Kamis, 19 Maret 2015

INTERVENSI REZIM JOKOWI-JK DALAM KONFLIK INTERNAL PARPOL

I. KONFLIK INTERNAL PARPOL Kondisi kehidupan kepartaian di era berkuasanya Rezim Jokowi-JK terutama tahun 2014-2015, ditandai dengan prahara konflik internal Parpol, yakni Golkar dan PPP. Konflik internal ini menjadi manifest dengan terdapatnya dua kepengurusan DPP Golkar dan PPP untuk lima tahun ke depan,. Untuk Golkar, terdapat kepengurusan Ical (ARB) hasil Musyarawah Nasional di Nusa Dua, Bali, (30 November - 3 Desember 2014) dan kepengurusan Golkar pimpinan Agung Laksono hasil Musyawarah Nasional di Ancol, Jakarta. Sementara itu, di PPP, terdapat juga dua kepengurusan, yakni PPP pimpinan Djan Faridz hasil Muktamar di Jakarta pada 30 Oktober-2 November 2014, dan pimpinan Romahurmuziy (Romi) hasil Muktamar di Surabaya pada 15 Oktober 2014. Rezim Jokowi-JK melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) mengeluarkan Surat Keputusan memihak terhadap Golkar pimpinan Agung Laksono. Keduanya sama-sama mendaftarkan kepengurusan baru ke Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumhan). Menkumham, Yasonna Laoly menyatakan, Pemerintah tidak mengakui dualisme kepengurusan di tubuh Partai Golkar. Untuk itu, susunan kepengurusan Partai Golkar dikembalikan pada hasil Munas Riau 2009. Pemerintah menyerahkan kepada internal Partai Golkar untuk menyelesaikan konflik tersebut. Namun, dalam perjalanannya, Yasonna menerima kepengurusan hasil Musyawarah Nasional Ancol sebagai pengurus Dewan Pimpinan Pusat Golkar yang sah. Keputusan Yasonna itu dituding DPP Golkar Ical bersifat politis dan memanipulasi putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG). Sebab MPG dalam putusannya tidak mencapai kata sepakat. Hakim Djasri Marin dan Andi Mattalatta memenangkan kubu Agung. Sementara dua hakim lainnya, Muladi dan Has Natabaya, tak menyebut kubu mana yang menurut mereka sah sebagai pengurus Golkar, namun mengatakan tidak menerima permohonan kubu Agung. DPP Golkar Ical mengajukan gugatan baru ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat. Gugatan baru kali ini, pihaknya memasukkan tergugat tambahan, yakni Menkumham, Yassona Laoly. Menkumham dinilai, terbukti telah menampakkan keberpihakan terkait kisruh internal partai, dan perbuatan melawan hukum dengan kekuasaannya. Semula, Golkar Ical mencabut upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap putusan PN Jakarta Barat yang menolak menyidangkan perkara dualisme internal di partai Golkar. Golkar Ical memilih untuk mencabut gugatan tersebut, lalu mendaftarkan ulang perkara dengan mengikutsertakan Menkumham Yassona sebagai tergugat. Di lain, fihak Menkumham menyatakan, Jokowi akan segera mengesahkan Peraturan Presiden tentang kepengurusan Partai Golkar pimpinan Agung Laksono. Peraturan Presiden itu akan segera dikeluarkan Presiden dalam waktu dekat. Berbeda dengan Golkar, dalam kasus PPP Menkumham, Yasonna Laoly menyatakan kepengurusan PPP hasil Muktamar Surabaya yang sah. Kelompok Djan Faridz mengajukan gugatan ke Pengadilan Hukum Tata Negara (PTUN) atas SK Menkumham Nomor M.HH-07.AH.11.01 TAHUN 2014 terkait pengesahan pengurus PPP versi Muktamar Surabaya. PTUN kemudian mengabulkan gugatan kelompok Djan Fariz ini. Mereka mendatangai Kemenkumham, menindaklanjuti putusan Majelis Hakim PTUN, memenangkan DPP PPP versi Muktamar Jakarta. Namun, Kemenkumham masih saja tidak mengeluarkan SK pengesahan pengurus PPP versi Muktamar Jakarta (Djan Faridz). Baik Agung maupun Romi, keduanya menyatakan, mendukung dan bersedia kerjasama dengan Kelompok Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai pendukung Rezim Jokowi-JK. Sedangkan pimpinan Ical (Golkar) dan Djan Faridz (PPP) sebelumnya bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi/penyeimbang terhadap kekuatan KIH sebagai pendukung/pengusung Rezim Jokowi-JK. Institut Ekonomi Politik Soekarno-Hatta (IEPSH) menjadikan kondisi kehidupan kepartaian ini sebagai prahara Parpol di era Pemerintahan Jokowi, dan menyelenggarakan diskusi publik dengan thema: “Ada Apa Dengan Prahara Parpol di Era Pemerintahan Jokowi”. Diskusi publik diselenggarakan di Jakarta, 18 Maret 2015 dengan nara sumber: Irman Putra Sidin (Ahli Hukum Tata Negara); Razman Arief (Fungsionaris Parpol); Saurip Kadi (Purn. TNI/AD); Ali Muchtar Ngabalin (Mantan Angg.DPR.RI); Muchtar Effendi Harahap (Pengamat Politik/NSEAS); dan, John Memphi (Pengamat Intelijen). Diskusi publik dimoderatori oleh M. Hatta Taliwang (Direktur IEPSH). Sebagai salah satu Narasumber, Muchtar Effendi Harahap telah mengajukan pokok-pokok pikiran sebagaimana terurai di bawah ini. II. PARA PENGKRITIK MENKUMHAN Para pengkritik Menkumham, antara lain menilai, Menkumham ceroboh dan telah melanggar UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Menkumham melakukan intervensi dan berpihak pada salah satu kubu PPP yang sedang bertikai. Perbuatannya melanggar UU Partai Politik pasal 24, 32, dan 33. Berikut ini adalah bunyi Pasal 32 dan 33 UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik: Pasal 32 (1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART. (2) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik. (3) Susunan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pimpinan Partai Politik kepada Kementerian. (4) Penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 hari. (5) Putusan Mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. Pasal 33 (1) Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. (2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. (3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung. Pasal 32 dan 33 UU ini menetapkan, perselisihan internal partai diselesaikan oleh Mahkamah Partai atau sejenisnya. Mahkamah Partai ini sifatnya resmi dan mengikat bagi semua partai. Harus ada dalam AD/ART karena diatur dalam UU Parpol. Jika salah satu kubu di partai politik bertikai tidak puas dengan putusan Mahkamah Partai dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri sampai MA. Intinya, bukan kewenangan Menkumham untuk tentukan kepengurusan yang sah dalam konflik internal Parpol. III. DAMPAK NEGATIF INTERVENSI REZIM Beragam prediksi muncul terkait dengan dampak negative intervensi Rezim dalam konflik internal Parpol ini terhadap politik pemerintahan Jokowi-JK. Pertama, kelompok prediksi dampak negative berupa terganggunya stabilitas politik kekuasaaan Rezim Jokowi-JK bersumber dari lembaga legislatif DPR-RI. Roda pemerintahan Jokowi-JK bakalan mengalami gangguan, dengan adanya konflik internal sejumlah Parpol, seperti di PPP dan di Partai Golkar. Diyakini pula, akan terganggu komunikasi Pemerintah Jokowi-JK atau DPR dan pada gilirannya bisa mengakibatkan, terhambatnya program-program Pemerintah. . Kedua, kelompok prediksi dampak negative berupa merembetnya prahara konflik internal Parpol di daerah-daerah. Ketiga, kelompok prediksi dampak negatif berupa semakin banyak kelompok aksi masyarakat madani menentang/pressure kekuasaan Rezim Jokowi-JK. Intervensi dalam konflik internal Parpol dinilai akan menimbulkan resistensi. Kelompok yang merasa terzolimi akan selalu resistensi. Hal ini akan merugikan, dan suasana tidak akan kondusif. Keempat, kelompok prediksi dampak negative berupa semakin memanasnya situasi politik nasional yang menghabiskan energi untuk menyelesaikan permasalahan prahara Parpol ini . Kelima, kelompok prediksi dampak negative berupa