Senin, 25 Februari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: REFORMASI BIROKRASI DAN PEMBERANTASAN KORUPSI

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat refomasi birokrasi, dan pemberantasan korupsi terus ditingkatkan. Rezim SBY-Boediono kembali mewartakan optimisme terkait pembaruan birokrasi. Setelah mengumumkan kenaikan gaji PNS sebesar 5 persen untuk tahun 2010, Rezim SBY-Boediono juga memancang target untuk menuntaskan Reformasi Birokrasi (RB) pada tahun 2011, khususnya di lingkungan instansi/lembaga tingkat pusat Rezim SBY-Boediono. Secara formal seluruh Kementerian dan Badan/Lembaga Negara di bawah Rezim SBY-Boediono disibukkan dengan upaya melakukan RB (refromasi Birokrasi). Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak instansi Rezim SBY-Boediono memiliki persepsi salah mengenai tujuan RB itu sendiri. RB dipandang sebagai upaya untuk meningkatkan tunjangan kinerja, tanpa melihat upaya harus dilakukan agar organisasi instansi bersangkutan lebih mampu menunjukkan kinerja (performance). Hal ini berkembang akibat banyak instansi hanya melihat dari sisi “terang” apa telah dilakukan 3 (tiga) instnasi/lembaga Rezim SBY-Boediono sebagai “pilot project RB”: (1) Kementerian Keuangan; (2) BPK (Badan Pemeriksa Keuangan); (3) MA (Mahkamah Agung), menyusul Sekneg (Sekretariat Negara). Jika melihat dan benchmark ke dalam 3 (tiga) lembaga Rezim SBY-Boediono tersebut, diperoleh informasi bahwa pada dasarnya Rezim SBY-Boediono sejak lama telah banyak melakukan upaya RB. Upaya dimaksud tidak hanya menyangkut aspek penggajian (tunjangan kinerja) tetapi juga aspek kunci keberhasilan proses penyelenggaraan Rezim SBY-Boediono sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. Aspek tunjangan kinerja merupakan faktor pemicu atau motif akan mendorong RB dapat dipastikan berjalan sesuai dengan tujuan. Tunjangan kinerja hanya merupakan faktor nantinya akan diberikan sebagai implikasi dari kinerja telah dikontribusikan oleh para birokrat dalam pelaksanaan penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi. Inilah bentuk dari akuntabilitas bahwa birokrat telah diberi tunjangan besar, mampu memberikan kontribusi nyata bagi kinerja lembaga Rezim SBY-Boedionoan. Banyak fihak meragukan agenda Refornmasi Birokrasi (RB), khususnya di lingkungan birokrasi Rezim SBY-Boediono, akan tuntas tahun 2011. Salah satu alasannya, yakni banyak kendala internal sulit diselesaikan dalam tempo dua tahun ini. Bahkan instansi dianggap telah melakukan terobosan, seperti Kementerian Keuangan, juga mendapat kritik. Upaya reformasi birokrasi dilakukan masih bersifat tambal sulam. Beragam penilaian kritis menunjukkan karakteristik birokrasi dewasa ini, antara lain: birokrasi terlampau gemuk, lamban, belum profesional, dan bahkan menghabiskan anggaran besar. Jangankan melayani masyarakat, di birokrasi malah kerap terjadi penyalahgunaan anggaran negara. Birokrasi gemuk semakin membebani ketika tidak menjalankan tugas melayani masyarakat dan malah korup. Bahkan, Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Birokrasi Reformasi (PAN) Azwar Abubakar mencontohkan, sangat tidak wajar jika ada PNS golongan III mempunyai rekening ratusan miliar rupiah. Ia menilai masalah birokrasi menjadi rumit akibat penanganan setengah hati. Reformasi tidak menyentuh akar masalah. Di lain fihak, terdapat pandangan bahwa RB sesungguhnya adalah restrukturisasi dan perombakan sistem kepegawaian. Namun, restrukturisasi dihadang oleh resistensi atau penolakan karena akan banyak pegawai dan pejabat kehilangan posisi dan pendapatan. Merombak sistem kepegawaian juga akan sulit dilakukan karena tidak semua PNS (Pegawai Negeri Sipil) siap berkompetisi. Di sisi lain, tidak semua politikus siap melepas kooptasinya terhadap birokrasi. RB terkait visi Rezim SBY-Boediono. Namun, Andrinof (Menteri Perencanaan/Ketua Bappenas era Rezim Jok-JK) melihat visi Rezim SBY-Boediono sangat lemah dan kesungguhan untuk melakukan RB tidak ada. Sejak Rezim SBY-Boediono dilantik masing-masing sebagai Presiden dan Wakil Presiden, agenda RB terlupakan. Ketika Rezim SBY-Boediono membahas program kerja dalam “National Summit”, ternyata agenda RB tidak masuk. Setelah diteriakin lalu dimasukkan. Dari penyusunan Kabinet pun sudah terlihat bahwa tidak ada kemauan untuk melakukan RB. Mengisi pos Menteri hingga 34 menunjukkan Rezim SBY-Boediono tidak ada niat untuk melakukan perampingan birokrasi. Reshuffle malah memunculkan pos menteri dan komisi-komisi di bawah eksekutif. Presiden membiarkan unit-unit kerjanya sudah tidak relevan. Seruan RB dinilai tidak akan efektif tanpa adanya dorongan penuh dari eksekutif. Karena itu, sejumlah kalangan meminta SBY memimpin langsung program tersebut. Sekjen DPP PDIP Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri era Rezim Jok-JK) mengatakan, percepatan RB akan efektif jika ada ketegasan SBY sebagai Panglima berada di depan dalam mengelola Rezim SBY-Boediono. Ketegasan itu harus berlaku bagi semua pejabat dan birokrat tidak menjalankan instruksi, termasuk bagaimana pembantunya di kementerian dalam mengimplementasikan percepatan reformasi birokrasi. Harus ada perubahan dalam memimpin Rezim SBY-Boediono ini. Sebab Rezim SBY-Boediono berdasarkan telaah juga secara tidak langsung mengakui sistem berjalan karut- marut. Apa disampaikan SBY bagus karena itu memang ideal dalam mengelola Rezim SBY-Boediono. Tapi itu belum terimplementasi, RB juga belum berjalan, dan itu diakui oleh Rezim SBY-Boediono. Dalam pidato di hadapan anggota DPR dan DPD, Rezim SBY-Boediono menekankan pentingnya RB dan good governance dalam Rezim SBY-Boediono ini. Dalam mengelola pemerintahan, Rezim SBY-Boediono mewajibkan agar seluruh jajaran birokrasi dapat lebih meningkatkan peran dan fungsinya secara optimal dan maksimal. Pelayanan publik harus menjadi salah satu bagian mendasar dalam RB. Percepatan RB tidak dapat ditawar-tawar. Rezim SBY-Boediono selanjutnya menegaskan, percepatan RB sangat penting agar tercipta jajaran aparatur negara andal, profesional, dan bersih berdasarkan kaidah-kaidah good governance and clean government. Dalam pidatonya itu, SBY juga mengakui sungguhpun RB terus digalakkan, masih dijumpai jajaran birokrasi belum responsif, cenderung lalai, dan bahkan menghambat jalannya pembangunan. Tabiat dan perilaku seperti ini harus kita ubah dan akhiri. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, birokrasi di Indonesia sangat berbelit-belit. RB tidak memberikan perbedaan sama sekali. Birokrasi Indonesia malah tambah brengsek. Indonesia bersama India dan Filipina termasuk dalam negara paling tidak efisien dalam hal birokrasi. Hal itu terjadi tidak saja terhadap warga sendiri tetapi juga terhadap warga asing. Dalam survei terbaru Political and Economic Risk Consultancy (PERC) seperti dikutip dari AFP (3 Juni 2010). Para ekspatriat pelaku bisnis di Asia menilai bahwa kondisi itu bisa saja menyebakan investor menghindari berbisnis di negara bersangkutan. Sedangkan untuk negara paling efisien birokrasi, berdasarkan survei PERC adalah Singapura dan Hong Kong selama ini dikenal sebagai pusat keuangan di Asia. PERC menyarankan, birokrasi di beberapa negara Asia telah menjadi pusat kekuasan dalam beberapa hal sehingga harus ada upaya untuk secara efektif menuju reformasi oleh para politisi dan pejabat ditunjuk. Secara keseluruhan, dalam hal efisiensi birokrasi menempati posisi terburuk di Asia adalah India, diikuti kedua terburuk Indonesia. Di India, politisi sering berjanji melakukan mereformasi dan merevitalisasi birokrasi India, tetapi mereka telah tidak efektif dalam melakukannya terutama karena layanan publiknya seolah menjadi pusat kekuasaan. Berurusan dengan birokrasi India dapat menjadi salah satu pengalaman paling membuat frustrasi bagi warga India, apalagi untuk investor asing. Di Indonesia, Rezim SBY-Boediono dinilai gagal melaksanakan reformasi sehingga berkontribusi atas pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menerima tawaran sebagai managing director di Bank Dunia. Meskipun memperoleh mandat pemilihan kuat, tetapi SBY tidak memiliki kekuatan untuk benar-benar memperbaiki birokrasi Indonesia. Sedangkan di Filipina, masih banyak cara ilegal ditemukan dengan dalih membantu memfasilitasi warga dengan Rezim SBY-Boediono dengan meminta bayaran tertentu. Berdasarkan standar penilaian 1 hingga 10, di mana angka 10 adalah berarti terburuk, India mengoleksi skor 9,41, diikuti Indonesia (8,59), Filipina (8,37), Vietnam (8,13), dan China (7,93). Sementara Malaysia berada di urutan ke keenam terburuk dengan skor 6,97, kemudian Taiwan (6,60), Jepang (6,57), Korea Selatan (6,13), dan Thailand (5,53). Sedangkan Singapura telah menjalankan birokrasi paling efisien mendapat skor 2,53, diikuti Hong Kong (3,49). PERC mengatakan, dalam survei dilakukan mulai awal tahun ini, melibatkan 1.373 ekspatriat level menengah dan eksekutif senior di seluruh Asia. Dari sisi peningkatan pemberantasan korupsi, data dan fakta ini dapat membuktikan bahwa belum terlihat adanya upaya peningkatan pemberantasan korupsi berarti selama Rezim SBY-Boediono berkuasa. Pada 2010 PERC telah mewawancarai 2.174 eksekutif bisnis tingkat menengah dan senior di Asia, Australia dan AS. Dari 16 negera sasaran studi, menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup, diikuti Kamboja di urutan kedua, Vietnam, Filipina, Thailand, India, Cina, Malaysia, Taiwan, Korea Selatan, Macao, Jepang, Amerika Serikat, Hong Kong, Australia dan Singapura. Skor Indonesia adalah 9,27 dalam skala 0-10 di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 sangat korup, turun cukup signifikan dari skor tahun lalu, yaitu 8,32. Pada tingkat Asean, Indonesia tingkat korupsi hampir sempurna dan lebih buruk daripada Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina (8,06), Thailand (7,60), malaysia (6,47) dan Singapura (1,42). Studi ini melihat bagaimana korupsi berdampak pada berbagai tingkat kepemimpinan politik dan pamong praja serta lembaga-lembaga utama. Studi ini juga mencakup penelitian tentang pengaruh korupsi terhadap lingkungan bisnis secara keseluruhan. Dengan merajalelanya korupsi di semua level di Indonesia, perang korupsi dilakukan Rezim SBY-Bediono telah terhambat politisasi issue dilakukan pihak merasa terancam oleh aksi Rezim SBY-Boediono. Hasil korupsi digunakan para koruptor untuk melindungi diri mereka sendiri dan untuk melawan reformasi. Seluruh perang terhadap korupsi terancam bahaya. Lembaga terkorup di Indonesia adalah DPR. Korupsi sudah merusak cara berpikir anggota DPR sedemikian rupa. Kasus-kasus korupsi dihadapi anggota DPR memperlihatkan penjarahan uang negara tidak dilakukan secara individual, tetapi beramai-ramai. Artinya korupsi di DPR dilakukan sistemik dan melembaga. Majalah Berita Mingguan TEMPO (Edisi 16-22 Mei 2011) telah menurunkan laporan utama tentang perilaku korupsi anggota DPR. Menurut TEMPO, gedung DPR menjadi bursa transaksi gelap penentuan kebijakan publik. Penyusunan anggaran atau pembahasan pasal Rancangan Undang-undang (RUU) kerap dilumuri politik uang. Tawar menawar dilakukan untuk memutuskan pasal-pasal krusial dalam penyusunan RUU. Kepala Daerah bersusah payah menyiapkan sogokan buat memperoleh alokasi anggaran. Penyusunan anggaran merupakan lahan basah bagi anggota Dewan. Para “wakil rakyat” menggunakan proses persetujuan merupakan kewenangan mereka untuk memperoleh keuntungan. Transaksi gelap dilakukan politikus dari hampir semua fraksi. Berdasarkan pengelusuran TEMPO, banyak anggota DPR menghubungi Kepala Daerah, menawari mereka anggaran tertentu, dan kemudian memotong 5-10 persen sebagai “fee”, harus dibayar dimuka, tunai. Proses serupa dilakukan dengan pengusaha untuk persetujuan anggaran pengadaan barang. Lebih jauh Tempo membeberkan, seorang bekas anggota Panitia Anggaran mengatakan tiap Parpol biasanya memiliki sejumlah anggota giat “menjala uang”. Kader Parpol ini ditempatkan di Badan Anggaran, perangkat DPR beranggotakan 85 orang dari pelbagai fraksi secara proporsional. Di sini proses pembahasan anggaran dimainkan agar proyek dikawal bisa mulus. Anggota Badan Anggaran tidak produktif menyetor uang ke Parpol bakal dipindahkan ke alat kelengkapan DPR lain. Di