Rabu, 05 November 2014

PREDIKSI DAMPAK PENTING DAN KETIDAKPASTIAN PADA ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA

CACATAN; Naskah ini merupakan bahan pembahasan berjudul "Prediksi Dampak Penting dan Ketidakpastian pada Aspek Sosial, Ekonomi dan Budaya pada Pengembangan Profesi Berkelanjutan (PPB). Peserta PPB adalah kalangan pemegang Sertifikat Kompetensi Penyusun AMDAL, dilaksanakan oleh DPN INTAKINDO, Oktober 2014, di Jakarta. ----------------------------------- I. PENGERTIAN DAMPAK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA Dampak sosial, ekonomi dan budaya adalah pengaruh perubahan pada lingkungan sosial,ekonomi dan budaya yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau rencana kegiatan. Mengacu pada studi Amdal di Indonesia, lingkungan sosial,ekonomi dan budaya bermakna komponen lingkungan sosial ekonomi, sosial budaya dan kesehatan. II. DAMPAK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA YANG DIKAJI Mengacu pada World Bank (Bank Dunia), ADB(Asian Development Bankdan JICA, dampak sosial,ekonomi dan budaya yang dikaji seperti: 1. Penanganan pemukiman kembali (involuntary resettlement). 2. Kondisi ekonomi, antara lain: a) Kesempatan kerja. b) Tingkat kehidupan. c) Penggunaan tanah. d) Sumber daya wilayah. 3. Institusi sosial, antara lain: a) Infrastruktur sosial b) Institusi pengambilan keputusan c) Pelayanan sosial. 4. Kelompok sosial yang rentan, antara lain: a) Wanita dan Anak-anak. b) Lapisanmasyarakat miskin. c) Komunitas terpencil. d) penyandang cacat. e) Kelompok minoritas. f) Komunitas suku asli/adat. 5. Keadilan dalam keuntungan dan kerugian serta keadilan dalam proses pembangunan. 6. Gender atau pensikapan terhadap Kaum Perempuan dan Laki-laki. 7. Wilayah memiliki keunikan nilai, Nilai Arkelogis, historis dan budaya Cakar Budaya). 8. Konflik kepentingan di wilayah setempat. 9. Penyakit menular seperti HIV/AIDS. III. ANALISIS DAMPAK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA • Analisis dampak sosial adalah bagian dari Amdal seperti halnya aspek fisik kimia dan biologi. • Analisa dampak sosial, ekonomi dan budaya adalah suatu kajian dilakukan terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat sebagai akibat dari pelaksanaan suatu kegiatan pembangunan di suatu wilayah atau area. • Analisis dampak sosial,ekonomi dan budaya dilakukan untuk menelaah dan menganalisa berbagai dampak terjadi baik positif maupun negatif dari setiap tahapan kegiatan mulai dari tahap pra konstruksi, konstruksi, sampai tahap operasi. IV. KEBERADAAN ANALISIS DAMPAK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA DALAM AMDAL 1. Pengalaman Negara Industri Maju • Pada 1970 AS menetapkan National Enviromental Protection Act (NEPA)—proyek menimbulkan dapat komponen lingkungan Biofisik harus dilengkapi Amdal, namun aspek sosial belum masuk. • Aspek sosial mulai dipertimbangkan tahun 1973 tatakala sebuah lembaga di bidang “Water Resources” milik Pemerintah Federal AS memberi mandat menganalisis dampak pembangunan sumber air pada pembangunan bidang ekonomi, pembangunan daerah, dampak pada kualitas lingkungan dan sosial. • Regulasi mengatur Analisis Dampak Sosial di beberapa negara misalnya AS dan Australia hanya menempatkan aspek sosial sebagai “optional” dan bukan keharusan. 2. Pengalaman Indonesia • Di Indonesia, sistem Amdal memiliki kekhasannya sendiri. Salah satunya yaitu adanya kajian aspek sosial ekonomi dan sosial budaya di dalamnya. Kekhasan ini merupakan keberanian mereka yang terlibat di dalam perumusan aturan Amdal terdahulu. • Aspek sosial adalah bagian tidak terpisahkan dari Amdal sebagaimana tercantum di dalam Bab Pembukaan UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Amdal. Di dalam UU tersebut dijelaskan: Lingkungan hidup merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya dan keadaan dan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. • Di dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga memaknakan bahwa aspek sosial adalah bagian tidak terpisahkan dari AMDAL sebagaimana dijelaskan: Lingkungan hidup adalah kesatuanruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 3. Pengertian Analisis Dampak Sosial Analisis dampak sosial adalah suatu kegiatan pengkajian mengenai dampak sosial baik negatif maupun positif diprediksikan akan terjadi di saat dan setelah rencana kegiatan dilaksanakan. 