peningkatan krisis legitimasi politik, pembusukan politik, krisis legitimasi hukum terhadap kekuasaan Rezim Jokowi-JK yang pada gilirannya dapat meruntuhkan kekuasaan Rezim Jokowi-JK. Kinerja pemerintah saat ini menjadi sorotan publik, kepercayaan terhadap pemerintah kini diuji. Di lain fihak, intevensi Rezim Jokowi-JK dalam konflik internal Parpol ini dapat membawa dampak terhadap kehidupan kepartaian di Indonesia. Sejumlah permasalahan ekonomi yang membelit masyarakat hingga kini, seolah belum terpecahkan oleh Rezim. Permasalahan lain kondisi politik terus bergejolak juga menyebabkan situasi maskin tidak kondusif. Dalam keadaan Rezim tidak mampu memecahkan permasalaahan politik ekonomi yang semakin pelik di Republik ini, Rezim lalu mengklaim atau menghalo-halokan kepada public bahwa konflik ienternal Parpol dimaksud merupakan penyebab utama terganggunya konsentrasi Rezim mengatasi permasalahan politik ekonomi. Tapi, partai politik sepertinya dijadikan kambing hitam. Partai politik dianggap biang keladi yang merusak konsentrasi pemerintah mengatasi berbagai persoalan. Cara-cara yang digunakan seolah semakin memperkuat adanya dugaan bahwa ada upaya untuk membungkam Parpol agar tidak lagi kritis dan berperan sebagai9 oposisi terhadap Rezim. Masalah ini justru memperburuk kondisi dalam negara menjadi tidak kondusif. Karena Rezim terus menerus mengintervensi Parpol yang mengambil peran oposisi, maka kehidupan kepartaian akan kembali pada politik kartel. Yakni, tidak ada Parpol oposisi terhadap kebijakan Rezim, kecuali bergabung dengan Parpol-parpol pendukung/pengusung Rezim. Karena tidak ada oposisi, maka tata pengelolaan pemerintahan pasti tidak akan berdasarkan penegakan prinsip-prinsip demokrasi (partisipatif, nondiskriminatif, transparansi, akuntabel, dan rule of law), sehingga eksploitasi korporasi asing dan perilaku korupsi sandera Negara akan terus berlanjut dan paga gilirannya upaya menciptakan kehidupan rakyak kebanyakan yang adil dan utopia hanyalah sebuah ilusi atau utopia. Kehidupan rakyat tidak lebih baik dari masa lalu, sehingga dapat dinilai “merugi” dan Rezim Jokowi-JK sungguhnya tidak menepati janji-janji politik dalam kampanye Pilpres 2014 lalu.

Senin, 16 Maret 2015

SEKILAS TEORI-TEORI TENTANG PARPOL

A. TEORI AGENSI BAGI sekelompok kecil pengamat dan politisi Parpol, kiprah Parpol era reformasi menunjukkan kemajuan positif, memberi kontribusi terhadap meningkatnya kehidupan demokrasi, dan karena itu “dinobatkan” sebagai kekuatan politik “pro demokrasi”. Salah satu perspektif digunakan untuk memahami dan menjelaskan kiprah Parpol “pro demokrasi” atau memiliki kemajuan positif yakni perspektif agensi atau teori agensi. Teori ini merupakan basis teori mendasari praktik Parpol berakar dari teori organisasi, teori sosiologi, teori keputusan dan juga teori ekonomi. Prinsip utama teori ini menyatakan adanya hubungan politik antara pihak memberi wewenang (prinsipal) dalam hal ini kalangan pemilih/konstituen dengan pihak menerima wewenang (agensi) yaitu pengurus/elite Parpol dalam bentuk kontrak kerjasama (Pemilu). Teori agensi acapkali digunakan untuk menjustifikasi pandangan elite Parpol bahwa mereka telah bertindak atas kepentingan konstituen. Karena itu diasumsikan menerima kepuasan berupa kompensasi suara dan syarat-syarat menyertai dalam hubungan elite Parpol dan konstituen. Teori agensi membantu elite Parpol untuk menggambarkan, berlakunya hubungan kerjasama saling menguntungkan antara elite Parpol (the agent), dan pemilih/konstituen (the principal). Pemilih/ konstituen akan memberikan suara terhadap elite Parpol bersangkutan dalam pemilihan, dengan harapan dapat melaksanakan preferensi atau kepentingan pemilih/konstituen bersangkutan. Parpol telah berjanji dan menawarkan program kepada pemilih/konstituen akan merealisasikan sehingga Parpol dimaksud dalam Pemilu selanjutnya akan dipilih kembali. Jika Parpol tidak merealisasikan janji dan program tersebut, maka akan mendapatkan ”hukuman”, yakni tidak dipilih kembali dalam Pemilu berikutnya. Karena itu, Parpol akan berusaha sebaik mungkin menjalankan fungsi perwakilannya di parlemen dan sebagai kekuatan politik pro demokrasi atau turut mempercepat proses demokratisasi politik dan pada gilirannya peningkatan kesejahteraan ekonomi rakyat. Sesungguhnya beragam kritik telah muncul atas teori agensi ini. Salah satunya memiliki hipotetis bahwa elite politik dalam mengelola Parpol (the agent) cenderung lebih mementingkan kepentingan peribadi daripada meningkatkan “nilai” Parpol dan kepentingan pemilih/konstituen. Satu kritik mencontohkan keberadaan Parpol bagaikan lembaga kemahasiswaan. Pengurus lembaga kemahasiswaan dipercayakan menjadi perpanjangan tangan keluarga mahasiswa untuk pengelolaan organisasi menjadi agen idealnya mampu mengakomodasi semua kepentingan keluarga. Tetapi, dalam realitas obyektifnya, terkadang Pengurus lembaga kemahasiswaan itu tidak mampu menjalankan ini dengan baik. Kecenderungan Pengurus lebih memilih melaksanakan kepengurusan sesuai dengan keinginan mereka. Kepentingan keluarga menjadi terabaikan. B. TEORI PENCITRAAN Salah satu karya menggunakan pendekatan pencitraan dalam politik kepartaian adalah Human Resources and Personnel Management (1997), karya William B Werther dan Keith Davis. Karya ini menekankan pentingnya membangun pencitraan Parpol agar masyarakat memiliki kepercayaan. Penyebab krisis kepercayaan masyarakat terhadap Parpol adalah perilaku para politikusnya yang buruk dalam membangun citra Parpol, termasuk ketidakmampuan memperjuangkan aspirasi rakyat. Menurut Werther dan Davis, dalam sistem multipartai, faktor terpenting yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap Parpol adalah citra (image). Apa yang dilihat masyarakat ketika di hadapan mereka ada puluhan Parpol, jika bukan karena, citra partai itu sendiri? Karena itu, tugas berat yang harus dilakukan oleh Parpol adalah membangun citra partai. Faktor lain juga mempengaruhi citra pemilih terhadap Parpol adalah opini parpol yang buruk. Apakah upaya ini ada manfaatnya untuk membangun citra politik yang positif? Dengan menggunakan teori “Biases”, Werther dan Davis menunjukkan selalu ada bias, distorsi atau penyimpangan ketika seseorang melakukan penilaian terhadap “diri orang lain”. Whether menunjukkan juga adanya enam bias penilaian. Pertama, “the hallo effect”, yaitu pilihan politik didadasarkan atas suka tidak suka secara peribadi (personally likes or dislikes). Kedua,” the error of central tendency”, yaitu pilihan politik dilakukan atas dasar persamaan dan penyamarataan sehingga semua Partai ia nilai secara rata-rata, tidak baik, tetapi juga tidak kurang. Ketiga, “the leniency and strictness biases”, pilihan politik dilakukan pada dua titik ekstrem, yaitu baik dan buruk. Keempat, cross-cultural biases, pilihan politik dilakukan atas dasar pertimbangan budaya. Kelima, “personal prejudice”, pilihan politik didasarkan atas purbasangka. Keenam, “the regency effect”, pilihan politik didasarkan pada pengalaman terakhirnya dalam berhubungan dengan Parpol. Karena itu, melihat kondisi yang demikian, tantangan berat bagi Parpol adalah memperbaiki citra Parpol tersebut agar kepercayaan masyarakat menjadi pulih kembali, termasuk soal kader-kader yang bermasalah dengan hukum. Di Indonesia terutama dalam era reformasi, beberapa pengamat politik dan politisi Parpol mulai