Senin, 31 Desember 2012

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: PANGAN

Bagi rakyat Indonesia, kebutuhan pangan adalah hak azasi manusia (HAM), harus dipenuhi negara diwakili Rezim SBY-Boediono. Prinsip kebutuhan pangan sebagai HAM ini secara filosofis, konstitusional dan sosiologis berdasarkan paling tidak 5 (lima) hal: 1.UUD 1945, menegaskan bahwa pemenuhan pangan merupakan hak azasi (HAM) warganegara Indonesia. 2.Universal Declaration of Human Right (1948) dan The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (1966) menyebutkan bahwa “everyone should have an adequate standard of living, including adequate food, cloothing, and housing and that the fundamental right to freedom from hunger and malnutrition”. 3.Rome Declaration on World Food Security and World Food Summit 1996 ditanda tangani oleh 112 kepala negara atau penjabat tinggi dari 186 negara peserta; Indonesia menjadi salah satu di antara negara penandatangan. Isinya adalah pemberian tekanan pada human right to adequate food (hak atas pemenuhan kebutuhan pangan secara cukup), dan perlunya aksi bersama antar negara untuk mengurangi kelaparan. 4.Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara, termasuk Indonesia, menyepakati menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuhnya. 5.Hari Pangan Sedunia tahun 2007 menekankan pentingnya pemenuhan Hak Atas Pangan. Sementara pada Kampanye Pilpres 2009, Pasangan SBY-Boediono berjanji akan mempertahankan swasembada beras. Ke depannya Indonesia akan menuju swasembada daging sapi dan kedelai. Namun, dalam kenyataannya, Indonesia masih belum juga swasembada beras. Daging sapi dan kedelai masih saja impor. Tidak ada perubahan berarti dari keadaan pangan sebelumnya. Realitas obyektif menunjukkan bahwa Indonesia masih mengimpor pangan tidak hanya beras, daging sapi, dan kedelai, bahkan kentang,singkong, biji gandum dan meslin, tepung terigu, jagung, daging sapi, sapi hidup, dan juga garam. Tingginya nilai impor pangan ini tentunya menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan nasional terhadap luar negeri di bidang pangan. Berdasarkan berbagai sumber, termasuk BPS dan Kementerian Perdagangan, maka impor pangan tahun 2012 dapat dideskripskan sebagai berikut: 1. Beras Meskipun penghasil beras dan sempat swasembada beras, saat ini Indonesia melakukan impor makanan pokok rakyat Indonesia dengan 5 negara. Dari Januari hingga Mei 2012 ini, Indonesia telah mendatangkan sekitar 886,8 ribu beras impor dengan nilai US$ 503,9 juta. Impor beras terbesar dilakukan dengan negara Vietnam. Dalam 5 bulan pertama tahun ini, sebanyak 443,6 ribu ton beras dengan nilai US$ 264,6 juta didatangkan dari negara ini. Selain itu, Indonesia juga mendatangkan sekitar 238,4 ribu ton beras impor dari Thailand dengan nilai US$ 137,5 juta. Beras impor dari India pun juga masuk ke tanah air. Sebanyak 150,5 ribu ton dengan nilai US$ 70,5 juta datang dari negara ini. Sedangkan beras dari Pakistan masuk tahun ini sekitar 2.601 ton dengan nilai US$ 9,5 juta dan beras asal China sebanyak 8.624 ton dengan nilai US$ 4,7 juta juga dinikmati masyarakat Indonesia dalam 5 bulan pertama tahun ini. Rezim SBY-Boediono Indonesia menandatangani kesepakatan untuk membeli beras dari Kamboja dengan volume 100.000 ton per tahun untuk jangka waktu lima tahun ke depan dan sebaliknya negeri bangsa Khmer itu akan mengimpor pupuk dan peralatan pertanian seperti traktor dan mesin penggiling gabah. Kesepakatan itu ditandatangani oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan dan Menteri Perdagangan Kamboja Cham Prasidh pada sela-sela Pertemuan ke-44 Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN di Siem Reap, Kamboja. Mengapa Indonesia masih mengimpor beras dari luar negeri sedangkan Indonesia termasuk salah satu negara dengan kontribusi terhadap produksi beras dunia mencapai 8,5%?. Tidak ada kedaulatan pangan di Indonesia. Selama kita terlalu mengagung-agungkan investor, impor, dan liberalisasi. Tidak akan ada kedaulatan. 2. Kedelai Dalam 5 bulan pertama tahun ini, Indonesia telah mengimpor 750,1 ribu ton kedelai dengan nilai US$ 424,2 juta. Impor terbesar datang dari Amerika Serikat, yaitu sebanyak 721,1 ribu ton dengan nilai US$ 401,6 juta. Kemudian, Malaysia dengan 26 ribu ton kedelai senilai US$ 20,8 juta dan Kanada dengan total impor kedelai dalam 5 bulan sebanyak 1.525 ton dengan nilai US$ 887 ribu. Ukraina juga mendatangkan kedelai sebanyak 738 ton dengan nilai US$ 370,1 ribu. Begitu juga dengan China, sebanyak 281,8 ton kedelai dengan nilai US$ 279 ribu masuk dari negeri tirai bambu tersebut. Akhir akhir ini harga kedelai melonjak karena terjadinya kekeringan di Amerika Serikat. Para pengusaha tahu dan tempe di berbagai daerah di Indonesia pun menjerit. Sebagian dari mereka pun terpaksa menghentikan usahanya karena tidak tahan dengan lonjakan harga tersebut. Kondisi ini mulai menyadarkan berbagai pihak betapa rentannya ketahanan pangan Indonesia dibawah Rezim SBY-Boediono. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mengkritik, krisis tahu-tempe marak belakangan ini, dikarenakan tidak adanya keseriusan Rezim SBY-Boediono dalam menangani masalah pangan. Mahalnya harga kedelai ternyata harus impor membuat pengrajin tahu tempe menjerit. Padahal sudah ngomong dari dulu, bahwa Indonesia tidak secara serius melakukan dikatakan ketahanan pangan untuk Indonesia. Seharusnya itu terealisasi pada saat-saat sekarang ini. Rezim SBY-Boediono harus berani mengambil langkah untuk menghentikan impor pangan. Jangan tergantung dengan asing, terutama komoditi pertanian penting. Indonesia tidak akan bisa berswasembada kalau tidak melakukan suatu langkah konkret, antara lain hentikan impor bagi komoditi-komoditi pertanian. 3. Kentang Rezim SBY-Boediono mengakui adanya impor kentang adalah untuk keperluan industri. Pasalnya, kebanyakan industri membutuhkan jenis kentang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Terdapat 5 negara memasukkan kentang terbanyak asal negaranya ke Indonesia. Australia merupakan negara dengan jumlah dan nilai terbesar untuk impor kentang ini. Dalam 5 bulan pertama tahun ini, negara Kangguru itu telah mendatangkan 7 ribu ton kentang dengan nilai US$ 4,7 juta. Selain itu, Indonesia juga mendatangkan kentang impor asal Kanada, yaitu sebanyak 5,5 ribu ton dengan nilai US$ 3,5 juta. Kentang impor asal China pun juga mewarnai pasar dalam negeri. Terdapat sekitar 5,1 ribu ton kentang dengan nilai US$ 2,8 juta asal negara ini. Sementara itu, terdapat 2.107 ton kentang asal Amerika Serikat dengan nilai US$ 2,4 juta masuk ketanah air dan 254 ton kentang dengan nilai US$ 394 ribu asal negeri Jiran Indonesia, yaitu Singapura. Ditambah dengan negara lainnya, total impor kentang dari Januari hingga Mei tahun ini sebanyak 22 ribu ton dengan nilai US$ 14,9 juta. 4. Singkong Pada tahun ini, hanya 2 negara mendatangkan singkong ke Indonesia, yaitu China dan Vietnam. Padahal, pada tahun lalu, Italia juga sempat mengirimkan singkong asal negaranya ke tanah air. Meskipun sempat menghentikan impor singkong pada semester II tahun lalu, rupanya Indonesia kembali melakukan impor singkong dari China dan Vietnam pada 2 bulan terkahir tahun 2012 ini. Pada bulan April dan Mei 2012, sebanyak 5.057 ton singkong asal China dengan nilai US$ 1,3 juta masuk ke tanah air. Impor ini kemudian berhenti pada bulan Mei ini. Sementara itu, pada Mei impor singkong dilakukan dari negara Vietnam. Sebanyak 1.342 ton singkong dengan nilai US$ 340 ribu masuk ke Indonesia. Dengan demikian, sepanjang tahun ini, negara telah mengimpor singkong sebangan 6.399 ton dengan nilai US$ 1,6 juta dari kedua negara tersebut. 5. Biji Gandum dan Meslin Bahan pangan ini memang masih sangat sulit dibudidayakan di Indonesia. Untuk itu, salah jalan dalam jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan gandum adalah impor. Pada tahun ini, sekitar 1,9 juta ton gandum dengan nilai US$ 767 juta telah masuk ke tanah air. Negara pengimpor gandum terbesar adalah Australia. Sekitar 1,4 juta ton gandum dengan nilai US$ 531,6 juta masuk dari negeri Kangguru ini dari Januari hingga Mei 2012. Kemudian, Kanada juga mendatangkan 371,1 ribu ton gandum dengan nilai US$ 154,8 juta dari negaranya. Begitu pun dengan Amerika Serikat mendatangkan 198 ribu ton gandum dengan nilai US$ 77,6 juta. Rusia juga mengirimkan sekitar 6.023 ton gandum dengan nilai US$ 1,8 juta dari negaranya. Selain itu, Turki juga memasukkan 1.101 ton gandum dengan nilai US$ 321 ribu dari negara terletak di Benua Eropa ini. 6. Tepung Terigu Rezim SBY-Boediono telah mengimpor sekitar 212,2 ribu ton tepung terigu dengan nilai US$ 84,8 juta dari Januari hingga Mei tahun ini. Impor dengan nilai terbesar dilakukan dengan negara Srilanka. Sekitar 83,2 ribu ton tepung terigu dengan nilai US$ 40,4 juta ton masuk ke tanah air. Sementara itu, Turki mendatangkan sekitar 102 ribu ton tepung terigu dengan nilai US$ 33,4 juta dan Belgia mendatangkan 7,6 ribu ton tepung terigu dengan nilai US$ 3,4 juta. Australia juga telah memasukkan 6,6 ribu ton tepung terigu dengan nilai US$ 2,7 juta dalam 5 bulan pertama tahun ini, sedangkan Ukraina mendatangkan 7,6 ribu ton tepung terigu dengan nilai US$ 2,6 juta. 7. Jagung Dari Januari hingga Mei tahun ini, Rezim SBY-Boediono telah mengimpor sekitar 653 ribu ton jagung dengan nilai US$ 186,4 juta. Impor ini dilakukan dengan setidaknya 5 negara. India memasukkan 548,5 ribu ton jagung dengan nilai US$ 151,7 juta. Jagung dari Amerika Serikat telah datang ke tanah air sebanyak 42,5 ribu ton dengan nilai US$ 14,5 juta. Sementara itu, jagung dari Argentina telah masuk sebanyak 44,8 ribu ton dengan nilai US$ 13,8 juta, sedangkan sebanyak 10,9 ribu ton jagung dengan nilai US$ 3,4 juta dari Brasil, dan 419 ton jagung dengan nilai US$ 1,4 juta dari Thailand. 