,4 triliun lebih kecil dari rencana Rp. 65 triliun. 2. Realisasi belanja 59,32 persen adalah belanja terendah Jakarta, jika belanja terealisasi 100 persen maka terdapat defisit anggaran Rp 20 triliun. 3. Di sektor pembiayaan, realisasi PMP hanya 43,62 persen yang terdiri dari kegagalan realisasi PMP pada PT. KBN, PT. Pam Jaya, dan PT. Food Station. 4. Kenaikan NJOP yang semena-mena tanpa perhitungan matang terbukti memberatkan beban rakyat, diharapkan dike‎mbalikan seperti tahun 2013. 5. Kenaikan angka kemiskinan dari 371.000 jiwa pada tahun 2013 menjadi 412.000 jiwa pada tahun 2014 menujukan kegagalan Ahok dalam mensejahterakan masyarakat. 6. Pemberian izin reklamasi oleh Ahok melanggar UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai, Peraturan Presiden Nomor 122 tahun 2012 tentang Reklamasi Pantai. 7. Ahok belum mampu mempertahankan aset-aset Pemda DKI Jakarta yang berpekara di pengadilan. 8. Penerimaan CSR selama ini tidak dikelola dengan transparan. 9. Ahok melanggar perundang-undangan khususnya UU No. 29 tahun 2007 pasal 22 tentang Organisasi Perangkat Daerah berkenaan dengan penghapusan jabatan Wakil Lurah. 10. Kinerja Ahok dan aparatnya pada tahun 2014 buruk. Buruknya kinerja Ahok juga dapat ditemukan melalui ahsil survei dilakukan Periskop Data pimpinan Muhammad Yusuf Kosim, yakni publik "tidak puas" dengan kinerja Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat di bidang "perumahan rakyat", "kemacetan", dan "banjir". Survei Periskop Data dilaksanakan pada 1-7 Juni 2015. Survei ini dilakukan secara langsung melalui wawancara tatap muka. Metode yang digunakan adalah Multistage Random Sampling. Sampel pada survei ini adalah penduduk Indonesia yang berusia 17 tahun atau lebih atau sudah menikah. Pelaksanaan survei dilakukan di seluruh wilayah DKI. Jumlah sampel yang diambil sebesar 500 responden. Adapun margin of error survei ini sebesar 4,4 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Serapan anggaran DKI juga dapat dijadikan indikator rendahnya kinerja Ahok. Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi penggunaan anggaran daerah pada Semester I 2015. Hasilnya, DKI menjadi salah satu provinsi dengan penyerapan anggaran terendah. Persentase serapan anggaran baru 22,86 persen dari total Rp. 69,2 triliun. Badan keuangan dan Aset Daerah DKI mencatat terdapat tiga dinas yang serapan anggarannya rendah. Ketiganya adalah Dinas Penanggulangan Kebakaran yang baru menyerap 2,08 persen dari total anggaran Rp. 900 miliar; Dinas Perumahan dan Gedung yang baru menyerap 3,25 persen anggaran dari total Rp. 2,1 triliun; serta Dinas Tata Air yang baru membelanjakan 3,49 persen dari Rp. 5,16 triliun. Mendagri Tjahjo Kumolo menyatakan, penyerapan anggaran terendah di Indonesia terjadi di DKI. "DKI Jakarta yang terparah", tandas Mendagri. Sementara Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah, Kemendagri, Reydonnyzar Moenek mengungkapkan serapan anggaran pemerintah DKI justru terbesar hanya ada di belanja pegawai."Sehaarusnya belanja jasa dan modal lebih besar dibandingkan pegawai", tegasnya (Harian TEMPO, 18 Agustus 2015). KELIMA: Implikasi Negatif Sikap Ahok terhadap DPRD. Sikap Ahok secara terbuka konflik dan mengabaikan prinsip hubungan kemitraan, kerjasama harmonis dan sinerjik dengan DPRD telah menimbulkan implikasi negatif terhadap rakyat DKI sebagai penyumbang terbesar terhadap APBD. Implikasi negatif dimaksud sebagai berikut: 1. Terhambatnya penggunaan anggaran pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya meganggu pelayanan publik. 2. Terganggunya pelayanan publik bisa menimbulkan konflik dan masalah antara rakyat dan birokrasi. 3. Proyek nasional di DKI terancam tertunda-tunda waktu pelaksanaan karena APBD DKI belum disahkan. 4. Ketiga, kinerja Pemerintah DKI tidak maksimal dan penyerapan anggaran akan semakin rendah dibandingkan tahun sebelumnya. 