Selasa, 21 Mei 2013

ISSUE-ISSUE AKTUAL RUU JASA KONSTRUKSI PRAKARSA DPR-RI

STATUS RUU JASA KONSTRUKSI: Sejak diterbitkannya UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UUJK), masyarakat jasa konstruksi di Indonesia telah memiliki payung hukum dalam pengaturan jasa konstruksi. Tujuannya untuk memberi arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk menwujudkan struktur usaha yang kokoh, andal berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Disamping itu, untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meingkatkan kepatuhan pada ketentuan-ketentuanb peraturan perundang-undangan yang berlaku. Juga pengaturan ini bertujuan untuk mewijudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi. Dalam perjalanannya, UU No. 18 Tahun 1999 produk era reformasi ini dinilai sudah tidak memadai lagi untuk dijadikan instrument pengaturan jasa konstruksi. Terdapat beragam permasalahan yang memerlukan perubahan atas UU tersebut. DPR-RI mengambil inisiatif dan mencanangkan revisi UU No. 18 Tahun 1999 dan mendaftarkan ke dalam Prolegnas Rancangan Undang-Undang (RUU) Prioritas Tahun 2012 dengan judul RUU tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pada perjalanannya, DPR menilai, dari sisi perancangan peraturan perudnang-udnangan, perubahan UU ini cenderung kea rah penggantian. Hal ini dengan mempertimbangkan besarnya substansi perubahan terjadi serta sudah tdiak sesuainya UU Jasa Konstruksi yang lama dengan tata cara perancangan peraturan perundang-undangan sebagaimana di atur dalam UU No. 12 Tahu 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perudang-undangan. DPR kemudian mengajukan RUU tentang Jasa Konstruksi berdasarkan naskah akademik. Di dalamnya, terdapat berbagai penilaian atas UU No. 18 Tahun 1999. Salah satunya, UU No. 18 Tahun 1999 belum menyentuh kenyataan bahwa jenis pekerjaan atau suaha jasa konstruksi bukan hanya perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan, tetapi sudah berkembang berdasarkan “product life cycle”. Hal ini bukan hanya sekedar konsep tetapi sudah menjadi realitas dari pasar konstruksi. Di samping itu, terdapat penilaian bahwa prosedur registrasi, sertifikasi ataupun lisensi yang mulai banyak dipertanyakan fungsinya perlu ditata kembali. Lemahnya daya saing jasa konstruksi Indoensia. ASMET tidak compatible dengan standar intrnasional. Sertifiaksi belum menjadi quality assurance baik tenaga ahli maupun badan usaha. Intinya, ada penilaian bahwa masih terdapat permasalahan baik disisi pembangunan, kelembagaan, pengaturan maupun pengawasan dan penegakan hukum. PEMBAHASAN PRAKARSA DPR: Pada 19 Januari 2012, Komisi V DPR RI mengundang Badan Pembinaan Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum, Badan Arbitration Nasional Indonesia (BANI), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk rapat dengar pendapat (RDP) di gedung DPR. Pimpinan RDP adalah Wakil Ketua Komisi V DPR RI Mulyadi. Di samping Mulyadi (Wakil Ketua), para anggota Komisi V memiliki telah memberikan perhatian dan opini di media massa tentang Revisi UU Jasa Konstruksi ini adalah Rendy Lamajido (Anggota), Ali Wongso (Anggota) dan Muhidin M Said (Wakil Ketua). Pada 10 April 2012 di Jakarta Dewan Pimpinan Nasional Ikatan Nasional Tenaga Ahli Konsultan Indonesia (DPN INTAKINDO) telah mengadakan diskusi di Jakarta Design Centre (JDC), Jakarta, dengan thema: pengurus/pimpinan Hadir pada diskusi di samping pengurus INTAKINDO, juga pengurus asosiasi-asosiasi profesi terkait dengan jasa konstruksi. Bertindak sebagai narasumber diskusi yang dimoderatori M. Singgih (INTAKINDO) adalah Nursiwan (Anggota Komisi V DP) dan DR. Ismet Abidin (Akademisi Fakultas Teknik Universitas Indonesia). Ada 10 perwakilan asosiasi profesi jasa kostruksi yang hadir dalam diskusi Adapun Peserta Diskusi terlampir. Para peserta disksusi juga tidak difasilitasi instrumen diskusi berupa Paper Akademik dan Konsep RUU Jasa Konstruksi, kecuali copy UU No, 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi dan paper pengantar diskusi mengandung