4. Tujuan analisis dampak sosial adalah antara lain: • Mengidentifikasi dampak penting dari rencana kegiatan berpotensi menjadi sumber dampak terhadap lingkungan sosial. • Mengidentifikasi rona lingkungan sosial terutama akan terkena dampak pada saat pembangunan dilaksanakan. • Mendeskripsikan, mengukuratau memprediksi dampak penting dari kegiatan berpotensi terhadap lingkungan sosial. • Menganalisis kemungkinan pencegahan dan atau pengendalian dampak negatif dan meningkatkan dampak positif agar masyarakat mendapatkan manfaat dari perubahan terjadi. V. PERAN DAN PELIBATAN MASYARAKAT Untuk memahami peran dan pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan Dokumken AMDAL, secara peraturan perundang-undangan dapat mengacu pada • Undang-UndangNomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. • Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan • Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PermenLH) Nomor. 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan. 1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Di dalam Pasal 70Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 berbunyi: 1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2) Peran masyarakat dapat berupa: a. Pengawasan sosial. b. Pemberian saran, pendapat, usul , keberatan, pengaduan. c. Penyampaian informasi dan/atau laporan. 3) Peran masyarakat dilakukan untuk: a. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. b. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan. c. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat. d. Menumbuhkan ketanggapsegaraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial. e. Mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Di dalamPasal 29Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 20 ditentukan bahwa: 1) Pemrakarsa, dalam menyusun dokumen Amdal mengikutsertakan masyarakat: a. Yang terkena dampak. b. Pemerhati lingkungan hidup. c. Yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam peraturan Amdal. 2) Pengikutsertaan masyarakat dilakukan sebelum penyusunan Dokumen Kerangka Acuan. 3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan Berdasarkan PermenLH No. 17 2012 ini, disebutkan bahwa tujuan pelibatan masyarakat adalah: 1) Masyarakat mendapatkan informasi mengenai rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan.Masyarakat telah mendapatkan informasi yang memadai mengenai usulan rencana kegiatan dan dapat berkontribusi dalam proses AMDAL. Setiap penangung jawab rencana kegiatan (pemrakarsa) sebelum melakukan penyusunan dokumen Kerangka Acuan (KA) wajib mengumumkan rencana kegiatan kepada masyarakat antara lain mengenai: a. Deskripsi kegiatan (deskripsi rinci rencana kegiatan, lokasi proyek). b. Dampak lingkungan hidup potensial mungkin terjadi. Pengumuman ditujukan kepada atau harus dapat menjangkau: a. Masyarakat terkena dampak. b. Masyarakat pemerhati lingkungan. c. Masyarakat tang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. 2) Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan tanggapan (SPT) secara tertulis atau melalui proses konsultasi publik yang dilaksanakan oleh Pemrakarsa. • Melalui penyampaian SPT dalam proses konsultasi publikini, masyarakat dapat menyampaikan umpan balik mengenai informasi mengenai kondisi lingkungan hidup dan berbagai kegiatan di sekitar daerah rencana kegiatan, aspirasi masyarakat dan penilaiannya mengenai dampak lingkungan. • Konsultasi publik dapat dilakukan sebelum, bersamaan atau setelah pengumuman rencana kegiatan. Konsultasi publik dilakukan terhadap: a. Masyarakat terkena dampak. b. Masyarakat pemerhati lingkungan. c. Masyarakat tang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. • Bantuk konsultasi publik, mencakup antara lain: a. Lokakarya b. Seminar c. FGD d. Forum dengar pendapat e. Dialog interaktif; dan/atau f. Metode lain yang dapat dipergunakan untuk berkomunikasi secara dua arah. • Konsultasi publik merupakan sarana untuk memilih dan menetapkan wakil masyarakat terkena dampak akan duduk sebagai anggota komisi penilai Amdal. • Masyarakat terkena dampak melalui wakilnya yang duduk dalam Komisi Penilai Amdal terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan. 3) Masyarakat dapat terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan atas rencana kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan. 4) Masyarakat dapat menyampaikan saran, pendapat dan/atau tanggapan atas proses izin lingkungan. VI. PERMASALAHAN KONSULTASI PUBLIK Menurut Ketentuan pengikutsertaan masyarakat dalam AMDAL sebelum penyusunan Dokumen KA. Salah satu sarana pengikutsertaan masyarakat adalah konsultasi publik. Pesertanya adalah Yang terkena dampak; Pemerhati lingkungan hidup; terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam peraturan Amdal. Berdasarkan pengalaman praktek di lapangan, terdapat beberapa masalah dihadapi dalam pelaksanaan konsultasi public. Pertama, Konsultasi publik telah dilaksanakan, para tokoh masyarakat hadir. Tetapi, masyarakat, termasuk warga terkena proyek (WTP), tetap saja menolak secara terbuka (manifest) kehadiran rencana kegiatan/proyek. Kedua, dalam konsultasi publik ada WTP memberi surat kuasa kepada fihak lain termasuk Lawyer/Penasehat Hukum WTP untuk menghadiri acara konsultasi publik. Ada surat kuasa dari WTP kepada Lawyer yang bukan warga di sekitar tapak proyek. Lawyer tersebut memberi saran, pendapat dan tanggapan (SPT) di dalam forum tersebut. Apakah keberadaan Lawyer itu ilegal atau legal?. Kalau ilegal, apakah bisa dilarang untuk hadir dan memberi SPT di dalam forum. Kalau legal, apakah SPT yang disampaikan langsung secara lisan oleh Lawyer, bukan warga, tersebut harus menjadi pertimbangan dalam pembuatan Berita Acara konsultasi publik bersangkutan? Ketiga, BLHD mengajukan nama-nama yang diundang dalam konsultasi publik, bukan diajukan oleh Pemrakarsa/Konsultan.Nama-nama tersebut pada dasarnya Person-person dari masyarakat setempat, namun belum tentu termasuk “berpengaruh” dan WTP.Bagaimana agar BLHD menerima nama-nama yang diajukan Pemrakarsa/Konsultan? VII. BEBERAPA ISSUE STRATEGIS DALAM ANALISIS DAMPAKSOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA 1. Pengadaan Lahan Dalam perencanaan pembangunan dimungkinkan terdapat sebagian atau seluruhnya lahan/tanah milik perorangan atau kelompok (pemerintah/swasta) yang akan digunakan sebagai tapak proyek (rencana kegiatan) sehingga dalam implementasinya akan dilaksanakan pengadaan/pembebasan lahan tersebut. Dalam proses pengadaan lahan dimungkinkan akan menimbulkan dampak terjadinya perselisihan yang membutuhkan penanganan secara komprehensif dengan melibatkan pihak-pihak terkait dengan suatu pendekatan dan cara yang manusiawi dan berkeadilan. Di lain fihak, Pasal 27 ayat 1 UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, proses pembebasan lahannya dilakukan oleh lembaga pemerintah pusat (Badan Pertanahan Nasional). Hal ini membuat Pemda mengalami kesulitan khususnya pengadaan lahan untuk pembangunan fasilitas umum.UU ini bukannya membuat proyek pembebasan lahan semakin sederhana, melainkan semakin rumit dan panjang. Pada umumnya rencana kegiatan (proyek) didanai oleh Donor seperti Bank Dunia dan ADB, issu