5. Rendahnya kualitas pelayanan publik. KEENAM: WDP untuk AHOK Opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) menurut istilah akuntansi adalah pendapat yang diberikan ketika laporan dikatakan wajar dalam hal material, tetapi terdapat sesuai penyimpangan (kurang lengkap) pada pos-pos tertentu, sehingga harus dikecualikan. Pengecualian itu sendiri mungkin saja terjadi karena bukti kurang cukup, adanya pembatasan ruang lingkup, atau terdapat penyimpangan dalam penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Predikat WDP 2014 tidak berbeda dengan opini audit BPK pada laporan keuangan Pemprov DKI Jakarta pada 2013. Padahal pada periode kepemimpinan sebelumnya DKI Jakarta selalu mendapat opini audit WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Predikat WDP karena ada 70 temuan dalam laporan keuangan daerah senilai Rp. 2,16 triliun, berindikasi kerugian daerah senilai Rp 442 miliar. Dan berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp. 1,71 triliun. Lalu kekurangan penerimaan dana daerah sebanyak Rp. 3,13 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp. 469 juta dan pemborosan Rp. 3,04 miliar. Beberapa temuan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI yakni asset seluas 30,88 hektar di Mangga Dua dengan PT.Duta Pertiwi yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan asset. Juga pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai. Ada indikasi kerugian senilai Rp. 191 miliar. Pemprove DKI juga megalami kelebihan bayar premi asuransi senilai Rp. 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp. 3,05 miliar. Temuan lain yakni penyertaan modal dan asset kepada PT. Transportasi Jakarta (Transjakarta) tidak sesuai ketentuan. Hal ini mengyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluaas 234 meter persegi dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah. Berdasarkan laporan BPK di atas, dalam perjalanan Ahok selaku Gubernur DKI terdapat data dan fakta lainnya bahwa Ahok gagal mengurus pemerintah dan rakyat DKI Jakarta. Data dan fakta dimaksud antara lain temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) tentang beberapa ketidkberesan dalam penggunaan anggaran oleh Pemerintah DKI tahun anggaran 2014. Atas dasar itu, BPK memberi opini "wajar dengan pengecualian (WDP)" untuk laporan keuangan tahun lalu. Predikat ini tak berbeda dengan laporan keuangan pada 2013. Beberapa temuan BPK yang mengakibatkan DKI mendapat "rapor merah" antara lain sensus aset yang masih berantakan (Tempo, 7 Juli 2015). Dari kriteria integritas, ternyata Ahok sebelum menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, telah menunjukkan adanya dugaan perilaku korupsi di daerah asalnya, Kabupaten Belitung Timur. Ahok dituding sekelompok orang berdemo (Forum Ketahanan NKRI) di depan Kantor Kejaksaaan Agung, Jakarta, 1 Juli 2015, melakukan dugaan tindak korupsi pembangunan dermaga Manggar Belitung Timur saat dirinya masih menjabat sebagai Bupati di sana. Akibatnya negara dirugikan sebesar Rp. 22 miliar. Kasus ini bermula pada tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupatenm Belitung Timur dan Program Strategis Departemen Perhubungan tentang Pembangunan Pelabuhan di Indonesia yakni dermaga Manggar--Ketapang. Pembangunan ini sendiri menggunakan APBN untuk dermaga dan APBD untuk lahan seluas 20.000 meter persegi terletak di Desa Baru Kecamatan Manggar, yang ditandatangani Ahok sewaktu menjabat Bupati Belitung Timur pada 2006. Ahpk turut diduga memalsukan dokumen negara terkait proyek ini. Kasus ini tertunda penanganannya karena situasi politik tahun 2012 yang masih dalam suasaan Pilgub DKI JAkarta (HArian Terbit, 2 Juli 2015). Sementara ini dimata publik, Ahok diduga telah melakukan tindak pidana korupsi sehubungan dengan kasus pemberlian Tanah RS Sumbr Waras, Jakarta Barat. JAKARTA. Salah satunya, dilaporkan oleh KOMPAS.com , Ahok dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi oleh seorang warga bernama Amir Hamzah. Ahok dianggap telah menyalahgunakan wewenang dalam pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Amir berharap KPK memeriksa hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap anggaran pendapatan dan belanja daerah DKI Jakarta tersebut. Menurut dia, hasil audit tersebut mengindikasikan adanya penggelembungan anggaran dan korupsi dalam kasus itu. Menurut Amir, ada beberapa faktor yang menimbulkan kecurigaan adanya korupsi. Salah satunya adalah penentuan harga tanah senilai Rp 755 miliar. Ia menganggap penentuan harga itu