Rabu, 21 November 2012

INDONESIA NEGARA GAGAL

Belakangan ini terdapat beberapa karya buku yang mencoba menangkat issue “negara gagal”. Karya buku dimaksud antara lain: Desmond J. Mahesa, Presiden Offside: Kita Diam atau Memakzulkan (Jakarta, Mei 2012); Adhyaksa Dault, Menghadang Negara Gagal: Sebuah Ijtihad Politik (Jakarta, Agustus 2012); Bambang Soesatyo, Republik Galau: Presiden Bimbang, Negara Terancam Gagal (Jakarta, September 2012); Muhadam Labolo, Memperkuat Pemerintahan Mencegah Negara Gagal: Sebuah Ikhtiar Mewujudkan Good Governance dan Negara Kesejahteraan (Jakarta, Oktober 2012). Beberapa karya di atas, telah berbicara tentang negara gagal, termasuk di antaranya mengangkat issue negara gagal di kegagalan kekuasaan rezim SBY-Boediono. Apa Indikator Negara Gagal? Berbagai Ilmuwan dan Institusi mencoba menawarkan sejumlah indikator untuk menilai suatu negara telah gagal. Beberapa di antaranya: Ilmuwan politik Naom Chomsky (2006), Abby Stoddard, Robert I Rotberg, Jared Diamond, Peter Burnell dan Vicky Randall (2008), Lockean, William Easterly dan Laura Fresh, Muhadam Labolo (2012), Fund of Peace (organisasi penelitian dan pendidikan non profit yang bermarkas di Washington, DC), Ilmuwan politik Naom Chomsky (2006), Gambaran lain dari ahli linguistic cum ilmuwan politik, Naom Chomsky, tentang negara gagal dan ciri-cirinya. Chomsky memberikan penjelasan cukup detil tentang cirri pokok yang bisa dipakai untuk menjelaskan apakah suatu negara tergolong negara yang gagal (failed states) atau tidak. Chomsky memberikan batasan sebagai berikut: 1. Adanya situasi yang menunjukkan ketidakmampuan negara dalam melindungi penduduknya dari kekerasan, atau bahkan mungkin dari penyerangan dan perusakan. 2. Ada kecenderungan untuk mengabaikan diri terhadap jangkauan hukum, baik domestic, maupun hukum internasional. 3. Jika negara itu mempunyai bentuk demokrasi, negara itu menderita semacam deficit dalam berdemokrasi yang parah. Menurut Noam Chomsky, setidaknya ada dua karakter utama yang membuat suatu negara dapat disebut sebagai negara gagal. Pertama, negara yang tidak memiliki kemauan atau kemampuan melindungi warganya dari berbagai bentuk kekerasan, dan bahkan kehancuran. Kedua, tidak dapat menjamin hak-hak warganya, baik di tanah air sendiri maupun di luar negeri; dan tidak mampu menegakkan dan mempertahankan berfungsinya institusi-institusi demokrasi. Berikutnya, Abby Stoddard, juga menjelaskan sebuah negara bangsa (nation state) dianggap gagal jika tidak dapat memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik. Sementara itu, kita pun sangat mafhum bahwa kebutuhan rakyat dalam bernegara, terutama adalah naungan, kepastian, terutama kepastian akan hak dan hukum serta jaminan keamanan. Stoddard menegaskan kondisi itu dapat menumbuh-suburkan korupsi dan praktik-praktik gelap semisal manipulasi, pemalsuan, dan sebagainya. Di dalam perekonomian pun, gejalanya menunjukkan kondisi yang terus memburuk akibat penyelundupan dan pelarian modal. Robert I Rotberg menyatakan sindrom negara gagal juga bisa ditemukan dalam (1) situasi ketika keamanan rakyat tidak bisa dijaga. (2) konflik etnis dan agama tak kunjung usai, serta (3) korupsi merajalela. Rotberg juga menyoroti (4) menipisnya legitimasi negara dan tidak berdayanya (5) pemerintah menghadapi masalah dalam negeri. Selain itu, (6) negara selalu berada dalam posisi rawan dari tekanan luar negeri. Jared Diamond mengemukakan, cirri-ciri negara gagal terdapat pada lima faktor yakni: 1) kerusakan lingkungan; 2) pemanasan global; 3) tetangga yang bermusuhan; 4) mengendurnya dukungan kelompok masyarakat yang sudah menjalin hubungan baik melalui perdagangan; 5) lembaga politik, ekonomi, social dan budaya lumpuh sebagai pemecah persoalan. Peter Burnell dan Vicky Randall (2008) kemudian menunjukkan negara gagal karena ketidakmampuan untuk mengorganisasikan aparatur secara efektif mengarah pada kekacaubalauan politik (political disorder), ditandai oleh ketidakjelasan otoritas politik, ketidakefektifan administrasi publik, dan merajalelanya korupsi. Hukum tidak bisa