memperkenalkan pendekatan dan teori pencitraan tentang Parpol dalam kaitannya dengan perolehan suara pemilih dalam Pemilu. Teori pencitraan didukung kalangan khususnya teoritisi komunikasi politik dan umumnya ilmu politik meyakini penggunaan teori pencitraan terhadap Parpol dapat memiliki peran atau memberi kontribusi di dalam menentukan proses demokratisasi. Dalam perkembangannya, teori pencitraan diperkuat dengan kemunculan teori pemasaran politik (political marketing) didukung kalangan khususnya teoritisi manajemen pemasaran dan umumnya ilmu ekonomi. Pendukung teori pemasaran politik juga meyakini, penggunaan pemasaran politik memiliki kontribusi atau peran di dalam menentukan proses demokratisasi. Citra (image) adalah salah satu asset terpenting Parpol. Citra Parpol positif atau baik di mata publik bergantung pada pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik tentang Parpol dan pada gilirannya dapat mendorong publik untuk mendukung dan memberikan suara kepada Parpol tersebut dalam Pemilu. Untuk menciptakan pengetahuan, kepercayaan dan persepsi publik ini diperlukan komunikasi politik melalui kegiatan seperti pemberitaan dan iklan politik di media massa, pampflet, bulletin, selebaran, press release atau konferensi press di surat kabar, media elektronik, dialog interaktif atau dialogis di radio-radio dan televisi, dll. Politik pencitraan ini memperkuat kesadaran Parpol akan pentingnya fungsi dan strategi kehumasan Parpol secara tepat mampu menjembatani komunikasi politik efektif antara Parpol dan konstituen. Fungsi dan peran kehumasan dinilai penting oleh Parpol, termasuk juga penggunaan jasa konsultan kehumasan turut membantu merancang strategi komunikasi Parpol ditujukan untuk kepentingan publik maupun kegiatan kampanye. Di Indonesia perkembangan politik kepartaian sejak Pemilu tahun 1990-an ditandai dengan kesadaran akan upaya kehumasan tampak tidak hanya terfokus pada kegiatan kampanye dengan metode orasi di tengah lapangan, namun lebih pada komunikasi politik melalui berbagai media massa. Karena berdasarkan riset tentang pengaruh pesan disampaikan Parpol melalui media masa memiliki nilai signifikan terhadap keputusan memilih masyarakat, meskipun ini memang bukan satu-satunya faktor. Parpol tidak hanya memanfaatkan jasa Konsultan kehumasan, juga membuat media khusus untuk mengkomunikasikan visi, misi dan program Parpol. Selain itu, ada Parpol mempunyai website sebagai kelengkapan instrumen kampanye. Semua informasi Parpol disajikan secara detil di website tersebut. Teori pencitraan Parpol pada umumnya menggunakan pendekatan pemasaran politik. Pemasaran politik (political marketing) adalah ilmu baru mencoba menggabungkan teori-teori marketing dalam kehidupan politik. Sebagai cabang ilmu, pemasaran politik masih tergolong baru namun telah menjadi popular dalam ranah politik di negara demokrasi industri maju. Parpol berlomba-lomba memanfaatkan ilmu ini untuk strategi kampanye baik untuk mendapatkan dukungan politik dalam Pemilu maupun memilihara citra sepanjang saat dalam jeda Pemilu. Konsep inti pemasaran adalah bagaimana transaksi diciptakan, difasilitasi dan dinilai. Transaksi adalah pertukaran nilai antara dua pihak, juga terjadi saat seseorang menukarkan dukungannya dengan harapan mendapatkan pemerintahan lebih baik. Konsep pemasaran politik merupakan kegiatan memasyarakatkan ideologi politik, tokoh politik, perjuangan politik telah lama dipraktekkan di Negara demokrasi maju seperti Amerika Serikat. Semula menempatkan arti penting radio kemudian televisi sebagai medium komunikasi mampu membantu pemirsa menentukan pilihan. Chaterin Shaw dalam The Campaign Manager Running and Winning Local Election (2004), mengutip hasil studi “Americans Speak Out About the 2000 Campaign”, diselenggarakan oleh The Centre for Congressional and Presidential Studies at American University. Hasil studi menunjukkan 74 % yang diwawancarai percaya bahwa radio adalah sumber penting informasi politik. Banyak warga mendengar radio tatkala dalam perjalanan pergi atau pulang dari tempat pekerjaan sehari-hari. Sementara televisi memiliki jangkauan luas, terutama di kawasan perdesaan (rural areas). Melalui logika pemasaran politik, kedekatan Parpol dengan konstituen dan massa mengambang tetap terjaga setiap saat. Tercipta pendidikan politik masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai subyek politik, bukan obyek politik sebagaimana disikapi pada saat kampanye Pemilu saja. Logika pemasaran politik menghindari keterputusan hubungan Parpol dan masyarakat konstituen. Pendekatan pemasaran politik menggunakan teori-teori mengenai perilaku konsumen. Pendekatan ini digunakan karena saat menggunakan hak pilihnya, pemilih melakukan pengambilan keputusan untuk mempertukarkan hak suaranya dengan pilihan terhadap Parpol tertentu sama seperti perilaku konsumen mempertukarkan uang untuk membeli barang/jasa tertentu. Pendekatan pemasaran politik memperkirakan, individu berperilaku berdasarkan keingingan untuk terikat dengan perilaku tersebut dan faktor apa saja mempengaruhi keinginan untuk memilih Parpol. Penerapan pendekatan pemasaran memungkinkan Parpol mengetahui apa secara siginifikan mempengaruhi keinginan untuk memilih Parpol dan memasarkan Parpol secara tepat demi mendapatkan suara pemilih. Pendekatan pemasaran politik juga percaya, keinginan untuk memilih Parpol signifikan dipengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung, oleh sikap terhadap Parpol dan norma subyektif interpersonal. Pengaruh sikap terhadap Parpol signifikan karena orang mengidentifikasikan diri terhadap Parpol, bukan terhadap pemimpin. Pengaruh sikap terhadap Parpol secara langsung lebih tinggi dibandingkan pengaruh secara tidak langsung. Pemilih tidak terlalu memperhatikan atribut Parpol seperti visi/misi/program atau isu. Pemilih lebih menekankan pada perasaan simpati, senang dan bangga terhadap suatu Parpol dalam memilih. Kepercayaan ini semakin menguat jika digunakan menganalisis masyarakat memiliki karakteristik menekankan harmonisasi dan kedekatan antar anggota masyarakat seperti di Indonesia. Yakni sosialisasi politik sudah berlangsung sejak individu belum mempunyai hak pilih dan juga terjadi pada saat individu bersama keluarga, teman, di tempat kerja, bahkan di kedai kopi. Bagi pendukung pendekatan pemasaran politik, ada sejumlah alasan mengapa penting menggunakan pemasaran politik bagi parpol. Pertama, politisi Parpol percaya telah terjadi pergeseran paradigm pemilih dari paradigma ideologis menjadi paradigma pragmatis. Masyarakat cenderung melihat program kerja ditawarkan oleh Parpol dibandingkan dengan alasan ideologis. Hal ini terlihat dari fenomena semakin membesarnya persentase pemilih non-partisan dan juga masa mengambang. Pemilih non-partisan yakni kelompok pemilih tidak menjadi angota atau mengikat diri secara ideologis dengan Parpol tertentu. Di samping itu, adanya persaingan politik dan sistem multipartai dianut serta semakin kritis masyarakat dalam memilih Parpol. Parpol dituntut menjadi lebih kreatif dalam menganalisis permasalahan negara dan rakyat. Parpol paling bagus menyusun program kerja mempunyai peluang lebih besar memenangkan perolehan suara pemilih dalam Pemilu. Agar menganalisis permasalahan dan menyusun program kerja bagus, maka dilakukan polling dan berbagai kegiatan riset lain. Riset merupakan kebutuhan penting untuk pemetaaan