Kamis, 14 Maret 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: DEMOKRASI DAN HAM

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat demokrasi dan penghormatan terhadap HAM sesemakin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini. Bahkan, dalam pidato kenegaraan HUT ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI, SBY menyatidakan bahwa Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar di dunia setelah India dan AS. Indikasinya adalah kestabilan dan kemapanan demokrasi di Indonesia, pada saat banyak demokrasi di dunia runtuh. Menurutnya, salah satu hasil nyata dari proses demokratisasi di Indonesia adalah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung di seluruh Indonesia. Saat ini, seluruh Gubenur, Bupati dan Walikota telah dipilih langsung oleh rakyat. Hal ini juga menunjukkan peta politik Indonesia telah berubah secara fundamental. Sesungguhnya di bidang demokrasi, Indonesia tengah dilanda berbagai masalah kompleks. Sistem demokrasi seyogyanya menghasilkan masyarakat bebas dan sejahtera, tidak terlihat hasilnya, malah kenyataannya bertolak belakang. Presiden dipilih langsung oleh rakyat, tetapi tidak cukup kuat untuk menjalankan kebijakan. Bahkan, ia mengakui, ada 15 Instruksi Presiden diterbitkannya tidak dilaksanakan para Menteri anggota Rezim SBY-Boediono itu sendiri. Di DPR/parlemen tidak terdapat kekuatan Partai Politik dominan, termasuk Partai Politik mengusung Rezim SBY-Boediono, Partai Demokrat. Ditambah lagi besarnya peran lagislatif pasca reformasi ini dalam menentukan banyak kebijakan Presiden. Demokrasi Indonesia dikarakteristikkan dengan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat justru di tengah kebebasan demokrasi. Tingkat kesejahteraan menurun setelah reformasi, saat justru dimulainya kebebasan berekspresi, berpendapat, dll. Menurut buku Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2010 diluncurkan di Jakarta 12 Desember 2012, aksi demonstrasi dan mogok disertasi kekerasan di sejumlah wilayah Indonesia menurunkan indeks demokrasi, terutama terkait kinerja pemenuhan hak-hak politik Aksi demonstrasi dengan kekerasan 76 % dilakukan masyarakat dan sisanya 24 % dilakukan mahasiswa. Substansi gugatan terbesar dalam demonstrasi adalah kebijakan penyelenggaraan negara (50 %), disusul Pilkada (11%) dan Perusahaan (11 %). Buku ini menilai aspek kekebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga-lembaga demokrasi. Indeks ini mengukur perilaku masyarakat dan Pemerintah. Pengukuran awal dilakukan dengan menghitung jumlah kasus berdasarkan kliping Koran. IDI ini adalah salah satu ukuran untuk dinamika sosial dan demokrasi, terutama sejak reformasi birokrasi tahun 2009. Menurut Litbang "Kompas" berdasarkan data Bappenas dan pemeberitaan "Kompas",pada 2009 aspek kebebasan sipil 86,98; indeks demokrasi Indonesia 67,30; hak politik 54,60; peran partai politik 19,29. Pada 2010 aspek kebebasan sipil 82,53; indeks demokrasi Indonesia 63,17; hak politik 47,87; dan, peran partai politik 23,37. Aspek hak-hak politik nilainya paling rendah dan terjadi penurunan dari 54,6 menjadi 47,8 poin secara umum masuk kategori “rendah”. Secara umum ketiga aspek itu menurun dibanding tahun 2009. Nilai IDI merupakan agregat kinerja seluruh propinsi adalah 63, 17 atau menurun 4,13 poin dibandingkan tahun 2009. Kualitas penyelenggaraan demokrasi di Indonesia baru “memasuki kategori sedang”. Indeks peran DPRD dan Partai Politik (institusi demokrasi) menaik, namun hanya 23,37 atau terendah dari semua aspek. (Kompas, 13 Desember 2012). Penilaian demokrasi dapat ditunjukkan dengan indikator kehidupan kepartaian mengarah pada “kartel”, ditandai dengan parameter antara lain: (1) tidak berorientasi ideologis; (2) lebih mengutamakan