8. Daging Sapi dan Sapi Hidup Rezim SBY-Boedino berdasarkan data tahun 2012 tidak tegas dan konsisten dengan target pencapaian “swasembada daging sapi tahun 2014”. Berdasarkan fakta dan angka Litbang Kompas, diolah dari BPS dan Kementerian Perdagangan (Kompas, 19 November 2012), pada 2012 Indonesia masih tetap mengimpor daging sapi dan sapi hidup dengan nilai impor (Ribu Dollar AS) sebagai berikut : (1) Januari 3.021,7 daging sapi dan 15.413,2 sapi hidup; (2) Februari 13.063,9 daging sapi dan 48.301,3 sapi hidup; (3) Maret 17.294,6 daging sapi dan23.617,5 sapi hidup ; (4) April 12.640,2 daging sapi dan 8.360,8 sapi hidup; (5) Mei 9.948,4 daging sapi dan 38.736,8; (6) Juni 25.849,4 daging sapi dan 31.555,7 sapi hidup; (7) Juli 5.548,5 daging sapi dan 25.866,7 sapi hidup; dan, (8) Agustus 9.235,4 daging sapi dan 14.881,1 sapi hidup. 9.Garam dan Ikan Indonesia sebagai negara kepulauan Maritim, sudah mengimpor garam serta mengimpor 35 % ikan dari China. Defisit Pangan: Defisit sejumlah komoditas pangan utama nasional terus meningkat. Pada 2011, volume impor beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, dan daging mencapai 17,6 juta ton senilai US$ 9,4 miliar. Defisit pangan pada 2011 mencapai 17,35 juta ton dengan nilai US$ 9,24 miliar (mendekati 90 trilyun rupiah) karena ekspor hanya 250 ribu ton dengan nilai US$ 150 juta. Lebih rinci, Data BPS menunjukkan, impor beras Indonesia mencapai 2,75 juta ton dengan nilai US$ 1,5 miliar atau 5% dari total kebutuhan dalam negeri, impor kedelai mencapai 60% dari total konsumsi dalam negeri sekitar 3,1 juta ton dengan nilai US$ 2,5 miliar, jagung sebesar 11% dari konsumsi 18,8 juta ton senilai US$ 1,02 miliar, gandum (100%, US$ 1,3 miliar), gula putih (18%, US$ 1,5 miliar), daging sapi (30%, US$ 331 juta), dan susu (70%). Kedaulatan pangan secara konseptual dapat diartikan sebagai hak setiap bangsa. Negara mestinya menjamin setiap rakyat untuk bisa memproduksi pangan secara mandiri, dan dalam prakteknya bisa menerapkan sistem pertanian, peternakan dan perikanan tanpa intervensi dari pihak luar merusak. Ujung-ujungnya bermuara pada pemenuhan kebutuhan pangan bagi rakyat, tanpa ada ketergantungan pihak lain, petani selalu menderita tidak bisa menikmati hasil panenan akibat serangan pangan impor. Rezim SBY-Boediono sesungguhnya belum memperlihatkan keberpihakan cukup untuk sektor pertanian. Hal itu terlihat dari anggaran pada APBN dialokasikan di sektor pertanian masih sangat kecil, tidak sebanding dengan alokasi untuk sektor lain, semisal pendidikan. Pertanian semestinya mendapatkan perhatian khusus. IHSC Indonesian Human Right Committee for Social Justice (menilai anggaran untuk ketahanan pangan pada RAPBN 2013 masih belum memadai (13 Septemebr 2012). Total anggaran untuk ketahanan pangan hanya Rp 83 triliun. Total anggaran tersebut mencakup anggaran untuk stabilisasi harga serta pemenuhan kebutuhan pangan rakyat sebesar Rp 64,3 triliun dan anggaran infrastruktur irigasi senilai Rp 18,7 triliun. Total anggaran tersebut tiga kali lebih rendah daripada belanja pegawai senilai Rp 241 triliun. Ia mengatakan tidak ada anggaran di Kementerian Pertanian, khususnya pada Badan Ketahanan Pangan untuk pembaruan agraria. Negeri ini menyediakan sumber pangan melimpah. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati banyak menyediakan sumber pangan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Itu sebenarnya dapat mencukupi kehidupan bangsa. Namun, kebijakan Rezim SBY-Boediono untuk mengatasi masalah pangan selalu mengambil jalan pintas dengan cara impor pangan. Sangat mencemaskan! Janji kampanye SBY-Boediono untuk swasembada beras, daging sapi dan kedelai belum juga tercapai. Dari sisi opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan hanya 36,7 % responden menilai janji Rezim SBY-Boediono tentang pangan ini telah terpenuhi (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: KESEHATAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan mengatasi masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi tidak mampu. Kesehatan masih kurang terpecahkan di Indonesia. Memang sarana kesehatan di Indonesia sudah cukup baik, tetapi pelayanan kesehatan di Indonesia masih memiliki nilai minus. Warga Indonesia sendiri belum bisa sepenuhnya percaya pada kekuatan medis di Indonesia. Buktinya, banyak orang Indonesia sendiri rela pergi ke luar negeri hanya demi mendapatkan tanganan medis. Kabarnya ‘lebih baik’ ketimbang penanganan medis di Indonesia. Program jamkesmas diberikan Rezim SBY-Boediono ternyata masih belum berjalan secara maksimal. Cara mendapatkan fasilitas tersebut tidak mudah. Rezim SBY-Boediono telah membiarkan meluasnya gizi buruk dan gizi kurang diseluruh Indonesia. Data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menunjukkan, setidaknya ada 5,3 persen balita dari 28 juta anak di bawah usia 5 tahun mengalami gizi buruk. Artinya, sekitar 1,5 juta balita mengalami gizi buruk sedangkan balita mengalami gizi kurang sekitar 15%. Mereka berpotensi mengalami kebodohan permanen. Beragam kasus gizi buruk masih saja bermunculan bahkan di lokasi berbatasan langsung dengan Ibukota DKI Jakarta. Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu indikator keberhasilan MDGs harus dicapai oleh Indonesia. Yakni menurunkan angka kesakitan dan angka kematian menjadi setengahnya pada tahun 2015. Berdasarkan data 1990 dan pencapaian 2010, Indonesia telah berhasil menurunkan insidens, prevalens, dan angka kematian. Insidens berhasil diturunkan sebesar 45% yaitu 343 per 100.000 penduduk menjadi 189 per 100.000 penduduk, prevalens dapat diturunkan sebesar 35% yaitu 443 per 100.000 penduduk menjadi 289 per 100.000 penduduk dan angka kematian diturunkan sebesar 71% yaitu 92 per 100.000 penduduk menjadi 27 per 100.000 penduduk. Walaupun telah banyak kemajuan dicapai dalam pengendalian TB di Indonesia tetapi tantangan dan masalah TB tidaklah semakin ringan. Antara lain, meningkatnya koinfeksi TB-HIV, kasus TB-MDR, kelemahan manajemen dan kesinambungan pembiayaan program pengendalian TB. Menurut laporan Badan PBB untuk masalah anak-anak (UNICEF), tingkat kematian anak/bayi di Indonesia masih relatif tinggi. Saat ini diperkirakan 150.000 anak meninggal di Indonesia setiap tahun sebelum mereka mencapai ulang tahun kelima. Indikator kesehatan lain adalah status gizi anak masih perlu diperbaiki. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2010 menunjukkan, prevalensi gizi buruk balita di Tanah Air masih 4,9 persen, meskipun angka ini sudah menurun dari 2007 mencapai 5,4 persen. Anak balita masuk dalam kategori gizi kurang menurut Riskesdas 2010 masih bertahan pada angka 13 persen. Sedangkan prevalensi tubuh pendek (stunting) pada balita mencapai 35,7 persen atau mengalami penurunan dibanding 2007 (36,7 persen). Dari sisi pencegahan penyakit, hak anak Indonesia mendapatkan imunisasi masih belum optimal. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, cakupan Universal Child Immunization (UCI) tahun 2010 adalah 75,3 %. Tahun 2011, pencapaian UCI turun menjadi 74,1 %. Sementara itu, Laporan organisasi medis kemanusiaan dunia Médecins Sans Frontières (MSF) atau Dokter Lintas Batas menyebutkan, Indonesia termasuk sebagai salah satu dari enam negara teridentifikasi memiliki jumlah tertinggi anak-anak tidak terjangkau imunisasi. Menurut MSF, sebanyak 70% anak-anak tidak terjangkau program imunisasi rutin tersebar di Kongo, India, Nigeria, Ethiopia, Pakistan, dan juga Indonesia. UNICEF telah menunjukkan, hampir 10.000 wanita Indonesia meninggal setiap tahun karena masalah kehamilan dan persalinan. Padahal, masa kehamilan dan persalinan adalah salah satu fase vital bagi kelangsungan hidup anak. Rezim SBY-Boediono masih belum mampu menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi. Hak perempuan Indonesia atas kesehatan, khususnya terkait anak, belum mendapat perhatian sepenuhnya. Pada tahun 2009 saja, ada lebih dari 39,8 juta perempuan atau 37,9% dari seluruh jumlah pekerja (104,87 juta jiwa). Ketersediaan sanitasi di Indonesia cukup memprihatinkan. Kementerian Kesehatan melansir sebanyak 7 % penduduk Indonesia belum mendapatkan akses sanitasi dengan baik. Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan negara baru menganggarkan 0,33 persen (Rp200 orang per tahun) untuk pembangunan sanitasi layak. Padahal, idealnya setiap orang dianggarkan Rp 54 ribu untuk setiap tahun. Paling nyata masalah sanitasi ini akan menimbulkan banyak dampak negatif bagi masyarakat. Indikasi dampak itu setidaknya telah muncul. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia untuk tahun 2012 ini melorot dari urutan ke 108 menjadi 124. Dari sisi SDM, bila dibandingkan antara jumlah tenaga kesehatan di tingkat Rumah Sakit ataupun Puskesmas khususnya di daerah terpencil, sangat jauh dari kriteria ideal. Apalagi secara sosial politik telah banyak wilayah di Indonesia mengalai pemekaran. MP3EI adalah Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. MP3EI dapat dinilai sebagai janji-janji politik Rezim SBY-Boediono setelah berhasil memegang kekuasaan pemerintahan pasca Pilpres 2009. Berdasarkan Catatan Akhir Tahun 2012 Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Teknis Kesehatan dan Obat menilai, MP3EI lebih menguntungkan kepentingan asing dan pemodal besar, lebih mengarah pada peningkatan ekonomi makro akan semakin menimbulkan kesenjangan pertumbuhan ekonomi mikro antara kaya-miskin rentan terhadap perpecahan. MP3EI ini dinilai, lebih bernuansa upaya pencapaian peningkatan ekonomi melalui eksploitasi sumber daya alam tanpa upaya meningkatkan kualitas dan kapasitas SDM dan Iptek yang masih rendah. Bagi Komisi ini, kesehatan perlu dimasukkan ke dalam program utama MP3EI. Intinya, Komisi Teknis Kesehatan dan Obat DRN menilai, MP3EI lebih menguntungkan kepentingan asing dan pemodal besar! Di lain pihak, berdasarkan opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, sebanyak 65,5 % responden menilai janji Rezim SBY-Boediono tentang bidang kesehatan ini telah terpenuhi. Sementara itu, 28,9 % menilai belum, terpenuhi, dan sisanya tidak menjawab (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

Selasa, 18 Desember 2012