permasalahan, segmentasi pemilih dan pemetaan program kerja. Lebih jauh pemasaran Parpol harus didukung oleh riset kuat mengangkut aspirasi masyarakat aktual. Kemampuan mengidentifikasikan permasalahan daerah untuk diketengahkan sebagai permasalahan kampanye di daerah tertentu, memungkinkan Parpol bersangkutan menumbuhkan citra sebagai organisasi politik peduli pada kebutuhan aktual daerah. Indonesia sedang mengalami transisi dari otoriter menuju demokrasi, implementasi pemasaran politik oleh parpol merupakan fenomena baru dan masih dilaksanakan secara parsial, bahkan seringkali tanpa disadari Parpol telah melaksanakan praktek pemasaran politik dalam berkomunikasi dengan komunitas konstituen dan masyarakat umum. Di Indonesia pemasaran politik mulai dikenal tetapi belum meluas dalam ranah politik maupun kajian akademis. Kegiatan politik Parpol disadari atau tidak Parpol telah melakukan serangkaian kegatan ini sebagai missal pengumpulan massa (temu kader, tabligh akbar dan deklarasi), pawai di jalan-jalan, liputan media cetak (TV, Koran, Majalah, Radio, dll) atas kegiatan Parpol sampai ke kunjungan wakil-wakil parpol ke komunitas konstituen maupun komunitas tertentu telah biasa dilakukan, Intenstitas interaksi Parpol dan masyarakat sering hanya terjadi pada waktu menjelang Pemilu melalui pelaksanaan kampanye. Pada masa ini Parpol berlomba-lomba menawarkan produk politik berupa ideologi, gagasan, kebijakan dan rekan jejak. Masyarakat dijadikan seperti “pasar sesaat” atau “pasar kaget” untuk mendengar, melihat dan memilih produk mereka. Di luar “pasar sesaat” ini, komunikasi politik Parpol dengan masyarakat terputus. Akibatnya, Parpol tidak menjalankan fungsi pendidikan politik bagi masyarakat dan pada gilirannya kehilangan daya kritis untuk mengontrol Parpol dan pemerintahan. Karena itu, Parpol menggunakan pendekatan pemasaran politik hanya pada kampanye Pemilu semata. Padahal pendekatan pemasaran politik sendiri sesungguhnya menekankan pentingnya kinerja sebuah Parpol selain kegiatan pemasaran atau pencitraan. Setelah masa Pemilu berakhir, Parpol harus dapat memenuhi janji-janji atau produk politik sudah ditawarkan kepada masyarakat atau pemilih. Pemilih atau masyarakat harus memperoleh kepuasan. Baik teori pencitraan dalam komunikasi politik maupun pendekatan pemasaran politik percaya, ada hubungan erat antara citra parpol dan perilaku pemilih. Penciptaan dan pembentukan pencitraan positif Parpol digarap dan dikelola sedemikian rupa baik sepanjang maupun pasca kampanye. Untuk menciptakan pengetahuan dan persepsi masyarakat ini diperlukan komunikasi politik. Dalam perkembangannya, teori pencitraan mendorong Parpol untuk melakukan komunikasi politik melalui media massa, terutama radio, televisi dan media cetak karena luas jangkauan jauh lebih luas ketimbang sarana-sarana komunikasi politik lain. Pesan dan informasi politik Parpol lebih mudah menjangkau rumah-rumah pemilih dalam Pemilu melalui media massa ini ketimbang melalui komunikasi interpersonal dengan kader-kader Parpol pada strata masyarakat bawah umumnya di daerah perdesaan (rural areas) Penggunaan media massa sangat penting dalam proses kampanye dan sosialisasi politik dalam Pemilu. Dalam konteks politik modern, media massa bukan hanya menjadi bagian integral dari politik, tetapi juga memiliki posisi sentral dalam politik. Media massa merupakan saluran komunikasi politik banyak digunakan untuk kepentingan menyebarluaskan informasi, menjadi forum diskusi publik dan mengartikulasikan tuntutan masyarakat beragam. Semua itu dikarenakan sifat media massa dapat mengangkut informasi dan citra secara massif dan menjangkau khalayak begitu jauh, beragam dan luas terpencar. Media menjadi kekuatan bisa menyatukan dan menggiring opini masyarakat kepada salah satu Parpol peserta pemilu dengan memberikan arah ke mana mereka harus berpihak dan prioritas-prioritas apa harus dilakukan. Media massa dapat memberi semangat, menggerakkan perubahan dan memobilisasi masyarakat untuk memberikan suara dalam Pemilu. Media massa merupakan wahana komunikasi dapat menembus batas ruang dan waktu. Bahkan para ilmuwan komunikasi politik menekankan, dalam perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini, media massa memungkinkan jutaan orang di seluruh dunia untuk berhubungan dengan hampir setiap pelosok dunia. Penggunaan media massa mampu menyampaikan dan mengenalkan visi, misi dan program kerja Parpol kepada publik secara luas. Komunikai politik melalui media massa dapat diarahkan kepada audiens relatif besar dan heterogen, sekaligus berfungsi sebagai sarana untuk menggerakkan, mengukuhkan, memperkuat atau mengubah sikap dan kepercayaan/nilai seseorang untuk memberikan suara kepada Parpol tertentu. Peran media massa dalam kampanye Pemilu menjadi sangat penting. Namun, ada sejumlah kritik atas teori pencitraan menggunakan media massa, antara lain: 1. Mengkhawatirkan kepercayaan bahwa pengaruh media massa tergolong besar terhadap perilaku pemilih dalam Pemilu. Mereka sebaliknya percaya, pengaruh media massa tergolong sangat kecil dalam mengubah sikap dan perilaku pemilih. Media massa hanya mampu dalam tataran memperkokoh sikap dan perilaku telah ada, bukan mempengaruhi untuk mengubah sikap dan perilaku tersebut. 2. Media massa bukanlah segala-galanya. Jika orang ingin memperkenalkan Parpol memang media massa merupakan sarana komunikasi paling tepat. Jadi sebagai sarana pengenalan Parpol media massa memang sangat efektif. Apalagi di saat masyarakat harus memilih salah satu di antara puluhan Parpol berebut kursi dalam Pemilu. Namun, mereka mengakui juga bahwa media massa memiliki pengaruh besar dalam kampanye Parpol dikaitkan dengan segmen pemilih nonpartisan dan “massa mengambang”. Namun, untuk negara-negara terbelakang seperti Indonesia, kegiatan media massa ini akan berpengaruh jika mendapatkan sikap positif dari pemuka masyarakat (opinion leader) atau “lembaga mediasi”. Strategi kampanye Parpol ideal adalah penggabungan pemanfaatan media massa dengan strategi komunikasi antar peribadi Parpol dan pemuka masyarakat atau “lembaga mediasi” (strata klas menengah bawah). Lembaga mediasi pada umumnya berdomisili dan hidup sehari-hari di lingkungan pedesaan atau lapisan akar rumput. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik tergolong rendah dibandingkan klas menengah dan atas. Media massa dapat mempengaruhi kebanyakan pemilih akar rumput (lapisan bawah) masih membutuhkan “medium”, dinamakan lembaga mediasi. Lapisan akar rumput sesungguhnya belum dapat dibiarkan sendiri untuk memformulasikan prakarsa dan aspirasi politik serta kemudian mengaktualisasikan sebagai suatu kebijakan. Struktur mediasi merupakan sarana vital untuk mewujudkan keberhasilan komunikasi politik di lapisan akar rumput.. Karena itu, di Indonesia misalnya, agar komunikasi politik melalui media massa bisa efektif, maka sasaran utama Parpol seyogyanya adalah lembaga mediasi di tingkat Kabupaten/kota/kecamatan. 