tidak melalui mekanisme penilaian wajar. Penentuan tersebut hanya berdasarkan pertemuan tertutup Ahok dengan direksi RS Sumber Waras. "Harusnya lewat proses sosialisasi dan lainnya memakan waktu tiga bulan. Tapi, ini langsung diputus sendiri sama Gubernur dan sehari jadi," kata Amir. Kasus Dugaan Korupsi pembeliaan tanah SUmber Waras ini bermula dari temuan BPK bahwa pembelian 3,64 Ha Tanah milik yayasan Kesehatan Kesehatan Sumber Waras terindikasi merugikan uang Negara. Lokasi tanah dimaksud berada di Jalan Tomang Utara, suatu kampong sempit yang selalu macet pada jam kerja. Berdasarkan sumber http://www.pkspiyungan.org (2015/07/12), Garuda Institute menemukan 12 fakta hasil kajian soal BPK versus Korupsi Ahok. Garuda Institute mengecam keras provokasi yang disampaikan Ahok melalui media terhadap pejabat BPK terkait audit laporan keuangan Pemprove DKI 2014, terutama menyangkut pembelian tanah 3,64 Ha milik Yayasan Kesehatan Smber Waras. 12 Fakta hasil studi Garuda Institute dimaksud sebagai berikut: 1. Pemprove DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, seluas 3,64 Ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah tersebut juag dikenal sebagai langganan banjir. 2. Tanah 3,64 Ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (Utara) Jalan Tomang Utara IV (Timur), Jalan Tomang Utara (Barat), dan RS Sumber Waras (Selatan). Jalan Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini tanah tersebut tiadk mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah RS Sumber Waras. 3. Pemprove DKI membeli tanah tersebut sehanrga Rp. 20,75 juta per meter atau Rp. 744,69 miliar cash. Harga Rp. 20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depas areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS Sumber Waras berbatasan dengan Jalan Tomang Utara hanya Rp. 7,44 juta. 4. Pemilik tanah 3,64 Ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan orang-orang Cina bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui. 5. Tanah 3,64 Ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (12) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik Negara. 6. Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprove DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp. 6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tiadk menjadi pengurangan harga beli sebabagaimana lazimnya praktik transasksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50 % dari tunggakan tersebut. 7. Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprove DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT.Ciputra Karya Unggul. Yayasan seperti si ataur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp. 50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul. 8. Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp. 15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp. 20,75 juta per meter, tanpa syarat perubahan peruntukan. 9. Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 Ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat Jalan Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp. 20,75 juta per meter (Rp. 755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jalan Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 hanya Rp. 7,44 juta (Rp. 564,35 miliar). 10. Pemprov DKI membeli 3,64 Ha tanah itu Rp. 755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli2014 dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda DKI untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014. 11. Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan Rumah Sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tidak mudah diakses karena berada pada jalan kampong, Pemprove DKI juga amsih mempunyai banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 Ha (2.500 M2). 