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: PENDIDIKAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009, pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi tidak mampu. Sebagai langkah awal dalam upaya penilaian terstruktur, perlu disoroti antara lain mengenai pemanfaatan 20% APBN dalam bidang pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun gratis, kesenjangan aksesibilitas dan kualitas pendidikan, perbaikan kurikulum secara fundamental, serta partisipasi dan tanggung jawab pemerintah. Rezim SBY-Boedino mengakui, angka anak putus sekolah dari SD ke SMP karena mahalnya biaya pendidikan mencapai 920.000 anak. Angka putus dari SMP ke SMA lebih besar lagi yaitu 1,26 juta anak. Putus sekolah tersebar dari 19 Propinsi, termasuk Jawa Barat, Papua Barat, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah. Inflasi biaya pendidikan di negeri ini dari tahun 2000 hingga 2009 memang mencapai 200 %. Dibandingkan dengan Thailand hanya 17%. Malaysia juga hanya 11%. Paling parah, sistem seleksi perguruan tinggi negeri telah rusak, bukan berdasarkan kualitas tetapi melalui mekanisme lelang bangku kuliah, membayar paling mahal berpeluang lebih besar untuk diterima di perguruan tinggi negeri. Dari sisi politik anggaran, sesuai UUD 1945, Pemerintah diwajibkan mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% APBN. Namun, Rezim SBY-Boediono memanfaatkan celah kebijakan membungkus besaran 20% ini atas nama pendidikan, meskipun –sebagai contoh– anggaran ini salah satunya dipakai untuk program pendidikan dan latihan (Diklat) pegawai kementerian. Dari Rp 248,9 triliun anggaran pendidikan 2011, hanya sebesar Rp 89,7 triliun dikelola oleh pemerintah pusat, sementara Rp158,2 triliun sisanya dikelola oleh daerah. Dari Rp 89,7 triliyun dikelola oleh pemerintah pusat, Rp 55,5 triliun dikelola oleh Kemendiknas, Rp27,2 triliun oleh Kementerian Agama, dan Rp 6,8 triliun sisanya dibagikan ke 13 kementerian dan empat lembaga lain. Sedangkan dari Rp 158,2 triliun dikelola oleh Daerah, sebanyak Rp 104 triliun dialokasikan untuk Dana Alokasi Umum (DAU), mayoritas dimanfaatkan untuk gaji guru, Rp10 triliun untuk Dana Alokasi Khusus (DAK), Rp18,5 triliun untuk tunjangan profesi guru, Rp16,8 triliun untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan lainnya sebesar Rp 8,3 triliun. Politik anggaran Rezim SBY-Boediono sangat kontra produktif dengan semangat pemanfaatan anggaran pendidikan untuk pendidikan dasar 9 tahun gratis. Sebagian besar anggaran pendidikan dialokasikan untuk bersifat rutin. Tidak efektif untuk meningkatkan semangat pendidikan dasar gratis dan aksesibilitas baik. Pendidikan adalah hak semua orang dan merupakan kebutuhan primer, sehingga seharusnya tidak ada pengkhususan pendidikan dan tidak boleh ada hak-hak masyarakat terabaikan dalam mengakses pendidikan berkualitas. Realitas obyektif menunjukkan, masih banyak SD dan SMP memungut dana iuran dari orang tua siswa, dengan atau bukan alasan SPP. Pada sekolah-sekolah bertaraf RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) realitas obyektif semacam itu acap kali ditemukan. Rata-rata orangtua siswa dikenakan biaya Rp 5 juta agar anak mereka mengenyam pendidikan bertaraf “internasional”; hanya menggunakan “Air Conditioner” dan “Bahasa Inggris” tanpa mengajarkan wawasan internasional lebih luas dan komprehensif. Tidak hanya RSBI, sekolah standar pun masih banyak menarik iuran, terutama dengan embel-embel biaya buku, praktek, LKS (lembaran Kerja Siswa), dll. Kesemuanya bisa menghabiskan uang tidak kurang dari Rp1 juta per tahun. Belum lagi mengenai keluhan kualitas sekolah gratis. Pertanyaannya: apakah seorang anak petani atau tukang cuci hanya berhak memperoleh pendidikan dengan kualitas biasa-biasa saja atau bahkan dengan kualitas buruk? Tidak bolehkah mereka mengenyam pendidikan bertaraf internasional? Sementara itu, kurikulum pendidikan nasional juga hingga sekarang masih jauh dari ideal. Persoalan pokok mengenai pendidikan karakter hingga sekarang masih menjadi wacana tanpa dampak nyata. Ditambah lagi dengan tergerusnya nilai-nilai kearifan lokal dengan nilai-nilai globalisasi mengedepankan kompetisi dibandingkan kerja sama (gotong royong), individualistik dibandingkan kolektivistik. Dampaknya, masyarakat Indonesia hanya menjadi masyarakat mekanistik. Dibenak masyarakat hanya terpikirkan tentang kesejahteraan diri, bukan kesejahteraan bersama.. Peningkatan kualitas pendidikan dan program wajib belajar 12 tahun untuk semua anak Indonesia, hanyalah utopia atau ilusi semata. Jika Rezim SBY-Boediono mengatakan, program wajib belajar 9 tahun sudah selesai dan akan dilanjutkan pada wajib belajar 12 tahun, perlu dipertanyakan maksud “selesai” Apakah selesai karena waktu atau karena semua anak Indonesia sudah wajib belajar 9 tahun? Jangankan kita berbicara wajib belajar 9 tahun untuk anak-anak bangsa di seluruh penjuru tanah air, untuk anak jalanan dalam radius 10 Km dari Istana Merdeka Jakarta saja tidak dapat pendidikan rata dan berkualitas. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-109 dari 174 negara. Posisi Indonesia berada pada urutan ke 17 dari 17 negara Asia di bawah Vietnam. Tingkat pendidikan masyarakat Indonesia di tahun 2011 menurun dibanding tahun 2010. Banyak masyarakat Indonesia putus sekolah dan tidak bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hal tersebut berdasarkan data dari United Nation Development Programme (UNDP) dikeluarkan pada 2 November 2011 dalam Human Development Index. Indonesia di posisi 124 di bawah Filipina. Tahun 2010 Indonesia di ranking 108. Memang di tahun 2011 jumlah negara ikut bertambah menjadi 187 negara dari tahun 2010 hanya 169. Indonesia turun dari tahun 2010. Education For All Global Monitoring Report 2011 dikeluarkan oleh UNESCO setiap tahun dan berisi hasil pemantauan pendidikan dunia. Dari 127 negara, Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69. Indonesia kalah dibandingkan Malaysia (65) dan Brunei (34). Kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Selain itu, akses pendidikan di Indonesia masih sangat terbatas. Lebih dari 1,5 juta anak setiap tahun tidak dapat melanjutkan sekolah. Sementara dari sisi kualitas guru dan komitmen mengajar, terdapat lebih dari 54 % guru memiliki standar kualifikasi perlu ditingkatkan dan 13,19 % bangunan sekolah dalam kondisi perlu diperbaiki. Berdasarkan opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 62,9 % responden menilai di bawah Rezim SBY-Boediono telah terpenuhi janji soal kesejahteraan guru dan sekolah gratis bagi tidak mampu. Sementara itu, 30,1 % menilai tidak terpenmuhi, dan sisanya tidak menjawab.

Jumat, 14 Desember 2012

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO; PENGANGGURAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat pengangguran turun 5-6 % dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha. Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja ada mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lain. Tingkat pengangguran terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsi, menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Juga menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di Indonesia dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang. Apa data dan fakta bisa ditunjukkan untuk pengangguran di bawah Rezim SBY-Boediono? BPS menunjukkan, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 6,32% atau 7,61 juta orang. Jumlah ini turun 6% dari Februari 2012 sebesar 8,12 juta orang. Angka persentase pengangguran 6,32% pada Februari 2012 turun dibandingkan Agustus 2011 sebesar 6,56% dan Februari 2011 sebesar 6,8%. Angka pengangguran diperhitungkan terus menurun, yakni: Februari 2011 mencapai 8,12 juta; Agustus 2011 mencapai 7,7 juta; Februari 2012 mencapai 7,61 juta Pada Februari 2012 jumlah angkatan kerja di Indonesia mencapai 120,4 juta orang, bertambah sekitar 3 juta orang dibanding angkatan kerja Agustus 2011 sebesar 117,4 juta orang atau bertambah sebesar 1 juta orang dibanding Februari 2011. Dari angkatan kerja tersebut, jumlah penduduk bekerja di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 112,8 juta orang, bertambah sekitar 3,1 juta orang dibanding keadaan pada Agustus 2011 sebesar 109,7 juta orang atau bertambah 1,5 juta orang dibanding keadaan Februari 2011. Selama setahun terakhir (Februari 2011―Februari 2012), jumlah penduduk bekerja mengalami kenaikan, terutama di Sektor Perdagangan sekitar 780 ribu orang atau 3,36% serta sektor keuangan sebesar 720 ribu orang atau 34,95%. Namun, terdapat penurunan pada sektor: Pertanian 1,3 juta orang (3,01%; Transportasi, pergudangan, dan komunikasi sebesar 380 ribu orang (6,81%). Sementara itu, berdasarkan jumlah jam kerja, pada Februari 2012 sebesar 77,2 juta orang (68,48%) pekerja bekerja di atas 35 jam per minggu, sedangkan pekerja dengan jumlah jam kerja kurang dari 15 per minggu mencapai 6,9 juta orang (6,08%). Sebaliknya, Kadin menilai, angka pengangguran di Indonesia sudah cukup tinggi akibat kesenjangan antara pertumbuhan angkatan kerja dan lapangan pekerjaan. Akibat ketimpangan tersebut diperkirakan setiap tahunnya pengangguran meningkat sebesar 1,3 juta orang. Pengangguran di Indonesia mencapai 9 juta orang. Hal ini terjadi karena jumlah pertumbuhan angkatan kerja tidak seimbang dengan pertumbuhan lapangan kerja khususnya di sektor formal (REPUBLIKA.CO.ID , 1 Mei 2012). Pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun mencapai 2,91 juta orang, sedangkan lapangan pekerjaan hanya 1,6 juta orang. Sehingga ada 'gap' sebesar 1,3 juta orang kemungkinan menjadi pengangguran terbuka di Indonesia. Bukan hanya soal kesenjangan, penggangguran di Indonesia juga terjadi akibat tidak bertemunya kualitas pencari kerja dengan kebutuhan diinginkan perusahaan. Berdasarkan tingkat pendidikannya, dari 8,14 juta pengangguran terbuka, 20 persen berpendidikan SD, 22,6 persen tamatan SMP, 40,07 persen tamatan SLTA, 4 persen tamatan diploma, sedangkan 5,7 persen tamatan sarjana. Pengangguran 9 juta orang itu jika tidak mendapat kesempatan kerja, jangan harap upaya untuk memakmurkan rakyat akan tercapai. Sementara untuk penambahan tenaga kerja dalam jumlah besar di Indonesia, membutuhkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen per tahun. Dari sisi opini publik, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 17,4 % responden menilai telah terjadi peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha.