koalisi, tidak ada oposisi; (3) memperoleh dana ilegal baik dari APBN maupun APBD; (4) menghindarkan pengingkapan kasus korupsi kader; (5) lebih mengutamakan pencitraan. Politik kepartaian tidak benar-benar menjalankan tujuan dan fungsi Parpol sesuai peraturan perundang-undangan, mengarah pada anti demokrasi dan pro korupsi. Perilaku elite Parpol lebih memperjuangkan kepentingan elite Parpol itu sendiri, bukan memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota (konstituen), masyarakat dan rakyat Indonesia. Parpol tidak berposisi untuk menciptidakan iklim kondusif dan program konkrit untuk mensejahterakan rakyat. Peran Parpol dalam realitas obyektif tidak sebagai “pilar demokrasi” untuk mewujudkan system politik demokratis. Beberapa hasil survei opini publik belakangan ini telah membuktikan politik kepartaian menunjukkan citra semacam itu. Pertama, hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) dibeberkan dalam jumpa pers di Jakarta, 2 Oktober 2011 (Kompas, 3 Oktober 2011). Hasil jajak pendapat LSI menunjukkan citra politisi Parpol sesemakin buruk. Hanya 23,4 % memiliki persepsi positif. Citra sesemakin buruk politisi karena begitu maraknya kasus korupsi dilakukan oleh politisi di semua lini, baik lembaga legislative maupun eksekutif sebagai kepala daerah dan pejabat penting lain. Di lain fihak, hasil surve LSI pada Februari 2012 juga menunjukkan penilaian publik atas Parpol sesemakin memburuk atau tidak suka (emoh) terhadap Parpol. Pada umumnya kekuatan elektoral Parpol mengalami menurunan signifikan. Namun, terdapat 28,9 % responden masih menyatidakan belum mengetahui pilihan politik. Dari responden sudah meiliki Parpol pilihan, sebagian juga menyatidakan belum mantap. Secara keseluruhan, warga belum jelas dengan pilihan mencapai 51 %. Kedua, hasil survei Reform Institute, menunjukkan bahwa tingkat kekurangpuasan publik atas performa Parpol dalam dua tahun belakangan meningkat dari 41 % (Tahun 2009) menjadi 60 % (Tahun 2011). Sekitar 34 % responden menyatidakan, tidak ada manfaat keberadaan Parpol sama sekali bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, hasil survey CSIS (Centre for Strategic and International Studies), memperkuat kesimpulan bahwa kepercayaan terhadap Parpol sangat rendah, ditujukkan dengan sangat rendahnya dukungan masyarakat terhadap Parpol. Kekecewaan masyarakat sesemakin meluas dan hanya 24,4 % responden menilai Parpol memiliki kinerja baik. Di lain fihak, analis Politik CSIS, Sunny Tanuwidjaja, menilai bahwa tingkat sentimen antipartai di Indonesia telah sampai pada titik mengkhawatirkan. Hasil survei dilakukan CSIS menunjukkan hanya seperlima masyarakat Indonesia mengatidakan kinerja parpol itu baik. Ketidakpercayaan masyarakat tidak hanya pada parpol tapi juga pada DPR. Bahkan, anggota DPR merupakan wakil parpol hanya dikenal tujuh persen masyarakat. Ini menandakan relasi antara rakyat terwakili dan mewakilkan itu bisa dikatidakan sangat lemah (ANTARA News, 7 Maret 2012). Keempat, hasil survei Litbang Kompas (Mei 2011), menyimpulkan bahwa sikap anti Parpol dan masyarakat tidak suka (emoh) tehadap Parpol sesemakin menguat belakangan ini dapat dibuktikan dari tingkat Party-identification atau identifikasi terhadap Parpol. Pada 14-16 Maret 2012, Litbang Kompas kembali melakukan survei, menyebutkan citra buruk Parpol mencapai 61,3 % responden. Sesungguhnya citra buruk Parpol ini sesemakin lama sesemakin meningkat. Gejala ini juga tidak lepas dari sikap publik melihat kinerja Parpol tidak memuaskan. Rata-rata lebih 80% responden tidak puas pada upaya parpol dalam empat fungsi utama Parpol, yaitu (1) Memperjuangkan aspirasi rakyat; (2) Melakukan pendidikan politik; (3) Kaderisasi para anggotanya; dan, (4) Kontrol