strategis pengadaan lahan ini mensyaratkan adanya kegiatan LARAP (Land Acquisition and Resettlement Action Plan) atau RK-PTPK (Rencana Kerja Pengadaan Tanah dan Pemukimkan Kembali). LARAP adalah studi pengadaan lahan berupa rencana tindak secara menyeluruh mengenai pengambil-alihan asset untuk kepentingan rencana kegiatan (proyek), besarnya ganti rugi,dan pemukiman kembali Warga Terkena Proyek (WTP). Penyusunan LARAP ini dilakukan masih dalam tahap pra-konstruksi.Maksud dan tujuan Penyusunan LARAP antara lain untuk : a. Mengumpulkan informasi mengenai kondisi sosial dan ekonomi keluarga penduduk yang tanahnya dan/atau asset lainnya terkena rencana kegiatan.. b. Mengetahui persepsi dan aspirasi penduduk setempat atas kehadiran rencana kegiatan. c. Menyiapkan alternatif kebijakan pengadaan tanah, pemukiman kembali dan pemberdayaan warga terkena proyek. d. Menyusun sebuah rencana kerja pengadaan tanah dan pemukiman kembali (resettlement action plan) serta pemberdayaan sebagai pedoman dan upaya terencana bagi proses pelaksanaan pengadaan lahan, pemukiman kembali dan pemberdayaan bagi penduduk yang terkena proyek (WTP). Sedangkansasaran yang ingin dicapai dari kegiatan Penyusunan LARAP antara lain: 1. Terciptanya kondisi lapangan yang siap untuk pelaksanaan fisik proyek dan tidak ada lagi kendala dalam hal pembebasan lahan; 2. Tersedianya dokumen kebijakan mengenai pelaksanaan pengadaan tanah dan permukiman kembali yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah; 3. Adanya kepastian tidak adanya warga yang dirugikan dengan cara memberikan kompensasi yang wajar dan pemulihan kondisi sosial ekonomi Warga Terkana Proyek (WTP). 2. Pemukiman Kembali Kegiatan pemukiman kembali (resettlement) harus dilaksanakan serta kerugian yang menyangkut hajat hidup masyarakat perlu diusahakan untuk dihindari dengan mempertimbangkan berbagai alternative pengendalian.Namun, bila kerugian itu tetap tidak dapat dihindari walaupun telah mempertimbangkan alternative tersebut, langkah-langkah efektif untuk mengurangi dampak dan pemberian ganti rugi dilakukan berdasarkan persetujuan masyarakat terkena dampak. Masyarakat terkena pemukiman kembali dan masyarakat kehilangan mata pencaharian harus diberi ganti rugi secukupnya dan didukung oleh penyelenggara proyek, dll.pada waktu yang tepat. Penyelenggara proyek harus berusaha untuk membuat masyarakat terkena dampak proyek tersebut dapat memperbaiki tingkat kehidupan, kesempatan memperoleh penghasilan dan tingkat produksi atau setidaknya memulihkan tingkat kehidupan mereka seperti sebelum ada proyek.Langkah-langkah untuk mencapai hal ini termasuk menyediakan lahan dan kompensasi material (untuk mengganti kerugian tanah dan harta), mendukung perolehan mata pencaharian alternative yang bersifat tetap dan menyediakan biaya diperlukan untuk relokasi dan membangun kembali komunitas di tempat mereka dipindahkan. Peranserta yang tepat masyarakat terkena dampak dan masyarakat sekitarnya harus diberdayakan mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan dari rencana dalam kasus pemukiman kembali yang harus dilaksanakan termasuk langkah-langkah untuk menghadapi kerugian masyarakat akibat kehilangan mata pencaharian. 3. Konflik Sosial (Manifest) Kegiatan pengambilan keputusan dalam penetapan program pembangunan, pengelolaan keuangan dan kegiatan pengadaan material merupakan kegiatan sangat potensial menimbulkan konflik sosial secara terbuka (manifest) baik vertikal maupun horizontal. Konflik vertical terjadi akibat ketidaksepahaman antara apa yang menjadi tujuan dari masyarakat dengan kebijakan rencana kegiatan yang telah ditetapkan. Konflik horizontal terjadi karena terjadinya sikap pro dan kontra di masyarakat terhadap rencana kegiatan.Selain itu, karena terjadinya penyimpangan dilakukan oleh oknum atau kelompok kepentingan di dalam masyarakat itu sendiri. 