issue-issue aktual terkait prakarsa revisi RUU jasa Konstruksi. Diskusi INTAKINDO ini didasari kerangka berpikir bahwa asosiasi-asosisai profesi jasa konstruksi bagaimana pun memiliki kepentingan atas prakarsa revisi UU Jasa Konstruksi ini, terutama bidang penerbitan sertifikasi kompetensi profesi jasa konstruksi. Agar kepentingan asosiasi profesi jasa konstruksi dapat dimuat atau ditampung di dalam penyusunan RUU Jasa Konstruksi, maka perlu dilaksanakan kegiatan diskusi pertama-tama bertujuan memperluas pengetahuan dan wawasan pengurus dan anggota asosiasi profesi tentang masalah-masalah jasa konstruksi dalam era globalisasi dan pasar bebas. Selanjutnya, kerangaka berpikir diskusi menganggap, pengurus asosiasi profesi perlu menyamakan persepsi tentang perlunya revisi UU Jasa Konstruksi dilaksanakan, yang memihak terhadap kepentingan assosiasi profesi sebagai komponen masyarakat madani yang berposisi otonom dan mandiri khususnya dalam penerbitan sertifikasi kompetensi profesi, dan berdasarkan penegakan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCD) dalam suatu tatanan demokrasi. Setelah memiliki persepsi yang sama, diharapkan dapat tercipta sinerjitas di kalangan assosiasi profesi sebagai stakeholder dalam memberi masukan kepada DPR dalam penyusunan UU Jasa Konstruksi, sesuai kepentingan asosiasi profesi dalam peningkatan kompetensi bidang konstruksi. Pada awal 2013 dalam rangka menerima masukan terkait RUU Perubahan atas UU tersebut, sejumlah anggota Komisi V DPR RI melakukan kunjungan spesifik ke beberapa Provinsi, antara lain: Kalimantan Timur (25-26 Februari 2013) Bali dan Sumatera Barat (21 Februari 2012). Sementara itu, INTAKINDO kembali membuat acara diskusi dalam bentuk Diskusi Panel “ Menguak Rancangan Undang-undang Jasa Konstruksi 2013’ Di Hotel Atlet Century, Jakarta, 18 April 2013. Salah seorang Panelis adalah Ir. Mulyadi, Wakil Ketua Komisi V DPR-RI dan Ketua Panja RUU Jasa Konstruksi 2013. Diskusi ini dihadiri oleh kalangan stakeholder konstruksi baik pemerintahan maupun non pemerintahan, termasuk kalangan akademisi. Dihadiri sekitar 200 peserta. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonsia (DPD-RI) juga membahas Prakarsa DPR ini. Berbagai nara sumber dari stakeholder jasa konstruksi diminta untuk menyampaikan pandangan dan pendapat terhadap RUU Jasa Konstruksi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komite II DPD-RI. RDPU ini dalam rangka pembahasan pandangan dan pendapat DPD-RI terhadap RUU Jasa Konstruksi yang akan disampaikan kepada DPR-RI. INTAKINDO termasuk stakeholder jasa konstruksi yang diminta untuk memberi pendapat dan pandangan dimaksud. Berdasarkan pembahasan prakarsa DPR tentang RUU Jasa Konstruksi ini, dapat diidentifikasi sejumlah issue utama atau permasalahan yang muncul. Berikut ini akan diuraikan beberapa diantaranya. ISSUE UTAMA/PERMASALAHAN: 1.Arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi belum jelas dan belum dilengkapi dengan perangkat evaluasi yang terstruktur. Tujuan pengaturan penyelenggaraan konstruksi agar pelaku konstruksi memiliki kapasitas kompetensi dan daya saing, proses konstruksi efisien, produktif, kreatif inovatif dan berkeadilan serta hasil konstruksi berkualitas, bermanfaat dan berkelanjutan. 2.Pasal 36 dan 37 masalah penyelesaian sengketa jasa konstruksi. Pemerintah harus lebih serius memasukkan masalah sengketa jasa konstruksi ini mengingat semakin banyaknya kasus yang berkembang di bidang jasa konstruksi. 3.Masalah sertifikasi profesi adalah adanya kesenjangan antara kualitas yang dimiliki tenaga kerja/SDM dengan yang dibutuhkan oleh dunia usaha/industri. Kasus kegagalan konstruksi hendaknya menjadi pelajaran berharga dan agar dapat dimasukkan dalam RUU ini. 4.Sertifikasi menjadi issu utama, prosesnya masih beragam, dan belum menjadi quality assurance dalam perwujudan struktur usaha yang diharapkan. Jenis pekerjaan (Arsitektur, Sipil, Mekanikal, Elektikal, dan Tata Lingkungan/ASMET) tidak kompatibel dengan lapangan usaha nasional maupun internasional. 