legislatif. Kinerja Parpol dinilai sesemakin buruk saat publik melihat dominannya kepentingan Parpol terutama saat bersentuhan dengan proses legislasi. Mayoritas responden menilai Parpol lebih mengutamakan kekuasaan. Bahkan, terjadi kenaikan tingkat ketidakpercayaan. Sebanyak 70,9 % rersponden menyatidakan tidak percaya lagi pada Parpol sebagai penyalur aspirasi rakyat. Jumlah ini naik dibandingkan hasil jajak pendapat November 2011 tercatat 62,3 %. Peran Parpol di mata publik juga menunjukkan kualitas sangat buruk sebagaimana terlihat hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 14-16 Maret 2012. Hanya 13,7 % responden menilai Parpol telah berperan dalam mendorong terciptanya pemerintahan bersih, sementara 83,6% menilai Parpol tidak berperan dan 2,7 % tidak tahu. Dalam hal peran Parpol mendorong upaya perbaikan perekonomian rakyat, hanya 15, 2% responden menilai telah berperan, sementara 83,3 % menilai tidak berperan dan 1,5 % menyatidakan tidak tahu. Di lain fihak, peran Parpol mendorong pemberantasan KKN, hasil jajak pendapat Litbang Kompas ini menunjukkan hanya 13,1 % menilai sudah berperan, sementara 84.2% menilai belum berperan dan 2,7 % menyatidakan tidak tahu (Kompas, 19 Maret 2012). Selanjutnya, Data jajak pendapat 3-5 April 2012 Litbang Kompas menunjukkan, dari 709 responden berdasarkan cuplikan buku telepon dan acak, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Parpol, sebanyak 86,0% tidak puas, dan hanya 12,8 % puas. Satu pertanyaan lain diajukan kepada responden, yakni apakah selama ini anggota DPR lebih banyak menyuarakan kepentingan dirinya, partai politik atau kepentingan rakyat? Atas pertanyaan ini, terdapat 45,6 % menjawab “kepentingan sendiri”, 48,7% kepentingan Parpol, 3,4 % kepentingan rakyat, dan 2,4 % tidak tahuh/tidak jawab. Intinya, anggota DPR dan Parpol di DPR hanya mementingkan dirinya dan Parpolnya (94,3 %). Sangat sedikit responden menilai “kepentingan rakyat”, hanya 3,4 %. Kelima, dari sisi komunikasi politik (Mei 2011), hasil Jajak Pendapat Kompas menunjukkan bahwa terhadap 82,4 % responden menilai akomodatif terhadap aspirasi masyarakat tidak memadai, dan hanya 11,1 % menilai memadai. Untuk pemberian solusi persoalan, terhadap 83,8% responden menilai pimpinan Parpol tidak memadai dalam memberikan solusi persoalan dalam komunikasi politik. Juga dalam memperluas dukungan publik, 74,0% responden menilai tidak memadai. Intinya, publik menilai lebih dari tiga perempat responden menyuarakan penilaian negatif terhadap pimpinan Parpol dalam berkomunikasi politik. Kesimpulan hasil jajak pendapat Kompas ini yakni publik menilai komunikasi dilakukan para pemimpin pemerintahan dan Parpol selama ini masih sebatas pencitraan diri atau lembaga dibandingkan dengan upaya memberikan solusi atas persoalan bangsa. Beberapa hasil survei opini publik tentang keberadaan parpol menjelang Pemilu 2014 di atas dapat memberi makna, adanya potensi atau kecenderungan kekecewaan publik terhadap institusi parpol meningkat. Juga, bahkan dapat dimaknakan sebagai kondisi mengarah pada deparpolisasi, dinilai para pengamat politik demokrasi sebagai kondisi “berbahaya” bagi demokrasi. Kekecewaan publik terhadap Parpol sesungguhnya berlaku kepada semua Parpol, bukan satu dua Parpol semata seperti Partai Demokrat, Golkar dan PDIP. Bahkan, dapat disimpulkan, telah muncul penilaian umum bahwa Parpol adalah sumber korupsi di Indonesiaz. Salah satunya, hasil kajian Indonesian Corruption Watch (ICW) selama tahun 2011, Korupsi di Indonesia tidak terlepas dari pendanaan partai politik. Bahkan ICW memprediksi pola seperti itu masih akan tetap terus terjadi hingga 2014 mendatang. Parpol masih berupaya untuk mengkorupsi APBN di mana ada moment pemilu 2014. Partai masih