4. Marginalisasi Kelompok Perempuan dan Rentan Masih terdapat faktor sosial dan budaya menghambat kaum perempuan dan kelompok rentan lain seperti lansia, janda, diafbel, dan anak-anak untuk berperanserta dalam perencanaan, konstruksi dan operasional rencana kegiatan. Sering kali perencana bekerja melalui elite laki-laki tidak mewakili komunitas keseluruhan, khususnya kaum perempuan.Diperlukan upaya khusus untuk memastikan keterlibatan mereka dalam rencana kegiatan. 5) Komunitas Suku Terasing/Adat, Etnis Minoritas dan Perambah Hutan Hidup Secara Tradisional. Ketika suatu rencana kegiatan diperkirakan akan menimbulkan dampak pada komunitas suku terasing/adat, semua hak mereka dalam hal tanah dan sumber alam harus dihormati sesuai Deklarasi dan Perjanjian Internasional. Usaha dilakukan untuk memperoleh persetujuan dari komunitas suku terasing/adat istiadat didasarkan pada informasi lengkap. 6) Wilayah Memiliki Keunikan Nilai Arkelogis,Historis dan Budaya Issue strategis lainnya terkait dengan dampak rencana kegiatan terhadap keunikan nilai arkelogis,historis dan budaya (cagar budaya).Issue strategis ini perlu dikaji sehubungan dengan pertimbangan lingkungan sosial. Bagi Dinor Seperti WB/ADB/JICA, wilayah memiliki keunikan nilai arkelogis,historis dan budaya termasuk menjadi sensitive dan perhatian utama. Wilayah dimaksud seperti Taman Nasional,wilayah yang dilindungi oleh Negara (wilayah pantai, rawa-rawa, wilayah bagi etnis minoritas atau komunitas suku terasing/adat/terpencildan cagar budaya, dll.yang ditetapkan secara nasionaloleh Pemerintah Pusat) dan wilayah dipertimbangkan termasuk kategori wilayah tersebut. VIII. METODOLOGI 1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam kajian dampak sosial dari rencana kegiatan dapat dilakukan dengan tiga metode: a. Metode Kajian Dokumen Metode kajian dokumen yakni dengan cara mempelajari dokumen perencanaan pembangunan (rencana kegiatan) yang telah disusun sebelumnya. Metode kajian dokumen ini perlu digunakan untuk melihat berbagai potensi issue-issue sosial yang dimungkinkan muncul pada saat pelaksanaan rencana kegiatan. b. Metode Observasi Lapangan Metode Observasi Lapangan dilakukan dengan cara melihat secara langsung obyek yang menjadi issue sosial berdasarkan kajian dokumen. Cara ini dilakukan untuk memastikan secara visual sejauhmana dampak yang diperkirakan muncul dapat atau tidak dapat diatasi. c. Metode Focus Group Discussion (FGD) Metode FGD ini dapat membantu perolehan masukan lebih mendalam guna merumuskan kajian dampak sosial dari rencana kegiatan. Para peserta FGD termasuk tokoh lokal dan aparat setempat serta fihak-fihak yang dianggap relevan dan terkait dengan dampak sosial yang akan timbul. FGD ini dapat dijadikan sarana untuk memperoleh solusi atas permasalahan atau dampak sosial yang akan timbul sebagaimana telah teridentifikasi melalui metode kajian dokumen, observasi lapangan dan wawancara mendalam. d. Metode Konsultasi Publik Sesuai peraturan perundang-undangan, Pemrakarsa penyusunan Amdal, harus melaksanakan konsultasi publik, dengan melibatkan (1) Masyarakat terkena dampak; (2) Masyarakat pemerhati lingkungan; dan (3) Masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Metode Konsultasi Publik ini juga dapat membantu masukan lebih mendalam guna merumuskan issue-issue strategis setelah melakuakn kajian dokumen, sekaligus juga mengidentifikasi warga masyarakat yang dianggap kompoten dan mengetahui hal-ikhwal dampak sosial dari rencana kegiatan. e. Metode Indept Interview (Wawancara Mendalam) Metode Indept Interview (wawancara mendalam) dilakukan terhadap sumber-sumber relevan dan dinilai memiliki pemahaman tentang issue-issue sosial yang telah diperkirakan sebelumnya. Metode ini dilakukan untuk menggali opini atau penilaian masyarakat terkait dengan dampak sosial yang diperkirakan akan timbul