3. Dana atau biaya dibutuhkan untuk menggunakan teori pencitraan untuk perolehan suara pemilih Parpol melalui iklan politik di media massa (radio, televisi dan media cetak) adalah jauh lebih besar ketimbang penguatan kelembagaan melalui komunikasi interpersonal, kegiatan pendidikan politik dalam bentuk pelatihan, lokakarya (workshop) atau temu kader di tengah-tengah masyarakat pemilih. Juga dibandingkan dengan pembentukan dan penyediaan struktur organisasi dan personil/kader di tingkat perdesaan atau lapisan masyarakat strata bawah, biaya diperlukan untuk pemasangan iklan di media massa jauh lebih besar. Penggunaan media massa terutama radio, televisi dan media cetak sesungguhnya dapat mengabaikan fungsi Parpol sebagai sarana pendidikan politik anggota dan rakyat. Bisa jadi fungsi Parpol sebagai sarana pendidikan politik sebagaimana diamanatkan peraturan perundang-undangan menjadi tidak relevan karena dipercaya bahwa perolehan suara pemilih lebih ditentukan oleh pesan dan informasi disampaikan melalui media massa, bukan komunikasi politik “interpersonal” Parpol dan rakyat. 4. Pernyataan mengkhawatirkan: bagaimana bila kepuasan masyarakat diperoleh melalui pencitraan dan bukan hasil nyata? Penekanan berlebihan pada teori pencitraan dapat menimbulkan pemahaman negatif. Masuknya teori pencitraan melalui kegiatan komunikasi politik intensif dipandang sebagai alat untuk melengkapi hasil kerja yang tidak maksimal, atau bahkan mungkin tidak adanya hasil kerja. Dalam menjalankan fungsi Parpol, komunikasi politik atau politik pencitraan berfungsi untuk menginformasikan pekerjaan Parpol telah dilakukan, bukan menciptakan “ilusi keberhasilan”. Parpol harus memperoleh kepercayaan masyarakat bukan dengan ilusi keberhasilan tetapi dengan hasil nyata. 5. Realitas obyektif era reformasi di Indonesia menunjukkan, teori pencitraan digunakan hanya untuk mempengaruhi pemilih agar memberikan suara kepada Parpol, bahkan dalam batas-batas tertentu teori pencitraan digunakan untuk menutup-nutupi “politik uang” atau “pembelian suara” di tingkat daerah maupun nasional. Teori pencitraan digunakan semata untuk menghindar dari penyingkapan perolehan suara pemilih melalui politik uang. Teori pencitraan semula diyakini dapat berperan dan memberi kontribusi positif, justru menjadi kontra terhadap proses demokratisasi. Maknanya adalah teori pencitraan digunakan untuk memperkuat politik kartel dalam kehidupan kepartaian. C. TEORI OLIGARKI Sebaliknya, terdapat beberapa kritik mendasar, umumnya menilai kiprah Parpol secara substansial tidak demokratis dan tidak berperanan sebagai pilar/komponen strategis/aktor demokrasi tetapi justru anti demokrasi, lebih mengutamakan kepentingan elite, tidak merealisasikan janji dan program dikampanyekan dalam Pemilu. Beberapa teori tentang Parpol telah digunakan mengkritik kiprah Parpol, antara lain teori oligarki dan teori politik kartel. Teori oligarki ini sesungguhnya sudah lama digunakan para ilmuwan politik dalam menganalisis politik kepartaian, antara lain Daniel Dhakidae dalam Partai-Partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004-2009 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004). Daniel menujukkan kecenderungan oligarkis dalam sistem kepartaian Indonesia. Kecenderungan oligarkis dari hari ke hari semakin nyata bila Parpol memerintah diperiksa dengan seksama. Pertama adalah konservatisme atau lebih tepat neo-konservatisme, bukan saja dalam pengertian mengabaikan nilai-nilai dibela pada masa reformasi akan tetapi semakin kuat gerak balik untuk membela Parpol demi kepentingan Parpol. Neo-konservatisme memaksa Parpol untuk mengadakan re-aliansi antara Parpol di tengah adanya perpecahan. Dua gerak di atas, lanjut Daniel, hampir-hampir dengan sendirinya menunjukkan adanya perkembangan menuju oligarki. Parpol semakin menjadi birokrasi dalam dirinya sendiri dan untuk dirinya sendiri sedangkan pejabat Parpol di luar dan di dalam parlemen semakin menjadi birokrat. Parlemen terlepas dari para pemilih yang juga tidak berdaya lagi mengontrol karena tidak mampu juga mengontrol Parpol pilihannya dalam Pemilu. Parlemen dirubah menjadi mesin pemilih birokrat. Daniel kemudian mempertanyakan: “apakah ada gunanya disebut sebagai demokrasi dan terutama demokrasi perwakilan bila wakil-wakil secara terencana melepaskan yang diwakili, pemegang mandat meninggalkan pemberi mandat?” Teori oligarki menunjukkan kiprah Parpol lebih mengutamakan kepentingan elite Parpol, bukan konstituen/pemilih, apalagi rakyat kebanyakan. Reformasi dan demokratisasi di Indonesia gagal menghentikan kecenderungan oligarki untuk muncul ke permukaan. berlaku hanyalah apa banyak pengamat politik menyebut sebagai demokrasi “prosedural” di mana faktor kelembagaan (organisasi) menempati kedudukan sentral . Reformasi dan demokratisasi di Indonesia telah menciptakan demokrasi prosedural, gagal membawa bangsa ini ke arah kehidupan lebih baik. Substansi demokrasi menghandalkan meluasnya partisipasi rakyat sebagai refleksi kedaulatan di tangan rakyat justru dikebiri dalam “ritual demokrasi” atau istilah populernya “pesta demokrasi” lima tahun sekali (Pemilu). Runtuhnya rezim outoritarian Orde Baru Soeharto ternyata tidak otomatis melahirkan pemerintahan demokratis mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Yang terjadi adalah “demokrasi prosedural”, pemasungan kedaulatan rakyat. Pemilu hanya sebagai kegiatan ritual lima tahunan. Rakyat hanya bisa menggunakan kedaulatan mereka di bilik suara selama lima tahun sekali. Demokrasi prosedural ini tidak mampu menjawab tantangan kemiskinan dan keterbelakangan rakyat sementara peradaban terus bergerak cepat. Teknologi informasi melekat dalam globalisasi telah pula membentuk cara pandang baru. Praktek demokrasi prosedural sekarang berlaku, dipercaya oleh para kritisi politik, tidak akan pernah melahirkan elite politik benar-benar mampu melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan atau memenuhi kepentingan rakyat kebanyakan. Elite politik produk demokrasi prosedural hanya mampu melindungi kepentingan elite politik itu sendiri, termasuk pemilik kapital (kaum kapitalis) dalam negeri maupun internasional (asing). Sejumlah UU hasil DPR era reformasi telah dijadikan bukti bahwa Parpol di DPR lebih mengutamakan kepentingan kaum kapitalis dan korporasi asing. Demokrasi prosedural ini juga diyakini telah menempatkan Parpol sebagai peserta elite kepemimpinan pada hakekatnya justru melanggengkan kesenjangan sosial atau perbedaan klas atas sekitar 10 % dan klas bawah sekitar 90 %. Elite politik baik anggota legislatif, eksekutif dan yudikatif bisa menikmati kedaulatan sebagai orang-orang terpilih sepanjang hari, bahkan memiliki hak imunitas, pengelolaan akses sumber daya, beragam otoritas/kewenangan dan hak-hak istimewa. Rakyat hanya bisa menggunakan kedaulatan mereka di bilik suara selama lima tahun sekali. Semua itu menjadi absah setelah rakyat memberikan pilihan di bilik suara dalam Pemilu. Kedaulatan rakyat dideligasikan sebagai hak tetap selama lima tahun ke Parpol dan lembaga perwakilan. Sesungguhnya dinamika Parpol selalu ditentukan oleh faktor intelektualitas, finansial, dan kepemimpinan. Dalam kenyataannya, di era demokrasi prosedural ini, ketiga faktor ini selalu direpresentasikan oleh elite, bukan oleh massa atau rakyat kebanyakan dengan kemampuan beragam, menyebabkan Parpol jatuh ke dalam kekuasaan oligarki. Adalah Parpol menyebabkan lahirnya kedaulatan para wakil atas pemilih, diberi mandat atas pemberi mandat, para delegasi atas pemberi delegasi. Siapa bicara Parpol, bicara oligarki. Parpol adalah pertarungan tanpa henti antara kepentingan massa dengan kepentingan elite. Oligarki tidak hanya terjadi di internal Parpol tetapi juga di antara Parpol berkuasa. Kontrol terhadap dominasi politik