tergantung pada cukong-cukong besar (REPUBLIKA.CO.ID 29 Januari 2012). Realitas obyektif ini diperburuk lagi dengan sistem Pemilu dan Pilkada membutuhkan biaya besar dan mendorong meningkatnya perilaku korupsi Kepala Daerah. Calon pemimpin berkualitas namun tidak berduit akan kalah populer dengan calon tidak berkualitas namun memiliki uang cukup untuk kampanye besar-besaran, memasang foto wajah mereka besar-besar di setiap perempatan. Masyarakat tidak terdidik tidak dapat memilih pemimpin berdasarkan nilai atau cita-cita ideologis. Proses politik hampir sepenuhnya dimonopoli kaum elite berhasil menguasai perangkat-perangkat demokrasi di tingkat negara. Institusi-institusi demokrasi telah dikuasai (kembali) oleh kalangan elite; sementara para aktivis pro-demokrasi dulu merebut dari Rezim Orde Baru tetap berada pada posisi marginal. Demokrasi liberal ternyata hanya menguntungkan kalangan elite, dan menjadi suatu bentuk demokrasi elitis. Korupsi terus tidak tertanggulangi, bahkan semakin merajalela sampai ke tingkat lokal. Sementara desentralisasi berpotensi menyebabkan munculnya kekuasaan bos-lokal pada gilirannya berpotensi menjadi kaki-tangan berbagai kekuatan sentralistis berada di Jakarta, Tokyo, New York, London dan pusat-pusat kekuasaan ekonomi politik. Suara kritis mahasiswa muncul dari antara lain: Gabungan Mahasiswa Kota Palembang (IAIN, UMP, UNSRI, BINA HUSADA, PGRI dan POLSRI), mengatasnamakan Aksi Solidaritas Mahasiswa untuk Petani Ogan Ilir (OI). Mereka menilai, Rezim SBY-Budiono anti demokrasi dan mengedepankan watidak militer, anti kritik dan anti rakyat. Di lain pihak, Presidum Sekretariat Bersama (Sekber) Buruh, Paulus Surya, mengungkapkan, adanya indikasi bahwa negara Indonesia sudah sesemakin represif secara legal melalui berbagai kebijakan. Bahkan, kondisi negara saat ini mengarah ke anti demokrasi. Belakangan ini ada beberapa UU esensinya justru berpotensi mengekang kebebasan demokrasi Indonesia. Sekber Buruh ini memperkirakan, di sini ada peran kepentingan anti pada rakyat, karena memang negara ini berdiri pada kelompok bermodal sehingga segala sesuatu menghambat laju akumalasi modal akan dibangun oleh gerakan anti rakyat. Dari segi penegakan HAM, negeri ini belum menggembirikan. Selama tiga tahun terakhir justru terjadi sejumlah kasus kekerasan baru terhadap masyarakat sipil. Upaya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia, macet alias jalan di tempat. Selama periode Januari-April 2012, upaya-upaya perlindungan HAM terus menurun. Rezim SBY-Boediono gagal menegakkan Supremasi Hukum dalam Kasus Pembunuhan Pejuan HAM Munir Sudah hampir 5 tahun Almarhum Munir meninggal akibat diracun zat Arsenik. Namun hingga saat ini, para pelaku utama pembunuhan Munir tidak ditangkap. Badan intelijen, aparat kepolisian dan kejaksaan Pemerintah SBY-JK gagal mengusut tuntas kasus Munir. Sejak Muchi PR divonis bebas pada akhir tahun 2008, kasus Munir bak ditelan bumi. Maraknya kasus tidak mencerminkan keharmonisan atau intoleransi antar umat beragama serta serangkaian pelanggaran HAM di Papua menjadi dua issu hak asasi manusia (HAM) paling disoroti dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Indonesia oleh Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Radikalisasi agama kian menguat, terutama terlihat dari merosotnya toleransi terhadap kelompok atau agama lain, penggusuran rumah-rumah warga, angka kemiskinan tidak kunjung turun, dan sejumlah persoalan kebangsaan lainnya. Dalam sektor legislasi, selain masih terus mempertahankan aturan hukum bertentangan dengan HAM, sejumlah aturan lain dimandatkan agar segera didorong dan dibentuk guna mempererbai kondisi HAM tidak dijalankan. Misalnya, dapat dilihat dari belum dilakukannya ratifikasi ICC, serta