Senin, 14 April 2014

PEMILU 2014 HARUS DIBATALKAN DAN DIULANG

Pemilihan Umum Tahun 2014 (PEMILU 2014) telah berlangsung dan kini sedang dilakukan perhitungan perolehan suara sementara. Namun demikian kami berpendapat sebagai berikut: Sistem politik yang berjalan saat ini adalah pendukung dari demokrasi kriminal, yakni demokrasi yang dilaksanakan tanpa penegakan hukum. Hal ini merupakan manifestasi dari adanya demoralisasi dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara dan pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif). Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan sistem neoliberalisme dan neokapitalisme yang menempatkan uang sebagai pengendali sistem politik, ekonomi, dan sosial (sistem plutokrasi) telah mengancam keberlangsungan perwujudan ideologi Negara dan Konstitusi. Sistem politik dan tatanan demokrasi diciptakan hanya menguntungkan orang-orang yang punya uang dan menyingkirkan sumber-daya politik yang positif. Kedaulatan rakyat sebagai esensi dari demokrasi telah dikebiri dan digantikan dengan kedaulatan oligarki politik yang umumnya adalah elit partai politik yang juga adalah para anggota dari kartel ekonomi yang berkuasa. Di tangan para oligarkis dan plutokrat semua proses politik dalam kontek sistem demokrasi diatur melalui transaksi politik. Di tangan mereka pula Negara dijadikan alat produksi untuk menggerogoti APBN dan melancarkan bisnis mereka. Dengan latar-belakang situasi dan kondisi tersebut, sistem dan peraturan perundangan PEMILU 2014 disusun dan dilaksanakan. Oleh karena itu sejak awal sudah banyak dijumpai kecurangan dan tendensi untuk menyelewengkan aturan dalam pelaksanaan PEMILU 2014. Hal ini misalnya dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT), penetapan Partai Politik Peserta Pemilu, penggunaan prasarana yang rawan kecurangan (E-KTP, kotak suara dari kardus, penggunaan scanner untuk pelaporan perhitungan perolehan suara, dan lain-lain). Selain itu juga adanya lembaga pengawasan yang lemah yang diragukan dapat menjamin PEMILU 2014 bisa berlangsung jujur dan adil serta langsung, umum, bebas, dan rahasia. Makin meningkatnya angka golongan putih atau mereka yang menolak menggunakan hak pilihnya telah membuktikan bahwa PEMILU 2014 yang berlangsung saat ini secara politik tidak sah. PEMILU 2014 akhirnya lebih menggambarkan upaya rekayasa politik untuk melanjutkan kekuasaan rejim incumbent (status-quo). Dari perhitungan perolehan suara sementara (quick-count), profil perolehan suara masing-masing partai politik menggambarkan adanya rekayasa atau anomali. Hal ini diindikasikan dengan kenyataan bahwa perolehan suara partai politik sama sekali tidak mencerminkan peta kekuatan suara dari masing-masing partai politik. Perolehan suara mencerminkan estetika suara yang telah diatur agar tidak ada partai politik yang memperoleh suara 20 persen dan keharusan membentuk oligarki dan koalisi politik pragmatis untuk pemerintahan baru. Ketua KPU sendiri, Husni Kamil Manik, di RMOL.CO (Rakyat Merdeka Online) bahkan menyatakan telah mencium modus persekongkolan antara Partai Politik dengan penyelenggara Pemilu untuk memanipulasi suara antara lain adanya praktik percaloan suara untuk membantu menaikkan perolehan suara parpol dan para calon anggota legislatif. PEMILU 2014 dan perhitungan perolehan suara sementara yang berlangsung saat ini mengindikasikan bahwa PEMILU 2014 telah dijadikan kendaraan dalam membangkitkan kekuatan otoriter Orde Baru dan anti-perubahan. Berdasarkan pertimbangan tersebut Gerakan Nasional untuk Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial (GERNAS) menyatakan: 1. PEMILU 2014 harus dibatalkan dan diulang. 2. Agar seluruh rakyat Indonesia melakukan konsolidasi untuk menolak hasil PEMILU 2014. Jakarta, 9 April 2014 Gerakan Nasional untuk Kedaulatan Rakyat dan Keadilan Sosial (GERNAS): - PETISI 50 - Gerakan Mahasiswa 77/78 - Forum Aktifis Lintas Generasi Penanda-tangan: 1. Max Apul Sihite 2. Max Wayong 3. Judilherry Justam 4. Chris Siner Key Timu 5. Yusuf AR 6. Machmud Madjid 7. S. Indro Tjahyono 8. Biner Tobing 9. Dwi Subawanto 10. Darwin Djamal 11. Elong Suchlan 12. Muchtar Effendi Harahap 13. A. Gani 14. Mathius Tandiotong 15. Cahyono Eko Sugiharto 16. Tashudi Yanto 17. Syafril Sjofyan 18. Kasino 19. Asrianty Purwantini Nomor Kontak: 0817. 4944. 275 (S. Indro Tjahyono)

Minggu, 13 April 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN KEENAM): TRADISI KERAMAT, ORANG ASING, NEO-BELANDA, TENAGA AHLI DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN

Sebagaimana telah disampaikan di dalam Tulisan Bagian Kelima sebelumnya, dalam pembicaraan dan diskusi publik tentang issue Negara Federal di Indonesia Kita dapat menemukan sejumlah butir-butir perdebatan antara kelompok penentang dan kelompok pendukung. Tulisan Bagian Keenam ini akan menyajikan butir-butir perdebatan hanya menyangkut beberapa, yakni: (1) Tradisi keramat 17 Agustus 1945 ; (2) Masuknya orang asing; (3) Konsep Neo-Belanda dan Set-back ke zaman sebelum 1928; (4) Tenaga Ahli; dan (5) Pemerataan pembangunan. PERTAMA, butir perdebatan tentang TRADISI KERAMAT 17 AGUSTUS 1945. Kalangan penentang Negara Federal telah menggunakan “perayaan 17 Agustus 1945 sebagai tradisi keramat”. Penggunaan model atau sistem Negara Federal di Indonesia berarti menyalahi tradisi keramat Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Bentuk Negara Kesatuan adalah sakral, pusaka warisan nenek moyang bahkan seperti wahyu dari Tuhan tidak boleh disentuh karena suci dan saktinya. KEDUA, butir perdebatan tentang MASUKNYA ORANG ASING DI SUATU NEGARA BAGIAN. Bagi kelompok penentang Negara Federal, masalah gaya hidup timbul akibat federalisme. Akan terdapat sentimen anti orang asing akan menimbulkan penolakan terhadap masuknya orang luar bukan berasal dari Daerah bersangkutan. Kekhawatiran semacam ini jika terjadi akan berujung pada kekisruhan sosial dan politik. Negara Federal menciptakan sentimen yang akan memecahbelah kesatuan Indonesia. Sementara kelompok pendukung Negara Federal menolak pandangan kelompok penentang atas kekhawatiran semata akan lahirnya stigma penduduk asli (putra Daerah) dan pendatang. Padahal Negara Federal menawarkan konsensus baik dalam hal pemerataan ekonomi maupun perlakuan adil terhadap kaum minoritas. Justru, gaya ultra-sentralistis rezim Orde Barulah menajamkan konflik antara penduduk asli tersingkir dengan kaum pendatang secara ekonomi biasanya lebih kuat. Menyertakan “romantisme” usang masa lalu tentang politik memecah-belah penjajah Belanda sebagai alasan usang dan tidak proporsional. Menurut pendukung, pada hakekatnya belum ada di satu Negara federal kuat (Amerika Serikat, Jerman, dan Malaysia) Pemerintah Pusat tidak dominan. Hal itu juga berlaku pada Pemerintah Pusat di Negara Kesatuan seperti Indonesia. Sesungguhnya argumentasi ini dapat mematahkan pandangan bahwa jika Negara Federasi terbentuk, Pemerintah Pusat akan kehilangan ‘gigi’ dalam menjaga stabilitas politik nasional. Kelompok pendukung menyangsikan, bangunan Negara Federal Indonesia kelak harus melalui tahap perpecahan dulu dalam bentuk Negara-Negara kecil. Mereka berpikir malah sebaliknya, Pemerintah Pusat dan Daerah bekerja sama meneruskan bangunan Otonomi Daerah lebih bertanggung jawab. KETIGA, butir perdebatan tentang KONSEP NEO-BELANDA DAN SET-BACK KE ZAMAN SEBELUM 1928. Para penentang Negara Federal di Indonesia mengecam dan menilai bahwa pemikiran atau pendukung Negara Federal diterapkan di Indonesia sebagai Neo-Belanda dan juga set-back ke zaman sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928. Neo-Belanda bermakna pemikiran dimaksud merupakan peniruan dan pembaharuan gagasan atau konsep Belanda Negara terutama pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diklaim “siasat” Kolonial Belanda untuk mempertahankan kekuasaan di Indonesia. RIS distigmakan “negatif” bagi penentang Negara Federal. Padahal RIS adalah suatu negara federasi, berdiri pada 27 Desember 1949, sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. Artinya, RIS dimaksud bukan semata-mata kemauan Belanda, tetapi juga masyarakar internasional (PBB) dan para Tokoh Nasional mewakili bangsa Indonesia. Penilaian terhadap pemikiran dan pendukung Negara Federal dalam era reformasi ini sebagai Neo-Belanda dan sert-back ke zaman sebelum tahun 1928 juga dialami Romo Mangunwidjaya. Tokoh Katolik dari Yogyakarta ini dianggap memiliki pemikiran Neo-Belanda, hendak memecah belah NKRI, menyalahi tradisi keramat UUD 1945, Balkanisasi Republik Indonesia seperti Yugoslavia, dan sebagainya. KEEMPAT, butir perdebatan tentang TENAGA AHLI DI NEGARA BAGIAN TIDAK TERSEDIA. Kelompok penentang Negara Federal memunculkan perasaan “apatisme” terhadap model atau sistem Negara Federal berdasarkan ketersediaan Tenaga Ahli (SDM) di Negara Bagian. Mereka ketakutan jika muncul Daerah dengan tingkat kemajuan lebih pesat, akan semakin merasa Daerah tersebut mampu membentuk Negara. Di lain fihak, terdapat Daerah kekurangan SDM dan tidak adapemerataan Tenaga Ahli . Pengkritik gagasan Negara Federal berdalih bahwa di beberapa Daerah atau Negara Federal belum memiliki kesiapan Tenaga Ahli atau Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas. Tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran berpolitik Negara-negara Federal maju dewasa ini sangat berbeda dibandingkan dengan Negara Indonesia. Para penentang kemudian berkilah, banyaknya Negara menjadi maju setelah menjadi Negara Federal tidak bisa dijadikan “acuan” atau “panduan” karena perbedaan kultur dan historis keberadaan dan perjalanan suatu Negara akan sangat menentukan kemajuan. Intinya, Tenaga Ahli dan SDM berkualitas kurang tersedia untuk Negara Bagian/Daerah. Karena itu, model atau sistem Negara Federal tidak sesuai diterapkan di Indonesia. Kelompok Pendukung menolak dalih atau kilahan kelompok penentang. Kelompok ini memiliki asumsi berbeda, yakni munculnya beberapa Daerah lebih maju, menjadi satu modal baru karena akan lebih banyak memunculkan Daerah bisa dijadikan “sentral”. Selama ini baru Kota Jakarta saja menampung urbanisasi. Bagi Daerah kurang SDM harus lebih pandai dan bekerja ekstra menarik investor baik lokal maupun luar. Yang terpenting, masyarakat di Pemerintahan Daerah dapat lebih concern terhadap pengawasan pelaksaanaan Pemerintah Daerah bersangkutan. Sedangkan presure atau tekanan terhadap kebijakan Gubernur Negara Bagian dapat dilakukan secara sektoral. Selanjutnya, para pendukung berasumai, kondisi ketidaksiapan Tenaga Ahli dan SDM berkualitas di Daerah disebabkan penerapan Negara Kesatuan yang sejak Kemerdekaan hingga tahun 2014 ini mengkonsentrasikan pembangunan atau kegiatan perekonomian nasional di Pulau Jawa. Diperkirakan, sekitar 60 % kontribusi terhadap pendapatan nasional berasal dari kegiatan perekonomian di Pulau Jawa. Pulau Sumatera memberi kontribusi hanya sekitar 20 %, Pulau-pulau di Indonesia Timur hanya 20 %. Bahkan, pada era Rezim Orde Baru (sebelum Era Reformasi), kontribusi Pulau Jawa mencapai sekitar 70 %. Kecenderungan sentralisme di Pulau Jawa berakibat pada pemiskinan Daerah-Daerah Luar Jawa. Satu SUMBER menunjukkan, sebelum masa pembangunan, rata-rata kemakmuran penduduk Jawa sekitar 35 % di bawah rata-rata kemakmuran penduduk Luar Jawa. Pada awal 1990-an keadaan kemakmuran penduduk berbalik. Kemakmuran penduduk Luar Jawa sekitar 24 % di bawah kemakmuran rata-rata penduduk Jawa. Kota Jakarta saja memiliki pendapatan lebih dari dua kali lipat pendapatan rata-rata di Indonesia. Jakarta menjadi pusat pertumbuhan yang menarik bukan saja bagi Investor, tetapi juga Tenaga Ahli dari Luar Pulau Jawa. Akibatnya, ketimpangan Tenaga Ahli semakin melebar antara Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa. Efek sentralisasi kekuasaan dan sumberdaya ekonomi terhadap kondisi Tenaga Ahli Daerah Luar Pulau Jawa yakni peningkatan jumlah Tenaga Ahli di Pulau Jawa sangat cepat sehinggadi Luar Jawa lebih lambat. Realitas politik sentralisme dan praktek ketidakadilan telah terjadi. Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara Pusat dan Daerah telah menyebabkan kecemburuan di beberapa Daerah. Suatu SUMBER memperkirakan, kekayaan alam di Aceh diekspor menghasilkan keuntungan US$ 2 Milyar pada 1997 hanya memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh sebesar 0,05% melalui APBN. Meskipun produksi minyak Caltex di Riau tahun 1999 mencapai 23 Trilyun, tetapi masyarakat Riau termasuk yang paling miskin di Indonesia. Sedangkan PT Freeport mengeruk keuntungan tahun 1997 sebesar US$ 1,1 Milyar, tetapi masyarakat Papua tetap hidup seperti pada “zaman batu”. Semua ini tentunya turut menghambat peningkatan kemajuan Tenaga Ahli dan SDM di Daerah bersangkutan. Meski asumsi bahwa kualitas Tenaga Ahli dan SDM di Daerah-Daerah Luar Pulau Jawa masih lemah dan lebih lambat tidak sepenuhnya benar, namun dalam konteks kuatnya pengaruh daya tarik Pulau Jawa, dan situasi kegiatan perekonomian nasional terus terkonsentrasi di Pulau Jawa dalam satu rangkaian penarikan Tenaga Ahli dan SDM berkualitas dari Daerah-Daerah ke Pulau Jawa, maka asumsi tersebut menjadi benar. Jika diterapkan bentuk dan sistem Negara Federal, kegiatan perekonomian tidak lagi terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sudah menyebar merata di Negara-Negara Bagian, maka SDM Tenaga Ahli terkonsentrasi di Pulau Jawa akan mencair dan menyebar merata ke seluruh Negara-negara Bagian. Proses penyebaran kegiatan perekonomian dan Tenaga Ahli dean SDM berkualitas ke Negara-Negara Bagian akan menolak asumsi kelompok penentang bahwa Tenaga Ahli di Negara Bagian tidak tersedia. Bahkan, penerapan Negara Federal akan mempercepat peningkatan kualitas Universitas atau Perguruan Tinggi di Daerah sebagai “pabrik” SDM Tenaga Ahli di Daerah bersangkutan. Para pelajar di Daerah tidak perlu lagi harus ke Pulau Jawa untuk memperoleh pendidikan atau keterampilan sebagaimana selama ini berlangsung. Argumentasi lain untuk mematahkan asumsi penentang Negara Federal berupa Tenaga Ahli danSDM berkualitas di negara bagian tidak tersedia yakni pada saat sekarang saja berlaku Negara Kesatuan dan penerapan konsep Otonomi Daerah hingga pada level Kabupaten/Kota, tetap saja Daerah menghadapi masalah SDM atau Tenaga Ahli. Banyaknya urusan telah diserahkan kepada Kabupaten/Kota tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM. Daerah menghadapi keterbatasan kualifikasi dan jumlah SDM. Di beberapa Daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Keterbatasan SDM ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran. Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM. Pada sisi lain, peran dan fungsi Gubernur sebagai Wakil Pusat masih tidak berjalan efektif, sehingga SDM berkualitas dalam Pemerintahan Daerah tidak dapat didistribusikan secara merata kepada Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi bersangkutan. KELIMA, butir perdebatan tentang PEMERATAAN PEMBANGUNAN. Menurut kelompok penentang Negara Federal, pilihan model atau sistem Negara Federal jelas-jelas akan merugikan, karena secara teori tidak berorientasi pada pemerataan kesejahteraan di seluruh wilayah Indonesia, tetapi mengutamakan kesuksesan suatu Daerah berpotensi. Dengan demikian, seharusnya Indonesia lebih beruntung, karena kondisi bangsa saat ini memungkinkan Indonesia membentuk Negara Kesatuan. Secara teori, kalau Negara ini dimanajemni dengan benar, maka ke depan akan bisa membuat Indonesia lebih unggul dibandingkan bahkan dengan Amerika Serikat dan ada harapan bisa menyusul Cina. Apalagi pernah terdengar issue pemisahan terhadap beberapa Negara Bagian di Amerika Serikat setelah Obama terpilih kedua kali sebagai Presiden, walaupun kemudian tidak terbukti. Tetapi, kilah mereka, Uni Soviet dan Yugoslavia telah mengalaminya. Di lain fihak kelompok pendukung Negara Federal mengambil studi kasus Indonesia di bawah Negara Kesatuan, terutama era Rezim Orde Baru, Soeharto. Pembangunan dan kemakmuran terpusat di Pulau Jawa menciptakan ketidakadilan dan ketidakmerataan membawa dampak negative antara lain berbagai tuntutan mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste), kemudian gelombang tuntutan disintegrasi terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Kelompok pendukung meyakinkan bahwa pembangunan dan kemakmuran akan lebih adil dan merata karena dengan tersumbatnya penyedotan raksasa kekayaan Daerah secara sewenang-wenang, modal pengembangan Daerah menjadi cukup bahkan berlimpah. Dampak sinergi antara kekuasaan politik, sumber daya alam (SDA), dan SDM terhadap Indonesia yang federalis adalah sangat dahsyat, karena sinergi inilah akan menjadi pemicu “revolusi” pembangunan secara berkelanjutan dan merata di Indonesia. Tingkat akselerasi akan sangat tinggi pula. Dengan model atau sistem Negara Federal, Indonesia akan mengalami peningkatan produktivitas di banyak Daerah di luar Pulau Jawa. Hal tersebut akan mengakibatkan Daerah-Daerah membutuhkan tenaga kerja sehingga mendorong terjadinya perpindahan Tenaga Ahli dan SDM berkualitas dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa. Ini berarti akan terjadi migrasi secara besar-besaran di Indonesia sehingga akan mengalami penyusutan penduduk di Pulau Jawa. Untuk memperlancar arus migrasi tersebut, diperlukan pengembangan infrastruktur perhubungan dan transportasi nasional. Pengembangan infrastruktur tersebut sudah pasti akan membuka kesempatan kerja bagi jutaan tenaga kerja, termasuk Tenaga Ahli. Banyak Lembaga Pendidikan, Balai Latihan Kerja dan SDM berkualitas diperlukan untuk melatih tenaga kerja tersebut. Tidak perlu diragukan lagi, semua ini akan mengundang investasi menguntungkan. Apabila migrasi benar-benar terjadi dalam skala besar, maka kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota besar lain akan nyaman untuk didiami, dikarenakan perpindahan penduduk ke Pusat-Pusat produksi baru. Dapat pula dipasikan, tingkat kriminalitas di kota-kota besar itu akan merosot secara tajam. Kota-kota besar dan Provinsi-provinsi padat penduduknya berhasil mengirimkan tenaga kerja dalam jumlah besar akan menikmati keuntungan-keuntungan ekonomi lain seperti bertambahnya infrastruktur dimiliki tanpa menambah investasi baru. Infrastruktur dimaksudkan berasal dari infrastruktur ‘ditinggalkan’ oleh tenaga kerja bermigrasi ke Daerah lain. Infrastruktur itu antara lain berupa sarana listrik, trasportasi, komunikasi dan air bersih. Kondisi ini pada gilirannya berdampak luar biasa dinikmati dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Kota-kota besar dan Provinsi-provinsi tersebut Arus pendatang dari Pulau Jawa akan meningkat dan disambut dengan gembira oleh masyarakat luar Pulau Jawa. Hal ini karena penduduk di luar Pulau Jawa justru memerlukan kaum pekerja untuk mengolah SDA mereka miliki. Di satu pihak proses dimaksud akan menumbuhkan rasa “sharing of prosperity”, di lain pihak akan meningkatkan atau memperkuat integrasi nasional. Rasa saling memerlukan merupakan faktor teramat penting dalam upaya meningkatkan integrasi bangsa. Pembagian kemakmuran juga bermakna bahwa penyebaran penduduk tidak perlu lagi diatur-atur atau dipaksa oleh Pemerintah Pusat. Apabila Daerah-Daerah luar Pulau Jawa memang benar-benar mampu menyediakan kesempatan kerja dalam jumlah besar, maka istilah TKI akan dapat dihilangkan dari kamus perburuhan Indonesia. Jika masyarakat Daerah menjadi semakin kreatif dan semakin produktif, maka semakin besar pula pajak harus mereka setor ke Pemerintah Pusat. Terjadinya peningkatan produktivitas di luar Pulau Jawa sudah pasti akan mendongkrak ekspor nonmigas Indonesia. Hal ini berarti, devisa akan mengalir masuk dengan deras sehingga membantu menstabilkan keuangan Negara. Negara Federal juga memberi dampak terhadap cara-cara menangani permasalahan keamanan dan pertahanan nasional. Nantinya setiap Negara bagian akan memiliki pertahanan masing-masing. Hal tersebut dapat memperkuat keamanan dan pertahanan nasional Indonesia. Terdapat perubahan dialami dari dampak migrasi puluhan juta penduduk sukarela dan atas biaya sendiri dan dalam waktu relatif singkat. Banyaknya uang, barang, dan jasa terlibat dalam proses migrasi tersebut akan mengundang banyak investasi ditanamkan oleh kalangan Investor. Intinya, kelompok pendukung Negara Federal percaya bahwa di dalam Negara Federal ada unsur-unsur dapat membantu menghindari kecenderungan ke arah intensifikasi ketimpangan ekonomi dan konflik sosial, politik dan budaya. Federalisme memungkinkan adanya usaha mengevaluasi perbedaan budaya internal antara kelompok masyarakat trasidional dan modern. Perbedaan tersebut justru menjadi sumber motivasi dan potensi untuk menggerakkan pembangunan mandiri (self-reliance). Mengaktifkan sumberdaya ini akan menghindari terjadi “Balkanisasi” seperti ditakutkan oleh kelompok penentang Negara Federal di Indonesia. MAJU TERUS: Butir-butir perdebatan antara kelompok penentang dan pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal sepanjang era reformasi ternyata mendorong Pemerintah Indonesia untuk mempercepat implementasi gagasan Otonomi Daerah di bawah NKRI. Pemberian Otonomi Daerah yang luas kepada Pemerintah Daerah berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999, telah direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan Daerah selama berkuasanya rezim Orde Batu. Berbagai tulisan mengenai gagasan Negara Federal di Indonesia menunjukkan bahwa gagasan Negara Federal maju terus mempengaruhi Pemerintah Republik Indonesia untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar Negara Federal sekalipun atas nama Otonomi Daerah. Namun, dalam kenyataannya, upaya Pemerintah ini tidak serta merta menyurutkan keinginan Daerah seperti Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Salah satu contoh adalah munculnya pembentukan NEGARA FEDERAL REPUBLIK PAPUA BARAT (NFRPB) hasil Konges III Rakyat Papua di Abepura, Jayapura, 19 Oktober 2011. Presiden NFRPB adalah Forkorus Yoboisembut. Beliau kini masih di penjara Abepura sebagai tahahan politik Kebijakan Otonomi Daerah juga telah menyebabkan sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan. Otonomi Daerah telah gagal, tercermin dari ketiadaan “political equality”, “local responsiveness” dan ”local accountability”. Otonomi daerah sangat luas telah menyebabkan tensi politik lebih tinggi ketimbang upaya peningkatan pelayanan publik. Penyusunan organisasi perangkat Daerah Kabupaten/Kota, tidak terkecuali Provinsi, lebih banyak ditentukan oleh akomodasi kepentingan tertentu. Setelah Pilkada secara langsung, afiliasi ini menjadi lebih besar, karena politik akomodasi mewarnai proses pemilihan langsung Kepala Daerah. Bahkan pengisian jabatan dalam struktur organisasi perangkat Daerah sangat ditentukan oleh afilisasi seseorang dengan Bupati/Walikota. Di samping itu, alasan Dana Alokasi Umum (DAU) dari Pusat juga menjadi dasar berpikir, perlunya pembengkakkan organisasi perangkat (budget maximizing). Di bawah Otonomi Daerah Negara Kesatuan, beberapa Daerah masih diwarnai nepotisme berdasarkan kebangsawanan, sukuisme dan afiliasi politik dalam proses rekruitmen, penempatan, promosi dan mutasi jabatan tertentu. Bahkan ada Tulisan menyebutkan bahwa “gelar kebangsawanan” secara sengaja diciptakan oleh Bupati/Walikota untuk memperkuat posisi jabatan, sekaligus membedakan masyarakat biasa dengan masyarakat yang memiliki status kebangsawanan tertentu. Hal ini muncul dengan istilah misalnya “laskar” dan “putera asli”. Istilah “anak daerah” sejatinya telah muncul pada tahun 1950-an sebagai antagonis dari orang Pusat yang didrop ke Daerah. Hingga saat ini memang kelompok pendukung Negara Federal belum berhasil mengubah bentuk NKRI menjadi Negara Federal. Namun, sebagian pengamat mengakui, bahwa perubahan ini hanya masalah waktu saja. Kita tidak akan bisa membendung tuntutan pendukung Negara Federal. Suatu saat, karena faktor perkembangan dunia dan dalam negeri, akan muncul kalangan Politisi Muda di Indonesia melakukan perubahan dimaksud. Memang diakui, secara substansial, beberapa prinsip Negara Federal telah ditegakkan dalam bungkus Negara Kesatuan di Indonesia. Sebagai contoh, adanya Bikameral Legsilatif, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tingkat Pemerintahan Pusat, sekalipun fungsi DPD masih belum mencakup turut menentukan penerbitan Undang-Undang. Prinsip Negara Federal lain telah ditegakkan di Indonesia adalah pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan. Di dalam Makalah Pengukuhan Guru Besar di Universitas Indonesia (UI), berjudul “Konstruksi Ulang Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Indonesia: Antara Sentripetalisme dan Sentrifugalisme”, Eko Prasodjo menunjukkan salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999 dan juga UU Nomor 32 tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya, yaitu dianutnya prinsip kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten/Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya ditetapkan sebagai kewenangan Pusat. Dengan demikian, semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada Kabupaten/Kota. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU Nomor 22 tahun 1999 disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten/ Kota. Maknanya, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat dianut oleh Konstitusi dalam kebanyakan Negara Federal. Lebih jauh Eko Prasojo menunjukkan, pada sisi lainnya, ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU Nomor 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan sebagai kewenangan yang tabu untuk didesentralisasikan. Kewenangan secara enumeratif diserahkan kepada Pusat dalam pasal 7. Hal ini hanya dapat dilaksanakan melalui asas sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang pemerintahan disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12). Selanjutnya Pakar Administrasi Negara ini menegaskan bahwa bentuk pembagian wewenang dengan azas “residu of powers” pada daerah Kabupaten/Kota menyerupai pembagian wewenang lazim dilakukan oleh beberapa Negara Federal seperti Amerika Serikat, Jerman, Austria dan Swiss. Di beberapa Negara Federal ini, wewenang Pemerintah Federal dirinci dalam Konstitusi/UUD, sementara wewenang lain tidak disebutkan sebagai wewenang Pemerintah Federal secara otomatis menjadi wewenang Negara Bagian. Secara substansial UU Nomor 22 Tahun 1999 menganut prinsip kelaziman diterapkan di Negara Federal dalam hal “pembagian wewenang”. Jika Kita telusuri lebih jauh peraturan perundang-undangan terkait hubungan Pusat dan Daerah dalam era reformasi ini, Kita akan menemukan lebih banyak lagi prinsip sesungguhnya berlaku di Negara Federal. Sementara itu, kita masih tetap bersikukuh untuk mempertahankan istililah NKRI. Dalam wacana akademik, gagasan Negara Federal telah memperoleh “stigma buruk” dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme diartikan sebagai” disintegrasi” atau “perpecahan negara”. Federalisme ibarat “najis” dan “aib”. Bahkan, Federalisme digunakan fihak penentang Negara Federal bagaikan penganut “Fasisme” atau “Ultra Nasionalisme” sebagai senjata menyerang lawan politik dalam perebutan kekuasaan pemerintahan secara legal. Model atau sistem Negara Federal dalam konteks hubungan Pusat dan Daerah telah dipahami semata-mata sebagai “kontra Negara Kesatuan” dan diduga kuat dengan keinginan untuk mendirikan Negara Federal. Bagaimanapun juga, pandangan semacam ini adalah “irrasional” dan “keliru”. Perdebatan publik tentang gagasan Negara Federal sangat penting maju terus dikumandangkan hingga pada waktunya sejarah ke depan Negara Indonesia akan membantah irrasionalitas dan kekeliruan pandangan penganut “Fasisme” atau “Ultra Nasionalisme” ini. Kepada para Cerdik Pandai dan Intelektual Indonesia antara lain Adnan Buyung Nasution, Alfitra Salamn, Amien Rais, Eko Prasojo, Fauzi Yusuf Hasibuan, Hamdi Muluk, Harun Alrasid, Ichlasul Amal, Ichwan Azhari, Jawahir Thontowi, Mahfud MD, Ryaas Rasyid, Samsu Rizal Panggabean, Syamsudin Mahmud, Shohibul Anshor, Tachir Kasnawi, Thaha Alhamid, dan Zainuddin Isman, sangat diharapkan agar tidak bosan-bosannya dan maju terus untuk berperanserta dalam “diskursus” atau “perdebatan public” mengenai gagasan Negara Federal di masa mendatang. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SEBAGAI SOLUSI: Terutama segera setelah keruntuhan kekuasaan Rezim Suharto, akhir 1990-an, gelombang gerakan seperatisme dan pemberlakuan Negara Federal telah mengambil tempat khususnya di Luar Pulau Jawa. Untuk memecahkan atau solusi atas permasalahan gelombang gerakan dimaksud, Pemerintahan Pusat (Jakarta) menerbitkan peraturan perundang-undangan, terutama Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 1999, yang direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Nomor 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten/Kota. Azas dekonsentrasi hanya dilaksanakan pada daerah Propinsi. Semua kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka “tugas pembantuan”. Makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administratif melainkan dalam konteks politik. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berhak mengatur (regulate) dan mengurus (manage) rumah tangga sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri. UU Nomor 22 tahun 1999 menghapus hierarki antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Pemerintah Provinsi. UU ini juga menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kecenderungan menguatnya desentralisasi, merupakan refleksi gerakan seperatisme dan tuntutan penerapan model atau bentuk Negara Federal di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Sejalan dengan UU Nomor 22 tahun 1999, Pemerintahan Pusat menerbitkan pula UU Nomor 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. UU ini juga memperkuat posisi Daerah dengan diterapkannya sistem pemilihan semi distrik, Juni 1999. Penerbitan UU Nomor 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan seperatisme dan tuntutan Negara Federal di Daerah-Daerah Luar Pulau Jawa pasca kejatuhan Soeharto. Kekuatan gerakan seperatisme dan tuntutan Negara Federal menjadi sangat lemah, karena para elite lokal menghendaki kemerdekaan Propinsi dan Negara Federal menjadi terpecah. Pemerintahan :Pusat berhasil menggiring Para Bupati dan Walikota agar lebih tertarik untuk menjadi “Raja Kecil” di Daerah masing-masing, namun dikendalikan dan bergantung pada Pusat. Bahkan, Pemerintahan Pusat juga berhasil menumbuhkembangkan kalangan “Raja Kecil” terkena kasus tindak korupsi atau menjdi Koruptor yang pada gilirannya memperlemah gerakan seperatisme dan tuntutan Negara di Provinsi bersangkutan. PERNYATAAN TIDAK RASIONAL, TIDAK FAKTUAL: Belakangan ini terdapat Pakar politik semula pendukung gagasan Negara Federal mulai mendukung Negara Kesatuan dan kompromis dengan Pemerintah Pusat sembari berdalih, yang penting substansi pelayanan masyarakat dan hubungan Pusat dan Daerah. Mereka acapkali mendengungkan bahwa substansi dari Negara Federal diinginkan selama ini dan implementasi kebijakan otonomi daerah luas, juga otonomi khusus seperti berlaku di Aceh dan Papua, tidak berbeda jauh. Bahkan beberapa diantaranya menyajaikan pernyataan, kebijakan otonomi daerah di Indonesia sudah “kebablasan” dan lebih federal dari pada Negara Federal. Salah satu indikator ditunjukkan, yakni otonomi daerah berlaku pada tingkat Pemerintah Kabupaten/Kota, bukan tingkat Provinsi. Pada hal di dalam Negara Federal, otonomi daerah ada pada tingkat Propinsi. Mereka acap kali melemparkan pernyataan bahwa kewenangan dari otonomi saat ini telah melampaui gagasan Negara Federal. Sesungguhnya pernyataan-pernyataan semacam ini adalah tidak rasional, tidak faktual dan dapat “memperlena” atau “membodohi” kelompok pendukung model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Salah satu alasan mengapa tidak rasional, tidak faktual yakni sekarang ini kekuasaan masih terpusat di Jakarta dan power sharing masih bersifat bottom-up. Pemerintah Pusat memberikan sebagian kekuasaan kepada Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota. Sementara, jika Negara Federal sebagian kekuasaan memang diberikan oleh Negara Bagian (Daerah) kepada Negara Federal (Pemerintah Pusat) atas inisiatif dari Negara Bagian dan bukan dari Negara Federal. Di Indonesia masih berlaku prinsip top-down. Pemerintah Daerah pada hakekatnya hanya menjalankan atau menerima bagian kewenangan dilimpahkan dari Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat masih bisa memaksakan urusan-urusan tidak diinginkan oleh Pemerintah Daerah (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).***** SEBAGAI TAMBAHAN REFERENSI TENTANG PEMIKIRAN FEDERALISME DI INDONESIA: Koalisi NGO HAM Aceh melalui media Free-DOM,Edisi 5, 2001, menyajikan Resensi Buku Federalisme; Membendung Militer. Judul Buku: FEDERALISME UNTUK INDONESIA. Penulis : Adnan Buyung Nasution, Harun Alrasid, Ichlasul Amal, dkk Pengantar : Jacob Utama Penerbit : Harian KOMPAS, Jakarta. Cetakan : Pertama, 1999. Tebal : xxxi +198 Hal + indeks. Isi resensi buku dimaksud sebagai berikut: • "Karena ini merupakan masalah yang begitu gawat, maka tidak bisa diselesaikan satu-dua tahun, tetapi harus dimulai dulu dari ide. Saya memberi target RIS berdiri paling lambat tahun 2045, tergantung generasi muda. Kalau mereka giat tahun 2028 dan yang tua-tua mendukung 2008". Y.B Mangunwijawa, seorang budayawan sekadar melempar prediksi. Boleh jadi benar atau, jika satu dua tahun ini terbentuk, yang pasti ia sudah tak bisa menikmati alam "Indonesia Serikat" itu karena keburu meninggal dunia. Tapi gagasan itu akan terus diperdebatkan, didiskusikan oleh siapa saja sampai satu model alternatif buat sistem pembagian kekuasaan (division of power) ditemukan. • Enam tahun di bawah cengkraman sistem totaliter Demokrasi Terpimpin ditambah tiga puluh dua tahun lebih dalam asuhan keras Demokrasi Sentralistik Orde Baru, Indonesia sesungguhnya sudah lama menjadi sebongkah batu. Mengeras di tangan kekuasaan memusat di satu tangan besi –meskipun cukup lunak dan halus- yang menegasikan pluralisme etnik, ras, golongan, budaya, sistem kosmologis, sehingga terwujudlah sebuah "sapu lidi" besar yang diikat oleh paksaan kekuatan pemerintahan Pusat, dijaga ketal oleh aparatus koersifnya yang tenar dikenal sebagi kaum militer. • Dan ketika praktek teori politik yang diperagakan dua Orde itu tumbang, banyak yang tak sanngup lagi menerima pembodohan struktural tersebut di kalangan massa-rakyat. Maka terkuaklah gerakan-gerakan yang sedianya patuh dalam kebersamaan, namun kini cenderung memilih melepaskan diri dari poros Jakarta, atau meningkatkan daya tawarnya dengan otonomi seluas-luasnya sampai pada pembentukan propinsi-propinsi baru. • "Indonesia dapat dibagi dalam 40 propinsi, tiga Daerah Istimewa dan delapan Daerah Khusus", gagas Yusril Ihza Mahendra, atas nama Ketua Partai Bulan Bintang (PBB) dalam diskusi yang digelar oleh KOMPAS dan Freidrich Ebert Stiftung dan kemudian direkam semuanya dalam buku ini. Namun ide otonomi itu yang antara antara lain dipertahan kan oleh pengamat politik Andi Alfian Mallarangeng sebab baginya federalisme dipersyarati dengan lebih dahulu membubarkan NKRI, juga Adnan Buyung Nasution, banyak mendapat tanggapan, terutama masalah pembagiaan kekuasaan dan keuanagan Pusat-Daerah yang mesti segera terealisir secepatnya. Arah menuju sistem yang sudah pernah di gagas Moh. Hatta pada tahun 1935 bisa dibenahi sejak sekarang sebagai awal proses panjang menuju federalisme. • Dalam buku ini juga diisi oleh makalah dari negeri jiran Malaysia yang memerikan kembali prosesi terbentuknya federasi Malaysia yang, meski awalnya tertinggal, kini justrus melesat jauh ke depan dibanding Indonesia. Salah satu sebabnya, demikian Profesor Dr. Azman Syed Ahmad, sistem federasi di Malaysia cukup penting dalam menjamin terciptanya "praktik demokrasi". (hal. 99). Dan kitapun tak terkejut, tak ada penduduk dari satu negara bagian di sana yang punya ambisi untuk menetap dan mngadu nasib ke ibukota negara, Kuala Lumpur. Ketemtraman hidup, kesejahteraan sosial dan ekonomi cukup bisa dinikmati di daerah masing-masing. • Hal yang sangat kontras dengan Indonesia yang setia tahun (khususnya Lebaran) tingkat populasi penduduk Jakarta bertambah drastis. Itu pun banyak yang menderita, dan akhirnya terjun ke wilayah kumuh dan gelap. Tak pilihan lain ketika segala kekayaan propinsi diangkut ke Jakarta dan daerah-daerah cuma mendapat "setaik kuku hasil pembangunan" untuk diperebutkan. Kemiskinan dan kebodohan berbaris panjang dari pulau ke pulau. • Yang paling penting saat ini yang bisa disumbangkan konsep federalisme adalah memangkas peranan militer. Ichlasul Amal, sebagai Rektor UGM Jogjakarta, ia berangkat dari pandangan mahasiswa tentang federalisme. Disamping alasan mereka dan ia setuju, bahwa federalisme, yang memberi kekuasaan adalah negara bagian (bootom up) sementara sistem NKRI desentralisasi/otonomi menetes dari atas (top down), tetapi yang terutama, federalisme dapat membendung laju militer di wilayah bawah. Militer hanya di atas, dipusat kekuasaan federal. Sebagai Malaysia, militer dari dulu netral, tidak pernah melibatkan diri dalam hal dukungan dan aksi-aksi sosial-pilitik secara tegas. • Dan dalam negara kesatuan yang paling diuntungkan adalah militer. Kalau kita lihat sejarah, ide kesatuan dankebangsaan yang muncul dari elite pendidikan , tapi kemudian diambilalih militer untuk dipaksakan. Akhirnya "nasionalisme" menjadi proyek paling besar bagi militer. Sebuah operasi militer dari pantai Sumatera hingga pedalaman Kalimantan dan Irian Jaya berikut semua hasil-hasil SDA bisa diraup dalam sekejab atas nama "bangsa dan negara". Dan karena itu, ketika berbincang masalah federalisme, batu sandungan terbesar bagi proses terbinanya sistem ini ada pada kelompok "uniform" ini. • Bagi yang senang pada pemikiran alternatif dan suka mencari penyegaran wacana terutama maslah sosial-politik, buku ini kiranyan bisa menjadi bahan renungan. Siapa nyana, akibat arus pemikiran serius, bangsa ini akan menganut federalisme, ketika kita sadar, kita mafhum bahwa setiap orang, suku, bangsa di mana saja memiliki hak danmandat kehidupan untuk bebas. Terserah pakah nanti, dalam prose sejarah, semua kita akan mendefinisikan sebuah "kesatuan" yang lebih besar. Globalisasi dan post-modernisme, di samping berpretensi menciptakan negara atau bangsa tanpa batas (universal-state), tapi setidaknya untuk saat awal ini masih manaruh hormat pada unit-unit kecil yang unik dari belahan dunia mana pun. Apakah 2045 seperti ramalan Romo Mangun, atau kapan, kita tunggu saja ferak bandul sejarah pembebasan.TIM FREE.