5.Belum ada standar kontrak yang menjamin kesetaraan pengguna jasa dan penyedia jasa. 6.Dana pembinaan dan pengembangan jasa konstruksi masih menjadi kendala. 7.Peran pemerintah dalam tata kelola jasa konstruksi masih menghadapi hambatan, misalnya mengawasi proyek-proyek non APBN/APBD. 8.Ketatalembagaan LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) juga belum mencerminkan tugas pengembangan jasa konstruksi. Forum masyarakat jasa konstruksi belum efektif. Pengembangan jasa konstruksi masih memerlukan kepemimpinan pemerintah. Serta, norma pengadaan jasa konstruksi kaku dan sempit, sehingga tidak realistis bagi penyelenggara konstruksi swasta. 9.Adanya perubahan kebijakan nasional (regulasi) yang terkait jasa konstruksi (UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas) serta implentasi liberalisasi perdagangan jasa konstruksi (impor maupun ekspor). 10.Kualitas pengaturan dan UU Jasa Konstruksi yang kurang memadai, serta pengaturan dalam UU tersebut tidak mampu lagi merespon perkembangan yang terjadi. Oleh karena itu, ada perlu ada sejumlah substansi usulan, di antaranya mengenai rekonstruksi paradigma, restrukturisasi lingkup pengaturan, redefinisi jasa konstruksi, fleksibilitas pengaturan transaksi jasa konstruksi, hingga persoalan penegasan pembiayaan pengembangan jasa konstruksi. 11.Pengaturan sertifikasi yang selama ini melalui asosiasi akan diatur dengan menggunakan badan sertifikasi independen yang berakreditas. 12.Adanya dua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional yakni yang dikukuhkan oleh Menteri PU dan lembaga hasil Musyawarah Nasional. Kedua lembaga tersebut sama-sama merasa telah sejalan dengan UU Jasa Konstruksi. 13.Persoalan sertifikasi yang selama ini diserahkan melalui asosiasi ke depan menggunakan badan sertifikasi independen yang berakreditas. Para ahli harus dilibatkan dalam masalah sertifikasi ini sehingga sertifikat tidak sekadar keluar tetapi juga harus dapat dipertanggungjawabkan. 14.Rencana revisi UUJK telah menghancurkan produk perundang-undangan hasil dari reformasi. Pasalnya, ada beberapa agenda tersembunyi untuk merubah dan menghambat kebebasan berusaha bagi di bidang jasa konstruksi, yang telah berjalan cukup baik saat ini. ada agenda tersembunyi dalam melakukan revisi UUJK, diantaranya ada ketidak puasan dari beberapa pihak regulator dari hasil penilaian sertifikasi jasa kontruksi yang telah dilakukan oleh pihak masyrakat konsytruksi sendiri di luar pemerintah. 15.Ruang lingkup pengaturan jasa konstruksi di dalam revisi UU Jasa tidak hanya terkait proyek pemerintah tetapi juga BUMN dan swasta. Pengaturan tersebut, nantinya akan terkait standarisasi mulai dari proses perencanaan hingga pelaksanaan dan pemeliharaan. 16.Apa yang bisa dilakukan asosiasi/organisasi profesi jasa konstruksi sebagai kelompok kepentingan (stakeholders) agar dapat memberikan kontribusi dalam penyusunan RUU Jasa Konstruksi prakarsa DPR ini? Dengan perkataan lain, pemikiran dan konsepsi filosofis, sosiologi dan teknis legal apa yang bisa diberikan asosiasi profesi jasa konstruksi agar nantinya UU Jasa Konstruksi benar-benar melindungi kepentingan profesi jasa konstruksi, termasuk bidang sertifikasi kompetensi? 17.Penguatan fungsi dan peran Lembaga Pembinaan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) lebih penting dibandingkan dengan membentuk badan baru untuk akreditasi. 18.Antara pema¬kai dan penyedia jasa konstruksi sering timbul konflik. Kalau terjadi kesalahan, yang bertang¬gung jawab tidak ada. UU yang lama (UU No 18/1999) itu tidak sampai mengatur ke situ. Ketidakjelasan pengaturan dan pertanggungjawaban kons¬truksi ini, sering menjadi konflik hingga ke ranah hukum. 19.Materi tata lingkungan dalam draf RUU Jasa Konstruksi itu perlu penegasan. Pasalnya, sebut cukup banyak para developer dan pemerintah daerah menge-luar¬kan izin prinsip untuk pem¬bangunan di daerah rawan ben¬cana, seperti di tepi aliran sungai, daerah rawan banjir dan rawan longsor. Banyak warga mengeluh rumahnya banjir, padahal yang bangun develover. Sebenarnya itu tanggung jawab siapa? 