jaminan perlindungan pembela HAM melalui UU belum diwujudkan. Belakangan ini, trend kekerasan aparat terjadi dalam kasus konflik agraria, pelanggaran kebebasan beragama, dan kekerasan terhadap jurnalis. Di Papua, tercatat hingga kini masih terus menjadi daerah konflik penuh kekerasan oleh aparat terhadap masyarakat. Sementara dialog sempat diutarakan oleh SBY, hingga kini belum juga direalisasikanHanya satu catatan positif dari SBY akhir-akhir ini, yakni pemberian grasi terhadap terpidana mati, meskipun hal itu tidak menunjukkan adanya perubahan kebijakan untuk menghapus praktek hukman mati secara keseluruhan di Indonesia. Dalam di 2012 sudah terlihat buruk, diprediksikan empat bulan ke depan akan sesemakin buruk. Sepanjang 2013 kondisi pelanggaran HAM akan sesemakin memburuk. Begitu pula dengan upaya penyelesaian dan perlindungan. Dari sisi opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan hanya 39,9 % responden menilai Rezim SBY-Boediono telah sesemakin meningkatkan demokrasi dan penghormatan terhadap HAM.(MUCHTAR EENDI HARAHAP)

Rabu, 06 Maret 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: OTONOMI DAERAH

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan meningkatkan otonomi daerah dan pemerataan daerah. Sebagian Pemda bisa melaksanakan amanat konstitusi meningkatkan taraf hidup rakyat, menyejahterakan rakyat, dan mencerdaskan rakyat. Berdasarkan data, 20 % Pemerintah Daerah (Pemda) mampu menyelenggarakan otonomi daerah dan berbuah kesejahteraan rakyat di daerah. Namun, masih 80 % Pemda dinilai belum berhasil menjalankan visi, misi dan program desentralisasi. Dalam kenyataannya, pendidikan dan pengalaman dimiliki DPRD masih di bawah rata-rata dan masih sangat terbatas . Rata- rata DPRD tidak dibekali dengan pendidikan dan pengelaman cukup di bidang pemerintahan. Hal ini sangat berpengaruh dalam penyelenggaraan otonomi daerah Dari sisi perilaku korupsi Kepala Daerah, sebagai contoh di Propinsi Jawa Tengah, selama tahun 2011 terdapat kasus korupsi ditangani Polda Jateng: tercatat 78 kasus dengan 86 tersangka. Polda mengklaim telah menyelamatkan kerugian negara sebanyak Rp 34.612.637.000. Jumlah tersebut naik sekitar 143 persen dari tahun 2010 yang berjumlah 32 kasus. Jumlah tersangka pada tahun lalu pun kalah jauh yang hanya berjumlah 31 orang dengan kerugian negara Rp. 23.693.274.000 (Suara Merdeka, 13/12/2011) Secara nasional tahun 2004-2011 Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, terdapat 158 kasus korupsi menimpa Kepala Daerah, terdiri atas Gubernur, Bupati, dan Wali kota. Sementara periode tahun 2008-2011, sedikitnya terdapat 42 anggota DPR terseret kasus korupsi (Republika, 5/12/2011). Rakyat merasa sayang bila APBD dan APBN selalu defisit, namun kesejahteraan rakyat tidak terasakan oleh rakyat di daerah. Karena itu, pasti ada penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah sedang berjalan. Otonomi digadang-gadang sebagai solusi kesejahteraan rakyat di daerah, sebaliknya menjadi buah simala kama menelan korban kader-kader terbaik rakyat di daerah. Menjerat Kepala Daerah sebagai kader terbaik di daerah terjerat kasus korupsi sangat menyedihkan dan memprihatinkan. SBY sendiri mengakui, hanya sekitar 20 persen dari seluruh daerah hasil pemekaran berhasil mencatatkan kisah sukses itu. Angka ini sebelum Rezim SBY-Boediono melakukan moratorium setahun terakhir. Selebihnya, gagal mencapai tujuan hakiki pemekaran karena kemudian terjadi salah urus. Sebagian besar Pemda (baru) itu terbukti justru sibuk dengan proyek-proyek mercu suar sehingga lupa akan kesejahteraan masyarakat. Ada malah bertengkar sendiri, bersengketa tentang perbatasan, atau malah ada kebingungan karena baru menyadari 85 persen wilayah berstatus hutan