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: KEMISKINAN

Rezim SBY-Boediono berjanji dalam kampanye Pilpres 2009 akan membuat kemiskinan harus turun 8-10 % dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat. Pada Agustus 2012, Ketua Bappenas Armida Alisjahbana mengatakan, Pemerintah berupaya menurunkan tingkat kemiskinan nasional pada akhir 2012. Hingga Maret 2012, tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 11,96 % atau 29,13 juta jiwa penduduk masih kategori miskin. Meski terkesan masih tinggi, tingkat kemiskinan saat ini sudah lebih baik dibanding tahun 2011. Pada 2011, di periode sama, tingkat kemiskinan nasional adalah 12,49 %. Angka ini menurun dibandingkan tahun 2010 sebesar 13,33 %. Tingkat kemiskinan tersebut terus bertahan di kisaran 12 % hingga akhir tahun 2011. Pada tahun 2013, pemerintah berharap angka kemiskinan bisa ditekan dikisaran angka 9,5-10,5 %. Angka itu, sudah tercatat di RAPBN 2013. Namun, bagi Armida, Indonesia terkendala angka poverty basket inflation (inflasi dirasakan masyarakat miskin) masih tinggi. Pada triwulan pertama, Indonesia mencatat angka poverty basket inflation sebesar 6,52 %. Angka tersebut karena tingkat konsumsi masyarakat miskin terhadap pangan rendah akibat kelangkaan dan naiknya harga pangan. Sebagai contoh tahun 2005, meski terjadi pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan malah menaik. Masalahnya, pada tahun itu, poverty basket inflation-nya 12,87 % akibat melonjaknya harga BBM. Kemampuan konsumsi oleh masyarakat miskin jadi faktor di sini. Tingginya inflasi berdampak pada angka kemiskinan, tidak bisa turun secara signifikan. Walaupun tingkat pertumbuhan relatif tinggi, tetapi inflasi dirasakan oleh masyarakat miskin juga tinggi sehingga angka kemiskinan tidak dapat turun dengan signifikan. Di lain fihak, BPS menunjukkan, jumlah penduduk miskin Indonesia terus menurun dari waktu ke waktu meskipun tidak secara signifikan. Warga miskin telah berkurang 890 ribu jiwa, yakni dari 30,1 juta Maret 2011 menjadi 29,13 juta jiwa Maret 2012 atau turun 0,53%. Di perkotaan, jumlah orang miskin berkurang 399.500 orang dan di perdesaan 487 ribu orang. Adanya penurunan tingkat kemiskinan nasional. BPS pada awal Juli 2012 melaporkan jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 berjumlah 29,13 juta orang atau 11,96 %. Jumlah itu berkurang 890.000 orang dibandingkan bulan sama 2011. Angka kemiskinan di Indonesia sepanjang tahun 2011 dinilai beberapa kalangan masih tinggi walaupun pemerintah mengklaim sudah berhasil menekan angka kemiskinan. Masih diperlukan program tepat sasaran untuk mengatasi kemiskinan di tanah air. Namun, angka BPS mendapat kritik tajam kalangan ekonom. Mereka melihat, ada dua menyangkut data BPS. Pertama, data BPS mencerminkan Rezim SBY-Boediono gagal menurunkan kemiskinan di negeri ini. Turun 1 % bukanlah prestasi. Kedua, benarkah data BPS itu? Apakah jumlah orang miskin versi BPS mencerminkan realitas sesungguhnya? Sudah lama muncul gugatan tentang kriteria digunakan BPS untuk memotret kemiskinan. Hingga kini BPS masih mematok golongan miskin ialah mereka dengan pengeluaran sekitar Rp 8.000 per orang per hari. Kriteria BPS itu jelas masih jauh dari ukuran dikeluarkan Bank Dunia, yakni sebesar US$ 2 per orang per hari atau sekitar Rp19 ribu per orang per hari. Banyak pihak menilai kriteria BPS untuk mengukur kemiskinan sudah tidak rasional. Di beberapa daerah, angka kemiskinan malah menaik. Misalnya, di Yogyakarta, jumlah kemiskinan menaik sekitar 181 ribu orang dan di Propinsi Riau bahkan melonjak 483 ribu jiwa. Sesungguhnya penduduk miskin di Indonesia tersebar tidak merata. Jumlah terbesar 57,8 % penduduk miskin berada di pulau Jawa. Di Sumatera terdapat 21 %, di Sulawesi 7,5 %, di Nusa Tenggara 6,2%, di Maluku dan Papua 4,2 % dan angka terkecil sebesar 3,4 % tersebar di Kalimantan. Angka kemiskinan tidak dapat turun dengan signifikan karena inflasi dirasakan oleh masyarakat miskin juga tinggi. Harga bahan pokok mengalami kenaikan tertinggi di antara kelompok pengeluaran untuk bahan-bahan lainnya. Pengeluaran rumah tangga miskin untuk bahan pokok ini rentan terhadap kenaikan harga pangan. Bahkan pada tahun 2005, meski terjadi pertumbuhan, tetapi dengan poverty basket inflation tercatat sampai dengan 12,78 % karena adanya kenaikan harga BBM, memicu kenaikan harga bahan pokok sehingga berdampak pada kenaikan angka kemiskian. Stabilitas harga pangan tidak terjaga. Namun, terdapat penilaian kritis, pertumbuhan ekonomi dinilai tidak sejalan dengan penurunan tingkat kemiskinan. Peran pertumbuhan ekonomi kurang signifikan memengaruhi penurunan tingkat kemiskinan itu. Karena kualitas pertumbuhan itu belum baik. Sebagai misal ekonom Indef Enny Sri Hartati, ia menilai bahwa distribusi PDB semakin timpang menunjukkan tingkat kemiskinan penduduk relatif Indonesia semakin tinggi. Koefisien Gini penduduk Indonesia menaik dari 0,38 pada 2011 menjadi 0,41 pada 2012. Koefisien tersebut menggambarkan bahwa 20% dari penduduk Indonesia menguasai 48% pendapatan domestik bruto, sedangkan mayoritas 80% menguasai 52% pendapatan domestik bruto. Di lain fihak, sekalipun Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi, tetapu masih kalah dengan negara tetangga. Pengamat ekonomi INDEF, Enny Sri Hartati, dalam Rapat dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR (6 Juni 2012) mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih minim pengaruhnya terhadap penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia. Jika garis kemiskinan diambil dari US$1,25, maka ekonomi Indonesia pengaruhnya terhadap penurunan tingkat kemiskinan hanya sebesar 0,88%. Padahal dari US$ 1,25 Malaysia memiliki pengaruh cukup besar, yakni 2,9% dan Thailand sebesar 5,6%. Setiap 1 % pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mengurangi 0,88%. Padahal negara lain itu diatas 1%. Bahkan, pengaruhnya pertumbuhan Indonesia dengan penurunan tingkat kemiskinan hanya 0,1%. Pengamat ekonomi LIPI, Latif Adam, mengatakan masih sulit untuk melihat penurunan kemiskinan saat ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (2 Juli 2012).Kualitas pertumbuhan ekonomi sendiri masih kurang tajam untuk menekan garis kemiskinan, apalagi kalau melihat pola pertumbuhan ekonomi masih didominasi sektor nontradable maka sangat kecil pengaruhnya. Penurunan angka kemiskinan di Indonesia bersifat semu. Pasalnya, Rezim SBY-Boediono menggelontorkan subsidi untuk membuat masyarakat berada di garis kemiskinan merangkak naik. Namun, ketika subsidi tersebut dikurangi maka angka kemiskinan akan kembali meningkat. Ada penilaian bahwa sekalipun terjadi penghentasan dan pengurangan jumlah kelompok miskin di Indonesia, tetapi dibandingkan dengan anggaran negara dikeluarkan, maka penghentasan kemiskinan tergolong lambat. Periode 2004-2012, angka kemiskinan rata-rata berkurang 870.000 jiwa/tahun. Selama 9 tahunterakhir, total penurunan orang miskin sebanyak 6,97 juta jiwa 2004-2009 berkurang 3,57 juta jiwa dan 2009-2012 berkurang 3,4 juta jiwa. BPS mengklaim, telah terjadi penurunan jumlah kelompok miskin, tetapi angka penurunan bermakna pengentasan kemiskinan paling lambat. Padahal volume anggaran pemerintah dalam bentuk APBN meningkat lebih dari empat kali lipat selama delapan tahun terakhir, dari Rp 374 Triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 1.548 Triliun pada tahun ini. Anggota komisi XI DPR dari Fraksi PDIP, Arif Budimanta Seba (16 September 2012) menegaskan, jika ditarik lebih jauh ke belakang, kelambatan penghentasan kemiskinan semakian kentara. Selama tahun 1999-2004, angka kemiskinan turun 11,9 juta jiwa, dari 48 juta jiwa menjadi 36,1 juta jiwa. Namun, mulai periode 2004-2009, penurunan angka kemiskinan melambat menjadi 3,6 juta jiwa. Pada periode 2009-2011, penurunannya menjadi 2,6 juta jiwa. Salah satu sebeb pelambatan penghentasan kemiskinan adalah pembangunan tidak berpihak pada desa dan sektor pertanian. Padahal 71,3% rumah tangga miskin ada di pedesaan dan bekerja di sektor pertanian. Secara terpisah, Direktur INDEF Enny Sri Hartati juga menilai, kian besarnya volume APBN berbanding terbalik dengan pengentasan warga miskin menunjukkan politik anggaran tidak tepat. Hal itu juga menunjukkan, program Rezim SBY-Boediono tidak menjawab tantangan fundamental kemiskinan, yakni bagaimana menciptakan lapangan kerja. Terus menaikannya anggaran program penghentasan kemiskinan juga diakui Kepala Bappenas Armida Alisjahbana dalam suatu rapat kerja dengan Komisi XI DPR. Namun, ia berkilah, porsinya baru 0,5% dari produk domestic bruto tahun 2010. Lebih rendah dibandingkan rata-rata negara Asia Timur (1%), Amerika Latin (1,3%), dan Vietnam (diatas 1%). Mengacu pada kondisi masyarakat miskin di Indonesia dalam perspektif layanan keuangan formal, Bank Dunia memberi data, sekitar 79 % masyarakat miskin Indonesia tidak mempunyai akses pada layanan keuangan formal. Hanya 21 % yang berhubungan dengan layanan keuangan formal, yakni 19 % berhubungan dengan bank dan 2 % dengan layanan keuangan formal lain. Dari masyarakat miskin yang tidak tersentuh layanan keuangan formal itu, sekitar 40 % berhubungan dengan layanan keuangan informal dan semiformal. Adapun 39 % masyarakat miskin tidak tersentuh layana n keuangan. Secara total, ada 17 % masyarakat Indonesia tidak tersentuh layanan keuangan formal ataupun informal. Hanya 52 % yang menggunakan layanan formal dan 31 % yang menggunakan layanan keuangan informal atau semiinformal (Kompas, 29 November 2012). Bagaimana kondisi kemiskinan menurut hasil survei? Pada awal November 2011, UNDP merilis Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di urutan ke-124 dari 187 negara disurvei. IPM Indonesia hanya 0,617, jauh di bawah Malaysia di posisi 61 dunia dengan angka 0,761. Kemunduran IPM menunjukkan kegagalan rezim SBY-Boediono dalam mensejahterakan rakyat. Hasil UNDP ini dapat dimaknakan, politik pembangunan rezim SBY-Boediono belum berorientasi pada kemanusiaan. Manusia belum menjadi subjek pembangunan, sehingga hasil pembangunan hanya terakumulasi pada sekelompok orang. Rezim SBY-Boediono membangga-bangakan data pertumbuhan ekonomi, sementara melupakan kemunduran dalam indeks korupsi menempati urutan ke-100 dari 182 negara. Pertumbuhan ekonomi menjadi tidak bermakna ketika rakyat kebanyakan bukan sebagai subjek pembangunan. Pembangunan manusia Indonesia bukan saja tidak serius, juga terhimpit di antara kompetisi politik kekuasaan. Rakyat terjebak dalam sirkulasi kekuasaan dikendalikan Rezim SBY-Boediono. Dari sisi opini publik di Indonesia, hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan, hanya 19,9 % responden yang menilai telah terjadi pengurangan jumlah penduduk miskin. Data dan fakta ini bermakna, publik menilai Rzim SBY-Boediono telah gagal memenuhi janji kampanye Pilpres 2009 di bidang penghentasan kemiskinan. Rezim SBY-Boediono menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat. Keputusan ini dibuat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penghentasan kemiskinan. Tim Koordinasi diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan tugas: 1.Menyusun kebijakan dan rencana aksi nasional peningkatan dan perluasan program pro-rakyat, meliputi rancangan produk, tindakan, sasaran, target penyelesaian, sumber pembiayaan, dan penanggungjawab. 2.Menyinkronkan kebijakan dan rencana aksi nasional peningkatan dan perluasan pogram pro-rakyat dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. 3.Menyiapkan pelaksanaan rencana aksi nasional peningkatan dan perluasan program pro-rakyat. Di dalam Tim Koordiansi ini terdapat enam Kelompok Kerja, yakni: 1.Program Rumah Sangat Murah. 2.Program Kenderaan Angkutan Umum Murah. 3.Program Air Bersih untuk Rakyat. 4.Program Listrik Murah dan Hemat. 5.Program Peningkatan Kehidupan Nelayan. 6.Program Peningkatan Kehidupan Masyarakat Pinggir Perkotaan. Namun, realitas obyektif menunjukkan bahwa belum ada perumusan dan implementasi kebijakan dan rencana aksi nasional sebagai amanat dari Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tim Koordinasi Peningkatan dan Perluasan Program Pro-Rakyat. Bahkan, pada level Kelompok Kerja belum juga membentuk Tim Teknis. Dengan demikian, berdasarkan Keputusan di atas, Rezim SBY-Boediono telah gagal melaksanakan kebijakan yang diambilo sendiri. Keberhasilan Rezim SBY-Boediono hanya pada tataran pembuatan keputusun/kebijakan, namun tidak pada tataran implementasi kebijakan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penghentasan kemiskinan.