Jumat, 11 April 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN KELIMA): HARGA MATI, DISINTEGRASI, NEGARA KEPULAUAN DAN PEMERINTAAH PUSAT/BIROKRASI

Dalam pembicaraan dan diskusi publik tentang issue Negara Federal di Indonesia Kita dapat menemukan butir-butir perdebatan antara kelompok penentang dan kelompok pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Butit-butir perdebatan dimaksud antara lain: (1) Negara Kesatuan harga mati dan telah ditetapkan di dalam UUD 1945 hasil Amandemen; (2) Disintegrasi, perpecahan bangsan dan pemisahan Daerah dari Republik Indonesia; (3) Negara kepulauan; (4) Pemerintah Pusat dan Birokrasi; (5) Tradisi keramat RI 17 agustus 1945 ; (6) Masuknya orang asing; (7) Konsep Neo-Belanda dan Set-back ke zaman sebelum 1928; (8) Tenaga Ahli; (9) Efisiensi hubungan bisnis dan usaha luar negeri;(10) Biaya Administrasi; (11) Keberagaman etnis; (12) Kebebasan bergerak (bekerja); dan (13) Pemerataan pembangunan. Tulisan Bagian Kelima ini akan menyajikan butir-butir perdebatan berkaitan hanya dengan nomor (1) s/d Nomor (4. Pertama-tama kita menemukan butir perdebatan antara kelompok penolak dan pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia terkiat dengan prinsip bahwa NEGARA KESATUAN HARGA MATI DAN TELAH DITETAPKAN DI DALAM UUD 1945. Butir perdebatan berdasarkan penegasan kelompok penolak tentang prinsip NKRI harga mati ini berangkat dari alasan dan argumentasi konstitusional/UUD 1945. Berdasarkan UUD 1945, mereka mengklaim bahwa konstitusi Indonesia (UUD 1945) secara tegas melarang terbentuknya Negara Federal di Indonesia. Di dalam UUD soal Negara kesatuan ditegaskan dua kali, pada pasal pertama dan pada pasal terakhir. Pasal 1 (1) berbunyi “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Berdasarkan Pasal 1 ini, Indonesia didefinisikan sebagai Negara Kesatuan. Bentuk ini bukan dirumuskan sebagai bentuk pilihan, namun sebagai rumusan definitif. Artinya, Negara Indonesia tidak ada jika tidak berbentuk sebagai Negara Kesatuan. Di lain fihak Pasal 37 ayat 5 menyatakan “bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”. Bagi mereka, merubah Negara kesatuan menjadi Negara Federal bukanlah reformasi, tetapi merupakan gerakan anti NKRI. Bahkan, ada seorang pendukung Negara Kesatuan menilai, adalah ironis Amin Rais, menjabat Ketua MPR dan telah bersumpah setia kepada Pancasila dan UUD 1945 berarti bersumpah setia kepada NKRI, ikut mendorong pembentukan Negara Federal. Amien dinilai ingkar. Keingkaran ini seharusnya menyeret Beliau untuk mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali kalau Beliau sudah tidak menghargai lagi nilai moral dan harkatnya. Logikanya, setiap anggota MPR tidak boleh mendukung penerapan Negara Federal di Indonesia karena telah bersumpah setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Bagi mereka, setia kepada Pancasila berarti setia kepada NKRI. Sesungguhnya bagi pihak pendukung, hal ini tidak bisa menjadi excuse untuk menutup celah diskusi akademis tentang gagasan Negara Federal. UUD 1945 bagaimanapun tetap merupakan produk historis, bisa dan patut dikembangkan sesuai relevansi zaman dan kepentingan nasional lebih besar, antara lain: kemajuan ekonomi dan integrasi nasional lebih membumi dan konkret. UUD 1945 bukanlah sebuah wahyu dogmatis dan harus selalu dirasionalisasi. Kenyataannya, UUD 1945 pernah diamandemen berkali-kali oleh MPR pimpinan Amien Rais dalam era reformasi ini setelah keruntuhan kekuasaan Rezim Orde Baru di bawah kepemimpinan militer, Soeharto. Bagi para pendukung Negara Federal, pada dasarnya NKRI adalah produk kebijakan politis sama seperti Republik Indonesia Serikat (RIS). Saat itu Indonesia pernah menerapkan bentuk Negara Federal. NKRI sebagai pilihan bentuk Negara bukanlah satu-satunya hal paling fundamental dan asasi dalam kehidupan berNegara di Indonesia karena dasar filosofisnya tidak sekuat perangkat keNegaraan lain seperti Pancasila dan semboyan Negara. Dialog tentang gagasan Negara Federal patut untuk tidak dibatasi hanya dengan alasan kesakralan NKRI dan UUD 1945. Kepentingan nasional lebih besar perlu diutamakan. Butir perdebatan kedua adalah PERPECAHAN, DISINTEGRASI DAN PEMISAHAN DIRI. Kalangan penentang penerapan model dan sistem Negara Federal menilai, jika Indonesia diterapkan model dan sistem Negara Federal, akan terjadi perpecahan bangsa, disintegrasi nasional dan pemisahan diri Daerah dari pangkuan Republik Indonesia (merdeka). Mereka khawatir akan perpecahan,disintegrasi dan pemisahan diri Negara-Negara bagian bagaikan balanisasi Republik Indonesia seperti di Yugoslavia. Pembentukan Negara Federal akan berakibat bubarnya Indonesia. Mereka kerapkali menilai gagasan Negara melihat sistem Federal dengan pandangan negatif dan sengaja melupakan manfaat mungkin dapat disumbangkan Negara Federal untuk bangsa Indonesia yang majemuk ini. Para Penentang pada umumnya menyebutkan bahwa Negara Federal bisa menyebabkan terjadinya “disintegrasi” di Indonesia. Merubah Negara Kesatuan menjadi Negara Federal sebagai solusi karena telah terjadinya tindak kekerasan dan ketidakadilan adalah penyelesaian menyesatkan. Para penentang mempertanyakan, seandainya Negara Federal telah terlaksana, siapakah dapat menjamin akan lahirnya kehidupan damai kalau di wilayah itu telah berkembang konflik horizontal begitu tajam? Siapakah menjamin, di dalam Negara Bagian itu sendiri tidak akan lahir “tirani baru” menindas kalau tuntutan Federalisme bukan datang dari bawah, tetapi dimobilisasi oleh elit dan pemilik dana/uang? Jika benar tuntutan Negara Federal atau Kemerdekaan datang dari rakyat, kenapa justru terjadi pengungsian besar-besaran ketika tuntutan itu didesakkan? Manakala penindasan oleh “tirani baru” terjadi, sejauh manakah kekuatan rakyat di sebuah Negara Bagian akan mempu memperjuangkan nasib mereka sendiri? Beberapa pertanyaan ini ditujukan untuk membantah asumsi-asumsi dasar kelompok pendukung Negara Federal, terutama terkait dengan penerapan Negara Federal sebagai solusi untuk memecahkan masalah perpecahan, disintegrai dan pemisahan diri Daerah dari Republik Indonesia. Di lain fihak, kelompok pendukung Negara Federal meyakinkan bahwa Indonesia semestinya kembali ke model atau sistem Negara Federal. Pemerintah Indonesia takut menerapkan sistem Negara Federal karena khawatir akan cenderung memicu ketidakstabilan politik dan gerakan pemisahan diri dari NKRI. Sesungguhnya menurut mereka, dari segi pertahanan dan keamanan nasional, semakin sentral pemerintahan semakin kacau di bawah (rakyat), semakin sulit Kepolisian Nasional mengendalikan. Dari segi keberagaman etnis, besar dan jumlah unit konstituen merupakan dua elemen amat menentukan kemampuan Negara Federal dalam mengakomodasi kepentingan minoritas. Mengacu pada pandangan Jonathan Lemco (1991), suatu Negara dengan luas wilayah relatif kecil dan memiliki komposisi penduduk homogen tidak perlu mengadopsi model atau sistem Negara Federal. Swiss merupakan pengecualian (luas daerah kecil) dan Meksiko merupakan Negara Federal dengan populasi homogen. Namun, model dan sistem Negara Federal sangat cocok apabila diterapkan pada suatu Negara memiliki wilayah terbagi-bagi ke dalam jumlah besar daripada kecil. Selanjutnya para pendukung acapkali mengutip pandangan Donald L. Horowitz (1985), bahwa Federalisme seringkali diadopsi oleh Negara-Negara memiliki populasi penduduk dengan beragam etnis, di mana tempat tinggal mereka secara homogen terbagi berdasarkan etnik maupun wilayah terpisah-pisah. Asumsinya, lebih banyak wilayah dapat diidentifikasi berpopulasi homogen berdasarkan etnis tertentu, maka akan lebih baik sistem Negara Federal tersebut mengakomodasi berbagai kepentingan minoritas. Kelompok pendukung menilai dari segi budaya, model dan sistem Negara Federal akan menimbulkan beragam sentrum kultural jauh lebih merata dan kaya kekhasan sehingga lembaga-lembaga seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) serta Pusat Kebudayaan berkembang di Daerah-daerah. Penjabaran kedaulatan rakyat yang sungguh konsekuen untuk 13.000 pulau dengan lebih dari 240 juta manusia serba tersebar serta beragam budaya, hanya dapat real dan efektif dalam sisten Negara Federal. Mereka menolak pandangan bahwa sistem Negara Federal akan menyebabkan bangsa dan Negara Indonesia mengalami disintegrasi. Sistem Negara Fedeeral justru akan memperkuat integrasi dan mencegah disintegrasi serta mensejahtetakan rakyat. Kelompok pendukung menyajak kita untuk membayangkan Papua, Nusa Tenggara, Kalimantan dipersilahkan mengurus sumber daya alamnya sendiri tanpa diambil Pusat. Berapa kekayaan dan betapa kayanya Daerah tersebut. Tidak ada orang ingin kalah dan percayalah bahwa persaingan sehat akan memicu semangat. Potensi itu sangat besar, dan besar sekali. Terlalu besar jika hanya ditanggung oleh Jakarta untuk mengurus semuanya. Negara Federal bukan berarti kita berpisah-pisah. Satu Negara, satu bangsa, satu bahasa, satu mata uang, satu TNI. Mungkin yang lain kita delegasikan penuh kepada daerahnya masing-masing. Biarkanlah Daerah mempunyai Polisi untuk menegakkan Peraturan Daerahnya. Apabila dioperasikan secara tulus, model atau sistem Negara Federal dapat menghilangkan ancaman disintegrasi dari bumi Indonesia. Dibawah naungan model dan sistem Negara Federal, masyarakat di daerah-daerah di luar Jawa pada khusunya akan dapat mengatur diri sendiri dan tidak merasa dalam cengkraman kekuasaan Pulau Jawa. Adalah fakta bahwa cengkraman kuat itu bukan saja telah mengakibatkan terpuruknya masyarakat di luar Jawa, melainkan juga mematikan kreativitas mereka. Yang lebih parah lagi adalah mereka merasa dijajah oleh Jawa. Dengan prinsip kekuasaan dianut modelatau sistem Negara Federal berarti bahwa masyarakat daerah memiliki kekuasaan dan merekalah memberikan sebagian dari kekuasaan kepada Pemerintah Pusat. Ini berarti bahwa merekalah menghidupi Pemerintah Pusat. Perasaan memiliki tersebut berfungsi sebagai perekat di dalam hubungan antara Pusat dan Daerah. Hal ini membawa efek sentripetal. Artinya, karena daerah mereka memiliki pusat pemerintahan, maka masyarakat Daerah tidak perlu merasa untuk menjauh dan tidak perlu mengambil langkah-langkah disintegratif. Arus sentrifugal akan terakomodasi dengan baik dalam model atau sistem Negara Federal. Kebebasan dan kekuasaan besar dan dimiliki masyarakat di Daerah-daerah akan memungkinkan sistem ini mengubah arus sentrifugal itu menjadi arus sentripetal. Di dalam model dan sistem Negara Federal, tingkat kepuasaan masyarakat Daerah akan sangat tinggi. Bagi kelompok pendukung, modeldan sistem Negara Federal sangat bermakna bagi upaya suatu bangsa untuk mencapai tingkat integrasi yang sangat tinggi. Penerapannya secara tepat akan mampu mencegah bergulirnya proses disintegrasi di Indonesia. Butir perdebatan ketiga adalah NEGARA KEPULAUAN. Kelompok penentang menilai model atau sistem Negara Federal tidak cocok untuk Negara kepulauan seperti Indonesia. Tidak ada Negara kepulauan di dunia ini berbentuk Negara Federal. Di lain pihak, kelompok pendukung, justru menganggap Indonesia Negara kepulauan sangat cocok untuk model atau sistem Negara Federal. Indonesia adalah Negara kepulauan, memiliki lebih dari 17.000 pulau: 6.000 diantaranya berpenghuni. Negara makmur memiliki sumber daya alam luar biasa termasuk minyak bumi, gas alam, batu bara, bijih timah, nikel, bauksit, tembaga, emas, perak, kayu, dan tanah subur. Populasi penduduk berjumlah sekitar 240 juta jiwa, memiliki keragaman etnik dan kepercayaan, dengan prosentase suku Jawa 45%; Sunda 7.5%; Madura 7.5%; Melayu 7.5%,; dan lainnya 26%. Sedangkan dari kepercayaan, pemeluk agama Islam berjumlah 88%; Protestan 5%; Katolik Roma 5%; Hindu 2%; Budha 1%; dan lainnya 1%. Indonesia adalah Negara sangat luas atau terlalu luas jika hanya dikomandoi dari satu titik, Ibukota Jakarta. Begitu luas dan besar Indonesia, harus membagi menjadi lebih 30 Provinsi, terbagi lagi ke dalam 3 (tiga) bagian waktu: WIT (Waktu Indonesia Timur), WITA (Waktu Indonesia Tengah), dan WIB (Waktu Indonesia Barat). Belum lagi jika dibagi berdasarkan bahasa daerah, pulau, ras, agama, budaya, dan lainnya. Banyaknya perbedaan terlalu naïf untuk kita menjeneralisir atau menyeragamkan. Satu bahasa bisa, satu bendera setuju, satu bangsa juga sepakat. Tetapi, menurut mereka, jika harus disamakan cara pergaulan masyarakat sangat besar ini dalam berbagai hal justru akan menghambat perkembangan masyarakat. Biarkan Aceh mengatur dengan syariat Islamnya, dan mungkin masih banyak lagi ingin meniru. Biarkan Bali tumbuh dengan norma dan nilainya sendiri. Biarkan Daerah-daerah lain ingin menjaga budaya dengan caranya sendiri. Menurut kelompok pendukung, Indonesia memiliki tingkat heterogenitas kepentingan berbasis etno-regional dan etno-religious sangat tinggi. Prinsip seperti “unity in diversity” atau “Bhinneka Tunggal Ika” dianggap paling sesuai bagi bangsa Indonesia. Prinsip di mana kepentingan peribadi, suku, agama, dan golongan harus mengalah pada kepentingan umum. Butir perdebatan keempat, yakni PEMERINTAH PUSAT DAN BIROKRASI. Menurut kelompok penentang, model dan sistem Negara Federal menyebabkan Kedudukan Pemerintah Pusat menjadi lemah dan birokrasi bertele-tele dan tidak efisien. Kesempatan dimiliki oleh Negara Bagian dalam Negara Federal tidak sama. Sementara itu, fihak pendukung menolak pandangan kelompok penentang model atau sistem Negara Federal di atas. Menurut kelompok pendukung, tidak ada kedudukan Pemerintah Pusat dari suatu Negara Federal lemah baik dalam arti politik maupun ekonomi. Tidak ada posisi Pemerintah Federal lebih lemah ketimbang Pemerintah Negara Bagian seperti dihadapi oleh Washiington (Negara Federal Amerika Serikat), Berlin (Negara Federal Jerman) ataupun Kuala Lumpur (Negara Federal Malaysia) serta Pemerintah Federal lain dalam masalah internal maupun eksternal masing-masing (Bersambung/MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