lindung tidak bisa dipakai begitu saja. Pada tahun 2011, Rezim SBY-Boedionomengumumkan hasil evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah. Pada 399 kabupaten telah dievaluasi dua tahun terakhir, terdapat 10 Kabupaten terbaik. Di antara 10 kabupaten terbaik itu, 70% berada di wilayah Pulau Jawa. Sisanya, 30% mewakili Indonesia Bagian Timur atau di luar Pulau Jawa. Kesepuluh Kabupaten dimaksud adalah Jombang, Bojonegoro, Sragen, Pacitan, Buleleng, Karanganyar, Kulonprogo, Enrekang, Luwu Utara dan Bualemo. Jika dicermati lebih dekat, tiga Kabupaten berada di luar Pulau Jawa diwakili masing-masing oleh Kabupaten Enrekang (Provinsi Sulawesi Barat), Luwu Utara (Provinsi Sulawesi Selatan) dan Kabupaten Bualemo (Provinsi Gorontalo). Lalu, bagaimana dengan evaluasi penyelenggaraan otonomi daerah di wilayah perkotaan? Dari total 98 kota di Indonesia, 90% penyelenggaraan otonomi terbaik berada di Pulau Jawa, sisanya 10% berada di wilayah kota luar Jawa. Kota-kota tersebut adalah Surakarta, Semarang, Banjar, Yogyakarta, Cimahi, Probolinggo, Mojokerto, Sukabumi, Bogor dan Sawahlunto. Satu-satunya kota terbaik di luar Pulau Jawa diwakili oleh Kota Sawahlunto, Provinsi Sumatera Barat. Pertanyaannya, dimanakah posisi Kabupaten dalam percaturan penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini? Baru-baru ini Rezim SBY-Boedionomengatakan bahwa mayoritas daerah yang menerapkan otonomi daerah justru mengalami kegagalan. Tugas pelayanan publik dan upaya mendekatkan pembangunan terhadap masyarakat di daerah ternyata mengalami kegagalan. Padahal, dari awal otonomi daerah dimaksudkan untuk membangun dan membangkitkan potensi daerah dalam rangka mengejar ketertinggalan dan keterbelakangan. Namun kenyataannya bahwa otonomi daerah justru kehilangan tujuan awalnya. Menurut hasil evaluasi Kemendagri, sebanyak 205 Kabupaten dan Kota hasil pemekaran memiliki kinerja yang rendah. Pemerintah Kabupaten dan Kota baru hasil pemekaran sejak 1999 hingga 2009 tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), meningkatkan pelayanan publik dan berdaya saing rendah. Menurut evaluasi itu, tidak ada Propinsi, Kabupaten dan Kota meraih skor di atas 65,00. Hanya dua Kota memperolaeh skor diatas 60 dari nilai tertinggi 100, yaitu Kota Banjar Baru di Kalimantan Selatan dan Kota Cimahi Jawa Barat. Sisanya Kabupaten dan Kota memperoleh skor merah atau angka nol. Kegagalan Otonomi Daerah (Otda) dapat dilihat dari beberapa indikator. Sekitar 10 % dari 525 daerah atau 33 Propinsi, 398 Kabupaten dan 93 Kota mampu memberikan pelayanan publik terbaik atau sekitar 90% pelayanan publik buruk. Pada sektor kesejahteraan juga mengalami tekanan. Sekitar 31,02 juta penduduk Indonesia miskin. Penyerapan tenaga kerja juga menjadi tantangan Rezim SBY-Boediono. Hingga tahun 2010 BPS mencatat terdapat 8,59 juta jiwa penganggur terbuka. Potret ini telah menjadikan indikator gegagalan penyelenggaraan pemerintahan daerah bertujuan mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat. Dari sisi opini publik, Litbang “Kompas”, 12-14 November 2012, melakukan jajak pendapat dengan 716 responden berdomisili di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya,Palembang, Medan, Makassar, Manado, Pontianak, Banjarmasin dan Denpasar (Kompas, 19 November 2012). Jajak pendapat “Kompas” menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak puas dengan kinerja Pemda dalam menyelenggarakan kehidupan politik yang demokratis (56,8%); memajukan perekonomian daerah (57,0%); mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat (61,2 %); dan, mengatasi konflik social (56,1 %). Di lain fihak, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 32,2% menilai bahwa pemerataan pembangunan di daerah telah meningkat.