Badan Anggaran kadang terjadi peleburan anggota lintas Fraksi dan lintas Komisi. Permainan juga melibatkan mediator, datang ke Senayan (Gedung DPR) dan melobi anggota DPR agar meloloskan proyek di daerahnya. Para mediator datang membawa proposal dari daerah sudah disetujui Bupati atau Walikota. Mafia Anggaran di DPR menjadi issu paling aktual seiring dengan mencuatnya kasus korupsi Wisma Atlet di Palembang melibatkan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, Sondakh, dan anggota DPR lain. Issu Mafia Anggaran di DPR telah mengundang beragam opini dan komentar baik dari anggota DPR sendiri maupun bukan. Mafia Anggaran bermakna bahwa para anggota Panitia Anggaran juga kader Parpol menggunakan kewenangan mereka untuk memark-up dan sekaligus membuat komitmen kepada fihak Pengusaha maupun pejabat eksekutif agar memberikan dana sekian persen dari nilai proyek kepada pada anggota Panitia Anggaran. Intinya, para anggota DPR (dari semua fraksi) berjemaah dan berkerjasama untuk memperoleh dana ilegal dari Negara atas proyek pengadaan barang dan jasa Rezim SBY-Boediono. Pada 2010 Kemitraan melakukan survei nasional di 33 provinsi. Hasilnya adalah tidak ada perubahan lebih baik dan sangat mengecewakan. Sebanyak 90 % responden dari kalangan akademisi menilai elite Parpol di legislatif berperilaku korupsi, dan lebih 80 % responden dari kalangan media dan LSM menilai elite parpol di legislatif berperilaku korupsi. Kader Parpol di legislatif dan eksekutif menjadi responden juga meyakini bahwa elite Parpol mereka berprilaku korupsi dengan tingkat keyakinan di atas 50 persen. Pada 2011, Kemitraan (Partnership for Governance Reform) juga melakukan survei tentang hal-ikhwal sama, memperingatkan adanya fenomena perilaku korupsi kader Parpol melalui hasil survei nasional tentang korupsi di Indonesia. Hasil survei Kemitraan ini menempatkan parpol sebagai salah satu institusi publik tidak dapat dipercaya. Bahkan, menurut KPK, sampai dengan Agustus 2011, telah dihukum sekitar 60 anggota DPR. SBY adalah salah seorang Pendiri Partai Demokrat, bahkan kini telah menjadi pendukung utama kekuasaan Rezim SBY-Boediono. Namun, realitas obyektif membuktikan bahwa Rezim SBY-Boediono tidak mampu menjaga agar Kader-kader Partai Demokrat terbebas dari perilaku korupsi. Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Juni 2011, menemukan 45 % responden survei LSI percaya bahwa elite Partai Demokrat terlibat korupsi. Persepsi korupsi ini bahkan lebih tinggi di kalangan responden saat Pilpres 2009 memilih Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla. Sebanyak 57,4% pendukung Megawati-Prabowo Subianto sangat percaya bahwa elite Demokrat terlibat korupsi. Sedangkan 52,8% suara pendukung pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto juga menyatakan hal sama. “Ini menunjukkan, pemilih PDIP dan Golkar, dan mayoritas pemilih Pilpres Megawati dan Jusuf Kalla percaya petinggi Demokrat terlibat korupsi. Hasil survei LSI di atas sesungguhnya tidak berbeda dengan realitas obyektif kasus dugaan tindak pidana korupsi kader-kader Partai Demokrat di DPR. Hasil pengolahan Litbang Kompas, Harian Kompas 13 Juli 2011, dan 27 Januari 2012, dan Website: Digital Media Ekspos News, 13 Juli 2011, dll, menunjukkan bahwa kader Partai Demokrat terkena kasus korupsi antara lain: As’ad Syam, Sarjan Tahir, Yusran Aspar, Amrun Daulay, Agusrin Maryono Najamudin, Nazaruddin, Murwan Effendi, RE Siahaan, Djufri, dan Angelina Sondakh. As’ad Syam adalah Anggota DPR 2009-2014 Dapil Jambi, Kader Partai Demokrat. As’ad Syam tersandung korupsi pembangunan pembangkit listrik tenaga diesel Sungai Bahas senilai Rp. 4,5 miliyar saat menjabat Bupati Muaro Jambi. Putusan Kasasi MA memutuskan As’ad bersalah dan menjatuhkan hukuman Vonis 4 tahun penjara dan denda Rp. 200 juta subsider enam bulan (Kasasi MA, 11/12/2008). Sarjan Tahir adalah anggota DPR 2004-2009, Kader Partai Demokrat. Ia terkena dugaan kasus suap alih fungsi hutan mangrove untuk Pelabuhan Tanjung Api-api. Ia terkena vonis 4,5 tahun penjara (PK MA,17/11/2009). Kasus dugaan suap terkait pengalihan fungsi hutan lindung seluas 7.300 hektar di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Ditahan 2 Mei 2008. Status tersangka pada Sarjan Taher diputuskan KPK pada 27 Februari 2008. Yusran Aspar adalah anggota Komisi IV DPR 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrat. Yusran terkena dugaan kasus korupsi biaya pembebasan tanah kompleks perumahan PNS senilai Rp. 6,3 miliar semasa pejabat Bupati Penalam Paser Utama Kaltim periode 2003-2008. Yusran mendapat putusan kasasi MA tentang hukuman 1 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp. 100 juta (Kasasi MA, 2009). Amrun Daulay adalah anggota DPR 2009-2014 Dapil Sumut II, Kader Partai Demokrat. Amrun Daulay terkena dugaan kasus korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi Rp. 25 miliyar saat Amrun menjabat Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Kementerian Sosial. Ia ditetapkan sebagai Tersangka oleh KPK (8 April 2011). Ditahan KPK (5 Juli 2011). Agusrin Maryono Najamudin adalah Gubernur Bengkulu, Kader Partai Demokrat. Ia tersandung dugaan kasus korupsi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Penerimaan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar Rp. 21,3 miliar. Proses hukum dituntut 4 tahun 6 bulan. Divonis bebas di PN Jakarta Pusat (24 Mei 2011). Namun, MA memvonis Agusrin 4 tahun penjara (1 Januari 2012). Selanjutnya, Nazaruddin, Anggota DPR 2009-2014 Dapil Jatim IV. Ia tersandung dugaan kasus korupsi Pembangunan Wisma Atlet SEA Games di palembang dengan nilai proyek mencapai Rp. 191 miliar. Tersangka (KPK, 30/6/2011). Ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK 30 Juni 2011. Ia ditangkap di Cartagena, Kolombia, 7 Agustus 2011. Murwan Effendi adalah Bupati Seluma, Bengkulu. Ia terkena kasus pemberian suap kepada anggota DPRD, penyusunan APBD dan penggunaan dana infrastruktur TA 2010. Perubahan anggaran membuat biaya pembangunan membengkak dari Rp. 350 miliar menjadi Rp. 385 miliar. Ditetapkan Tersangka oleh KPK pada 11 Juli 2011. RE Siahaan adalah Mantan Walikota Pematang Siantar Sumut periode 2005-1010, juga Ketua DPC Partai Demokrat Kota Siantar 2005-2010. Ia terkena kasus korupsi pengelolaan Rp. 16 miliar dana bantuan sosial APBD, serta dana pemeliharaan di Dinas PU Tahun Anggaran 2007 bernilai Rp. 30 miliar. Diduga kerugian Negara Rp. 9 miliar. Djufri adalah Anggota DPR 2009-2014. Ia terkena kasus penggelembungan dana pembelian lahan sejumlah proyek di kota Bukit Tinggi. Telah divonis 4 Tahun oleh Pengadilan Negeri Padang, 6 Januari 2012. Angelina Sondakh. Anggota DPR 2009-2014 Fraksi Demokrat. Ia telah ditetapkan oleh KPK sebagai Tersangka. Anggelina Sondakh adalah Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat. Tuduhan Nazarudin terhadap Anggelona Sondakh akhirnya mendapat dukungan dari sejumlah kesaksian dalam persidangan Nazarudin. Berdasarkan catatan Yulianis, anggota DPR Anggelina Sondakh (Kader Partai Demokrat) dan Wayan Koster (Kader PDIP) masing-masing mendapat Rp. 2 miliar dan Rp. 3 miliar. Belakangan KPK telah memutuskan menahan Anggelina sebagai tersangka dalam dua kasus, yakni kasus suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games XXVI di Jakabaring, Sumatera Utara; dan, kasus aliran dana ke Anggelina berkaitan dengan Anggaran Kementerian Pendidikan 2010 dan 2011. Bahkan akhir Februari 2013, KPK resmi menetapkan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum sebagai tersangka penerimaan suap dalam kasus Hambalang. Ketua umum DPP Partai Demokrat (PD) itu dinilai menerima hadiah atau janji terkait pembangunan sport center Hambalang dan atau proyek lainnya. Tapi tidak hanya kasus itu, ada kasus lain yang tengah diselidiki. Anas dijerat dengan pasal 12 huruf a atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU 20 Tahun 2001 tentang UU Pemberantasan Korupsi. Ancaman maksimal dari pasal tersebut adalah 20 tahun penjara. Soal keterlibatan Anas dalam kasus Hambalang sudah pernah diungkapkan mantan wakil bendahara umum Partai Demokrat M Nazaruddin. Ada beberapa penerimaan uang dan barang yang diduga sebagai 'kado' terima kasih karena membantu memenangkan PT Adhi Karya sebagai penggarap proyek. KPK mencari bukti-bukti keterlibatan Anas dalam kasus ini selama hampir setahun sejak kasus bergulir. Akhirnya, kini Anas pun resmi tersangka dan terancam masuk bui. Selain kader-kader Partai Demokrat di atas, juga Wakil Ketua Umum Partai Demokrat, Jhonny Allen Marbun tersandung kasus dugaan korupsi. Anggota DPR RI asal Sumut ini telah dua kali dilaporkan ke KPK oleh mantan ajudannya sendiri bernama Selestinus Angelo Ola. Pertama, terkait kasus dugaan korupsi pembangunan Dermaga di Indonesia Bagian Timur. Salestinus melaporkannya ke KPK dengan tuduhan menerima suap di Badan Anggaran. Ketika itu Salestinus menyatakan, Jhonny selaku Wakil Ketua Badan Anggaran DPR pada tahun 2008 terlibat pengaturan penyaluran anggaran ke daerah. Johnny mendapatkan komisi lima persen dari dana disepakati untuk dialokasikan ke daerah. Kedua, pada 5 Januari 2012, Salestinus melaporkan Jhonny Allen Marbun ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Salestinus datang ke Gedung KPK membawa bukti-bukti dugaan korupsi dilakukan Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu. Diungkapkan Salestinus, Jhonny Allen diduga melakukan korupsi tanah kuburan senilai Rp10 miliar. Yakni dengan melakukan mark up tanah kuburan di Pondok Rangon Jakarta Timur. Dalam prosesnya, Jhonny berkomplot dengan Ketua Pimpro Pembebasan Tanah Pondok Rangon dari Dinas Pemakaman, Endang Syuhada.Jhonny Allen diduga menyuap Endang Syuhada sebesar Rp550 juta. Uang tersebut diberikan untuk kelancaran mark up senilai Rp10 miliar. Yakni kelancaran untuk menyepakati mark up pada tanah dibeli Jhonny Allen seluas 3,5 hektar dengan total biaya Rp13 miliar menjadi Rp23 miliar (INILAH.COM, 5 Januari 2012). Pada 23 Februari 2012 ratusan mahasiswa tergabung dalam Forum Generasi Muda Muslim Sumatera Utara mendesak aparat penegak hukum segera mengusut tuntas kasus dugaan suap dan mark-up dilakukan Jhonny Allen Marbun demi menindak lanjuti laporan dan pengaduan atas dirinya. Desakan tersebut disampaikan mahasiswa saat berunjukrasa di Gedung DPRD Sumatera Utara dibawah pimpinan Koordinator Aksi Adhitia Melfan Tanjung. “Sudah lebih dua tahun kasus melibatkan Jhonny Allen Marbun dipeties-kan oleh KPK. Mereka melihat bahwa pimpinan KPK sengaja menyembunyikan kasus tersebut hingga kepemimpinan KPK saat ini. (Berita Sore Online, 07 Maret 2012). Pemberantasan korupsi sesungguhnya bagian dari komponen reformasi birokrasi. Pemda juga merupakan sasaran reformasi birokrasi. Kegiatan pelayanan publik Pemda harus terbebas dari perilaku korupsi. Pada Juni-Oktober 2012, KPK melakukan surveI terhadap 60 Pemda, menilai 498 unit pelayanan terbesar di 20 instansi pusat dan lima instansi vertical, 15 ribu responden penguna langsung pelayanan publik dalam satu tahun terakhir (Harian Tempo dan Republika, 12 Desember 2012). KPK menggunakan standar nilai integritas rata-rata atau minimal yakni 6,00. Survei ini bertujuan untuk menyediakan bahan evaluasi dan terus memantau sejaumana efektivitas pengendalian terjadinya korupsi di layanan publik sebagai mekanisme “check and balance” antara penyedia dan pengguna layanan publik. Hasilnya? Dari 60 Pemda disurvei, hanya empat Pemda memiliki nilai tertinggi dalam hal pencegahan korupsi di sektor pelayanan publik. Yakni: Kota Bitung (Sulut), Pare-Pare (Sulsel), Banjarbaru (Kalsel), Banda Aceh (NAD). Sementara itu, masih sebanyak 16 Pemda memiliki nilai integritas terendah. Antara lain: Kota 1. Bandung, 2. Depok, 3. Bekasi, 4. Medan, 5. Cirebon, 6. Jayapura, 7. Bima (NTB), 8. Palu (Sulteng), 9. Kendari (Sultra), 10. Serang (Banten), 11. Bengkulu, 12. Semarang, 13. Metro (Lampung) 14. Bandar Lampung, 15. Jember (Jatim), dan 16. Ternate (NTT). 