Kamis, 10 April 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN KEEMPAT): ALASAN DAN ARGUMENTASI

Dalam pembicaraan dan diskusi publik tentang issue Negara Federal di Indonesia Kita dapat menemukan sejumlah pemerhati, pengamat, politisi dan bahkan akademisi sebagai kelompok pendukung penerapan model dan sistem Negara Federal di Indonesia. Tulisan ini akan menyajikan beragam alasan dan argumentasi kelompok pendukung dimaksud. Satu pertanyaan dasar perlu mendapat jawaban umum adalah: “Mengapa model dan sistem Negara Federal sebaiknya diterapkan di Indonesia?” Tatkala para Pendukung Negara Federal angkat bicara diIndonesia, nama Muhammad Hatta acap kali menjadi rujukan karena Proklamator ini merupakan salah seorang Tokoh Nasional mendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia dalam SIdang BPUPKI. Salah satu dasar gagasan Negara Federal dimaksud adalah kondisi geografi dan sosial kemasyarakatan Indonesia. Yakni Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa. Karena itu, perlu tiap-tiap golongan kecil atau besar mendapat otonomi, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Satu-satunya dapat mengatur pemerintahan sendiri menurut keperluan dan keyakinan sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan secara umum. Bagi Mohammad Hatta, Indonesia terdiri dari masyarakat majemuk, sehingga membutuhkan bentuk Negara Federal bagi Indonesia untuk mempersatukan segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia. Namun, dalam pengambilan keputusan mengenai bentuk negara di Sidang BPUPKI, Hatta mengikuti pendapat mayoritas dengan menerima bentuk Negara Kesatuan untuk Indonesia. Mengapa? Karena Hatta kalah suara dan mayoritas anggota BPUPKI lebih menginginkan bentuk Negara Kesatuan. Kecuali Mohammad Hatta, juga menjadi rujukan adalah Ide Anak Agung Gde Agung dengan era "Negara Indonesia Serikat”(1946-1949). Ide Anak Agung Gde Agung adalah putra asli pulau Bali. Mengacu pada hasil suatu hasil penelitian akademis, Ide Anak Agung Gde Agung pernah merasakan pengalaman pahit dengan penerapan sistem sentralisme pemerintahan Hindia Belanda. Federalisme yang diusung oleh Ide Anak Agung Gde Agung dalam bernegara secara esensi memiliki kesamaan dengan pandangan dari van Mook. Mereka sepakat, negara federal merupakan bentuk ideal bagi Negara Indonesia serta sama-sama menyandarkan pada konsep sintesa nasional. Namun, perbedaannya terletak pada unsur yang berpadu serta landasan filosofis yang digunakan dalam konsep sintesa nasionalnya. Dalam pandangan van Mook unsur yang berpadu dalam Negara Indonesia Serikat harus terdiri dari Belanda dengan pihak Republik. Sementara itu, dalam konsep sintesa versi van Mook dasar filosofinya mengambil dari politik etis yang menekankan pada asosiasi. Van Mook mengharapkan bahwa dengan adanya politik etik, maka akan tercipta sebuah hubungan antara Pribumi dengan pihak Pemerintah Hindia Belanda. Dalam hal ini pihak pribumi dijadikan mitra Belanda untuk membentuk tatanan Negara baru. Di lain fihak, Ide Anak agung Gde Agung berpandangan, unsur berpadu dalam Negara Indonesia Serikat harus antar Republik Indonesia dengan Bijeenkomst vor Federaale Overlage (BFO). Adapun dasar filosofi yang digunakan dalam memadukan kedua unsur tersebut adalah konsep “tri hita” karana dan “rwa bhineda”. Kedua konsep ini merupakan local genius (kearifan lokal) yang senantiasa mendarah daging bagi manusia Bali. Konsep “tri hita karana” menekankan pada harmonisasi dari berbagai unsur adalah untuk mencapai jalan kebahagian di dunia dan akhirat sementara konsep rwa bhineda menekankan pada semangat toleransi diantara sesame manusia. Kedua konsep ini sejalan dengan tindakan dan pemikiran Ide Anak Agung Gde Agung dalam mewujudkan Negara Indonesia serikat. Inti federal sama dengan inti ajaran “rwa bhineda”, menghargai perbedaan tetapi tetap berusaha melestarikan perbedaan yang ada. Pemikiran federalisme Ide Anak Agung Gde Agung telah memberikan dampak cukup besar terhadap berdirinya Republik Indonesia Serikat. Ide anak Agung Gde Agung senantiasa mendasarkan pemikirannya pada konsep sintesa nasional. Pada awal reformasi akhir tahun 1990-an, Tokoh Nasional Reformasi Amien Rais kembali melontarkan ke publik gagasan federalisme atau Negara Federal untuk diterapkan di Indonesia. Namun, gagasan federalisme ini mendapat gelombang penentangan dan kebanyakan ditolak, terutama oleh tokoh-tokoh Angkatan 45, khususnya perwira ABRI. Namun, secara sembunyi-sembunyi, tidak sedikit Daerah menghendaki adanya bentuk Negara Federal. Dengan harapan, pembangunan sosial ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, dengan pembagian proporsional dan keadilan dapat diselenggarakan. Beberapa Daerah seperti Pemerintahan Provinsi Aceh, Papua, Riau, Kalimantan Timur secara diam-diam ”tidak” menolak pembentukan Negara Federal. Meskipun dalam perumusan legal formal, istilah federalisme tidak tampak, sesungguhnya roh federalisme tidaklah dapat ditolak ketika rumusan Pasal terkait dengan pengaturan Pemerintahan Daerah, membagi-bagi pada wilayah Provinsi, Kabupaten/Kota. Fauzi Yusuf Hasibuan adalah salah seorang Ketua Peradi (Persatuan Advokat Indonesia. Menurut Mantan Aktivis Mahasiswa 77/78 di Universitas Sumatera Utara (USU) ini, federalisme sebagai satu gagasan, tidak bisa diberikan justifikasi “salah”. Gagasan federalisme ini memang harus diuji dahulu agar kita mengetahui. Karena itu, Fauzi tidak cenderung “apriori”. Kenapa? Karena, lanjut Fauzi, sebagai seorang Amien Rais merupakan Tokoh dan Ilmuwan, gagasannya tentu tidak didasarkan kepada lontaran subjektifitas, melainkan telah dilakukan matang dengan komparasi-komparasi melihat di berbagai macam perkembangan dunia. Oleh karena itu, federalisme sebagai suatu gagasan, menurut Fauzi, harus kita apresiasi. Tidak tertutup perubahan sampai pada memberi dan menerima federalisme tanah air Indonesia ini. Jadi, bukan mutlak harus negara ini tidak berubah seperti apa. “Jika untuk perubahan baik, kenapa tidak?”, kilah Fauzi Sembari secara peribadi sepakat, apabila gagasan itu baik dan mungkin untuk dilakukan, maka tidak tertutup kemungkinan. Selanjutnya, Ichwan Azhari adalah Sejarawan dan Dosen Universitas Negeri Medan (Unimed), Sumatera Utara. Ia senada dengan Fauzi Yusuf Hasibuan dalam menanggapi gagasan federalisme Amien Rais. Pada saat orang tidak berani mendiskusikan Negara Federal, Amien Rais malah tampil dan menyatakan bahwa Indonesia harus menjadi Negara Federal. Gagasan Amien Rais tentang Negara Federal mempesona Ichwan Azhari. Gagasan ini ke depan akan menjungkir-balikkan Negara Kesatuan. NKRI bukan kitab suci sekarang sepertinya tidak boleh diganti. Siapapun mengatakan NKRI harga mati, Itu sudah bertentangan dengan Sunatullah. Mereka menentang hukum alam, tidak ada NKRI harga mati, tidak betul itu. Bagi Ichwan, Indonesia ke depan harus Negara Federal, bukan Negara Kesatuan yang dikontrol oleh Pusat. Alasannya adalah Indonesia begitu luas untuk ditentukan oleh segelintir orang di Senayan. Orang-orang ini mengaku Wakil dari Daerah-Daerah, tetapi sebetulnya mereka bukan orang-orang mengenal Daerah. Contohlah seorang anggota DPR dari Sumatera Utara, baru muncul di Sumatera Utara ketika mau Pemilu. Dia bukanlah tokoh datang dari kita. Jadi, Senayan tidak mewakili. Sekali lagi Indonesia ditentukan oleh perundang-undangan dihasilkan oleh Senayan mengatasnamakan Indonesia. Jadi indonesia direduksi oleh orang pintar dari Senayan. Lebih jauh Ichwan Azhari menilai, Daerah belum cocok dipaksakan juga dengan model Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Tidak pernah ditanya ketika Undang-Undang tentang Politik dibuat di Daerah. Tetapi, kemudian Ichwan kecewa dengan Amien Rais. “Mengapa Amien Rais begitu populis dengan gagasan Negara Federal, tiba-tiba menghilang?”, tanya Ichwan Sembari menekankan cerita mengenai Negara Federal lenyap dalam text books Amien Rais. Sesuatu yang sangat disesalkan. Menurut Alumnus dari negeri Jerman ini, kalau memang belum bisa dilakukan sekarang tidak apa-apa, tetapi Amien Rais harus menyatakan, yang ideal untuk Indonesia. Jadi, perlu dikaji. Pertama, mengapa gagasan Negara Federal sayup-sayup? Jika itu merupakan gagasan kita anggap sebuah gagasan brilian, seharusnya sebuah gagasan itu dihidupkan baik oleh Amien Rais maupun kader-kadernya. Bagi Ichwan, penting sekali untuk ditelaah ulang tentang gagasan negara federal. Kita memerlukan orang seperti Amien Rais yang kemana-mana berteriak. Jawahir Thontowi adalah Guru Besar Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, dan juga Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR-RI. Menurut Jawahir Thontowi, sistem politik semula sangat sentralistik berubah menjadi desentralisasi telah menunjukan adanya jalan tengah antara pro dan anti-federalisme. Argumentasinya adalah Pasal 18 ayat (5) UUD 1945, Pemerintahan Daerah menjalankan Otonomi Daerah seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan oleh Undang-undang ditentukan sebagai Urusan Pemerintah Pusat. Pasal tersebut, dengan jelas menyatakan, dalam menjalankan Otonomi Daerah seluas-luasnya berarti bahwa Pemerintahan Daerah memiliki hak dan wewenang yang luas, sepanjang tidak bertentangan dengan urusan Pemerintahan pusat, urusan luar negeri, keamanan dan pertahanan, keuangan dan perpajakan, keagamaan dan penegakan hukum. Begitu juga kandungan Pasal 18A ayat (1) UUD 1945 telah memberi tempat fleksibel, kekhususan dan keragaman memiliki kepastian hukum untuk dilindungi. Pada hakikatnya bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan. Lebih dari itu, Pasal 18B ayat (1), Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintahan Daerah bersifat khusus atau bersifat istimewa diatur dengan Undang-undang. Ketiga pasal tersebut, menunjukan adanya kepastian hukum bagi keberadaan bentuk dan sifat Pemerintahan Daerah beraneka ragam. Keberadaan Pemerintah Provinsi Khusus Aceh Darussalam, Pemerintah Provinsi Khusus Papua, dan juga Pemerintah Daerah Istimewa adalah tiga corak Pemerintahan Daerah berbau federalisme. Selanjuitnya penilaian tentang Negara Federal datang dari Tachir Kasnawi, Guru Besar Fisip Universitas Hasanudin,Makassar. Tachir mengakui, Amien Rais secara lantang menyatakan, paling tepat Indonesia sebagai negara federal. Pemikiran Beliau sebetulnya ingin mengatakan bahwa jangan penyelenggaraan kehidupan berbangsa ini terpusat. Politik pembangunan tidak merata karena hanya melihat dari kacamata Pusat yang sangat hegemonik. Sebagai kompromi pemikiran Amien Rais tentang Negara Federal, lahirlah Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Namun, menurut Tachir Kasnawi, ada persoalan. Yakni Otonomi Daerah dipraktekkan cepat. Banyak Daerah bergolak, Papua mau merdeka, Aceh mau merdeka. Otonomi Daerah tidak diikuti dan dijalankan dengan kesiapan peranata sosial politik di Daerah sendiri. Selama ini sangat sentralisitik. Begitu dikasih otonomi langsung disambut