dilakukan melalui birokrasi oligarki untuk menjadikan Parpol sekadar mesin pendulang suara pemilih dan konstituen. Salah satu contoh kiprah Parpol oligarki yakni proses nominasi dan pencalonan legislatif, fenomena oligarki begitu kental. Fenomena ini merupakan warisan otentik dari struktur otoriter Orde Baru mengharamkan partisipasi rakyat, menghalalkan “massa mengambang” di tingkat Kecamatan ke bawah, dan menghalalkan mobilisasi oleh negara beserta agen-agennya seperti birokrasi sipil dan militer. Para politisi Parpol era reformasi terperangkap ke dalam kecenderungan oligarki baru, struktur dan kepemimpinan Parpol merupakan duplikasi dari struktur tradisi sosio-kultural lokal. Kesempatan rakyat menjadi faktor determinan dalam proses politik telah dibuka melalui gerakan reformasi acapkali terbelenggu oleh struktur dan paham masyarakat Indonesia masih patrimonial dan feodalistik. Paham masyarakat ini merupakan sumber berkembangnya sikap dan perilaku koruptif. Karena itu, bagi kritisi politik menggunakan teori oligarki ini menekankan, demi percepatan proses demokratisasi di Indonesia, masyarakat pro demokrasi harus selalu menggugat perilaku feodalistik ini. Bahkan, harus berani menghardik agar korupsi tidak terus berjalan, dan reformasi harus terus berjalan. Sementara itu, berbagai instrumen demokratis direkayasa untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses politik pada akhirnya hanya menjadi proforma birokratis justru menjustifikasi berulangnya praktik oligarki dalam kehidupan Parpol. Kiprah Parpol tidak melakukan institusionalisasi politik sebagai kata kunci dalam demokratisasi. Parpol tidak mampu menyumbangkan inovasi politik untuk kebangkitan sebagai kekuatan pro demokrasi. Pengurus Parpol dominan menganut pragmatisme, dan menjadikan politik transaksional menjadi norma baku. Dominan Parpol memiliki pragmatisme kekuasaan, misalnya merapat ke kekuasaan Istana (Presiden) demi beberapa jabatan dan konsesi politik. Pragmatisme telah menjadi norma bagi Parpol tanpa peduli eksistensi (keberadaan) di masa depan, kemungkinan bisa berkembang atau menang lagi. Kiprah Parpol di tingkat nasional dan juga daerah tanpa harus konsisten dan bertanggungjawab atas janji-janji kampanye Pemilu. Perilaku membeli suara atau fenomena “kedaulatan uang”, bukan kedaulatan anggota, menjadi ”dimaklumi” baik dalam Pemilu maupun Kongres/Muktamar/Munas Parpol. Amat sangat sedikit pengurus Parpol dalam Kongres, misalnya, memberikan apresiasi pada visi dan misi dari kandidat/calon Ketua Umum Parpol bersangkutan. Juga sangat sedikit memiliki kesadaran kolektif untuk memilih berdasarkan pertimbangan non-material. Memberikan suara untuk kandidat/calon Ketua Umum Parpol hanya bermodal visi dan misi menjadi tindakan percuma sekalipun memberikan sinyal tidak bagus bagi konstituen dan pemilih pada umumnya. Kedaulatan uang menyebabkan kebutuhan finansial bagi Parpol menjadi sangat besar karena kerja kolektif Parpol tidak digerakkan oleh semangat bekerja untuk publik/konstituen, namun lebih karena dana. Tanpa dana, maka hampir dapat dipastikan Parpol di banyak daerah akan melakukan “hibernasi” politik sampai menjelang Pemilu berikutnya. Hibernasi politik bermakna Parpol tidak melakukan kegiatan politik apa-apa (bagaikan tertidur sepanjang musim dingin) di tengah-tengah masyarakat. Investasi elektoral (pemilihan umum) tidak dilakukan dengan kerja-kerja politik tekun sejak sekarang, tetapi tergantung pasokan dana dari pengurus pusat dipimpin oleh pemilik uang banyak (kaya), beberapa diantaranya klas pemodal/atas. Realitas obyektif ini cenderung menghasilkan pimpinan politik jenis tertentu. Orang-orang kaya atau dapat meyakinkan pihak lain untuk melakukan investasi dengan menominasikan dirinya (penggalang dana berhasil) mendominasi personil-personil politik dan pada gilirannya akan mendominasi jabatan-jabatan pimpinan politik. Selain itu, sulit pula menerapkan kontrol publik terhadap realitas obyektif Parpol semacam itu. Hasil negatif lainnya, penyandang dana kaya dapat menyandera Parpol. Penyandang dana kaya menentukan apa terjadi di dalam Parpol. Mereka bisa jadi terlibat melatih personil-personil politik Parpol, dan memilih pimpinan dan kandidat-kandidat Parpol. Menguatnya pragmatisme dan kedaulatan uang tidak didukung dengan pelembagaan pendanaan mandiri oleh anggota, simpatisan atau konstituen, Parpol menjadi tergantung pada para oligarch maupun financiers (pendana) untuk menjamin berjalannya roda atau mesin kegiatan Parpol. Pada akhirnya, Parpol tersebut menjadi pelindung kepentingan bisnis atau bahkan sekadar alat politik dari klas pemilik modal/atas (oligarch dan financiers). Parpol besar hasil Pemilu 2009 dan juga Pemilu 2014 sangat mungkin telah dan sedang mengalami nasib sama karena kepemimpinan sekarang ini bermula dari dan beroperasi dalam pragmatisme kental. Kongres/Muktamar/Munas Parpol tidak menghasilkan inovasi dan kreativitas menyegarkan bagi kehidupan politik kepartaian. Adalah suatu kesalahan bagi Parpol keberadaannya terancam karena tidak mampu keluar dari cengkaraman kaum oligarki baik di pusat maupun daerah. Di tingkat daerah, setidaknya ada 3 (tiga) bentuk penyalahgunaan wewenang. Pertama, wewenang dalam memilih Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota). Parpol bisa melakukan tawar-menawar dengan Calon/kandidat, dan bagi Calon bisa memberi konsesi ekonomi politik, Parpol dimaksud akan memilihnya. Kedua, wewenang melakukan penilaian Laporan Pertanggungan Jawaban (LPJ) Kepala Daerah (Gubernur,Walikota dan Bupati), baik tahunan maupun di akhir jabatan di legislatif (DPRD. Parpol bisa melakukan tindakan ilegal dengan Kepala Daerah menghendaki LPJ diterima. Ketiga, wewenang menyusun anggaran belanja daerah (APBD). Parpol bisa seenaknya menyusun APBD. Kiprah Parpol semacam ini tidak lepas dari perilaku oligarki, dikendalikan sejumlah kecil elite. Kecenderungan itu, misalnya, terlihat pada model Parpol masih sentralistis memungkinkan pucuk pimpinan Parpol menggerakkan agenda tanpa perlu berpikir apakah agenda itu dikehendaki anggota/konstituen atau tidak. Semua keputusan Parpol tunduk pada perintah Ketua Umum. Teori oligarki ini menunjukkan kiprah Parpol anti demokrasi karena kedaulatan berada pada elite, bukan massa anggota/konstituen. Kecenderungan oligarki Parpol ini bisa jadi karena antara lain pemilih masih belum sepenuhnya rasional. Dalam menentukan pilihan, pemilih tidak mempertanyakan apakah Parpol telah berusaha menepati janji atau program dikampanyekan dalam Pemilu atau tidak. Pemilih masih melihat figur/tokoh Parpol, bukan konsistensi ideologis Parpol tersebut. Realitas obyektif ini kemudian dianggap membuat Parpol nekat untuk menjauh dari preferensi dan kepentingan pemilih/konstituen. Elite Parpol yakin, pada Pemilu mendatang, pemilih masih tetap memilih mereka. Keyakinan semacam ini semakin menguat tatkala proses Pemilu berlangsung, dapat dilakukan perolehan suara pemilih secara ilegal, yakni memberi uang atau politik uang baik langsung ke kalangan calon pemilih maupun petugas resmi pelaksanan Pemilu di tingkat Desa/Kelurahan atau Kecamatan, Kabupaten/Kota, Propinsi dan bahkan Pusat. Kecurangan dan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan acapkali terjadi atas perbuatan elite parpol tanpa mendapatkan sanksi hukum melalui forum pengadilan. Kebanyakan kasus-kasus kecurangan dan pelanggaran terkait dengan