PERTUMBUHAN EKONOMI ANOMALI DAN KESENJANGAN SEMAKIN LEBAR

Pada kampanye Pilpres 2004, SBY juga berjanji pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6.6%. Sampai tahun 2008, pemerintah SBY-JK hanya mampu meningkatkan pertumbuhan rata-rata 5.9% padahal harga barang dan jasa (inflasi) naik di atas 10.3%. Ini menandakan secara ekonomi makro, pemerintah gagal mensejahterakan rakyat. Pada kampanye Pilpres 2009, SBY juga berjanji akan membuat pertumbuhan ekonomi minimal 7 % sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. Janji kampanye SBY ini mendekati keberhasilan karena pertumbuhan ekonomi mencapai kisaran 6 %. Pertumbuhan ekonomi triwulan kedua tahun ini mencapai 6,4 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I-2012 lebih baik dibandingkan dengan semester I-2011 tumbuh sebesar 6,3 persen. Pertumbuhan PDB pada kuartal kedua tahun 2012 adalah 6,4 persen tahun-ke-tahun, naik sedikit dari 6,3 persen pada kuartal pertama. Menurut Menteri Bappenas Armida Alisyahbana, Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 6,8 persen pada 2013 mendatang. Beragam penilaian kritis muncul dari kalangan masyarakat madani dan sektor konomi tentang pertumbuhan ekonomi ini. Salah satu penilaian kritis dimaksud, yakni sekalipun pertumbuhan ekonomi mencapai lebih 6 %, belum 7 % sebagaimana dijanjikan, tetapi rezim SBY-Boediono gagal dalam menciptakan pemerataan kesejahteraan. Kesenjangan ekonomi semakin lebar. Hal ini ditunjukkan Thee Kian Wie (Peneliti Ekonomi LIPI) dengan indeks gini sebesar 0,41, mengindikasikan adanya konsentrasi asef fisik dan non fisik semakin besar. Konsentarsi fisik seperti pemilikan tanah, bangunan, dan saham. Konsentrasi nonfisik seperti pendidikan dan kesehatan. Menurut The Kian Wie, kesenjangan ini menunjukkan konsentrasi asset terjadi pada kelas menengah atas. Mereka mampu memberikan pendidikan dan kesehatan lebih baik bagi anak-anak mereka. Karena pendidikan dan kesehatan bagus, anak-anak bisa mengakses pusat ekonomi dan mendapatkan penghasilan lebih tinggi (Kompas, 13 Desember 2012). Penilaian kritis lain muncul dari Indef (Institute for Development of Economics and Finance atas kinerja ekonomi tahun 2012. Ekonom Indef, Didik J. Rachbini, menyatakan, indikator ekonomi makro selama 2012 secara umum positif. Ini antara lain ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi di ataas 6 %, tingkat inflasi tergolong moderat di angka 4,32 % per November 2012, serta cadangan devisa mencapai 110,29 juat dollar AS per Oktober 2012. Namun, capaian tersebut dibangun di atas fondasi yang rapuh. Pertumbuhan ekonomi lebih banyak dinikmati sektor bukan padat karya yang minim nilai tambah. Sektor pengangkutan dan komunikasi, misalnya, adalah sektor dengan laju pertumbuhan tertinggi, rata-rata sampai triwulan III-2012 sebesar 10,29 %. Sementara itu, sektor padat karya seperti pertanian hanya tumbuh 4,27 % dan industri pengolahan 5,81 %. Padahal, tegas Didik, sektor padat karya menyerap lebih dari separuh tenaga kerja nasional (Kompas, 13 Desember 2012). Selanjutnya, penilaian kritis bahwa tetapi gagal dalam pemerataan kesejahteraan. Masih banyak warga Indonesia yang menderita gizi buruk dan tidak mendapatkan pelayanan kesehatan seperti seharusnya sehingga meninggal dunia dan harus putus sekolah. Jutaan petani masih belum mempunyai tanah memenuhi syarat minimum sebagai alat produksi. Jutaan petani masih belum mempunyai tanah yang memenuhi syarat minimum sebagai alat produksi. Sekalipun tercapai pertumbuhan ekonomi, namun pertumbuhan itu tergolong anomaly dan konsentrasi pertumbuhan tetap terpusat di Pulau Jawa dengan angka 57,5 persen. Di lain fihak, ada pengamat ekonomi menilai, pertumbuhan ekonomi itu hanya menguntungkan orang asing, eletis, bukan menguntungkan kebanyakan rakyat Indonesia. Salamuddin Daeng, pengamat ekonomi dari Indonesia for Global Justice, menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong anomali. Alasannya, pertumbuhan ekonomi tidak diikuti peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ada empat faktor membuat pertumbuhan ekonomi anomali. Pertama, ekonomi Indonesia digerakkan oleh utang luar negeri angkanya terus naik. Utang Indonesia terakumulasi mencapai Rp 2.870 triliun. Utang luar negeri bertambah setiap tahun. Utang selanjutnya menjadi sumber pendapatan utama pemerintah dan menjadi faktor pendorong pertumbuhan ekonomi. Kedua, pertumbuhan ekonomi didorong oleh peningkatan konsumsi masyarakat bersumber dari naiknya harga sandang dan pangan, serta ditopang dari pertumbuhan kredit, khususnya kredit konsumsi. Ketiga, pertumbuhan ekonomi didorong ekspor bahan mentah, seperti bahan tambang, migas, hasil perkebunan dan hutan, sehingga tidak banyak menciptakan nilai tambah dan lapangan pekerjaan. Keempat, pertumbuhan ekonomi didorong oleh investasi luar negeri membuat sumber daya alam kian dikuasai asing. Di lain fihak, Pengamat Ekonomi Econit Advisory Group, Hendri Saparini, menilai, pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum mengarah ke inklusif, yaitu pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan berkualitas (REPUBLIKA.CO.ID, 15 Oktober 2012). Pertumbuhan ekonomi mengikutsertakan semakin banyak rakyat dalam proses produksi dan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945, sehingga tidak hanya kalangan tertentu saja bisa menikmatinya. Indonesia memang mengalami pertumbuhan ekonomi mencapai 6,3 persen. Namun, pertumbuhan ekonomi ini tidak dapat dirasakan secara merata di seluruh Indonesia, kebanyakan di Pulau Jawa, terutama Jabodetabek. Indikasi mengapa pertumbuhan ekonomi dialami Indonesia belum inklusif, yakni meski pertumbuhan ekonomi meningkat namun tingkat kemiskinan dan angka pengangguran semakin meningkat. Orang miskin masih banyak. Banyak propinsi memiliki pertumbuhan tinggi, tetapi pengangguran dan kemiskinan juga tinggi. Sementara itu, Jamaluddin, seorang aktivis buruh Jawa Timur menilai, pertumbuhan ekonomi belum mampu menyejahterakan buruh dan hanya memberikan keuntungan bagi pelaku usaha. Hal itu tecermin dari bertambahnya pekerja dengan status alih daya sehingga kewajiban pemilik perusahaan, seperti memberikan hak pensiun, tunjangan kesehatan, dan biaya sekolah anak, justru nihil. Upah buruh di Indonesia paling murah dibandingkan Thailand, Singapura, Filipina, dan Malaysia. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan penghasilan buruh, apalagi petani dan nelayan. Selanjutnya, menurut penilaian Subagyo, seorang pengamat ekonomi Universitas Airlangga, hasil dari semua itu justru dinikmati oleh investor asing sudah menguasai kepemilikan saham di hampir semua sektor usaha. Pertumbuhan ekonomi tidak berdampak langsung pada orang-orang kecil, tetapi justru para pemilik modal. Sesungguhnya sekalipun pertumbuhan ekonomi menaik, namun indikasi ketimpangan distribusi pendapatan masih terus terlihat dan semakin melebar. Koefisien gini meningkat dari 0,33 tahun 2002 menjadi 0,41 tahun 2011. Hanya 20 % kelompok kaya menikmati kenaikan partumbuhan ekonomi. Hal ini dipertegas Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Baginya, pertumbuhan itu hanya dinikmati oleh kelas menengah ke atas, sedangkan masyarakat kelas bawah tergerus berbagai hambatan hanya berupaya bisa bertahan. Kalaupun klas bawah memperoleh keuntungan, namun keuntungan itu semakin tipis. Sebabnya adalah klas bawah harus merasakan tingginya harga bahan baku dan harus berhadapan dengan bunga kredit perbankan tinggi. Sofjan Wanandi memastikan pertumbuhan saat ini dicapai dipicu oleh kenaikan pola konsumsi masyarakat dalam menghadapi puasa dan perayaan Idul Fitri. Sedangkan peningkatan investasi, bukanlah hal baru. Ninasapti Triaswati, Anggota Komite Ekonomi Nasional (KEN) menyebutkan bahwa Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2012 sebesar 6,4% dianggap sia-sia (8 Agustus 2012). Banyak issue di Indonesia membuat pertumbuhan ekonomi 6,4% terasa sia-sia. Pemerintah harus membongkar dan memperbaiki masalah kesenjangan dan kesejahteraan sosial. Issue ini penting, harus dipecahkan karena saat ini presentasinya sudah melebar menjadi 41% (2012). Padahal pada era Orde Baru, rasio kesenjangan kesejahteraan hanya 37%. Ini menjadi alarm, ada sesuatu tidak beres sehingga ada peningkatan ketimpangan antara strata miskin, menengah dan kaya. Salah satu penyebab peningkatan ketimpangan ini adalah sektor pekerja. Indonesia mempunyai sektor pekerja informal jauh lebih banyak dibandingkan sektor pekerja formal. Sektor Informal sebanyak 63% sedangkan sektor formal hanya 37%. Tetapi terdapat 17% dari 64% sektor pekerja informal tidak digaji. Sektor pekerja informal juga butuh perlindungan. Di disini, terlihat kesenjangan antara sektor informal dan formal. Padahal sektor pekerja formal terus naik 11% dan ini bukan trend negara maju. 80% Anggaran Pendapatan Negara berasal dari sektor informal. Sektor formal hanya memboroskan keuangan negara. Selain ketimpangan sosial, masalah lain harus diselesaikan oleh Rezim SBY-Boediono adalah infrastruktur transportasi. Infratruktur transportasi dirasakan kurang bahkan jauh dari harapan. Infrastruktur tranportasi kurang, Orang lebih berminat untuk beli kendaraan sendiri. Akibatnya, Indonesia tidak mempunyai surplus minyak karena tingkat kosumsi minyak boros. Arief Budimanta, Anggota Komisi XI DPR menilai, Indonesia belum aman dan bebas dari krisis. Bahkan, ekonomi Indonesia terbilang rentan. Hal ini terindikasi dari pertumbuhan ekonomi Indonesia semu. Berdasarkan data BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dari 54% ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Untuk sementara, menyelamatkan Indonesia. Indonesia belum aman dan bebas dari krisis dan justru sangat rentan (11 September 2012). Arief Budimanta juga menilai, terjadi peningkatan ketimpangan karena Gini ratio meningkat dari 0,32 pada 2004 menjadi 0,41 pada 2011. Selain itu, pekerja kita sebagian besar bekerja di sektor