dijalankan, ketertiban umum tidak bisa dipelihara, kohesi sosal membusuk, keamanan sosial terutama bagi rakyat miskin menghilang dan legitimasi memudar. Negara gagal juga dicerminkan oleh ketidakberfungsian institusi-institusi negara dan demokrasi yang membawa dampak buruk bagi perkembangan politik, ekonomi, dan social. Ketiadaan birokrasi yang tepat memungkinkan korupsi merajalela dan membawa erosi legitimasi negara. Kepercayaan dan keyakinan pada negara memudar ketika jejaring korupsi memberikan proteksi hukum dan politik pada kejahatan yang terorganisasi. Lemahnya kapasitas kebijakan juga melemahkan kemampuan pemerintah dalam menetapkan tujuan dan sasaran kebijakan yang diambilnya. Hal ini ditandai oleh inkoherensi dalam proposal kebijakan, ketidakjelasan tujuan dengan ketiadaan rencana yang tepat bagi implementasinya, serta lemahnya koordinasi antar departemen. Lockean menekankan bahwa fungsi utama negara adalah penyedia jasa (pelayanan public). Negara gagal menurutnya apabila tak capable dalam penegakan hukum, melindungi masyarakat, menjamin hak warga negara dan partisipasi politik, menjamin keamanan, memenuhi kebutuhan masyarakat dalam hal infrastruktur serta berbagai fungsi social. Sementara, William Easterly dan Laura Fresh mengemukakan salah satu indicator kegagalan negara yaitu pembuatan berbagai kebijakan yang membingungkan. Muhadam Labolo, ilmuwan pemerintahan dari Indonesia, menulis sebuah buku berjudul: Memperkuat Pemerintahan Mencegah Negara gagal (Oktober 2012. Menurut Muhadam Labolo,negara gagal adalah negara yang tak mampu menjalankan fungsi-fungsi dasarnya sebagaimana tertuang dalam konstitusi. Dalam konteks Indonesia, persoalannya adalah apakah pemerintah sebagai personifikasi konkret negara telah mampu menjalankan fungsi utamanya dalam UUD 45, yaitu melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia? Kini marilah kita lihat empat aspek penting yang dianggap mempengaruhi kegagalan Indonesia sebagai suatu negara dewasa ini. Pertama, tekanan demografis dapat dilihat pada seberapa jauh kemampuan negara mengendalikan pertumbuhan penduduk dan memproteksi dinamika warga negara khususnya kaum minoritas dalam mengartikulasikan kepentingan di tengah mayoritas. Harus diakui bahwa pascareformasi, pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami lonjakan di atas kecemasan Robert Maltus. Rata-rata pertumbuhan pendudukan Indonesia dewasa ini 1,2% per tahun. Perkembangbiakan penduduk tampaknya tak berimbang dengan ketersediaan lahan yang terus menciut disebabkan meluasnya ‘birahi’ sector swasta dalam bisnis pengembangan pemukiman penduduk. Kedua, tekanan hak asasi makanan dalam hubungan dengan minoritas disini bisa dalam berbagai isu, apakah menyangkut ideology, social budaya, ekonomi, politik, hukum, dan seterusnya. Dalam berbagai kasus akhir-akhir ini negara dianggap lalai melindungi kepentingan kelompok minoritas dalam mempertahankan hak asasi berkepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ketiga, negara gagal dalam aspek group grievance (protes terhadap kelompok minoritas). Negara membeli peluang bagi tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran kepercayaan. Indikasinya dapat dilihat dari pertambahan rumah ibadah kaum minoritas hingga mencapai lebih dari 100% dalam kurun waktu 10 tahun pascareformasi. Fund of Peace adalah suatu organisasi penelitian dan pendidikan non profit, yang bermarkas di Washington, DC, AS. Lembaga ini membuat indikator negara gagal berdasarkan aspek sosial, ekonomi, dan politik-militer. Indikator-indikator negara gagal dimaksud yakni: (1) Memuncaknya tekanan demografis; (2) Pergerakan besar-besaran pengungsi: semakin masifnya jumlah pengungsi dan pelarian warga masyarakat tertentu dari kediaman mereka, sehingga menciptakan situasi kemanusiaan darurat; (3) Warisan dendam dan keluhan kelompok tertentu: meluasnya tindakan kekerasan balas dendam antar kelompok masyarakat; (4) Pelarian warga negara yang kronis dan berkelanjutan: meningkatnya lingkungan kumuh di wilayah-wilayah miskin; (5) Pembangunan ekonomi yang tidak merata di segala lini: Kesenjangan pertumbuhan ekonomi; (6) Penurunan/kemunduran ekonomi yang tajam; (7) Kriminalisasi dan/atau delegitimasi negara: korupsi endimik dan resistensi terhadap transparansi, akuntabilitas, dan representasi politik, termasuk hilangnya kepercayaan terhadap institusi negara; (6) Penurunan/memburuknya pelayanan public yang berkelanjutan: hilangnya fungsi utama negara dalam melayani warganya; (9) Pelanggaran HAM yang luas: pemerintahan otoriter, diktator atau militer yang lembaga-lembaga konstitusional dan demokratisnya dimanipulasi; (10) Aparatur keamanan sebagai “negara dalam negara”; (11) Kemunculan elit faksional: faksionalisasi di dalam elite; (12) Intervensi negara atau institusi asing/faktor eksternal. Indeks ini kemudian diklasifikasikan ke dalam empat tingkatan, dimulai dari tingkat yang paling mengkhawatirkan: Alert, Warning, Moderate, dan Sustainable. Indikator-indikator negara galal dimaksud adalah: Pada pertengahan tahun 2012, terbit publikasi Indeks Negara Gagal atau Failed States Index (FSI) 2012 yang menempatkan Indonesia berada di posisi ke-63 dari 177 negara di dunia. Dalam indeks itu, makin kecil peringkat sebuah negara, semakin gagal negara tersebut. Rapor FSI menempatkan negara kita tak lebih baik dari negara tetangga seperti Singapura, Brunei, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Posisi Indonesia hanya di atas Myanmar, Kamboja, Laos, Filipina, dan Timor Leste. Indeks Negara Gagal dirilis oleh Fund of Peace (organisasi penelitian dan pendidikan non profit yang bermarkas di Washington, DC) bekerjasama dengan majalah Foreign Policy. Kita berada di posisi “warning” dan “in danger”. Indicator-indikator negara gagal yang dinyatakan Fund of Peace dan Foreign Policy adalah sebagai berikut: Pada akhir Juni 2012, lembaga Fund for Peace yang berpusat di Washington, AS, mengeluarkan Indeks Negara Gagal. Sebab, Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 178 negara di seluruh dunia. Dengan peringkat itu, Indonesia berada dalam kategori “waspada”, karena jelas telah berada di tubir negara gagal. Pandangan terhadap Indeks Demokrasi Global dari Economist Intelligence Unit pada 2011 yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 167 negara yang diteliti; jauh di bawah Timor Leste (42), Papua Niugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57). Indonesia masuk kategori flawed democracy (cacat demokrasi) yang ditandai, antara lain, dengan pemilu yang tidak bersih, pemerintahan yang korup dan ingkar janji-janji pemilu, serta keterancaman pluralism. Pencapaian pertumbuhan ekonomi terus dirayakan seraya melupakan kemunduran Indonesia dalam indeks korupsi yang pada tahun ini menempati urutan ke-100 dari 182 negara, juga dalam Indeks Pendayagunaan SDM yang menempatkan Indonesia di urutan 124 dari 187 negara. Berdasarkan publikasi The Fund for Peace 2012, posisi Indonesia dalam Failed States Index memburuk, dari urutan ke-64 tahun lalu menjadi peringkat ke-63 tahun ini. Sejak 2005, lembaga The Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine secara rutin mengeluarkan Failed State Index. Makin tinggi peringkat suatu negara dalam indeks ini, berarti semakin mendekati negara gagal. Indeks ini memasukkan 177 negara ke dalam empat posisi dari segi dekat-jauhnya terhadap kategori negara gagal: posisi waspada (alert), dalam peringatan (warning), sedang (moderate), dan bertahan (sustainable). Berdasarkan indeks ini, selama periode 2005-2012, negara Indonesia selalu berada dalam kategori negara “dalam peringatan” (warning). Posisi ini lebih dekat jaraknya dengan posisi “waspada” negara gagal, ketimbang dengan posisi “bertahan”. Indonesia bahkan belum masuk zona negara moderat. Yang merisaukan, tren keberhasilan Indonesia untuk menurunkan peringkatnya selama periode 2007-2011 cenderung mengalami kenaikan lagi pada tahun-tahun berikutnya pada periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Berdasarkan indicator-indikator tersebut, secara umum perkembangan Indonesia tetap buruk, bahkan memburuk karena kian terancamnya keselamatam manusia sebagai basic human