perolehan suara diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), tidak berwenang memberikan sangsi pidana. Peran MK hanya menyelesaikan sengketa perolehan suara. Berdasarkan pengalaman persidangan perkara Pemilu 2009 di MK, pada umumnya perkara disidangkan menyangkut perhitungan suara di tingkat Kecamatan. Jeffrey A. Winters adalah seorang ahli ekonomi politik mempunyai perhatian besar terhadap Indonesia, telah menulis buku berjudul Oligarchy (USA: Cambridge University Press, 2011). Buku ini telah diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia berjudul Oligarki (Jakarta: Gramedia, 2011). Apa yang dimaksud “oligarki”? Buku Jeffrey A. Winter ini mendekati oligarki lewat oligark, dipahami sebagai individu-individu yang diperkuat oleh kekayaan.Oligark bisa menjadi pemilik tunggal atau pemilik yang mengendalikan perusahaan, dan bisa menggunakan perusahaan untuk sarana kekuasaan pribadi. Dalam kondisi tersebut, perusahaan menjadi wahana untuk mendukung kepentingan oligark yang menguasainya. Perusahaan bisa dimiliki dengan cara-cara yang sangat baur dan tak pribadi, juga bisa dijalankan oleh tingkat-tingkat manajerial yang terkadang mencakup pekerja atau negara. Oligark sudah lama sebelum perusahaan ada, dan terus ada meski muncul kapitalisme manajerial dan kepemilikan perusahaan oleh negara (atau pekerja). Perusahaan tidak berdiri sendiri dalam teori oligarki, dan sebaliknya dipandang sebagai saran potensial oligark. Teori oligarki Jeffrey, pusat perhatiannya pada kekuasaan pelaku yang menggunakan sumber daya material di bidang politik dengan efek ekonomi yang penting. Baik oligark maupun oligarki tidak dimaknai melalui cara produksi atau penarikan surplus tertentu. Oligarki juga tidak dimaknai dengan seperangkat kelembagaan tertentu. Karena itu, teori oligarki ini menunjukkan “kebal terhadap reformasi kelembagaan”. Teori oligarki Jeffrey ini berguna untuk menjelaskan teka-teki besar seperti di Indonesia: banyak pandangan bahwa keadaan sudah banyak berubah sejak kejatuhan Soeharto pada 1998, namun sebenarnya keadaan nyaris tidak berubah. Pada 2009, Indonesia dinyatakan sebagai negara paling demokratis dan paling korup di Asia Tenggara. Indonesia ditimpa masalah politik dan ekonomi kronis yang tampaknya makin parah sebagai resiko kelahiran demokrasi. Tetapi, menurut Jeffrey, penafsiran semacam ini justru menggagas bahwa sebenarnya ada dua transisi pada 1998: transisi yang kentara dari kediktatoran ke demokrasi, juga transisi lain yang cukup berbeda dari oligarki sultanistik yang dijinakkkan Soeharto menjadi oligarki kekuasaan yang belum dijinakkan semenjak jatuhnya Soeharto. Transisi kedua itulah yang tidak kurang penting dibandingkan yang pertama, yang menjadi sumber banyak kesulitan di Indonesia. Penjelasannya hanya bisa didapat melalui suatu teori yang mampu meneliti kekuasaan dan politik oligarki. Berdasarkan teori oligarki ini, Jeffrey menilai bahwa keadaan Indonesia sering disalahtafsirkan sebagai masalah “kualitas demokrasi” berupa munculnya “demokrasi kriminal” di mana para oligark menggunakan kekayaan mereka untuk bersaing secara tidak adil untuk mendapatkan jabatan, dan mengalahkan hukum ketika bermasalah akibat korupsi atau bencana. Pertahanan kekayaan dan harta sebagai tujuan utama oligarki tidak hilang hanya karena tugas mengamankan posisi material oligark bergeser keluar dari tangan mereka. Para oligark bisa menyesuaikan diri dengan perubahan tatanan pengamanan kekayaan terhadap ancaman. Jeffery melalui buku ini menggagas bahwa cara demokrasi ditangkap dan dipelincir sejak kejatuhan Soeharto paling baik dijelaskan dengan teori oligarki matrialis. Tidak ada pertentangan inheren antara oligarki dan demokrasi, maupun antara oligarki dan cara produksi apa pun. Indonesia paling tepat dijabarkan sebagai demokrasi kiminal di mana para oligark secara teratur ikut serta dalam pemilihan mum sebagai alat berbagai kekuasaan politik, sambil menggunakan kekuatan kekayaan mereka untuk mengalahkan sistem hukum dengan intimidasi dan bujukan. Bangsa Indonesia sekarang lebih bebas, dan para oligarkinya bergerak sendiri-sendiri. mereka menggunakan sumber daya kekuasaan material untuk pertahanan kekayaan dan harta dalam ekonomi politik yang penuh ancaman dan ketidakpastian. Perebutan jabatan tinggi dalam politik juga mendatangkan keuntungan bagi pertahanan ologarkis. Para Oligark pribumi mulai menanamkan sumber daya cukup besar dalam politik partai dan usaha mencapai jabatan tinggi dalam upaya melindungi diri dari ancaman terhadap kekayaan mereka yang bersumber tidak jelas, juga banyak kejahatan lain yang mereka lakukan sebelum dan sesudah Soeharto lengser. Salah satu transformasi terbesar sejak transisi demokarsi adalah bahwa media besar, yang dimiliki para oligark dan digunakan secara luas dalam pertarungan antar oligark, terus menerus berkoar mengenai tingkat korupsi yang kelewatan. Afiliasi partai dan posisi sebagai kandidat untuk jabatan tinggi memperkenankan tertuduh menanggapi tuduhan terhadap dirinya berbau politis. Banyak oligark tertarik terlibat langsung dalam politik agar bisa menggunakan mekanisme penangkis itu—mengeluarkan sumber daya pribadi cukup banyak untuk masuk ke jajaran atas partai-partai yang sudah ada atau mendirikan partai baru, Prestasi partai yang lumayan ( di Indonesia berarti setidaknya terdapat 5 % suara rakyat) bisa berarti jaminan mendapat post cabinet yang menguntungkan atau pembayaran uang berjumlah besar dalam hirup pikuk pembentukan koalisi untuk mendukung Calon Presiden. D. TEORI POLITIK KARTEL Teori politik kartel menggunakan konsep kartel untuk menggambarkan suatu kelompok elite politik dalam hal ini Parpol-parpol, bekerja sama sebagai suatu entitas untuk menjaga kepentingan bersama, ditandai minimnya tautan elektoral (hubungan pemilihan) antara perilaku Parpol dalam Pemilu dan Pemerintahan. Parpol melakukan politik kartel berkewajiban menentang sekaligus membatasi kompetisi (persaingan) dan menghalangi akses bagi Parpol pesaing, dan mendistribusikan atau membagi-bagikan keuntungan kekuasaan politik terhadap sesama anggota kartel (elite Parpol). Para pengguna teori politik kartel telah menunjukkan setidaknya lima karakteristik politik kartel kepartaian, yakni: 1. Menghilangkan peran ideologi. 2. Mengutamakan koalisi, bukan oposisi. 3. Janji-janji tidak direalisasikan. 4. Memperoleh dana illegal. 