informal sebanyak 62,7%. Semunya pertumbuhan ekonomi Indonesia juga dilihat dari elastisitas penurunan kemiskinan terhadap laju pertumbuhan mengkhawatirkan. Ada 16 propinsi memiliki populasi penduduk miskin lebih tinggi dari tingkat kemiskinan nasional. Selain itu, rata-rata lama bersekolah penduduk berusia di atas 15 tahun hanya 7,6 tahun. Ichsanuddin Noorsy (28 Juli 2012) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia milik orang asing. Kepemilikan dan pengelolaan asing atas SDA (sumber daya alam) tambang dan enerji, perbankan, telekomunikasi, broadband, retailer, angkutan laut antar pulau dan antar negara, serta dominannya barang asing di pasar domestic. Karena itu, pertumbuhan ekonomi terjadi adalah milik orang asing dan dikelola orang asing. Ketika ketika APBN hanya berkontribusi di bawah 20 persen atas PDB terbentuk, maka angka dan kenyataan membuktikan bahwa PDB itu bukan milik orang Indnesia, tapi orang asing di Indonesia. Sementara orang Indonesia sendiri menjadi kuli di rumah sendiri. Menurut Noorsy, guna menyurutkan kegelisahan itu, pemerintah menjanjikan kenaikan gaji bagi PNS Sipil dan TNI-Polri di tengah belanja modal tidak juga menunjukkan kebijakan perekonomian berbasis padat karya. Janji ini pun terancam tidak bermakna. Di sisi lain, ancaman kekurangan pasokan pangan mengarah pada krisis pangan. Begitu juga dengan lambannya penyediaan infrastruktur akan berujung pada mahalnya biaya logistik dan mata rantai pasokan. Hal itu akan mengakibatkan kenaikan harga-harga. Dampak kenaikan ini tidak sebanding dengan kenaikan gaji berkisar rata-rata tujuh persen. dengan posisi dominan atas faktor-faktor produksi justru mendapat kesempatan meningkatkan akumulasi modal. Di lain fihak, Pengusaha Marwoto menilai, ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih dari negara manapun. Dimatanya justru pemerintah jadi factor penghambat tumbuhnya ekonomi nasional. Kenapa? Karena pemerintah gagal memberantas pungli (sekitar 25% dari biaya produksi). Pemerintah gagal membangun infrastruktur (jalan buruk membuat waktu tempuh dan biaya membengkak). Pemerintah gagal memotong jalur panjang perizinan investasi dan waktunya lama. Pemerintah/perbankan gagal membuat kebijakan perbankanramah terhadap UKM. Pemerintah kurang supporting dalam perpajakan terhadap usaha tertentu terutama berhasil export. Kebijakan Pemerintah merugikan usaha nasional membiarkan bahan neraca perdagangan akan semakin besar. Sementara itu, Rony menunjukkan belanja Pemerintah lebih cepat dan besar juga cukup membantu pertumbuhan. Seiring hal itu, inflasi terkendali di bawah 5% cukup membantu meski hal tersebut ada efeknya, yaitu subsidi energy terus membengkak sebenarnya cenderung tidak sehat. Hasil survei JSI (jaringan Suara Indonesia) pada 10-15 Oktober 2011 dengan 1.200 responden menunjukkan hanya 23,7 % responden menilai telah terjadi peningkatan kesejahteraan rakyat. Pemerintah sering bangga bahwa ekonomi bisa tumbuh sampai 6,5%. Menurut teman saya nyentrik namanya Sunoto, justru menunjukkan kegagalan pemerintah. China dan ebberapa negara lain bisa tumbuh lebih dari itu. Padahal SDA negara lain itu dalam banyak hal kalah dari Indonesia.

KRITIK TERHADAP REZIM-REZIM POLITIK ERA REFORMASI

Proses demokratisasi di Indonesia semakin terlihat sejak terjadi gelombang reformasi sekitar 1997/1998, mencanangkan “Agenda Reformasi” sebagaimana telah dirumuskan oleh kelompok mahasiswa dan kelas menengah perkotaan. Dalam kondisi gelombang reformasi dan proses demokratisasi terjadi keruntuhan kekuasaan Rezim Soeharto, yakni kelompok sedang berkuasa dalam pemerintahan/negara pada Era Orde Baru. Berbagai perubahan politik dan ekonomi melalui regulasi muncul drastis sejak keruntuhan Rezim Soeharto, disebut kemudian era reformasi, antara lain: Pertama, terbitnya UU Parpol No. 2 Tahun 1999 di bawah Rezim BJ Habibie. Era Rezim Habibie ini terdapat 141 Parpol terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM; 106 Parpol terdaftar di KPU (Komisi Pemilihan Umum); 48 Parpol peserta Pemilu 1999. Padahal sebelumnya, era rezim Soeharto (Orde Baru), hanya ada 3 (tiga) Parpol (Golkar, PDI dan PPP). Pemilu 1999 telah menghasilan anggota MPR, DPR, DPRD Tingkat I Propinsi dan DPRD Tingkat II Kotamadya/Kabupaten yang baru. Kedua, berbagai keputusan politik diambil kemudian untuk mendukung proses reformasi dan demokratisasi, seperti GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), UU (Undang-undang) dan peraturan perundang-undangan lainnya. GBHN ini pada intinya telah memuat agenda reformasi politik dan ekonomi. Beberapa ketentuan di dalamnya adalah desentralisasi kekuasaan Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah; penegasan kembali peran lembaga legislatif dalam pemerintahan; pengurangan peran dan keterlibatan militer dalam kehidupan sipil dan politik, dan pembaruan tata pengaturan kepegawaian dan administrasi negara. Kedua, terbitnya UU Parpol No. 31 Tahun 2002 di bawah Rezim Megawati. Dalam era Megawati ini terdapat sekitar 112 Parpol terdaptar di Departemen Kehakiman & HAM; 50 Parpol terdaftar di KPU; dan, 24 Parpol peserta Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004 ini telah dilaksanakan pemilihan Presiden/Wakil Presiden secara langsung sesuai Pasal 6A UUD 1945 Perubahan (Amandemen) dan juga pemilihan anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) secara langsung. Berdasarkan UUD 45 Amandemen, menjadi Calon Presiden/Wakil Presiden harus mendapat dukungan Parpol. Ketiga, terbitnya UU Parpol No. 2 Tahun 2008 di bawah Rezim SBY-Jusuf Kalla . Dalam era SBY ini terdapat 79 Parpol terdaftar di Departemen Hukum dan HAM; 64 Parpol terdaftar di KPU; dan, 38 Parpol (ditambah 6 Parpol lokal di Aceh) sebagai peserta Pemilu 2009. Kekuasaan politik di level nasional yang semula (era Orde Baru) didominir oleh kekuatan militer di bawah kepemimpinan Soeharto, di era reformasi bergeser ke arah kekuatan Parpol. Karena itu, perilaku politik Parpol sangat menentukan dinamika politik pemerintahan, satu perubahan struktural mendasar diraih di era reformasi ini. Ketiga, terbitnya peraturan perundang-undangan tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya, baik Era Orde Lama (Rezim Sukarno) maupun Era Orde Baru ( Rezim Suharto), Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebuah lembaga negara/pemerintahan secara formal tergolong “tertinggi” di antara lembaga-lembaga negara lain seperti eksekutif/ Pemerintah, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), MA (Mahkamah Agung), dll. Kekuatan reformasi sebelumnya menilai, MPR ditentukan eksekutif/Pemerintah terutama Era Orde Baru, bukan rakyat, sehingga pemilihan oleh MPR tidak demokratis, bukan sungguh-sungguh aspirasi rakyat. Keempat, terbitnya peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya, baik Era Orde Lama maupun Era Orde Baru, Gubernur dipilih oleh DPRD Propinsi; Bupati dipilih oleh DPRD Kabupetan; Walikota dipilih oleh DPRD Kota bersangkutan. Terdapat beragam penilaian kritis atas perubahan politik era reformasi. Penilaian paling “ekstrim” adalah reformasi telah gagal terutama dalam kedaulatan ekonomi, demokratisasi hanya dalam bentuk prosedural, bukan substansi. Kekuatan Orde Baru atau status quo tetap terus berlangsung menguasai pemerintahan/negara dan perekonomian. Konglomerat hitam era Rezim Soeharto (Orba) tetap berkuasa. Oligarki terbangun tetap dengan mindset era Rezim Soeharto. Oligarki meminjam konsep Jeffrey A. Winters dalam karyanya, Oligarki (Jakarta: PT.GramdiaPustaka Utama, 2011), adalah kelompok pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial eksklusifnya. Sumber daya itu haru tersedia untuk digunakan demi kepentingan pribadi, biarpun tidak harus dimiliki sendiri. Bagaimana dengan Indonesia? Winter menilai, proses memperkaya diri besar-besaran satu lapiran kecil masyarakat terjadi di Indonesia. Pada massa memperkaya diri itu Indonesia terlibat dan terikat sistem kapitalisme global. Kekayaan dikumpulkan dan oligark diciptakan oleh proses pengambilan, penyedotan, dan perampokan kekayaan sumber daya alam dan uang rakyat. Proses tersebut lebih berupa ekstraksi kekayaan ketimbang penciptaan kekeyaan. Oligarki di era reformasi bisa bertahan karena tidak ada pertentangan inheren antara oligarki dan demokrasi, maupun antaar oligarki dan caar produksi apa pun. Tidak menherankan, pada 2009 Indonesia tergolong negara paling demokratis di Di Asia Tenggara, tetapu juga tergolong negara paling korup. Indonesia paling tepat, lanjut Winter, dijabarkan sebagai demokrasi criminal di mana para oligark secara teratur ikut serta dalam Pemilu sebagai alat berbagai kekuasaan politik, sambil menggunakan kekuatan kekayaan mereka untuk mengalahkan sistem hukum dengan intimidasi dan bujukan. Dalam kondisi Indonesia negara paling demokrasi tetapi paling korup di Asia Tenggara ini, Parpol, TNI, Polisi, Intelijen, BJ. Habibie, Gusdur, Megawati, dan SBY mengalami kegagalan melakukan perubahan politik ekonomi secara substantif. Sejumlah peraturan perundang-udnangan diprakarsai dan dikendalikan oleh pihak asing melalui kaum oligark pro neoliberalisme dan demokrasi agar Indonesia membuka seluas-luas investasi asing. Terdapat “hubungan kepentingan harmonis” antara pihak asing dan kaum oligark sedang berkuasa di dalam pemerintahan sipil Indonesia! Bahkan, kini cengkeraman neoliberalisme semakin kencang. Rezim-Rezim era reformasi membuka bebas Indonesia untuk dimasuki, dimiliki dan dikuasai pihak asing. Pasar dalam negeri negara harus dibuka penuh untuk dimasuki oleh koporasi asing. Tidak ada proteksi atau hambatan dari kebijakan negara bagi produk-produk asing untuk masuk dan bersaing di dalam negeri Indonesia. Swastanisasi atau privatisasi, yakni Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) harus dijual dan boleh dikuasai/dimiliki fihak asing. Walaupun secara konstitusional berlaku, namun dalam realitas obyektif tidak berlaku lagi konsep