20.Penolakan pembentukan Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi, satu lembaga baru yang diatur dalam produk legislasi. Masyarakat konstruksi akan menolak badan baru ini karena banyak sekali kepentingan oknum dalam proses sertifikasi terutama masalah dana. Masalah kewenangan sertifikasi yaitu tetap diberikan kepada lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN). Pembentukan badan baru tidak sesuai dengan semangat revisi UU no.18/1999 yang ingin membenahi LPJK sehingga dapat bersaing di pentas global. LPJK telah tumbuh menjadi lembaga yang mandiri karena kewenangan mengeluarkan sertifikasi. Apabila itu dicabut bagaimana 4 tugas lain yaitu pendidikan, pelatihan, pengembangan dan penelitian dapat dilaksanakan karena sejauh ini tidak ada dukungan anggaran dari pemerintah. 21.Masalah lain yang belum diatur dalam UU yang lama diantaranya lemahnya daya saing pelaku usaha konstruksi nasional sebagai akibat dari liberalisasi perdagangan jasa konstruksi dan bidang usaha berbasis ASMET (Arsitektur, Sipil, Mekanikal, Elektrikal dan Tata Lingkungan. 22.Perlu menambahkan pasal tentang pengaturan tenaga ahli dan tenaga terampil, karena hingga saat ini upah tenaga ahli dan tenaga terampil untuk jasa konsultan belum memiliki batasan. 23.Hasil penelusuran pada kasus runtuhnya jembatan Kartanegara dan rapat-rapat di tingkat komisi, ditemukan bias dalam UU Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi UU Jasa Konstruksi yang sekarang belum tegas menjelaskan bagaimana tanggung jawab tenaga ahli kalau kesalahannya sudah dimulai sejak perencaan. Kemudian bagaimana pula tanggung jawab perusahaan, apakah semua dilimpahkan kepada tenaga ahli dan begitu pula pemerintah sebagai pembina. hal ini harus diatur secara jelas dan tegas, agar saat terjadi suatu peristiwa kegagalan konstuksi atau bangunan semua yang terkait tidak lempar `handuk` atau lari dari tanggung jawab. 24.Sebenarnya UU No.18 Tahun 1999 sudah mengakomodir secara universal kepentingan jasa konstruksi nasional yang sudah mensetarakan antara penyedia jasa dengan pengguna jasa, hanya diperlukan peraturan pemerintah yang mengatur aspek-aspek khusus. RUU tentang Jasa Kosntruksi yang diinisiatif oleh DPR RI ini bukan revisi dari UU Nomor 18 tahun 1999 tapi merupakan produk undang-undang baru yang judulnya jasa konstruksi sedangkan terminologi/ruang lingkup jasa konstruksi berubah dan paling dominan adalah hilangnya peran masyarakat didalam rancangan undang-undang yang baru tersebut yang isinya bukan jasa konstruksi tetapi sektor konstruksi. 25.Sesungguhnya bidang jasa konstruksi sudah ada UU yang mengaturnya yakni UU No. 18 Tahun 1999. Yang belum ada pengaturan adalah bidang konstruksi. Prakarsa DPR ini mau mengatur jasa konstruksi atau konstruksi? Apakah UU yang ada sudah dilaksanakan dengan baik denhingga perlu diubah? Jangan hanya karena permasalahan sertifikasi UU Jasa Konstruksi diubah, Perlu dievaluasi motivasi Prakarsa DPR ini. 26.Pasal 58 Ayat (1) RUU Jasa Konstruksi berbunyi, “Pelaksanaan peran masyarakat jasa konstruksi dalam pengembangan jasa konstruksi dilakukan oleh suatu lembaga pengembangan yang independen. Lembaga ini apakah diperlukan? Apa pengertian independen, patuh pada peraturan perundang-undangan atau tidak ada intervensi atau keterlibatan negara? 27.Pasal 61, Ayat (1) RUU Jasa Konstruksi berbunyi, “Penyelenggaran sertifiaksi kompetensi kerja dan sertifikasi badan usaha di bidang jasa konstrjksi dilakukan oleh Badan Akreditasi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional yang dibentuk oleh pemerintah. Selanjutnya, Pasal 64 Ayat (1) butir a berbunyi, Tugas wewenang Bdan Akrediatsi dan Sertifikasi Jasa Konstruksi Nasional meliputi: (a) melakukan akreditasi asosiasi badan usaha dan asosiasi profesi. Suatu pertanyaan pokok dalam hal ini adalah: apakah asosiasi setelah mendapat akreditasi dari Badan tersebut memiliki wewenang untuk melaksanakan sertifikasi sendiri terhadap anggota-anggotanya? (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)