12. Sekalipun Gubernur DKI Ahok telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama yayasan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. Dugaan tindak pidana korupsi Ahok juga disuarakan pada 7 September 2015. DPD FPI DKI Jakarta bersama Tim Hukum FPI Jakarta dipimpin oleh Imam FPI DKI Jakarta, Hb.Muhsin b Zaid Alattas, didampingi oleh Ketua Syura FPI DKI Hb. Ali b Hasyim Alattas dan Ketua Tanfidzi FPI Jakarta KH Buya Abdul Majid Umar, secara resmi melaporkan AHOK ke Mapolda Metro Jaya atas dugaan KORUPSI berupa penyelewengan dana APBD / APBD-P 2014 Pemprop DKI Jakarta dengan INDIKASI KERUGIAN NEGARA mencapai Rp.1.891.310.956.699,- (Satu Trilyun Delapan Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sepuluh Juta Sembilan Ratus Lima Puluh Enam Ribu Enam Ratus Sembilan Puluh Sembilan Rupiah), dengan rincian KASUS sebagai berikut : 1. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.1.691.393.636.322,- (Satu Trilyun Enam Ratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Sembilan Puluh Tiga Juta Enam Ratus Tiga Puluh Enam Ribu Tiga Ratus Dua Puluh Dua Rupiah) dalam proses Penetapan Nilai Penyertaan Modal dan Penyerahan Aset Pemprop DKI Jakarta kepada PT Trans Jakarta (BUMD) melalui INBRENG (Penyertaan Modal Pemerintah selain uang tunai) yang dilakukan lewat proses yang tidak sesuai ketentuan. 2. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.8.582.770.377,- (Delapan Milyar Lima Ratus Delapan Puluh Dua Juta Tujuh Ratus Tujuh Puluh Ribu Tiga Ratus Tujuh Puluh Tujuh Rupiah) dalam proses Penyerahan Aset INBRENG Pemprop DKI Jakarta berupa tanah seluas 234 meter persegi dan Tiga Blok Apartemen yang tidak diperhitungkan sebagai Penyertaan Modal Pemerintah pada BUMD. 3. Indikasi Kerugian Negara senilai Rp.191.334.550.000,- (Seratus Sembilan Puluh Satu Milyar Tiga Ratus Tiga Puluh Empat Juta Lima Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah) dalam proses Pengadaan Tanah Rumah Sakit Sumber Waras dalam rangka pembangunan Rumah Sakit Khusus Jantung dan Kanker Pemprop DKI Jakarta. Memperhatikan LHPK – BPK, sebenarnya masih banyak kasus penyelewengan Keuangan Negara yang melibatkan AHOK yang nilai komulatifnya sangat fantastis mencapai Trilyunan rupiah. Hanya saja, tiga kasus tersebut di atas yang dilaporkan DPD FPI DKI Jakarta lebih fokus karena melibatkan AHOK secara langsung. DPD FPI Jakarta dalam laporannya merincikan peraturan dan perundang-undangan yang secara jelas dan nyata dilanggar oleh AHOK, yaitu sebagai berikut : 1.Dalam KASUS PERTAMA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. b. Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri No 17 Th 2007 tanggal 21 Maret 2007 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pengelolaan Barang Milik Daerah romawi XII.5 Penyertaan Modal Pemerintah Daerah pada huruf b dan huruf c. c. Peraturan Menteri Keuangan No 2/PMK.06/2008 tentang Penilaian Barang Milik Negara pasal 44 ayat 1. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 50 dan pasal 52 ayat 1 s/d 3. 2.Dalam KASUS KEDUA terbukti bahwa AHOK telah melanggar : a. Undang-Undang No 1 Th 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 41 angka 5. b. Undang-Undang No 40 Th 2007 tentang Perseroan Terbatas pasal 34 ayat 2. c. Peraturan Pemerintah No 6 Th 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah pasal 39 ayat 1 dan 2. d. Peraturan Menteri Dalam Negeri no 17 Th 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah pasal 45 ayat 1 dan 2. e. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 5 Th 2004 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perusahaan Daerah WNJ Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Yayaysan WJR menjadi PT JT dan Penyertaan Modal Pemprop DKI Jakarta pada PT JT pasal 2 ayat 2 dan pasal 11 ayat 2, serta Penjelasan pasal 11 ayat 2. f. Peraturan Daerah DKI Jakarta No 12 Th 2004 tentang Penyertaan Modal Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada PT JP pasal 14 dan Penjelasan pasal 14. g. Perjanjian Kerjasama No 1568 Th 1992 tanggal 5 Oktober 1992. Terdapat juga penilaian bahwa Ahok tergolong pelanggar HAM. Hal ini dapat diperoleh dari pemberitaan KORAN TEMPO, Kamis, 27 Agustus 2015. Diberitakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menemukan serangkaian pelanggaran yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penggusuran warga Ibu Kota sepanjang tahun 2015. Berdasarkan data LBH JAkarta sejak Januari-Agustus 2015, terjadi 30 kasus penggusuran yang dikategorikan sebagai "pengguusuran paksa". Termasuk yang terakhir adalah penggusuran di Kampung Pulo, Jakarta Timur pada 20 Agustus