16 Pemda ini memiliki nilai di bawah rata-rata nasional, yaitu 6 (enam). Dari sisi opini publik di Indonesia, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 24,1 % responden menilai Rezim SBY-Boediono telah meningkatkan refomasi birokrasi, pemberantasan korupsi terus ditingkatkan. Terakhir, kita dapat menggunakan data resmi BPK (Badan Pemeriksanaan Keuangan)untuk menyimpulkan bahwa Rezim SBY-Boediono telah gagal memenuhi janji politik tentang reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Pada 2 Desember 2014, Ketua BPK, Harry Azhar Azis, menyampaikan "Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Sementara (IHPS) I-2014 BPK" pada Rapat Paripurna DPR. Laporan BPK menyebutkan, nilai penyimpangan anggaran yang dilakukan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) cenderung naik. Ditemukan penyimpangan dalam bentuk ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan mencapai Rp. 10,93 triliun. Nilai tersebut meningkat dari temuan penyimpangan IHPS I-2013 sebesar Rp. 7,83 trilun. Ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan dapat menyebabkan kerugian Negara, potensi kerugian Negara, kekurangan penerimaan, inefisiensi, dan anggaran tidak efektif semakin tinggi. Temuan penyimpangan tersebut mengakibatkan kerugian Negara naik dari Rp. 1,37 triliun pada Semester I-2013 menjadi Rp. 1,46 triliun di semester I-2014. Sementara itu, temuan-temuan BPK ini baru sebatas hasil pemeriksanaan BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Laporan Keuangan Kementerian dan Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), dan laporan keuangan badan lainnya seperti BUMN. Seandainya digabungkan dengan hasil pemeriksanaan kinerja dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT), nilai temuan penyimpangan semester I-2014 mencapai Rp. 30,88 triliun. Modus penyimpangan anggaran selalu berulang setiap tahun. Modus kerap dipakai dan menyebabkan kerugian Negara paling besar pada Semester I-2004 adalah pengelembungan nilai pengadaan barang dan jasa, yang mencapai Rp. 527 miliar. Modus ini umumnya dipakai dalam proyek pembangunan gedung pemerintah, jaringan jalan, dan pemeliharaan infrastruktur. Modus lain juga kerap dilakukan adalah perjalanan dinas fiktif dan ganda. Orang melakukan perjalanan dinas tidak pergi dan hanya menitipkan surat perintah perjalanan dinas SPPD mereka kepada orang lain berangkat untuk distempel di instansi tujuan sebagai bukti pertanggungjawaban pembangunan anggaran. Praktik ini membuat Negara merugi Rp. 92,83 miliar selama Semester I-2014. Data dan fakta ini mempertegas kegagalan Rezim SBY-Budiono untuk melakukan penegakan hokum dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana janji-janji kampanye mereka dalam Pilpres 2009.(MUCHTAR EFFENDI HARAHAP)

Senin, 18 Februari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: PERTAHANAN DAN KEAMANAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustista TNI/Polri. Khusus bidang pertahanan, memang terdapat peningkatan anggaran mencapai 36 % pada RAPBN 2012. Untuk pertama kalinya semenjak 1962, anggaran pertahanan tahun 2012 menjadi nomor satu, dengan jumlah menjadi Rp 64,4 triliun–mengalahkan anggaran Kementerian PU (Rp 61,2 triliun) dan Kementerian Diknas (Rp 57,8 triliun). Sekadar perbandingan, pada tahun APBN Perubahan 2011, Kementerian Pertahanan (Kemenhan) mendapatkan anggaran Rp 47,5 triliun. Bahkan, pada 2013 akan dialokasikan sekitar Rp77 triliun Sebagai gambaran, pada 2009 naik menjadi Rp33,67 triliun. Kemudian pada 2012 ini naik menjadi Rp72,54 triliun dan pada 2013 akan mengalokasikan sekitar Rp77 triliun. Gambaran ini menunjukkan peningkatan secara signifikan dibanding tahun 2009 dan 2012. Sebuah sumber dari Kemenhan menunjukkan, jika angka anggaran dibandingkan dengan PDB (Produk Domestik Bruto), angaran pertahanan Indonesia tergolong paling rendah di bandingkan negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). Sejak 2000, alokasi anggaran pertahanan rata-rata per tahun masih di bawah 1 % PDB. Sementara, negara-negara Asia Tenggara lain memiliki anggaran pertahanan di atas 2 % PDB. Alokasi anggaran di bawah 1 % PDB akan menyulitkan pembangunan kekuatan pertahanan memadai. Bahkan untuk membangun kekuatan minimal sekalipun. Selama lima tahun terakhir, anggaran pertahanan mencapai Rp. 14,27 triliun per tahun. Angka itu kira-kira 0,88 %PDB rata-rata per tahun atau kira-kira 4,29 % APBN rata-rata per tahun. Perubahan mulai mengambil tempat. Di dalam Rencana APBN 2005, Dephan mengajukan rencana anggaran belanja pertahanan sebesar Rp. 45,028 triliun, kemudian terealisasi sebesar Rp. 21,997 triliun. Dibandingkan tahun sebelumnya, anggaran pertahanan naik 2,59 persen. Ideal alokasi anggaran pertahanan 2005-2006 adalah dua %dari PDB. Artinya, sekitar 11 %dari APBN atau bernilai Rp. 51,17 triliun. Diharapkan, tiga sampai 15 tahun ke depan, anggaran pertahanan meningkat menjadi 3,86 %dari PDB, atau Rp. 98, 77 triliun. Kecilnya anggaran pertahanan, tidak lepas dari ketidak-mampuan peningkatan pendapatan negara mengimbangi peningkatan pengeluaran negara. Berdasarkan Sumber Tempo.co.id, perbandingan persentase anggaran pertahanan masing-masing negara di Asia Tenggara dan sekitarnya, terhadap PDB dan APBN sebagai berikut: 1.Australia 2,3 % PDB dan 7,13 % APBN; 2. Brunei 6,9 % dan 17,96 %; Filipina 2,2 % dan 19,88 %; 4. Malaysia 4 % dan 9,08 %; 5. Thailand 2,8% dan 15,04%; 6. Singapura 5,2% dan 20,97%; 7. Indonesia 1,07% dan 5,72%. Namun, ada penilaian kritis bahwa alokasi anggaran Kementerian Pertahanan sebesar Rp77 triliun dinilai belum signifikan bagi modernisasi alat utama sistem senjata (alutsista). Soalnya sekitar 50 %anggaran akan diserap belanja pegawai. Pegawai di bawah Kemenhan ada 460 ribu, terdiri dari militer dan nonmiliter. Tapi, ini lebih rendah dari kepolisian. Tingginya alokasi belanja pegawai membuat pos untuk belanja modal dan barang (alutsista) otomatis terbatas. Padahal untuk mencapai target minimum "essential force" (kekuatan pokok minimum/MEF), dibutuhkan dana besar. Menurut Sekretaris Jenderal Kemenhan Marsdya TNI Eris Herryanto, meski secara alokasi anggaran terbesar, namun sebetulnya ketika di-'breakdown' jumlahnya masih normal. "Memang ada peningkatan tapi tidak siginifikan dalam rangka percepatan 'minimum essential force' (MEF). Dari Rp17 triliun pagu untuk Kemenhan Rp5 triliun di antaranya digunakan