akibat rencana kegiatan baik pada pra-konstruksi, konstruksi maupun operasional. Metode indept interview (wawancara mendalam) ini paling strategis dan bermanfaat jika menjadikan “lembaga mediasi” sebagai sasaran interview. Pendekatan lembaga mediasi ini melihat struktur masyarakat Indonesia terdiri dari klas/strata: • Strata pertama (lapisan/Klas atas/penguasa/pengusaha). • Strata kedua (lapisan/Klas Menengah Atas). • Strata ketiga (lapisan/Klas Menengah). • Strata keempat (lapisan/Klas Bawah • Strata Kelima (Lapisan/Klas Sangat Bawah) A. STRATA PERTAMA (KLAS ATAS). Strata Pertama ini adalah mereka yang memiliki sumber daya politik dan ekonomi, biasanyaberdomisili di Ibukota Kabupaten dan juga Ibukota Kecamatan. Sebagai Klas atas, mereka sangat berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan politik pemerintahan. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik tergolong sangat tinggi dibandingkan rata-rata masyarakat. Namun, jumlah anggota masyarakat Klas atas ini sangat sedikit. Hal ini terlihat dari jumlah anggota masyarakat yang memiliki tingkat pendapatan di atas Rp. 10. 000.000,- Litbang Kompas pada Maret-April 2012 telah melaksanakan survei tentang Klas Menengah di enam kota (Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar). Dalam survei tersebut, Klas Atas dikarekteristikkan sebagai: • Proporsi populasi terdiri hanya 1 % dengan pendidikan S-1 sampai S-3. • Pengeluaran pribadi rata-rata per bulan diatas Rp. 3.754.000. • Pekerjaan pemilik usaha besar, menengah dan kecil, komisaris, direktur; jenis permukiman berimbang antara real estate dan perkampungan. • Jumlah anggota keluarga 6 orang dalam satu rumah; luas rata-rata tanah yang dimiliki 358 m2 ke atas. • Jumlah telepon seluler 1-4 buah. • Jalan-jalan ke mal dalam sebulan terakhir seminggu sekali. • Menyukai tantangan baru dan inovasi. B. STRATA KEDUA (KLAS MENENGAH ATAS) Strata Kedua, juga populer disebut Klas Menengah Atas, adalah mereka yang memiliki sumber daya politik dan ekonomi relatif terbatas dan bergantung pada Klas Atas. Mereka ini umumnya juga tinggal di perkotaan dan memiliki tingkat pendidikan yang relatif baik, intelek dan terpelajar. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik tergolong tinggi, dan Jumlah mereka tergolong sedikit dibandingkan dengan Klas Menengah dan Klas Bawah dan Klas Sangat Bawah. Jika dibandingkan dengan Klas Atas, Klas Menengah Atas ini lebih banyak jumlahnya. Sementara itu, hasil survei Litbang Kompas (Maret-April 2012) di enam kota (Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Makassar) juga menunjukkan kisaran jumlah yang sama: • Klas menengah : 50,3 % • Klas menengah atas : 3,6 % • Klas atas : 1 % • Klas bawah : 39,6% • Klas sangat bawah (betul-betul miskin) : 5,6 %. C. STRATA KETIGA (KLAS MENENGAH/LEMBAGA MEDIASI) Studi Bank Dunia menyebutkan, Klas menengah Indonesia saat ini mencapai 56,5 % dari 237 juta penduduk. Kalau tahun 2003 berjumlah 81 juta jiwa, kini menjadi 134 juta jiwa atau tumbuh 65 % selama sembilan tahun. Bank Dunia meyebutkan, saat ini ada 134 juta jiwa masyarakat Klas Menengah di Indonesia. Pihak Bursa Efek Indonesia menyebutkan, ada sekitar 100 juta jiwa Klas Menengah di Indonesia. Data lain menyebutkan ada puluhan juta dari Klas Menengah ini memiliki pendapatan sekitar 10.000 dollar AS per tahun per kapita (Kompas, 25April 2012, hal.33). Litbang Kompas menggolongkan Klas Menengah menjadi dua, yakni (1) Klas Menengah Atas; dan (2) Klas Menengah. Klas Menengah Atas mencapai 3,6 % dari penduduk Indonesia; pendidikan S1; pengeluaran pribadi rata-rata per bulan Rp. 1.877.000-3.754.000; pekerjaan pemilik usaha menengah dan kecil, manajer; dominan di permukiman real estate; jumlah anggota keluarga 5-6 orang; luas tanah yang dimiliki rata-rata lebih kurang 272 m2; jumlah telepon seluler 1-5 buah; beberapa kali hingga