dengan euphoria, dilaksanakan secara liar di Daerah. Muncul Raja-Raja kecil. Kita mungkin harus menyusun dulu peranata sosial, baru menerapkan Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Bagi pandangan Tachir, demokrasi di Indonesi sudah seperti di Amerika. Terjadi “money politics” bahkan sudah terbiasa dengan menggantung ke atas tiba- tiba lepas gantungannya, turun sendiri menjadi liar di bawah. Mahfud MD adalah Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Guru Besar Ilmu Hukum ini berkesimpulan bahwa negara besar umumnya Negara Federal. Indonesia memilih Negara Kesatuan. Karena itu, demokrasi harus ditunjang melalui Otonomi Daerah. Tidak bisa kalau di Negara Kesatuan tidak ada Otonomi Daerah karena akan muncul problema sama pada saat zaman Orde Baru lagi. Daerah tidak berdaya tetapi seperti api dalam sekam. Jadi pilihannya Otonomi Daerah diperluas sudah bagus. Tinggal bagaimana kita mengelolanya. Seingat Mahfud MD, Amien Rais membawa issue federalisme karena federalisme masuk ke dalam platform PAN. Pada waktu itu Mahfud ikut menyusun platform PAN. Bahwa PAN mewacanakan Negara federal sebagai pengganti negara kesatuan. Dari mana gagasan itu dan apa alasanya?. Seingat Mahfud, gagasan itu muncul dari sebuah Seminar di Kampus UGM dilaksanakan Pusat Studi Pedesaan dan Kawasaan UGM, dipimpin oleh Lukman Soetrisno. Kesimpulannya begini. Mumpung ini reformasi, Indonesia sedang mencari format baru, maka harus berfikir negara federal. Yang menjadi pembicara waktu itu adalah Romo Mangunwijaya dengan kata-kata begini: “Kalau Indonesia tidak mengubah diri menjadi Negara Federal, maka pada tahun 2045 Indonesia bisa bubar”. Lalu, Mangunwijaya menceritakan Negara Federal bertentangan dengan Negara Kesatuan. Tetapi, Negara Federal memperkuat Negara Persatuan. Kesatuan dan Persatuan itu berbeda ! Coba lihat negara Amerika. Negara Federal persatuannya lebih kuat daripada negara kesatuan. Persatuan mereka sangat kuat dan kokoh. Berbeda dengan Negara Kesatuan, malah pecah. Persatuan bisa muncul di Negara Kesatuan dan Negara Federal. Selanjutnya Mahfud mengajukan argumentasi, Negara-negara besar pada waktu itu seperti Amerika dan Jerman adalah Negara Federal sementara negara Filipina sebagai Negara Kesatuan pecah dengan Morro di Selatan. Indonesia Negara Kesatuan terancam pecah dengan Papua Merdeka. Ada berbagai gerakan separatis. Sehingga disimpulkan, tidak apa-apa Negara Federal saja. Itu kemudian masuk ke platform PAN. Mahfud menilai, karena Amien Rais orang konsisten lalu kampaye kemana-kemana. Mari kita pikirkan Negara Federal. Disitulah dia mengungumumkan secara resmi Negara Federal. Namun kemudian diserang oleh semua tokoh politik terutama Megawati dan Akbar Tanjung, Dia diserang ramai-ramai sampai akhirnya dia tidak kuat menjelaskan kalau orang tidak mengerti juga, PAN akan menarik gagasan itu. Ini negara demokrasi. Kalau orang tidak setuju ya sudah! Setelah itu, lanjut Mahfud, Amien Rais tidak pernah berbicara tentang Negara Federal. “Sebenarnya kalau kita melihat otonomi Daerah sekarang ini, ya itu gagasan Negara Federal. Otonomi Daerah sekarang kan begitu luas dan Pemerintah hanya mempunyai lima urusan. Yang biasa di Negara Federal adalah empat urusan, yakni: (1) Urusan keuangan; (2) Urusan peradilan; (3) Urusan pertahanan & keamanan; dan (4) Urusan hubungan luar negeri” Bagi Mahfud, Negara Federal di seluruh dunia menguasai empat urusan ini. Tetapi di Indonesia ditambah satu yaitu Urusan Agama. Agar tidak pecah, agama dipusatkan. Itu sebenarnya gagasan yang ada di federalisme dulu. Namanya tidak Negara Federal. Itulah sebabnya, lanjut Mahfud, menjadi lucu ketika kepada Gus Dur diberitahu. “Gus, Amien Rais mengkhendaki Negara Federal”. Kata Gus Dur, ”Itu masuk akal karena Negara Federal bagus lebih demokratis. Dengan Federal demokrasi lebih tumbuh.” Kemudian dilanjutkan, “Itu gagasan Amien Rais tetapi Megawati tidak setuju, dengan alasan bisa memecah belah bangsa, padahal tidak”. Kata Gus Dur, “ Ya kita ambil jalan tengah. Namanya Negara Kesatuan tetapi isinya Federal.” Itulah yang terjadi sekarang ini dengan Otonomi Daerah. Selanjutnya Mahfud menekankan, pertentangan antara Amien Rais menghendaki Negara Federal tidak disetujui oleh Megawati lalu diambil jalan tengah oleh Gus Dur dengan Otonomi yang diperluas. “Tentu penggagas ini banyak, antara lain Prof. Ryass Rasyid dll.”, ujar Mahfud. Suara Pendukung Negara Federal lain datang dari Qashim Mathar, Guru Besar Universitas Islam Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Mantan Aktivis Mahasiswa 1977/78 ini berharap gagasan Negara Federal jangan menjadi hilang. Baginya, masih cukup usianya untuk melihat bahwa kita beruntung mempunyai Negara Federal. Karena sesungguhnya keinginan bahwa Daerah itu mengolah kekayaannya sendiri itu. Ada pada sanubari setiap Daerah. Mungkin Yogyakarta juga ingin diberi kekuatan tetapi tidak dimiliki karena dia setengah Kerajaan. Rajanya menjadi Gubernur untuk memelihara kebudayaannya. Sebenarnya hal seperti itu ada pada semua Daerah, termasuk kekayaan alam, sama di Papua. Di lain fihak, Ryaas Rasyid, Mantan Menteri Negara Otonomi Daerah, menilai bahwa konsep federalisme dilemparkan pada waktu tidak tepat. Alasannya, karena ketika itu kita sedang ingin mengganti Rezim. Jika bersama itu kita lihat para federalisnya mengarah pada perpecahan, mengarah pada kontroversi. Itulah masalahnya. Bagi Guru Besar Ilmu Pemerintahan ini, federalisme adalah masa depan. Tidak perlu dibicarakan, tidak perlu dilakukan Amien Rais. Ketika itu Ryass melawan pendapat tentang federalisme. Kemudian Ryass menemukan solusinya yaitu Otonomi Daerah, bukan federalisme. Ryass juga mengakui Otonomi Daerah sekarang “kebablasan”. Tetapi Otonomi Daerah mengalami distorsi hanya di dua bidang. Distorsi pertama dari Otonomi Daerah adalah pemekaran-pemekaran tidak terkendali, mengakibatkan biaya operasional Pemerintahan membengkak dan jumlah pegawai juga membengkak. Distorsi kedua adalah Pilkada secara langsung. Hal tersebutlah mendistorsi Otonomi Daerah. Apa terjadi adalah Pilkada secara langsung tidak menghasilkan Pemimpin lebih baik. Ketika Pemimpin itu masuk kemudian terjadi korupsi dan salah kepengurusan sehingga seolah-olah otonomi Daerah gagal. “Sesungguhnya sistem rekruitment-nya yang gagal, yaitu Partai politik”, kilah Ryass Sembarai menekankan, karena sistemnya mengatur siapa boleh menjadi Calon, seperti misalnya Julia Perez hampir saja menjadi Calon Bupati Pacitan. Syamsudin Mahmud adalah Mantan Gubernur Daerah Istimewa Aceh dan Guru Besar Universitas Syah Kuala, Aceh. Ia adalah seseorang berpendapat bahwa Indonesia harus Negara Federal. Ia setuju kalau Indonesia merupakan Negara Federal bukan karena Amien Rais. “Saya senang sekali sebagai orang Indonesia ketika saya di luar negeri. Tetapi, ketika saya di indonesia saya senang sekali menyebut diri saya orang Aceh. Negara ini adalah negara persatuan, bukan kesatuan. Hal itu sesuai dengan Sila Ketia Pancasila, yakni Persatuan Indonesia.” Terkait dengan Sila Ketiga Pancasila (Persatuan Indonesia) ini, suatu sumber lain menyajikan penilaian Pakar Politik Zainuddin Isman dari Universitas Muhammadyah Pontianak, Kalimantan Barat. Bagi Zainuddin Isman, Sila Ketiga Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” dan “Bineka Tunggal Ika”, hanya ada di dalam konsep dan pemahaman Negara Federal, bukan dalam pemahaman Negara Kesatuan. Hal ini dipertegasnya saat menanggapi penyelenggaraan Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan oleh Fraksi PDIP-MPR di Desa Suli, Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, 26 Mei 2013. Bagi Zainuddin Isman, Empat Pilar Kebangsaan sudah salah kaprah. Ia pun berharap, masyarakat jangan disuguhkan oleh sebuah pemahaman ketatanegaraan sangat keliru dan tidak sinkron satu sama lain. Menurut Zainuddin Isman, UUD 1945 hasil Amendemen Keempat di mana ditegaskan bentuk negara Indonesia adalah NKRI bertolak belakang dengan pemahaman Sila Ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”, yang artinya Indonesia berbentuk Negara Federal. Persatuan, lanjut Zainuddin, artinya Federalisme, sedangkan Unitarisme barulah artinya Kesatuan. “Bineka Tunggal Ika” atau “beraneka ragam, tetapi satu” hanya ada di dalam konsep Negara Federal. Di dalam Negara Kesatuan, terjadi penyeragaman sehingga semua permasalahan tatanan ketatanegaraan terpusat, sentralistik, bertolak belakang dengan konsep federalisme yang menghargai keberagaman. “Kalau memang MPR konsisten dengan bentuk Indonesia adalah Negara Kesatuan sebagaimana digariskan di dalam UUD 1945 hasil Amendemen Keempat, berarti mesti pula mengubah Sila Ketiga dari Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” menjadi “Kesatuan Indonesia,” kata Zainuddin. Akan tetapi, kalau bunyi Sila Ketiga Pancasila diubah, diamendemen, berarti secara otomatis Indonesia akan bubar karena tidak ada lagi alat perekat akan keberagamaan atau Bineka Tunggal Ika. Zainuddin kemudian menegaskan, banyak kalangan sudah mendesak agar bentuk negara Indonesia sebaiknya diubah menjadi Negara Federal. Mengapa? Karena sebagai negara kepulauan terluas dan terbesar di dunia, dihuni 240 juta jiwa, meliputi 1.128 suku bangsa, tersebar di 17.408 pulau, menggunakan 746 bahasa Daerah. Keberagamaan bangsa Indonesia sangat kaya, mustahil kalau tetap saja dipaksakan Indonesia dalam bentuk Negara Kesatuan. Zainuddin kemudian berargumentasi, disintegrasi bangsa sekarang tengah terjadi di Papua, Aceh, Maluku dan sekarang ada benih-benihnya di Kalimantan, karena pemaksaan terhadap bentuk Negara Kesatuan. Itu karena keberagaman hanya ada di bentuk Negara Federal, sudah tidak dihargai lagi oleh Negara. Konflik etnis dan agama intensitasnya terus meningkat. Pemaksaan kehendak Indonesia dari federasi menjadi NKRI sejak 17 Agustus 1950, pada dasarnya hanya lantaran persaingan internal dan konflik pribadi antara Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX didukung Presiden Soekarno dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan Sultan Hamid II, Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB). Sultan Hamid II (konon Perancang Lambang Garuda Pancasila, red.) selaku Ketua Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO) atau Perhimpunan Musyawarah Negara-negara Federal, sejak awal memang dipersiapkan sebagai perpanjangan tangan Belanda di Indonesia untuk proses memerdekakan Indonesia. Namun Presiden Soekarno, Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, sangat anti-Belanda sehingga terjadi pemberontakan di sejumlah Daerah memicu agresi militer Belanda selama dua kali secara besar-besaranm sebagai aksi balasan. Perlu diingat, lanjut Zainuddin, berdasarkan sikap resmi Belanda pada 10 Februari 1946, Belanda sendiri akan mendaftarkan Indonesia di PBB dalam bentuk sebuah Negara Persemakmuran. Thaha Alhamid adalah adalah Sekretaris Jenderal Dewan Presidium Papua. Sebagai orang dari Daerah Papua, Thaha Alhamid melihat satu gebrakan reformasi langsung dirasakan, yakni munculnya sebuah gagasan tentang federalisme. Ini sekaligus mengingatkan kita pada pandangan Mohammad Hatta di awal kemerdekaan. Saat itu respon dari Daerah luar biasa. Karena dengan begitu, lanjut Thaha, InsyaAllah Daerah bisa mengelola sumber-sumber alamnya, dan bermanfaat sebesar-besarnya untuk rakyat. Hal tersebut menjadi harapan yang besar sebenarnya. Selanjutnya Thaha Alhamid menegaskan, gagasan federalisme luar biasa. Gagasan tersebut baik dan menjadi harapan bagi banyak orang, banyak teman di Daerah terutama di Daerah-Daerah dikenal sebagai Daerah “sapi perah” seperti Aceh, Papua, Kalimantan, dan Riau. Selama bergabung dengan Indonesia, Jakarta gagal mengIndonesiakan orang Papua. Jakarta paling sukses mengIndonesiakan emas Papua, hutan Papua, minyak Papua dan seterusnya. Thaha Alhamid kemudian percaya, gagasan federalisme menjawab problem bangsa ini, tetap di pelataran Indonesia, di atas kapal Indonesia, tetapi dengan plat form ketatanegaraan berbeda. Gagasan federalisme bisa menjawab keadilan. Federalisme adalah “sunatullah” atau “hukum Tuhan”. NKRI ini kesatuan historis, tidak ada gunung Indonesia, tidak ada laut Indonesia. Sayangnya, ujar Thaha, gagasan besar dan bagus tersebut hanya mengalir sejenak. Hanya numpang lewat saja. Jika saja waktu itu gagasan diterima, Thaha Alhamid percaya, konflik-konflik di Daerah terselesaikan.(Bersambung/MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)