lalu. "Ada unsur pelanggaran hak asasi manusia," kata Alldo Fellix Januardy, Pengacara Publik LBG Jakarta. Alldo memp-erkirakan dari 30 penggusuran tersebut, sebanyak 3.433 keluarga terusir dan 433 unit usaha tutup. Penggusuran ini, kata Alldo, sarat dengan unsur pelanggaran karena dilakukan tanpa memenuhi pendekatan HAM, yakni setiap warga berhak atas penghidupan yang layak. "Salah satu unsur yang dilanggar, pemerintah tidak pernah menunjukkan bukti surat kuasa pengelolaan atas tanah yang disebut milik negara," Alldo menuturkan. Di lain pihak, Atika Yuanita, pengacara LBH Jakarta lainnya, mengatakan mayoritas penggusuran dilakukan dengan pengancaman alat berat, seperti yang terjadi di Kampung Pulo. Bahkan penertiban mengikutsertakan personel kepolisian dan tentara. "Seharusnya Polri dan TNI tidak terlibat karena keduanya bertanggungjawab melindungi masyarakat". Temeuan LBH Jakarta ini hampir sama dengan pernyataan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bahwa ada pelanggaran HAM dalam pengguusuran Kampung Pulo. Tindakan kekerasan oleh aparat keamanan dianggap represif dan tidak manusiawi. Dalam tutur kata sesungguhnya Ahok sangat kontroversial dengan kelaziman pejabat penyelenggara negara dan politisi di Republik ini. Sudah banyk kecaman dan kritik muncul terhadap Ahok dengan tutur kakatanya yang dinilai tidak mendidik bagi kaum muda dan pelajar. mengingat tutur kata Ahok dipublisir melalui media massa cetak, audiovisual dan media sosial. Satu contoh kritik/kecaman pernah muncul dari anggota DPRD Kota Bekasi terkait dengan tempat pengelolaan sampah terpadu (TPST) di Bantargebang, Bekasi. Harian Koran Tempo, 3 November 2015, memberitakan, Ketua Komisi A DPRD Kota Bekasi, Ariyanto Hendrata mengatakan lembaganya berencana mengsomasi Ahok yang menyebut anggoat Dewan menerima duit dari PT. Godang Tua Jaya, pengelola TPST Bantargebang. Menurutnya, Ahok telah mencemarkan nama dan menghina lembaga perwakilan rakyat Kota Bekasi. Ada enam bentuk penghinaan Ahok terhadap DPRD Kota Bekasi, diantaranya menyebut anggoat Dewan sombong, kekanakkanakan, melarang warga Bekasi bekerja di Jakarta, dan mengejek "mulut Dewan bau sampah".

Jumat, 15 Mei 2015

Inilah Lima Hal Akibat Parpolisasi di Indonesia

(CATATAN:Tulisan ini pernah dimuat di media sosial TEROPONG Rakyat, Kamis, 14 Mei 2015 - 13:50:27Oleh Muchtar Effendi Harahap, Ketua Dewan Pendiri NSEAS (Network for South East Asian Studies), TEROPONGSENAYAN): Indonesia era reformasi mengalami suatu kecenderungan "parpolisasi". Parpolisasi ditandai yakni semangkin meningkatnya peran kader parpol dalam berbagai bidang kehidupan. Baik dalam pemerintahan dan negara, dunia usaha maupun perekonomian serta kehidupan sosial budaya. Salah satu ciri yang cukup mengkhawatirkan parpolisasi adalah munculnya kultur transaksionalisme. Kecenderungan parpolisasi menyebabkan ada tujuh kondisi Indonesia masa kini. Tujuh kondisi itu adalah sebagai berikut : (1). Penentu kebijakan negara berada di pimpinan parpol di luar negara. (2). Politik kartel dan perilaku korupsi kader parpol meningkat baik kuantitatif maupun kualitatif dana APBN/APBD juga "korupsi sandera negara". Salah satu indikator kader Parpol melegalkan perolehan dana APBN terkait dengan UP2DP(Usulan ProgramPembangunan Dana Pemilihan). DPR telah meloloskan peraturan soal tata cara penerapan UP2DP alias "dana aspiriasi"di DPR dalam sidang paripurna,selasa 23 Juni 2015. Melalui aturan tersebut,setiap anggota DPR mendapatkan jatah dana pembangunan dapil masing-masing dalam APBN. Kendati belum disepakati,pagu indikatif yang sempat mencuat adalah sebanyak Rp. 20 miliar per anggota pertahun.Dengan jumlah itu,total dana aspirasi pertahun bisa mencapai Rp. 11,2 triliun. (3). Penyelenggaraan urusan pemerintahan lebih mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan kelompok kader parpol dan kroni-kroninyanya, bukan kesejahteraan rakyat kebanyakan sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945. (4). Proses demokratisasi terjadi tanpa kekuatan parpol atau kumpulan parpol oposisi, tetapi lebih mengutamakan koalisi. (5). Dengan demokratisasi tanpa oposisi, kualitas kebijakan pemerintah menjadi tak efektif dan efisien.(*)