untuk pembayaran uang muka pembelian alutsista. Pasalnya, alutsista sudah ditetapkan sejak dua tahun dan sudah ada penetapan sumber pembiayaan. Di lain fihak, Pengamat militer Universitas Muhammadiyah Malang, Muhadjir Effendi, menilai bahwa anggaran pertahanan saat ini belum ideal, meski sudah ada kenaikan cukup signifikan. Kebutuhan anggaran pertahanan paling tidak juga harus bisa memenuhi kebutuhan umum minimal, tingkat kebutuhan peningkatan kesejahteraan perajurit dan memodernisasi alutsista bisa seimbang. Anggaran pertahanan saat ini baru sekitar lima %dari APBN. Paling tidak untuk mendekati ideal antara 8-10 persen, seperti anggaran untuk kesehatan 10 persen, dan pendidikan 20 persen. Kenaikan anggaran pertahanan dari Rp 64 triliun menjadi Rp 77 triliun pada tahun 2013, ada perkembangan positif dalam skema pembenahan dunia militer di Tanah Air. Porsi kenaikan sebesar itu harus dibagi secara adil. Artinya, porsi peningkatan kesejahteraan prajurit dan memodernisasi alutsista harus adil (proporsional). Singapura meski berpenduduk sekitar 4 juta orang, anggaran militernya merupakan terbesar di antara negara anggota ASEAN, dan teknologi militer termaju. Berdasarkan RENCANA ANGGARAN PERTAHANAN NEGARA-NEGARA ASEAN TAHUN 2013, urutan sebagai berikut 1. Singapura (12.6 miliyar US$ atau Rp. 108 Triliun); 2. Indonesia (8.2 miliar US $ atau Rp.76,5 triliun);3. Thailand (5,7 miliar US $ atau Rp 49 triliun); 4. Malaysia (4.5 miliar US $ atau Rp. 41 triliun): 5. Vietnam (3.5 miliar US $ atau Rp. 34 triliun); 6. Filipina (3.1 miliar US $ atau Rp. 28 triliun); 7. Kampuchea (1.7 miliar US $ atau Rp 15 triliun); 8. Brunei (600 juta US $ atau Rp. 5.4 triliun) ;dan, 9. Laos (400 juta US $ atau Rp. 3.6 trilun). Singapura sejak 1970 mengalokasikan rata-rata 6% PDB untuk pengeluaran pertahanan. Pada 1998, belanja militer Simgapura naik dari Sin$6,1 miliar menjadi Sin$7,3 miliar. Negara Kota ini memiliki lebih dari 200 pesawat tempur modern. Sedangkan anggaran pertahanan Indonesia turun dari US$4,8 miliar menjadi US$1,7 miliar pada 1998, dan hampir 60% anggaran itu untuk memenuhi kebutuhan personil. Singapura juga memiliki hubungan militer erat dengan AS dan Israel, dua negara memiliki teknologi militer paling maju di dunia. Setelah AS keluar dari pangkalan di Filipina, Singapura-AS menandatangani kesepakatan memungkinkan armada dan pesawat AS menggunakan fasilitas militer di Singapura untuk perbaikan, pengisian logistik dan pengisian bahan bakar. Singapura juga bisa menggunakan fasilitas militer di Australia, Israel, Thailand, Taiwan, Brunei, dan AS. Di bidang keamanan, ditandai dengan gangguan keamanan dalam negeri. Kekerasan terjadi di mana–mana, telah melibatkan berbagai kalangan masyarakat. Sasarannya, bahkan sudah aparat keamanan itu sendiri. Apa terjadi di Kebumen dan juga di Cirebon, mengindikasikan, bahwa keberanian masyarakat tidak lagi mempertimbangkan keamanan diri sendiri. Mereka bahkan, bersedia mempertaruhkan jiwa seperti korban bentrok antar warga di lokasi kejadian Desa Sidoreno Kecamatan Waypanji, Lampung Selatan (April 2012). Maraknya konflik pertanahan antara masyarakat asli dan pihak perusahaan beroperasi dalam bisnis kehutanan di berbagai wilayah Indonesia, tidak hanya terjadi di wilayah-wilayah kaya sumber daya, seperti di Sumatra dan Kalimantan. Menurut sumber Perhutani, konflik serupa, bahkan masih terjadi di pulau Jawa memiliki varian bisnis tinggi. Potensi tenurial di Pulau Jawa, diperkirakan bertambah hingga 92.000 hektar tahun 2012 ini. Kasus tenurial rawan terjadi di sejumlah kawasan hutan dikelola perusahaan milik negara, Perhutani, seperti di Cilacap, Boyolali, Blitar, Malang, Kraksaan, Lumajang, Bondowoso, jember, Bogor, dan Indramayu. Kecenderungan konflik akan terus terjadi apabila langkah akuisisi dan inventarisasi aset tidak segera dituntaskan. Hampir sebagian besar hutan dihuni masyarakat adat banyak terjadi pengusiran atau sengaja dipaksa meninggalkan hutan disertai tindakan kekerasan dilakukan aparat negara dan pihak swasta untuk dijadikan hutan negara. Dalam sepuluh tahun terakhir ini berbagai konflik seputar perebutan tanah adat banyak bermunculan. Hal ini disebabkan karena belum adanya batas-batas lahan jelas dan tegas. Tak hanya itu, pembukaan lahan untuk kepentingan industri baik pertambangan maupun perkebunan turut menjadi pemicunya. Masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia tidak hanya dihadapkan pada konflik perebutan lahan. Mereka pun juga dihadapkan posisi mereka juga semakin terpinggir di tengah modernisasi. Sengketa lahan antara petani dengan pengusaha selalu saja berujung pada tragedi memilukan. Tidak sedikit korban meninggal dan mendapatkan perlakuan tidak manusiawi, sebuah tragedi kemanusiaan dilakukan hanya karena Negara memberi ruang terhadap para pelaku kekerasan. Kita masih ingat kasus Mesuji, Lampung, dimana telah terjadi pembantaian sangat keji, manusia menuntut haknya dijadikan korban dan diperlakukan sangat tidak masuk diakal. Kasus Mesuji, Lampung sebenarnya sudah menjadi sebuah peringatan akan terjadinya peristiwa besar kaitan dengan konflik tanah antara petani dan pengusaha. Tetapi, sekali lagi Rezim SBY-Boediono masih saja menutup mata dan telinga sehingga seharusnya tidak terulang peristiwa sama tetapi kenyataanya konflik agraria semakin marak. Sumatera Utara salah satu daerah bakal menjadi ladang pertempuran karena perusahaan di bawah BUMN dan swasta banyak bermasalah dan potensi konflik terbuka lebar. Beberapa di antaranya adalah sengketa lahan; warga Desa Sei Mencirim, Kutalimbaru, Deliserdang versus PTPN II; Kelompok Masyarakat Padang Halaban dan sekitarnya versus PT SMART di Padang Halaban Labura, dimana satu warga (Usmanto) diduga ditembak aparat Polri; dan, antara Kelompok Tani Torang Jaya Mandiri (KTTJM) versus PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL) dan PT Sumatera Silva Lestari (PT SLL) di Desa Tobing Tinggi, Kecamatan Aek Nabara Barumun, Padang Lawas, Sumut (Harian Analisa, Medan, 2 Juli 2012). Sementara di lapangan bisa disaksikan masyarakat adalah bagaimana petani memperjuangkan tanahnya