Selasa, 08 April 2014

ISSUE NEGARA FEDERAL DI INDONESIA (BAGIAN KETIGA): KELEMAHAN DAN KEUNGGULAN

Dalam pembicaraan dan diskusi publik tentang issue Negara Federal telah menyajikan beragam kelemahan dan keunggulan Negara Federal baik datang dari kelompok penentang maupun pendukung terhadap penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Tulisan ini akan mengidentifikasi pertama-tama kelemahan, kemudian diikuti dengan keunggulan Negara Federal. Maksud dan tujuan tulisan ini untuk mempermudah kita mengetahui atau memahami apa saja kelemahan dan keunggulan Negara Federal sehingga dapat menarik kesimpulan atau pilihan penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Di samping itu, mengidentifikasi para pendukung model atau sistem Negara Federal di Indonesia. KELEMAHAN MODEL ATAU SISTEM NEGARA FEDERAL: Model atau sistem Negara Federal bukan sesuatu tanpa “kelemahan” atau “kekurangan”. Berikut ini akan diidentifikasi beragam kelemahan baik menurut penentang maupun pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal. Sebagaimana telah diuraikan di dalam Tulisan Bagian Kedua, Negara Federal pada umumnya merupakan gabungan sejumlah negara, dinamakan Negara-negara Bagian, diatur oleh suatu Undang-undang Dasar (Konstitusi), membagi wewenang antara Pemerintah Federal dan Negara-negara Bagian bersangkutan. Menurut kelompok penentang model atau sistem Negara Federal, Negara Federal bisa menyebabkan terjadinya “disintegrasi nasional” atau “bubarnya Negara”. Mereka mempercayai, Negara Federal tidak dapat menjamin akan lahirnya kehidupan damai di wilayah yang telah berkembang konflik horizontal begitu tajam. Mereka juga mempertanyakan, siapakah bisa menjamin bahwa di dalam Negara Bagian itu sendiri tidak akan lahir tirani baru yang menindas kalau tuntutan federalisme bukan datang dari lapisan masyarakat bawah, tetapi dimobilisasi oleh elit dan pemilik dana/uang? Mereka juga menyangkal argumentasi pendukung model atau sistem Negara Federal bahwa Amerika Serikat sebagai contoh keberhasilan federalisme. Sebaliknya mereka mencontohkan kegagalan federalisme atas keruntuhan negara-Negara Federal di Eropa Timur seperti Uni Soviet, Yugoslavia dan Cekoslovakia. Berdasarkan contoh kegagalan Negara Federal Eropa Timur tersebut, lalu para penentang ini kemudian berhipotetis bahwa penerapan model atau sistem Negara Federal akan menimbulkan disintegrasi nasional. Selanjutnya, para penentang mengklaim bahwa Negara Federal tidak memberi kebebasan bergerak (bekerja) bagi warga suatu Negara Bagian di Negara Bagian lain. Sistem Negara Federal menyekat-nyekat atau membeda-bedakan warganegara. Bahkan mereka mempercayai, Negara Federal tidak tepat diterapkan pada negara kepulauan seperti Indonesia. Menurut mereka, tidak ada negara kepulauan di dunia ini menggunakan model atau sistem Negara Federal. Satu sumber lain menunjukkan kelemahan model atau sistem Negara Federal, antara lain: (1) Tidak semua bidang dikendalikan Pusat sehingga bisa terjadi kesenjangan dalam bidang yang urusannya diserahkan kepada Daerah, sebagai misal pendidikan dan kesehatan; (2) Kualitas tokoh nasional tidak terjamin karena yang diutamakan merupakan perwakilan daerah; (3) Biaya demokrasi mahal karena pemilihan pejabat dilakukan berkali-kali; (4) Kepemimpinan Pusat dan Daerah bisa tidak sejalan karena merasa memiliki kepentingan masing-masing; (5) Biaya kegiatan perekonomian menjadi tinggi karena pejabat daerah menjadi “raja-raja kecil”; (6) Kesejahteraan rakyat bisa tidak merata sehingga terbentuk kelompok daerah kaya, daerah sedang dan daerah miskin; (7) Korupsi, jumlah pelaku maupun jumlah nilai uang dikorupsi semakin meningkat; (8) Acapkali ketidakpuasan terhadap apa yang terjadi di Daerah disikapi dengan amuk massa berakibat merusak keseimbangan kerja bangsa, dan anggaran negara terkuras untuk merenovasi akibat kerusakan terjadi. Lebih jauh kelemahan model atau sistem Negara Federal ditunjukkan dengan kata-kata sebagai berikut: “Negara Federal jelas-jelas akan merugikan karena secara teoritis tidak berorientasi pada pemerataan kesejahteraan di seluruh wilayah, tetapi mengutamakan kesuksesan suatu daerah yang berpotensi”. Terdapat juga kelompok penentang lain menunjukkan kelemahan Negara Federal sebagai berikut: (1). Negara Federal tidak memberi kebebasan bergerak (bekerja) warga sutau negara bagian di negara bagian lain; (2) Negara Federal menyekat-nyekat atau membeda-bedakan warganegara; (3) Tidak sesuai dengan penduduk beragam etnis; (4) Kesempatan dimiliki oleh Negara Bagian dalam Negara Federal tidak sama. KEUNGGULAN MODEL ATAU SISTEM NEGARA FEDERAL: Sementara itu, model atau sistem Negara Federal juga memiliki “keunggulan” atau “kelebihan”. Berikut ini akan diidentifikasi beragam keunggulan atau kelebihan model atau sistem Negara Federal, tentunya lebih banyak diungkapkan oleh kelompok pendukung. Satu keunggulan model atau sistem Negara Federal terkait dengan pengendalian keamanan dan ketertiban nasional. Di bawah model atau sistem Negara federal, karena tidak tersentralisir, maka pengendalian keamanan dan ketertiban nasional semakin mudah bagi Kepolisian Nasional untuk mengendalikan. Jika semakin sentral, maka semakin kacau, semakin sulit dikendalikan oleh Kepolisian. Selanjutnya, model atau sistem Negara Federal lebih dapat memekarkan potensi jutaan manusia di daerah. Sementara di dalam negara sentralistik, potensi dimaksud menjadi terkendala, apalagi daerah negara yang sangat luas seperti Indonesia. Dengan penerapan model atau sisten Negara Federal, semangat putra daerah paling terpencil pun akan bergairah memperjuangkan nasionalisme. Kebanggaan diri dan kemudian kepercayaan diri lalu mekar menjadi buah kreativitas mereka yang melimpah. Keunggulan berikutnya adalah pembangunan dan kemakmuran akan lebih merata dan adil karena dengan tersumbatnya penyedotan raksasa kekayaan daerah secara sewenang-wenang. Modal pengembangan daerah menjadi cukup bahkan berlimpah. Di bidang budaya, model atau sistem Negara Federal akan menimbulkan beragam sentrum kultural yang jauh lebih merata dan kaya kekhasan. Seorang Akademisi Universitas Gadah Mada (UGM), Samsu Rizal Panggabean telah menulis makalah berjudul “Federasi dan Demokratisasi Indonesia”, di muat pada JSP.Vol.I, No.3—Maret 1998. Makalah ini pernah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Membangun Indonesia Baru: Suatu Pendekatan Konstitusional dan Politik”, Fak.Hukum, UGM, Yogyakarta, 31 Agustus 1998. Samsu Rizal Panggabean menyajikan beberapa alasan bagi pentingnya “federalisasi” dalam rangka demokratisasi Indonesia. PERTAMA adalah membuka kekuasaan. Federalisasi adalah sebuah strategi paling tepat untuk membuka kekuasaan pada masa lalu amat tertutup. Dalam kehidupan bersama suatu masyarakat, baik bidang ekonomi, politik maupun sosial, kekuasaan menjadi terbuka, tampak atau kelihatan. KEDUA adalah menghormati pluralisme. Federalisme dipandang sebagai usaha menyeimbangkan kekuataan budaya daerah, suku, atau etnis di dalam suatu negara. Tujuannya, supaya pemerintahan dapat berjalan secara konsisten dan dapat diandalkan. Federalisme merupakan respons kelembagaan terhadap heterogenitas budaya. KETIGA adalah pembangunan yang adil dan partisipatif. Terdapat unsur-unsur dapat membantu menghindari kecenderungan ke arah intensifikasi ketimpangan ekonomi dan konflik politik dan budaya menyertainya. Federalisme memungkinkan adanya usaha evaluasi perbedaan budaya internal di negara-negara berkembang masih memiliki struktur tradisional di pedesaan. Bentuk Negara Federal lebih memudahkan implementasi pembangunan partisipatif, dengan postulat: (1) Partisipasi politik diterjemahkan menjadi kontrol atas kekuasaan birokratis; (2) Ketimpangan ekonomi diselesaikan bertahap dan keanekaragaman budaya dihormati; (3) Unsur-unsur masyarakat digabungkan dalam kegiatan pembangunan langsung terkait dengan kepentingan mereka. KEEMPAT adalah menghindari disintegrasi. Federalisme menghindari disintegrasi, menciptakan hidup berdampingan secara damai dengan unit atau loyalitas subnasional. Federalisme merupakan pilihan jauh lebih lunak dibandingkan dengan pemisahan diri. Apalagi dibandingkan dengan “genocide”. Pemerintah Pusat dan masyarakat di berbagai daerah tidak melirik pemisahan diri sebagai jalan keluar. Bahkan, pilihan ini diwaspadai dan dihindari. Sambil mengutip pendapat Horowitz, Samsu Rizal Pangabean menekankan bahwa dalam praktiknya, mengizinkan pemisahan diri atau “secession” tidak memenuhi aspirasi untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri tetapi memperkenankan sebagian kelompok menentukan masa dengan kelompok-kelompok lain. Sesungguhnya hampir semua pendukung Negara Federal di Indonesia meyakinkan bahwa pembentukan Negara Federal bukanlah suatu upaya disintegrasi, melainkan suatu sistem pemerintahan tidak berbeda dengan negara kesatuan. Idea dasar Negara Federal paling substansial adalah agar terjamin keadilan dalam alokasi sumber daya. Selain itu, model dan sistem Negara Federal memungkinkan manajemen administrasi menjadi lebih efektif dan efisien karena lingkupnya lebih terbatas. Pada akhirnya, model atau sistem Negara Federal justru dimaksudkan untuk menciptakan kesatuan yang riil, tidak semu, dan tidak artifisial. Satu sumber lain meringkas keunggulan Negara Federal sebagai berikut: (1) Kewenangan pejabat daerah lebih luas sehingga diharapkan lebih kreatif; (2) Tokoh daerah di tingkat nasional merata berasal dari seluruh daerah walaupun sebenarnya ada tidak berkualitas; (3) Daerah memiliki potensi alam baik bisa lebih cepat berkembang. Sistem Negara Federal menawarkan konsensus baik dalam hal pemerataan ekonomi maupun perlakuan adil terhadap kaum minoritas. Konsep kekuasaan dari rakyat untuk rakyat lebih banyak ditawarkan oleh model atau sistem Negara Federal. Secara keseluruhan Negara Federal sangat menjanjikan akan merubah secara luar biasa baik fisik maupun nonfisik (cara berfikir dan memandang negara). Terjadi migrasi penduduk sukarela atas biaya sendiri dan dalam waktu relatif singkat. Banyaknya uang, barang, jasa terlibat dalam proses migrasi akan menundang banyak investasi ditanamkan. PENILAIAN DAN PEMIKIRAN BEBERAPA TOKOH DAN AKADEMISI: Pada Agustus 1998, beberapa saat sebelum wafat, Romo Y.B. Mangunwijaya, termasuk Tokoh Nasional, Pastor yang sastrawan, pernah menggebrak kebekuan paradigma berpikir bangsa Indonesia tentang model atau sistem negara. Mangunwijaya menggagas penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Beliau mengutip kalimat Proklamator RI Muhammad Hatta, dimuat dalam Daulat Rakyat Edisi 20 April 1932 sebagai kalimat pembuka dalam bukunya “Menuju Republik Indonesia Serikat” (1999). Dalam bukunya ini, Beliau sangat bersemangat, bahkan punya target, selamat-lambatnya tahun 2045, federalisme Indonesia sudah terbentuk. Mangunwujaya mendefinisikan “negara federal” sebagai Bhinneka Tunggal Ika, susunan beragam namun satu”. Justru demi ke-Tunggal-an Republik Indonesia itulah ke-Bhinneka-an federal dalam abad ke-21 harus dibentuk. Mangunwijaya mengajak kita, belajar mengapa fenomena sentimen anti-Jawa merambah di mana-mana di luar Pulau Jawa. Baginya, bukan karena sentimen anti-Jawa sebagai anti etnik Jawa, melainkan karena benci akumulasi kekuasaan dan kekayaan serta sistem otoriter tanpa penghargaan dan tanpa belas kasih dari Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Lalu, Mangunwijaya menawarkan model atau sistem “Republik Federal Indonesia”. Baginya, penerapan model atau sistem ini secara psikologis akan menggelorakan harga diri, motivasi serta harapan memajukan diri 200 juta rakyat di luar Jakarta, luar Pusat. Daerah luar Jawa, khususnya Indonesia Bagian Timur, akan sungguh dapat menemukan abad keemasannya sesudah ratusan tahun dibabat hongi VOC dan kapitalisme kongkalikong Rezim Orde Baru (Soeharto). Aceh akan puas merasakan nikmat hasil kepahlawanan melawan sekian Jenderal. Para perkasa Irian Jaya tidak perlu lagi geram menggerakkan suatu negara Papua sendiri, karena telah dikembalikanlah martabatnya sebagai subjek pelaku sejarah Indonesia. Papua tidak hanya dijadikan tambang logam serta tebangan kayu untuk memperkaya beberapa kapitalis di Pusat. Republik Federal Indonesia ini akan merubah situasi magnet dan cerlang-gemerlap pembangunan sudah tidak lagi memusat di “Jabodetabek” atau satu dua kota besar saja di Pulau Jawa. Pembangunan akan tersebar secara proporsional