sekali seminggu kalan-jalan ke mal dalam sebulan terakhir; ciri psikografik menonjol yakni menyukai karier dan inovasi. Litbang Kompas memperkirakan jumlah Klas Menengah (Bawah) ini di Indonesia mencapai 50,3 % dengan pendidikan SLTA; pengeluaran pribadi per bulan rata-rata Rp. 750.000-1.877.000; pekerjaan pegawai swasta rendahan, pedagang, wirausaha, ibu rumah tangga; bermukim di perkampungan; jumlah anggota keluarga 5 orang; luas lahan rata-rata lebih kurang 101 m2; jumlah telepon 1-2 buah; jalan-jalan ke mal dalam sebulan terakhir sebulan sekali hingga sekali seminggu; ciri psikografik menonjol yakni pemeluk teguh. Strata Ketiga/Klas Menengah pada umumnya berdomisili dan hidup sehari-hari di lingkungan pedesaan atau lapisan akar rumput. Tingkat pengetahuan dan pemahaman mereka tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik tergolong rendah, dan jumlah anggota masyarakat lembaga mediasi ini tergolong lebih banyak, dibandingkan dengan Klas Atas dan Klas Menengah Atas. Klas Menengah ini merupakan strata sosial dengan anggota terbesar saat ini yang terbentuk oleh mobilitas ke atas yang cukup besar, yakni berupa naiknya status sosial sejumlah orang yang tadinya berasal dari Klas Bawah menjadi Klas Menengah. Komposisinya juga dilengkapi oleh turunnya sejumlah orang dari kalangan atas dan menengah atas ke kelompok menengah. Menurut Litbang Kompas, Klas Menengah mencerminkan sebuah strata: a. Secara sosial ekonomi belum cukup kuat. b. Rata-rata pendidikannya yang setingkat SMA. c. Rata-rata penghasilan sekitar Rp. 1,9 juta dan pengeluaran Rp. 750.000-Rp. 1,9 juta per bulan. d. Pandangan politik cenderung konservatif, menghargai otoritas dan ”status quo”. e. Terhadap berbagai permasalahan bangsa, mereka kritis menilai baik atau buruknya keadaan, tetapi belum bergerak untuk mengorganisasi diri untuk mengubahnya. f. Lebih menggantungkan harapan kepada kewenangan negara untuk memperbaiki apa yang buruk,mengambil jarak dengan problem-problem sosial,dan menempatkan dirinya sebagai ”penonton” berbagai peristiwa. g. Hanya sebatas sebagai ”Klas pencoteh” yang samai menanggapi sejenak tetapi ragu bertindak. h. Pencinta sinetron yang selalu mengejar sensasi dan komedi. Membandingkan Klas Menengah saat ini dengan hasil survei sejenis yang pernah dilakukan Litbang Kompas tahun 1997, gambaran yang tertangkap sesungguhnya mengejutkan. Pada survei yang dilakukan setahun menjelang kejatuhan Soeharto, gambaran tentang demokrasi begitu menggembirakan. Semua Klas, termasuk Klas menengah, cenderung memandang pentingnya demokrasi. Namun, sekarang gambaran yang tertangkap adalah masyarakat yang antidemokrasi yang mengharapkan negara lebih berperan dalam mengendalikan ”keliaran” demokrasi. D. STRATA KEEMPAT (KLAS BAWAH). Strata Keempat pada umumnya berdomisili dan hidup sehari-hari di lapisan paling bawah dengan tingkat pendapatan sangat rendah, tergolong miskin, sangat terbelakang secara ekonomi. Setelah lebih 10 tahun kejatuhan Soeharto dan rakyat Indonesia di dalam era reformasi, jumlah anggota masyarakat akar rumput lebih sedikit ketimbang gabungan Klas Menengah Atas dan Klas Menengah. Tingkat pengetahuan dan pemahaman tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sosial politik tergolong sangat rendah. Sumber daya politik dan ekonomi mereka juga sangat lemah. Litbang Kompas pernah mengklasifikasikan Klas Bawah menjadi dua, yakni Klas Bawah dan Klas Sangat Bawah. Jumlah keseluruhan Klas bawah mencapai 45,2 %. Litbang Kompas memperkirakan jumlah Klas Bawah di Indonesia mencapai 39,6 % dengan pendidikan SD-SLTA; pengeluaran pribadi per bulan rata-rata Rp. 375.000-700.000; wirausaha, Ibu rumah tangga, karyawan biasa, buruh lepas; bermukim di perkampungan; jumlah anggota keluarga 5 orang; luas lahan rata-rata lebih kurang 62 m2; jumlah telepon 1 buah; mayoritas tidak pernah jalan-jalan