5. Menghindari penyingkapan korupsi. Teori politik kartel ini menjelaskan model Parpol “kartel” sebagai kelanjutan dari model-model Parpol seperti model Parpol “kader”, Parpol “massa”, Parpol “oligarki”. Dalam literatur ilmu politik, Richard S. Katz dan Peter Mair adalah ilmuwan politik mencoba membangun model Parpol kartel, yakni Parpol “berkolusi” menjadi agen dari negara dan menggunakan sumber-sumber daya negara untuk memastikan kehidupan kolektif mereka sendiri sehingga tetap bisa bertahan (eksis). Terbentuknya Parpol kartel ini memberikan pengaruh terhadap Pemilu, yakni menang atau kalah dalam Pemilu hanya membuat sedikit perbedaan pada tujuan Parpol karena tidak adanya pertarungan besar pada aspek kebijakan, tetapi dapat dibuat perjanjian baik terkait dengan survival Parpol di mana sumber daya banyak berasal dari negara. Bahkan, ketika para pemimpin Parpol kalah dalam pemilihan, mereka tidak menjadi kehilangan kekuasaan karena berkolusi untuk saling berbagi kekuasaan. Salah satu alasan paling digandrungi oleh para pengguna teori politik kartel, Parpol akan cenderung menyandarkan pembiayaan operasionalnya pada dua institusi: negara dan kelompok atau segmen masyarakat mampu membiayainya (sebagian besar Pengusaha), pada dasarnya berasal dari “pemburu rente”. Parpol secara kolektif memiliki kepentingan untuk menjaga kelangsungan hidup mereka, yakni untuk membiayai kegiatan politik. Untuk keperluan memobilisasi dana politik itulah mereka bersama-sama melakukan “kolonisasi” terhadap Kabinet/Pemerintah dan kepemimpinan DPR karena posisi-posisi itu menyediakan rente ekonomi. Hal ini juga disebabkan ketidakmandirian Parpol dalam menggalang dana dari anggotanya. Ketidakmandirian menyebabkan ketidakmandirian pula dalam hal ikhwal bersifat strategis. Parpol mungkin hanya ditunjang oleh beberapa konglemerat (pemburu rente) dan sekelompok simpatisan Parpol membuat keputusan Parpol tidak bisa lepas dari koridor kepentingan politik tertentu. Acapkali terjadi “perkawinan politik” antara pengusaha (pemburu rente) dan penguasa/politisi Parpol. “Pemburu rente” adalah suatu konsep dalam perspektif ekonomi rente, semula dikembangkan oleh ekonom Gordon Tullock dalam Theory of Economic Rent-Seeking. Menurut Tullock, ekonomi rente cenderung terjadi pada mereka memegang kendali struktur monopoli. Di sektor ekonomi mereka memonopoli sumber daya, distribusi dan pasar sementara di sektor publik menjadi pengontrol kebijakan di pemerintahan (eksekutif dan legislatif). Di Indonesia fenomena ekonomi-rente pernah diuraikan oleh Yoshihara Kunio dalam karyanya The Rise of Ersatz Capitalism in Southeast Asia. Kunio menganalisis fenomena ekonomi atau pemburu rente di Indonesia. Dijelaskan, praktek kapitalisme semu (ersatz capitalism) di Indonesia menimbulkan tumbuhnya pemburu rente di kalangan birokrat/pemerintah sehingga pelaku usaha sesungguhnya tidak bisa berkembang. Kehadiran kapitalis di Indonesia karena adanya orang-orang punya kedekatan dengan penguasa (personal contact) dan cenderung membangun industri berdasarkan kedekatan keluarga, bukan berdasarkan pada profesionalisme industrialis. Ekonomi rente telah mewujud dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan antara oknum pengusaha menyediakan modal domestik maupun asing dengan pejabat/penguasa menyediakan fasilitas, insentif dan proteksi. Pengusaha memperoleh keuntungan berupa murahnya sumber daya, mudahnya akses atas informasi dan opportunity diperoleh melalui kebijakan dikeluarkan untuk itu sementara penguasa/pejabat memperoleh keuntungan dalam imbalan suap, kolusi dan korupsi. Berdasarkan uraian ekonomi rente di atas, istilah “pemburu rente” dimaksud adalah pelaku usaha melakukan kegiatan untuk mendapatkan pendapatan dengan cara monopoli, lisensi, dan penggunaan modal kekuasaan di dalam bisnis. Pemburu rente memperoleh keuntungan dengan cara bukan persaingan sehat di dalam pasar, namun dengan mengundang kekuasaan atau mempengaruhi kekuasaan untuk mengambil dari suatu nilai tidak dikompensasi. Pemburu rente ini acapkali terlibat dalam pembuatan regulasi (peraturan peundang-undangan) ekonomi melalui lobi kepada penguasa di pemerintah (eksekutif dan legislatif). Dalam era reformasi ini, para pemburu rente dimaksud semakin berperan besar dalam politik kekuasaan melalui penguasaan Parpol atau pendudukan posisi-posisi puncak Parpol. Kembali pembicaraan tentang pendanaan Parpol dan munculnya politik kartel karena adanya kepentingan Parpol untuk mengakses sumber dana negara, ada dua sumber dana negara. Pertama, dana budgeter legal memang dialokasikan sebagai bentuk pendanaan publik untuk Parpol. Kedua, dana ilegal merupakan campuran antara dana budgeter dan nonbudgeter, misalnya dana dalam rekening Departemen, rekening Menteri dan rekening Direktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sumber kedua ini dinilai ilegal karena tidak dialokasikan untuk pendanaan Parpol. Kondisi Indonesia sangat memungkinkan terciptanya politik kartel karena besarnya dana negara tersedia dan juga masih banyaknya kelemahan baik secara substansi maupun pelaksanaan peraturan perundang-undangan terkait dengan keuangan Parpol. Politik kartel, menurut penguna teori ini, dibutuhkan oleh para elite politik (Parpol) untuk menghindari adanya penyingkapan terhadap penggunaan dana negara secara ilegal oleh elite politik (Parpol) lain. Para teoritisi politik kartel menunjukkan Parpol berorientasi kepada pembangunan kekuasaan politik melalui uang sehingga Parpol sangat bergantung pada sumbangan dari pihak-pihak pemilik modal. Peran Parpol tidak secara konsisten mengawal proses demokratisasi, tetapi hanya untuk perebutan kekuasaan dan uang. Iuran anggota tidak bisa berjalan dan Parpol tidak mampu mandiri dalam mendanai kiprahnya di masyarakat madani umumnya atau di tengah-tengah kelompok pemilih/konstituen khususnya. Calon anggota legislatif juga harus menyiapkan sendiri uang untuk bisa berkampanye. Seorang pengguna teori politik kartel di Indonesia menggunakan beberapa bukti untuk menjustifikasi hipotetisnya, yakni kasus DKP (Departemen Kelautan dan Perikanan), kasus Buloggate I dan II dan kasus Bank Bali. Kasus-kasus ini dijadikan bukti kecenderungan sifat para elite politik kooperatif, terutama dalam masa-masa Pasca Pemilu, bagaimana uang negara mengalir ke sejumlah Parpol. Ketika akan dapat menjatuhkan elite politik, terjadi kompromi dan diredam di antara elite politik Ada semacam upaya untuk menghindari adanya penyingkapan penggunaan dana ilegal oleh elite politik. Secara garis besar, para pengamat politik menilai kehidupan kepartaian berdasarkan politik kartel ini menyebabkan kerugian atau membawa dampak negatif terhadap kehidupan politik sebagai berikut: 1. Politik berada pada tingkat sangat permukaan dan artifisial, tidak ada lagi hal ikhwal bersifat prinsipil. 2. Politik secara mudah digeser dari perdebatan mendalam tentang kesejahteraan publik ke tawar-menawar kekuasaan, dan kepentingan publik pada akhirnya dapat dibeli. 3. Argumen dan debat politik cerdas dan hilang tergantikan oleh uang dan kekuasaan. 4. Tidak ada jaminan kehendak publik (rakyat) dititipkan kepada Parpol lewat Pemilu akan direalisasikan. 5. Ada keterputusan mandat dari pemilih, dan institusi Parpol lebih dekat dengan negara ketimbang dengan rakyat. 6. Sikap politik pragmatis dan mayoritas Parpol koalisi bertendensi memaksimalkan kekuasaan di tangan Presiden dan juga politik dinasti. 7. Politik hanya menjadi ajang jual beli suara rakyat sebagai alat tukar dalam mendapatkan kekuasaan. 8. Karena ketidakadaan akuntabilitas publik dari Parpol beroposisi, maka kualitas keputusan publik menjadi rendah. 9. Ideologi dan platform tidak lagi substansial karena telah digantikan oleh prinsip oportunisme. 10. Tidak bisa berharap banyak proses politik akan menghasilkan pemerintahan memperhatikan kepentingan publik secara luas. 11. Pada dasarnya tidak akan pernah menjadi Parpol gerakan atau bagian dari gerakan massa, apalagi massa aksi, kecuali Parpol elite hanya akan melakukan kegiatan menjelang dan saat Pemilu saja. 12. Rakyat akan dipaksa untuk menari di atas genderang ditabuh oleh kalangan elite politik (Parpol) lima tahun sekali (Pemilu). 13. Terciptanya iklim anti demokrasi dan pro korupsi karena Parpol menghasilkan keuntungan sendiri, melindungi khususnya tindakan mengambil uang negara secara ilegal dari tindakan para penegak hukum.