bahwa sektor-sektor penting dan dibutuhkan untuk rakyat banyak harus dikuasai oleh negara, -yang muncul dalam bentuk Badan Tanggungjawab sosial negara (keberpihakan dan perlindungan negara) terhadap kelompok mayoritas yang lemah (buruh, petani, nelayan dan rakyat miskin) harus dihapuskan. Akibatnya, pendidikan, kesehatan, pupuk, dan segala kebutuhan sosial lainnya menjadi mahal. Ketenagaan kerjaan dibiarkan ditentukan oleh pasar. Segala persoalan menyangkut ketenagakerjaan (upah, hubungan kerja, jaminan sosial, lapangan pekerjaan, serikat buruh) biarkan ditentukan oleh pasar. Kalangan pengkritik reformasi menilai, Rezim-Rezim era reformasi (Rezim BJ Habibie, Gus Dur-Megawati, Megawati-hamzah Haz, SBY-Jusuf Kalla, dan SBY-Boediono) melakukan liberalisasi di sektor investasi secara lebih radikal ketimbang era Rezim Orde Baru. Pada 1999 di bawah Rezim BJ Habibie, terbit UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, dikuti Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1999, memungkinkan penguasaan saham bank oleh satu pihak, termasuk asing, hingga 99 % menjadikan Indonesia satu-satunya negara memberi peluang kepada asing memiliki saham sangat besar di industri perbankan. PP No. 29 Tahun 1999 memungkinkan bank didominasi oleh satu pemilik sehingga bisa mengatur sendiri operasional bank tanpa diawasi pemilik lain. BKPM tidak lagi memerlukan tanda tangan Presiden untuk persetujuan. Program konten lokal untuk kendaraan bermotor dihapus. Kendali kepemilikan asing pada perusahaan diperbolehkan, termasuk melalui akuisisi. Beberapa sektor dibuka lebih lanjut untuk PMA, termasuk ritel, general importing, perkebunan kelapa sawit, penyiaran, dan operasi minyak hilir. IMF berperan besar dalam perubahan struktural ekonomi Indonesia, terutama dalam hal liberalisasi investasi era reformasi. Melalui penerbitan Letter of Intent (LoI) sejak 1997 hingga 1999, IMF membuat berbagai persyaratan kepada Rezim Soeharto untuk merestrukturisasi makroekonomi Indonesia dengan berbagai kebijakan mengarah pada pasar bebas. Di bawah Rezim BJ. Habibie, banyak dipengaruhi LoI dengan IMF terbit 1998 hingga 2001. IMF meminta Rezim BJ Habibie melakukan sejumlah agenda reformasi ekonomi untuk mendapatkan pinjaman dana pemulihan krisis ekonomi. Salah satunya adalah sektor energy. RUU Migas pertama kali diajukan Rezim BJ Habibie, namun RUU ini ditolak DPR. Pada masa Rezim Gus Dur-Megawati, draft RUU Migas sama diajukan kembali ke DPR, dan DPR membahasnya. Pada masa Rezim Megawati, 23 Nopember 2001, RUU Migas disahkan menjadi UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Kalangan pengkritik menilai UU No.22 Tahun 2001 ini sangat liberal karena mengusung norma-norma neoliberal ditetapkan dalam persyaratan IMF tertuang di dalam berbagai LoI. UU ini ditindaklanjuti PP No. 31 Tahun 2003 tentang Status Pertamina menjadi persero, tidak lagi berfungsi sebagai regulator dan kontraktor secara bersamaan. Posisi Pertamina sama dengan perusahaan asing dapat mengakses pasar modal. UU ini juga memindahkan kewenangan otoritas Pertamina untuk dijalankan oleh BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Ga). Ketentuan tentang BP Migas ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012, sekitar 11 tahun kemudian. Pada LoI 31 Juli 2000 di bawah Rezim Gus Dur-Megawati akan mepercepat privatisasi sektor telekomunikasi dan energy dengan segera menyiapkan perangkat hukum bagi perusahaan-perusahaan bergerak di sektor ini. Selain itu, Rezim Megawati juga akan memperluas lingkup sektor ekonomi terbuka bagi investor asing. Pada LoI 7 September 2000, mempertegas kembali komitmen Rezim Megawati telah dibahas dalam LoI 31 Juli 2000 dengan beberapa penambahan komitmen, di antaranya akan melibatkan IMF, Bank Dunia, dan komunitas internasional. Pada LoI 19 Maret 2003 di bawah Rezim Megawati-Hamzah Haz, memfokuskan pada upaya pemulihan ekonomi tahun 2003, salah satunya memperbaiki iklim investasi melalui reformasi hukum dan struktural. Melalui UU Komersil dan Kepailitan segera dijalankan untuk memberikan kepastian bagi investor. Kerangka hubungan industrial akan diperbaiki untuk memperbaiki iklim investasi ini. Pada 2004-2009 di bawah Rezim SBY-Jusuf Kalla, muncul kebijakan reformasi inisiatif investasi, bertujuan memberikan dorongan dan fasilitasi terhadap swasta melakukan investasi, serta penerapan kebijakan sama untuk investor asing dan domestic. Investor diizinkan untuk berinvestasi di sektor ekonomi kecuali kegiatan tercantum pada “negatif List”. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) menggantikan UU PMA Tahun 1967. UU No. 25 Tahun 2007 ini menyederhanakan regulasi investasi dan menyamaratakan ketentuan hukum baik untuk investor asing maupun domestik, kecuali investor berasal dari negara-negara memiliki perlakuan khusus sesuai kesepakatan dibuat negara-negara tersebut dengan Indonesia. Intinya, UU ini tidak jauh dengan persyaratan “divestasi umum”. Regulasi ini melindungi investasi asing dari nasionalisasi dan pengambilaalihan lewat Pengadilan Arbitrase Internasional dalam kasus sengketa dengan Pemerintah Indonesia. Masih di bawah Rezim SBY-Jusuf Kallah, terdapat Daftar Negatif baru membuka beberapa sektor untuk pihak asing berperanserta lebih besar. Masih di bawah Rezim SBY-Jusuf Kalla, liberalisasi di bidang investasi berlanjut. Hukum pertambangan memungkinkan konsesi kepemilikan asing. Pembatasan milik asing dihilangkan. Hukum listrik memungkinkan operator swasta di daerah tidak dilayani oleh PLN. Sektor listrik dimungkinkan adanya investasi baru dalam bidang infrastruktur. Di bawah Rezim SBY-Boediono, juga Daftar Negatif baru membuka beberapa sektor untuk peranserta pihak asing lebih besar. Kebijakan liberalisasi di bidang investasi ini ditindaklanjuti melalui penerbitan UU tentang Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tujuannya, untuk mendorong penanaman modal di Indonesia. Praktek dan kebijakan dengan ciri neo liberal di atas itulah selama ini dilakukan intensif oleh Rezim SBY-Boediono. Gelombang kritik atas kebijakan ini baik mengacu pada konstitusi (UUD 1945) maupun pada pendekatan ilmu ekonomi politik terus menerus dan sangat gencar mengambil tempat di Republik ini. Gelombang kritik menegaskan dan memperjelas bahwa kebijakan “bernapas” neoliberalisme memiskinkan mayoritas rakyat, menjadikan kesenjangan sosial ekonomi, hancurnya nasionalisme, dan berbagai output dan ekses negatif lain, kejam dan buruk/jahat. Namun Rezim SBY-Boediono tidak peduli, aset-aset bangsa terus digadai/diobral murah ke pihak asing. Bahkan, pengkritik perihatinkan, demi status quo kekuasaan Rezim SBY-Boediono ini menjadikan rakyat miskin dan menderita sebagai obyek “devide at impera”, yakni diadu domba antar desa, antar ormas, antar agama, antar aliran, antar suku dll. Kembali pada pembicaraan tentang perubahan politik era reformasi, di bawah UUD 1945 hasil Amandemen, Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dipilih secara langsung oleh rakyat. Metode kampanye calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi berubah, mereka langsung bersama Tim Kampanye, Partai Politik Penyusung, Partai Politik Pendukung, komponen Relawan, dll. mempengaruhi calon pemilih melalui metode kampanye dalam berbagai instrument dan cara. Salah satu cara adalah memberikan pernyataan baik tertulis maupun lisan janji-janji kampanye yang akan dilaksanakan jika kelak berhasil menjadi Presiden dan Wakil Presiden (menang dalam perolehan suara pemilih). Tatkala kampanye untuk mempengaruhi calon pemilih berlangsung, Calon Presiden dan Wakil Presiden memberikan beragam janji kepada calon pemilih. Memberikan janji kampanye ini merupakan salah satu metode mempengaruhi calon pemilih dan meraih suara pemilih. Idealnya, janji-jani Calon Presiden dan Wakil Presiden saat kampanye adalah menjadi program kerja Pemerintah tatkala telah menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Janji itu adalah utang politik Presiden dan Wakil Presiden kepada rakyat. Jika program kerja tersebut tidak berjalan dengan baik, bukannya tidak mungkin rakyat akhirnya menjadi apatis terhadap Pemerintah, dan mengajukan gugatan hukum ke lembaga peradilan. Apakah janji kampanye mengikat secara hukum? Jika dalam perjalanannya calon Presiden dan Wakil Presiden pemberi janji berhasil menduduki kekuasaan dan bertindak sebagai Presiden dan Wkil Presiden apakah “harus“ melaksanakan janji tersebut? Dengan perkataan lain, apakah janji kampanye dapat mengikat secara hukum atau syarat “sanksi” hukum jika Presiden dan Wakil Presiden bersangkutan tidak menepati atau gagal memenuhi janji? Pertanyaan pokok ini akan terjawab dengan menelaah kasus gugatan “citizen lawsuit” terkait dengan janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY-BOEDIONO)-Jusuf Kalla (JK) Pilpres 2004. Pada Februari 2009, Sekitar 70 warganegara Indonesia mengajukan gugatan citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para penggugat menyatakan SBY-JK “wanprestasi” karena tak bisa menuntaskan janji kampanye pada Pilpres 2004. Saat kampanye pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-JK berjanji meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai 7,6 % pada 2009. Angka kemiskinan diprediksikan turun dari 17,14 % menjadi 8,7 % pada 2009. Janji kampanye itu kembali dinyatakan melalui pidato kenegaraan tatkala SBY-JK ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Menurut para penggugat, dalam kenyataannya Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat memenuhi janji kampanye sehingga dikatagorikan “wanprestasi”. Saat itu, tingkat pertumbuhan ekonomi baru mencapai 5,5 %, tidak mencapai peningkatan menjadi 7,6 %. Tingkat kemiskinan mencapai 17,7 % pada 2005, dan 15,54 % pada 2008, tidak mencapai penurunan menjadi 8,7 %. Namun, pada 24 Agustus 2009 saat membacakan putusan Majelis Hakim diketuai Makmun Masduki menolak gugatan dan menyatakan kegagalan SBY-JK dalam memenuhi