ke mal dalam sebulan terakhir; ciri psikografik menonjol yakni pekerja manual. E. STRATA KELIMA (KLAS SANGAT BAWAH) Di lain pihak, Litbang Kompas memperkirakan jumlah Klas Sangat Bawah di Indonesia hanya 5,6 % dengan pendidikan tidak sekolah-SD; pengeluaran pribadi per bulan rata-rata < Rp. 375.000-700.000; Buruh lepas, Ibu rumah tangga, penganggur; bermukim di perkampungan; jumlah anggota keluarga 4-5 orang; luas lahan rata-rata lebih kurang 45 m2 ke bawah; jumlah telepon 0-1 buah; mayoritas tidak pernah jalan-jalan ke mal dalam sebulan terakhir; ciri psikografik menonjol yakni bertahan hidup. IX. KETIDAKPASTIAN PADA ASPEK SOSIAL, EKONOMI DAN BUDAYA Ada semacam asumsi dasar atau hipotetis dalam penyusunan Dokumen AMDAL, bahwa hasilan prediksi dampak penting aspek sosial, ekonomi dan budaya mengalami ketidakpastian. Asumsi dasar dan hipotetis ini perlu mendapatkan pembuktian faktual sembari mencari solusi pemecahan. Sejumlah argumentasi dapat diajukan, namun untuksementara ini ada setidaknya tiga argumentasi. Pertama, secara formal dan normatif, kajian dampak sosial, ekonomi dan budaya dalam Amdal baik tahap pelingkupan, penyusunan rona awal, prediksi maupun evaluasi harus dilakukan oleh Narasumber memiliki pengetahuan/pendidikan setidak-tidaknya Stara 1 (S-1) dalam ilmu-ilmu sosial. Namun, dalam kenyataannya, kajian dampak sosial ini dilakukan oleh Ketua Tim Penyusun atau Anggota Tim Penyusun yang bukan berlatar belakang pendidikan Ilmu Sosial. Sekalipun dibantu Narasumber lain, cenderung Narasumber bersangkutan tidak memiliki kompetensi dalam bidang Amdal. Mengacu pada data LSK Penyusun Amdal INTAKINDO, Mei 2013, dari keseluruhan 1.414 pemohon sertifikasi kompetensi Penyusun, hanya sekitar 30 orang berlatarbelakang Ilmu-ilmu Sosial (10 Ketua dan 20 Anggota). JIka dilihat dari keseluruhan 761 Pemegang Sertifikat Penyusun Amdal, terdapat 333 Ketua Penyusun dan 428 Anggota Penyusun. Pemegang Sertifikat berlatarbelakang pendidikan Ilmu-ilmu sosialhanya sekitar 10 orang. Dapat disimpulkan, dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM), Penyusunan Amdal menghadapi permasalahan/tantangan, yakni kajian dampak sosial, ekonomi dan budaya tidak dilakukan oleh SDM berpendidikan ilmu-ilmu sosialatau tidak memiliki kompetensi dari aspek “pengetahuan”. Kedua, ketidakpastian pada aspek sosial, ekonomi dan budaya disebabkan kurangnya pemahaman terhadap mekanisme dampak dan informasi yang dapat digunakan.Juga sangat terbatasdiperoleh informasi terkait sangat dibutuhkan untuk menilai atau memprediksi dampak rencana kegiatan terhadap lingkungan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Karena itu, jikaketidakpastian diperkirakan cukupsignifikan akibat kurangnya pemhaman dan sangat terbatas informasi terkait diperoleh, maka Tim Penyusun seyogyanya sebanyak mungkin mempersiapkan pertimbangan sosial, ekonomi dan budaya termasuk menyusun langkah-langkah dan alternative pencegahan. Ketiga, faktor sosial, ekonomi dan budaya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosialdan kelembagaan di daerah bersangkutan, serta kondisi langsung terkait dengan keberadaan lokasi proyek. Karena itu, ketikamengkaji kondisi sosia, ekonomi dan budaya, pertimbangan khusus perlu diberikan terutama untuk rencana kegiatan di daerah terkena pengaruh langsung,memberlakukannya adanya pembatasan akibat adanya suatu konflik, atau adanya ketidakbebasan masyarakat dalammemberikan pernyataan atau pendapat sehingga kesulitan dalam melakukan berbagai proses dalammenyediakan dan membuka informasi kepada publik, dan melakukan konsultasi dengan pihak terkait setempat. Melalui upaya ini juga, situasi Hak Azasi Manusia (HAM) bersifat lokal (wilayah setempat) dapat diintegrasikan kedalam proses pengambilan keputusan terkait dengan pertimbangan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya.(MEH).