menjadi bulan-bulanan aparat. Tanggung jawab aparat seharusnya mengamankan dan memberi perlindungan berubah menjadi lawan masyarakat, dimana kekuatan senjata kemudian berbicara. Tidak sedikit terluka, kasus terakhir di PT Perkebunan Nasional (PTPN) VII unit Cinta Manis, Ogan Ilir, Sumatera Selatan menewaskan seorang anak masih berumur 13 tahun dan melukai puluhan orang lain. Dengan menggunakan sikap refresif, anggota Brimob mengabaikan hak asasi manusia dan menembaki warga petani menjadi korban perusahaan. Polisi sudah menjadi pengawal setia perusahaan Bukan lagi rahasia umum ketika aparat Polri sepertinya sudah menjadi budak perusahaan berorientasi pada modal. di lapangan telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia, menunjukkan rasa keadilan tidak pernah berpihak kepada masyarakat dan kenyataannya memang demikian. Rezim SBY-Boediono menyatakan saat ini ada 4.005 kasus sengketa lahan di seluruh Indonesia. Jumlah ini merupakan akumulasi dari konflik belasan tahun belum selesai. Separuh lebih merupakan konflik antarkeluarga dan sisanya konflik antara masyarakat dan perusahaan. Kebanyakan daerah rawan sengketa lahan adalah berada di areal perkebunan, seperti di Kalimantan atau di Sumatera. Faktor penduduk juga kadang menjadi masalah tersendiri. Di beberapa daerah, ada konflik justru dipicu masyarakat, terutama dalam pembagian ganti rugi lahan. Ada oknum di dalam masyarakat tidak membagi konsesi ganti rugi kepada tanahnya dibeli. Indonesia memang dilandas syndrome konflik horizontal ditandai dengan adanya kekerasan tumbuh subur tanpa mampu dikendalikan oleh Rezim SBY-Boediono. Kerusuhan Ambon, Konflik Posso, Pengganyangan Etnis Tionghoa di Makkassar dan banyak lagi. Kekerasan merupakan potret menunjukkan kealpaan negara dalam melindungi hak-hak dasar warganegaranya. Kekerasan biasanya digunakan untuk menggambarkan suatu perilaku, baik terbuka, tertutup, menyerang maupun bertahan disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), meminta Rezim SBY-Boediono segera mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) Perlindungan Masyarakat Adat, sebelum akhir tahun. Sebab, sebanyak 530 konflik melibatkan masyarakat adat sepanjang tahun lalu tidak ada satu pun terselesaikan. Seluruh konflik terjadi sepanjang 2011 tidak bisa terselesaikan, karena Rezim SBY-Boediono tidak memiliki instrumen untuk menyelesaikan konflik tersebut. Jika Rezim SBY-Boediono bersungguh-sungguh menyelesaikan konflik tersebut, Rezim SBY-Boediono harus segera mengesahkan RUU Perlindungan Masyarakat Adat. "Dengan pengesahan RUU, langkah kongkritnya adalah Rezim SBY-Boediono akan membentuk badan khusus menangani konflik-konflik adat. Sewaktu ada konflik adat, maka badan inilah harus menyelidiki ke lapangan. Mantan Wapres Jusuf Kalla mengungkapkan, mayoritas konflik terjadi di berbagai daerah di Indonesia pada umumnya disebabkan adanya ketidakadilan. Mayoritas konflik itu disebabkan karena ketidakadilan. Ketidakadilan itu bisa karena politik, sosial dan ekonomi. Kalla mencontohkan konflik di Aceh kaya dengan gas, tetapi pembangunan di sana tidak lancar dan signifikan. Selain itu hasil sumber daya alam larinya juga bukan ke Aceh tetapi ke luar daerah seperti ke Jakarta. Di Aceh bukan masalah mereka ingin merdeka, tetapi lebih pada ingin mempertahankan keadilan ekonomi. Sementara apa terjadi di Ambon dan Poso, juga sama sekali bukan konflik agama. Sementara untuk kasus di Kalimantan juga karena adanya ketidakadilan, yakni mengapa pendatang lebih banyak memanfaatkan kekayaan hutan dan bermacam-macam sumber daya alam di sana, sedangkan orang dayaknya justru mencari kayu di hutan saja susah. Hasil jajak pendapat Kompas (Kompas, 5 November 2012) mengungkapkan satu dari dua responden menyuarakan kegagalan Rezim SBY-Boediono mencegah potensi konflik sosial terjadi di masyarakat. Secara lebih spesifik publik menilai empat hal terkait dengan kegagalan tersebut. Dalam hal menjaga dan merawat gagasan kebinekaan, lebih dari separuh bagian responden mengatakan ketidakpuasannya terhadap Rezim SBY-Boediono. Proporsi lebih besar menyuarakan ketidakpuasaan terhadap upaya Rezim SBY-Boediono mencegah ancaman kerukunan hidup beragama dan (po tensi konflik etnis. Bahkan, tiga dari empat responden menyatakan secara lugas Rezim SBY-Boediono gagal menegakkan hukum dan keamanan secara konsisten. Opini serupa telah disuarakan publik pada September tahun 2011 lalu. Tampaknya belum ada perubahan berarti dalam pencegahan potensi konlik di masyarakat. Dari 770 responden via telepon, survey Litbang Kompas 31 Oktober-2 November 2012, terdapat hanya 47 % merasa puas tehadap upaya Rezim SBY-Boediono dalam mencegah ancaman kerukunan hidup beraga, sementara 55,8 % merasa tidak puas, dan 1,4 % tidak tahu/tidak jawab. Selanjutnya, hanya 38,8 % responden puas atas upaya Rezim SBY-Boediono dalam mencegah potensi konflik karena perbedaan etnis, 58,8 % tidak puas dan 2,3 % tidak tahu. Dalam hal menegakkan hukum dan keamanan secara konsisten, hanya 21, 4 % puas; 76, 2 % tidak puas dan 2,3 % tidak jawab. Sementara itu, opini masyarakat tentang siapakah paling dipercaya mampu meredam potensi konflik sosial, jawabannya adalah 52,5 % tokoh informal masyarakat; 18,2 % Rezim SBY-Boediono daerah/lokal; hanya 11,4 % Rezim SBY-Boediono Pusat; 10,1 % aparat keamanan; 4,3 % tidak ada; dan, 3,5 % tidak tahu/tidak jawab. Pengamat ekonomi pertanian UGM Prof Masyhuri menambahkan, selama tahun 2011 ada 163 kasus konflik agraria di Indonesia. Jumlah ini lebih besar dibanding tahun 2010 lalu mencapai 106 kasus. Menurut Mashyuri, banyaknya kasus konflik ini disebabkan tidak adanya kepastian hukum agraria, terutama soal hukum nasional dan hukum adat. Di sisi lain, terjadi pula ketimpangan sosial luar biasa dimana warga semestinya menggarap tanah minimal dua hektar (sesuai ketentuan undang-undang) namun justru hanya menggarap lahan kurang dari setengah hektar Dari sisi opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 49,8 % responden menilai Rezim SBY-Boediono telah membuat kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustista TNI/Polri.