janji kampanye bukan wanprestasi. Ketidakberhasilan janji kampanye politik itu bukan karena kesengajaan sehingga tidak bisa menjadi sengketa hukum. Lalu, apa opini sebagian pengamat hukum tentang penolakan gugatan itu? Salah satu Terdapat opini adalah janji kampanye politik disebutkan atau diedarkan atau sebagai visi dan misi adalah janji yang tidak memiliki kekuatan hukum. Janji itu adalah janji “bodong”. Unsurnya adalah “Penipuan” bagi masyarakat Pemilih. Janji Presiden dan Wakil Presiden lebih merupakan janji publik ketimbang janji perdata. Sehingga penyelesaiannnya kurang tepat ke peradilan umum. Namun, ada opini menegaskan, bukan berarti janji kampanye politik tidak bisa dituntut secara hukum. Ranahnya bisa saja ke peradilan umum atau badan peradilan lain setingkat Mahkamah Konstitusi (MK). Realitas obyektif menunjukkan bahwa hingga kini, belum ada rakyat Indonesia mengajukan gugatan semacam ini kepada MK. Pada Pilpres 2009 telah berhasil meraih suara pemilih terbanyak adalah Pasangan SBY-Budiono. Pada 20 Oktober 2009 rakyat Indonesia menjadi saksi atas dilangsungkannya satu prosesi pelantikan Presiden berserta Wakil Presiden RI periode 2009-2014. SBY-B oediono kembali terpilih sebagai Presiden RI. Apa janji kampanye SBY-Boediono? Pada 22 Oktober 2009 di Istana Negara disahkan pula Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (Periode 2009-2014) sehingga sejak waktu itu SBY-Boediono telah membentuk suatu “rezim kekuasaan pemerintahan” sebagaimana disebut “Rezim SBY-Boediono”. Secara resmi nama-nama anggota rezim SBY-Boediono dipublikasikan secara luas kepada rakyat Indonesia, di antaranya: Djoko Suyanto (Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan); Hatta Radjasa (Menteri Koordinator Perekonomian); Agung Laksono (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat); dan, Sudi Silalahi (Menteri Sekretaris Negara). Pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini terdapat wajah-wajah baru anggota rezim SBY-Boediono, walaupun beberapa di antaranya masih wajah lama. Kepada anggota rezim inilah seyogyanya janji kampanye SBY-Boediono disandarkan. Keahlian dan kompetensi mereka diharapkan akan mampu menyelesaikan atau memecahkan permasalahan pemerintahan/Negara, dunia usaha dan masyarakat madani dirumuskan di dalam butir-butir janji kampanye SBY-Boediono. Lebih dari itu, para anggota rezim SBY-Boediono harus mampu bekerja sehingga terdapat penilaian atas keberhasilan, bukannya kegagalan. Untuk mengidentifikasi janji kampanye SBY-Boediono sesungguhnya dapat diperoleh dari dua jenis data, yakni jenis data primer dan sekunder, atau tertulis atau lisan. Jika primer dan tertulis, tentu dapat diperoleh di Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena setiap Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden memberikan dokumen mengandung janji kampanye kepada KPU sebagai salah satu persyaratan ditentukan KPU. Namun, dalam karya buku ini, data janji kampanye SBY-Boediono dikumpuilkan berdasarkan jenis data sekunder dan melalui pidato-pidato kampanye SBY-Boediono di forum publik saat pelaksanaan Pilpres 2009 berlangsung. Kampanye akbar SBY-Boediono dilaksanakan di Gedung Gelora Bung Karno (GBK) pada hari Minggu 4 Juli 2009. Masa dari berbagai Partai Politik Pengusung dan Partai Politik Pendukung Pasangan SBY-Budiono, organisasi masyarakat dan komponen Relawan dan simpatisan berbondong-bondong menghadiri kampanye terakhir Pasangan SBY-Budiono. Diperkirakan, lebih daripada 200 ribu orang memenuhi gedung Gelora Bung Karno. Massa telah datang dan menunggu dari pukul 12.00 WIB, dan pidato pembuka disampaikan oleh Calon Wakil Presiden Budiono. Dalam pidatonya Budiono menegaskan, "Yang menang kelak tidak melecehkan yang kalah, dan yang kalah tidak memusuhi yang menang". Budiono juga mengatakan, Pasangan SBY-Budiono akan memberikan bukti, bukan janji kosong atau angin surga yang diucapkan tidak berdasarkan realita. Pidato dilanjutkan dengan orasi Calon Presiden SBY diawali dengan ucapan terima kasih sebanyak tiga kali kepada semua hadir di Senayan. Dalam pidato SBY menjanjikan, lima agenda dan 15 prioritas yang akan dilaksanakan jika SBY-Budiono menang pada Pilpres 8 Juli 2009 ini. Lima Agenda dimaksud adalah: 1.Peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. 2.Pembangunan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. 3.Penguatan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia. 4.Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 5.Pembangunan adil dan merata. Sedangkan 15 butir prioritas dalam janji kampanye SBY-Boediono adalah: 1.Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi minimal 7% sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. 2.Kemisikinan Kemiskinan harus turun 8-10% dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat. 3.Pengangguran Pengangguran turun 5-6% dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha. 4.Pendidikan Pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi yang tidak mampu. 5.Kesehatan Masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu. 6.Pangan Swasembada beras dipertahankan. Ke depannya Indonesia akan menuju swasembada daging sapi dan kedelai. 7.Enerji Penambahan enerji daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energy terbarukan. 8.Infrastruktur Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI (Teknologi Informasi) maupun pertanian. 9.Perumahan Rakyat Peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun (rumah susun) murah untuk buruh, TNI/Polri, dan rakyat kecil. 10.Lingkungan Pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti reboisasi lahan. 11.Pertahanan dan Keamanan Kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustista TNI/Polri. 12.Reformasi Birokrasi Refomasi birokrasi, pemberantasan korupsi terus ditingkatkan. 13.Otonomi Daerah Otonomi daerah dan pemerataan daerah ditingkatkan. 14.Demokrasi dan HAM Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM makin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini. 15.Politik Luar Negeri Peran Indonesia makin ditingkatkan di dunia internasional. Berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Di lain pihak, kampanye Pasangan SBY-Boediono digelar di GOR Saburai, Bandar Lampung, 16 Juni 2009. Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-Boediono, tampaknya ingin mengulang klaim sukses pembangunan Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura), Jawa Timur. Dalam pidato kampanye politik, SBY mengatakan, salah satu misinya adalah pembangunan adil dan merata. Salah satu agenda aksinya adalah pembangunan infrastruktur yang padat karya. Selanjutnya SBY menyatakan bahwa salah satu proyek infrastruktur menjadi prioritas adalah pembangunan jembatan Selat Sunda. ''Jembatan Selat Sunda bisa kita percepat pembangunannya,'' kata SBY disambut tepuk tangan sekitar dua ribu peserta kampanye yang memadati GOR Saburai. Rencana kegiatan pembangunan jembatan Selat Sunda memiliki panjang 29 Km. Jika, rencana kegiatan ini dilaksanakan dan mencapai tahap operasional (pasca konstruksi), maka diperkirakan jembatan ini tergolong jembatan terpanjang kedua di dunia. Sedangkan jembatan terpanjang pertama terdapat di Shanghai, Tiongkok, memiliki panjang 36 Km. Selisih panjang kedua jembatan itu adalah hanya 7 (tujuh) Km saja. Di samping masih pada kampanye di Lampung, SBY juga berbicara tentang kemandirian pangan dan energi. Dikatakannya, selama memimpin pemerintahan Indonesia hampir lima tahun, dirinya sempat menghadapi gejolak pangan dan minyak. Namun, dengan kerja keras, masalah tersebut bisa diatasi. Kemandirian pangan, salah satu contohnya adalah tercapainya swasembada beras sejak tahun lalu. Kemudian, tahun ini Indonesia juga swasembada jagung dan gula konsumsi. Produksi padi hari ini surplus 62 juta ton. Indonesia bisa ekspor setelah dipastikan kebutuhan dalam negeri aman. Kedelai masih kurang. “Mudah-mudahan tahun depan kita bisa stop impor kedelai,'' kilah SBY-Boediono. Di kesempatan lain, SBY juga telah berjanji kepada publik atau calon pemilih, untuk menyediakan 8 (delapan) juta hektar tanah bagi masyarakat miskin. Kriteria Penilaian Keberhasilan atau Kegagalan Rezim SBY-Boediono? Sesungguhnya janji kampanye SBY-Boediono Pilpres 2009 dapat dijadikan kriteria penilaian keberhasilan atau kegagalan rezim SBY-Boediono periode 2009-2014. Setidak-tidaknya, terdapat 15 butir kriteria penilaian keberhasilan dan kegagalan rezim SBY-Boediono sebagaimana diucapkannya pada saat berlangsungnya kampanye di Gelora Bung Karno, Jakarta, 4 Juli 2009. Adapun 15 butir dimaksud adalah (1) Pertumbuhan Ekonomi; (2) Kemiskinan; (3) Pengangguran; (4) Pendidikan; (5) Kesehatan; (6) Pangan; (7) Enerji; (8) Infrastruktur; (9) Perumahan Rakyat; (10) Lingkungan; (11) Pertahanan dan Keamanan; (12) Reformasi Birokrasi; (13) Otonomi Daerah; (14) Demokrasi dan HAM; dan, (15) Politik Luar Negeri. Suatu penilaian keberhasilan atau kegagalan suatu rezim berkuasa pada pemerintahan/negara sangat penting dilakukan oleh rakyat karena sesungguhnya keberadaan rezim berkuasa itu semata-mata untuk melayani rakyat sebagai “pemilik kedaulatan” atau “pengguna/users” dalam kehidupan demokratis. Karena rezim berkuasa tidak melakukan “kontrak politik” dengan lembaga negara, tetapi dengan rakyat sebagai pemilik atau pemegang kedaulatan, maka kriteria penilaian/evaluasi keberhasilan atau kegagalan rezim berkuasa adalah butir-butir janji kampanye politik yang diberikan oleh Calon Presiden dan Wakil Presiden bersangkutan. Sesungguhnya rezim berkuasa terbentuk setelah berhasilnya suatu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden merebut kekuasaan eksekutif melalui Pilpres. Dalam konteks Indonesia, juga demikian, adalah sangat tepat jika janji politik Presiden SBY-Boediono saat berkampanye pada Pilpres 2009 digunakan sebagai kriteria atau standar penilaian/evaluasi keberhasilan atau kegagalan rezim SBY-Boediono periode 2009-2014.