ke Negara-negara Bagian lain. Amien Rais adalah salah satu tokoh yang tergetol mengkampanyekan Negara Federal pada awal era freformasi. Namun, dalam perjalanannya kampanye Amien Rais meredup, sembari mengakui bahwa substansi dari federasi dan otonomi luas tidak berbeda jauh. Istilah federalisme memang sudah terlanjur buruk, berkaitan dengan penerapan sistem ini oleh Van Mook di tahun 1949 terhadap pengakuan kedaulatan RI dari Belanda. Salah satu alasan diajukan Amien Rais perlunya mempertimbangkan penerapan model atau sistem Negara Federal, yakni melihat perkembangan empirik bangsa Indonesia, ketidak puasan daerah semakin merata dan ekstrim serta desintegrasi. Realitas obyektif menunjukkan, kekuasaan sentralistik berpotensi melahirkan penyakit politik, sosial dan ekonomi di daerah, seperti saat ini terjadi. Ibarat rumah, rumah negara kesatuan tidak memiliki petak-petak kamar, sehingga semua menyatu dan ditentukan oleh Pusat. Jika gejolak daerah tidak puas berlangsung terus, akan semakin banyak daerah menuntut merdeka sehingga perpecahan bangsa akan terjadi. Lalu Amien menilai dan berpikir bahwa bentuk negara federal adalah jalan tengah dari dua ekstrim, kekuasaan sentralistik dan tuntutan merdeka atau melepaskan diri dari pangkuan Republik Indonesia. Menurut Amien Rais, ada tiga asas sebagai syarat keberhasilan Negara Federal yaitu persepsi kesamaan (Al-Musaawah), musyawarah (Asy-Syuro), dan keadilan (Al-‘Adalah). Lebih lanjut Beliau menunjukkan keunggulan atau kelebihan Negara Federal berdasarkan pengalaman beberapa Negara Federal yang memetik keuntungan dan kemajuan pembangunan dan Good Governance, antara lain Malaysia, Kanada, Jerman, Amerika Serikat, dan Australia. Sesungguhnya masih terdapat sejumlah Tokoh Nasional dan juga Akademisi mendukung penerapan model atau sistem negara federal di Indonesia. Kecuali Y.B.Mangunwijaya, Amien Rais, juga terdapat Ichlasul Amal (Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada). Ketiga Tokoh ini masing-masing berdomisi di Yogyakarta (Pulau Jawa), bukan Luar Pulau Jawa. Menurut Ichlasul Amal, ada banyak persamaan antara bentuk kesatuan dengan otonomi luas dan federal, yakni sama-sama mengutamakan pemberdayaan daerah. Perbedaannya adalah cuma dalam proses pembentukan. Dalam beberapa kasus, Ichlasul melihat federasi hanya persoalan “terminology” saja. Bila otonomi diperluas diterapkan, maka sebetulnya telah dilaksanakan apa disebut federal. Pendapat Ichlasul Amal ini senada dengan Ryass Rasyid, Pakar Pemerintahan dan Mantan Menteri Otonomi Daerah. Bagi Ryass, prinsip negara kesatuan dengan otonomi luas dan federal sama saja, yakni menyerahkan kewenangan Pusat ke Daerah. Bahkan, otonomi luas prosesnya lebih sederhana. Jadi, jika mau bersabar dan tidak terpaku pada istilah, otonomi diperluas sama saja dengan federal. Singkatnya, bentuk negara tetap kesatuan dengan prinsip pelimpahan wewenang kepada Daerah. Suara mendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia juga datang dari Akademisi Universitas Indonesia, antara lain Maswadi Rauf, Dosen Senior FISIP. Beliau sepakat bahwa model atau sistem negara federasi perlu dipertimbangkan untuk menyelesaikan berbagai persoalan menghadang kehidupan bangsa Indonesia ke depan. Semakin banyak perbedaan pada suatu negara, bentuk federasi lebih cocok diterapkan. Terlebih menghadapi ketidakpercayaan daerah terhadap Pemerintah Pusat, akibat begitu banyak ketidakadilan di masa lalu. Maswadi menganjurkan supaya Pemerintah mencoba saja menerapkan Negara Federal. Terakhir Akademisi lain dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk (Pakar Psikologi Politik) mendukung penerapan model atau sistem negara federal di Indonesia. Beliau menyayangkan bentuk negara kesatuan. Ia mengusulkan idea pembentukan Negara Federal. Bagi Hamdi, negara kita negara kesatuan, ketimpangan antara Pusat dan Daerah jauh. Banyak mudaratnya daripada bagusnya. Semua ukuran di Pusat. Indonesia lebih cocok memakai model atau sistem Negara Federal. Pasalnya, tidak semua urusan menggunakan konsep sentralistik seperti saat ini. Ia menilai, Negara Federal adalah pola ideal. Efektifitas managemen tidak mungkin tercapai dengan kondisi Sabang sampai Merauke yang sentralistik. Ia mencontohkan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang gagal karena memakai sistem sentralistik. Menurutnya, kebutuhan masyarakat lokal seharusnya diatur oleh Pemerintah Daerah. Gubernur Negara Bagian berdaulat, politik hangat politik lokal. Negara Federal secara empiris terbukti membuat daerah itu berkembang. Ia lalu mencontohkan kasus negara-negara maju yang menggunakan mpdel atau sistem Negara Federal berkembang di berbagai bidang. Setiap Negara Bagian memiliki Universitas (Perguruan Tinggi) berkualitas. Kemudian ekonomi bertumbuh dengan pesat. Beliau kemudian mengakui dari lubuk hatinya, mengaggumi Bung Hatta dan Y.B. Mangunwijaya yang mendukung konsep federal. “Saya juga terpaksa bermigrasi ke Pusat, jika Negara Federal, saya tetap di daerah,”tandas Hamdi. Para pendukung model atau sistem Negara Federal pada umumnya menyangkal kebijakan otonomi daerah selama ini diterapkan di Indonesia mampu menjawab permasalahan kesejahteraan masyarakat dan ketidakadilan di luar Pulau Jawa. Bagi mereka, Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, adalah suatu negara kepulauan terdiri atas kurang lebih 17.000 pulau, terbentang dari Barat ke Timur sepanjang lebih lebih dari 5.000 Km melintasi tiga zona waktu menyebabkan Indonesia menjadi. Bangsa Indonesia juga bukan merupakan bangsa keturunan penduduk asli Indonesia tetapi merupakan keturunan migran Austronesia sekitar 5.500 tahun lalu. Kondisi ekologi dan isolasi geografis menyebabkan mereka memiliki sistem dan lingkungan kebudayaan masing-masing sangat jauh berbeda satu sama lain. Bangsa Indonesia pada hakekatnya tidak memiliki budaya nasional terpadu dan utuh tetapi hanya berupa “keping-keping” kebudayaan daerah diakui sebagai budaya nasional. Karena itu, mereka merekomendasikan model atau sistem Negara Federal untuk diterapkan di Indonesia. Bagi mereka, Negara Federal lebih cocok digunakan oleh sebuah bangsa yang heterogen (majemuk) secara sosial dan kultural. Keragaman kultural, sosial, agama, tingkat perkembangan masyarakat, dan keadaan geografis serta geologis melahirkan kepentingan yang berbeda-beda. Negara Federal nampaknya lebih mampu mengakomodasi kepentingan daerah-daerah sehingga dapat lebih berkembang sesuai dengan potensi dan kemampuan masing-masing. Dari Sumatera Utara, seorang Pakar Sosiologi Politik, Shohibul Anshor, juga termasuk pendukung penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Menurut Shohibul, masyarakat selalu teriak-teriak masalah pemerataan pembangunan, jalan rusak di Kalimantan, pemadaman listrik mendadak di Sumatra Utara, tingkat pendidikan rendah di Papua. Beliau merasakan sendiri pemadaman listrik tiap hari di Sumatera Utara. Juga sadar, lingkaran pembangunan nasional cuma berdiameter di Pulau Jawa. Implikasi logisnya adalah pemberontakan di dua ujung Provinsi Republik Indonesia ini. Shohibul Anshor adalah Pendukung Negara Federal dengan argumentasi realitas obyektif ketidakadilan dan ketidakmerataan pembangunan antara Pulau Jawa dan Luar Jawa. Sesungguhnya argumentasi ini masih relevan. Sekalipun sudah lebih 10 tahun Indonesia memasuki era reformasi, ketimpangan pembangunan mencolok antar Pulau Jawa dan Luar Jawa masih berlaku dan terlihat jelas. Mengacu pada Harian Kompas 27 Maret 2014, berjudul “Pemerataan Harus Jadi Fokus”, menunjukkan data pemerataan pembangunan antara Pulau Jawa dan Luar Jawa jelas terlihat timpang. Asumsi dasar bahwa perekonomian nasional masih bertumpu di Pulau Jawa. Berdasarkan kontribusi PDRB nasional (persen), ditunjukkan bahwa Pulau Jawa untuk tahun 2012 mencapai 61,36 %; Sumatera 20,96 %; menyusul Kalimantan hanya 8,35 %; Sulawesi hanya 4,98 %; Papua hanya 1,40 %; Maluku hanya 0,33%; Nusa Tenggara hanya 1,32 % dan Bali 1,31 %. Data kontribusi PDRB Nasional tahun 2012 ini tidak jauh berbeda, tetap saja terlihat ketimpangan mencolok antara Pulau Jawa dan Luar Jawa. Khusus Pulau Jawa pada tahun 2004 mencapai 59,77%; 2005 sebesar 59,91 %; 2006 meningkat 60,25 %; 2007 meningkat 60,74 %; 2008 meningkat 60,90 %; 2009 meningkat 60,92 %; 2010 meningkat lagi 61,04 %; 2011 meningkat 61,22; dan 2012 meningkat terus 61,36 %. Pada dasarnya, di bawah era reformasi tidak ada perubahan perekonomian nasional yang masih bertumpu di Pulau Jawa; kontribusi PDRB Nasional dari Pulau Jawa terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara Luar Jawa mengalami stagnan, jika tidak boleh dikatakan menurun. Sumber lain datang dari Badan Pusat Statisti (BPS). Pada 5 Mei 2015, BPS dalam jumpa pers di Jakarta tentang Pertumbuhan Ekonomi Nasional, masih tetap menegaskan bahwa ekonomi masih terpusat di Jawa. Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tetap timpang. Roda ekonomi di Jawa dan Sumatra masih terlalu dominan kontribusinya kepada kue ekonomi nasional. Sementara, roda ekonomi di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara masih terlalu lamban untuk mengimbangi. Dalam Laju Pertumbuhan dan Distribusi Ekonomi per Pulau Triwulan I 2015, distribusi ekonomi Sumatra dan Jawa sangat besar. Sumatra menyumbang 22,56 persen kue ekonomi nasional, sementara Jawa lebih dari dua kali lipatnya, yaitu sebesar 58,30 persen. Porsi keduanya meninggalkan empat pulau lainnya. Porsi ekonomi Bali dan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku-Papua bahkan tak sampai 10 persen. Ekonomi Bali-Nusa Tenggara hanya menyumbang 2,97 persen ke nasional. Lalu, Kalimantan hanya sebesar 8,26 persen, Sulawesi hanya 5,72 persen, dan terakhir Maluku-Papua hanya 2,19 persen. Kecenderungannya, porsi ekonomi ini dari 2012 memperlihatkan tren yang negatif bagi pulau selain Sumatra dan Jawa. Sejak 2012, misalnya, porsi ekonomi Jawa terus naik dari posisi 57,65 persen (2012), 57,99 persen (2013). Begitu juga Sumatra yang tumbuh dari 23,74 (2012) dan 23,81 persen (2013). Sementara porsi ekonomi Kalimantan justru terus turun dari 9,30 (2012), lalu 8,67 persen (2013). Ataupun kalau tumbuh, lajunya tidak bisa secepat pertumbuhan Jawa dan Sumatra. Melihat data bersumber Harian Kompas dan BPS di atas, adalah layak sejumlah kaum Intelektual dan Politisi dari Indonesia Bagian Timur, tergabung dalam Perhimpunan Indonesia Timur (PIT), memiliki gagasan untuk melaksanakan Kongres di Makassar tahun 2013. Mereka adalah La Ode Ida, Laode Ida, Hatta Taliwang, Petrus Selestinus, Robert B Keytimu, Syukur Mandar, Frangky Maramis, Roy Simbiak, dan beberapa lainnya. Kongres Indonesia Timur di Makassar sendiri bertema, “NKRI atau Federasi; Menuju Indonesia Lebih Baik.” Kongres bertujuan mengkaji berbagai persoalan bangsa dan keberpihakan bangsa terhadap Wilayah Timur Indonesia, dari berbagai faktor, mulai dari pembangunan infrastruktur, pengembangan sumberdaya manusia, sampai pada bentuk negara yang dianut Indonesia. Kongres akan mempertanyakan, apakah NKRI masih pas, ataukah federasi yang pas. Dalam Konfrensi Pers di Komplek MPR/DPR, 20 Maret 2013, Wakil Ketua DPD RI, La Ode Ida mengatakan, sekarang konsep NKRI telah gagal total. Kegagalan dapat diukur dengan pembangunan tidak merata di Indonesia. Indonesia Timur termarjinalkan. NKRI telah gagal, karena tidak memberikan kesejahteraan kepada semua wilayah secara merata. Konsep negara NKRI perlu ditinjau kembali. Mereka akan mengkaji: apakah saatnya Indonesia membutuhkan bentuk negara federasi? Apakah negara NKRI masih pas, ataukah Indonesia membutuhkan negara federasi? Uraian di atas telah menunjukkan kelemahan dan keunggulan model atau sistem Negara Federal, diikuti dengan penilaian atau pemikiran dari Tokoh Nasional dan Akademisi serta Politisi tentang penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia. Penyajian penilaian atau pemikiran para pendukung penerapan model dan sistem Negara Federal di Indonesia dimaksudkan untuk membuka wawasan dan keseimbangan informasi terkait dengan polemic atau perdebatan issu Negara Federal atau federalisme di Indonesia selama ini. Untuk Tulisan berikutnya akan diuraikan penilaian atau pemikiran Tokoh Nasional dan Tokoh Daerah sebagai narasumber tentang penerapan model atau sistem Negara Federal di Indonesia berdasarkan hasil wawancara langsung oleh suatu Tim Pewawancara (Bersambung/MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).