Rabu, 13 Februari 2013

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: LINGKUNGAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti reboisasi lahan. Namun, running teks TV Metro menyampaikan bahwa menurut Menteri Kehutanan, anggaran untuk konservasi minim (27 November 2012). Berdasarkan sumber di Kementerian Kehutanan, rata-rata per hektar biaya konservasi kurang dari 3 dolar AS. Di negara-negara maju per hektar sudah di atas 2.000 dolar AS. Bahkan, di Malaysia dan Singapura sudah di atas 100 dolar AS. Di lain fihak, Menteri Lingkungan Hidup, Balthasar Kambuaya, (06 September 2012) mengungkapkan, kerusakan lingkungan di Tanah Air mencapai 40 hingga 50 persen dari luas wilayah ada. Kenaikan cukup signifikan itu terjadi sejak memasuki era otonomi daerah, di mana kewenangan penanganan lingkungan ada di Pemda setempat. Perizinan dikeluarkan Pemda setempat mengancam kerusakan lingkungan. Izin dikeluarkan kurang bersahabat dengan upaya pelestarian lingkungan. Justru banyak merusak, tingkat Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) di Indonesia masih rendah. Sebagian besar wilayah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia tidak memenuhi standar lingkungan hidup. Permasalahan lingkungan terjadi akhir-akhir ini tidak lagi terbatas sebagai masalah lokal. Namun, cakupannya sudah bersifat lintas daerah, bahkan lintas negara. Sebagai contoh, kebakaran hutan dan lahan di Sumatra juga menyebabkan negara tetangga ikut terganggu oleh asap. Secara umum, permasalahan lingkungan hidup di Indonesia menuntut perhatian serius adalah masalah pencemaran air, pencemaran udara di kota-kota besar, pencemaran oleh limbah domestik dan sampah. Selain itu, kontaminasi lingkungan oleh bahan berbahaya beracun (B3), kerusakan hutan hujan tropis, kerusakan daerah aliran sungai (DAS), kerusakan ekosistem danau, kerusakan lingkungan pesisir dan laut maupun kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan. Di samping juga akibat penipisan lapisan ozon, pemanasan global dan perubahan iklim, bencana lingkungan, seperti banjir dan tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan merupakan masalah lingkungan sangat serius. Dalam dua dekade terakhir ini laju kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia semakin terus meningkat dan tidak menunjukkan gejala penurunan. Masalah kerusakan hutan bagi Indonesia terus berlanjut. Bila dua dekade lalu laju kerusakan hutan di Indonesia ditengarai sekitar 1 sampai 1,2 juta per tahun, kini telah mencapai 2 juta hektar per tahun. Saat ini, kondisi hutan tropis di Indonesia tengah mengalami proses deforestisasi luar biasa. Diperkirakan, dalam satu jam, Indonesia kehilangan wilayah hutan seluas tiga kali lapangan bola. Dalam dua dekade terakhir ini, laju kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di Indonesia semakin terus meningkat dan tidak menunjukkan gejala penurunan. Bila dua dekade lalu laju kerusakan hutan di Indonesia ditengarai sekitar 1 sampai 1,2 juta per tahun, kini telah mencapai 2 juta hektar per tahun. Bagai gayung bersambut, rantai kerusakan tersebut kemudian menjalar dan meluas ke sungai, danau, hutan dataran rendah, pantai, pesisir dan laut. Pencemaran air dan udara di kota-kota besar dan wilayah padat penduduk juga telah berada pada ambang tidak hanya membahayakan kesehatan penduduk tetapi juga telah mengancam kemampuan pulih dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya hayati. Banyak faktor menjadi penyebab terjadinya hal tersebut, dari faktor demografis, etika, sosial, ekonomi, budaya, hingga faktor institusi dan politik. Pencemaran air di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Pencemaran air dapat diartikan sebagai suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan dan air tanah akibat aktivitas manusia. Perubahan ini mengakibatkan menurunnya kualitas air hingga ke tingkat membahayakan sehingga air tidak bisa digunakan sesuai peruntukannya. Fenomena alam seperti gunung berapi, badai, gempa bumi dll juga mengakibatkan perubahan terhadap kualitas air, tapi dalam pengertian ini tidak dianggap sebagai pencemaran. Pencemaran air, baik sungai, laut, danau maupun air bawah tanah, semakin hari semakin menjadi permasalahan di Indonesia sebagaimana pencemaran udara dan pencemaran tanah. Mendapatkan air bersih tidak tercemar bukan hal mudah lagi. Bahkan pada sungai-sungai di lereng pegunungan sekalipun. Sesungguhnya berbagai program telah dilakukan untuk melakukan reboisasi lahan, antara lain: Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) dan GERHAN. Dalam kenyataannya, program ini tidak mampu membendung kehilangan wilayah hutan. Dengan kasat mata terlihat, hasilnya lebih banyak nihil dan tentu bermasalah. Kondisi Sungai di Indonesia terus mengalami peningkatan pencemaran. Hasil pemantauan Kementerian LH tehadap indeks kualitas air sungai, menunjukkan kecenderungan peningkatan pencemaran hingga 30 persen (KOMPAS.com , 5 April 2012). Dari 52 sungai dipantau, hampir 30 persen kecenderungan meningkat pencemaran sungai dari cemar sedang menjadi cemar berat. Pencemaran air sungai tersebut paling tinggi diindikasikan dari semakin meningkatnya limbah domestik, walaupun di beberapa sungai disebabkan oleh kegiatan tambang. Iintensitas meningkatnya pencemaran akibat kegiatan tambang meningkat, terutama di daerah timur seperti Maluku dan Papua. Papua pada 2009 menduduki peringkat pertama untuk indeks kualitas lingkungan hidup turun peringkat dua, salah satunya disebabkan karena meningkatnya pencemaran air sungai. Sungai tercemar di Papua, yaitu Sungai Mamberamo dan Danau Sentani. Asian Development Bank (2008) pernah menyebutkan pencemaran air di Indonesia menimbulkan kerugian Rp 45 triliun per tahun. Biaya akibat pencemaran air ini mencakup biaya kesehatan, biaya penyediaan air bersih, hilangnya waktu produktif, citra buruk pariwisata, dan tingginya angka kematian bayi. Dari sisi opini publik, hasil survei JSI (Jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 40,7 % responden menilai Rezim SBY-Boediono telah membuat pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti reboisasi lahan (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).