rights. Secara social, pertumbuhan penduduk dan arus buruh migrant tak bisa dikendalikan. Secara ekonomi, kesenjangan ekonomi semakin melebar, kemunduran ekonomi membayang dalam melambungnya harga-harga, cadangan pangan yang menipis, serta angka kemiskinan dan pengangguran yang tinggi. Secara politik, kriminalisasi lembaga negara (semacam KPK) dan keterlibatan para pejabat negara dalam tindak criminal membuncah; memburuknya pelayanan public tercermin dari keterpurukan modal transportasi umum dan sarana-sarana public lainnya; faksionalisasi dalam lingkungan elite terlibat dari kartelisasi setgab versus non-setgab serta konflik internal setgab; intervensi asing membayang dalam pilihan-pilihan kebijakan ekonomi dan politik. Berdasarkan survei The Fund for Peace di Washington DC., tentang Failed State Index, Mei 2012, Indonesia sebagai salah satu negara dinilai mengarah kedalam status gagal (total indeks 80,6/bahaya). Yang jelas bukan gagal panen, apalagi sampai gagal ginjal. Peringkat 63 dari 178 negara menunjukkan posisi kita tak lebih baik dari sebagian negara di gurun Afrika, bahkan negara-negara tetangga di kawasan Asia. Tahun lalu 2011, Indonesia berada di peringkat ke 64 dari 177 negara. Lazimnya negara yang dikategorikan seperti ini adalah negara dalam kondisi darurat perang. Tentu saja Indonesia tidak dalam keadaan perang.

Senin, 12 November 2012

KEGAGALAN REZIM SBY-BOEDIONO: PENILAIAN PUBLIK DARI TAHUN KE TAHUN

Pemilihan Presiden RI tahun 2009 telah mengantarkan Pasangan SBY dan Boediono menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden untuk masa waktu 2009-2014. Pasangan SBY dan Boedino kemudian membentuk suatu Kabinet atau suatu rezim kekuasaan pemerintahan yang anggotanya sebagian besar berasal dari Partai-Partai Politik pengudung dan pendukung seperti Partai Demokrat, PPP, PAN, PKB dan PKS. Hanya anggota Kabient dari Partai Golkar saja yang tidak tergolong Partai Pengusung ataupun pendukung Pasangan SBY-Boediono. Dalam perjalanannya, rezim SBY setiap tahun, khususnya memperingati hari pengesahan SBY-Boediono sebagai Presiden dan Wakil Presiden, 20 Oktober, mendapat penilaian kritis, kecaman dan protes dari berbagai pihak masyarakat madani atau publik. Bahkan terdapat penilaian bahwa rezim SBY mengalami kegagalan dalam memimpin bangsa Indonesia. Berikut ini akan diuraikan sejumlah penilaian, antara lain: Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indonesia (SI), Front Mahasiswa Reformasi (FMR) serta Barisan Aksi Solidaritas untuk Demokrasi (BASIS), Komite Penyelamat Organisasi- Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP), Petisi Garuda (Gerakan Rakyat untuk Demokrasi), KAMMI, HMI, dll. Setahun Rezim SBY: Setelah menggelar Rakernas selama tiga hari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Seluruh Indoneia (SI), 21 Juli 2010, di Denpasar, Bali, menggelar aksi demonstrasi. Mereka menilai pemerintahan sekarang sebagai antek imperialisme, dan mendesak agar SBY–Boediono turun dari tampuk kekuasaannya. SBY gagal mensejahterakan rakyat. Jika SBY–Boediono tidak mau mundur, mereka kami akan menurunkan. Bagi mereka, pemerintah saat ini bukan representasi dari rakyat, tetapi representasi dari kaum imperialis. Program yang digelontorkan adalah program-program yang anti rakyat. Salah satunya adalah kenaikan TDL. SBY–Boediono belum berpihak pada rakyat. Mereka adalah antek Amerika. Lebih jauh, misalnya Ketua BEM UGM, Aza L. Munardi, menegaskan, SBY–Boediono telah membohongi rakyat. Dalam berbagai kesempatan, Presiden mengatakan kalau perekonomian Indonesia mengalami peningkatan yang baik. Padahal, hutang Indonesia hingga hari ini terus membengkak hingga mencapai Rp2.700 triliun. Hal ini sebagai bentuk kegagalan SBY–Boediono menyejahterakan rakyat. “Lebih baik mundur atau kami yang akan turunkan paksa,” tegasnya. Dalam kesempatan itu, demonstran berjumlah puluhan orang gabungan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, melakukan aksi teatrikal dengan membawa tabung gas sebagai simbol jeritan suara rakyat atas banyaknya korban meninggal karena meledaknya tabung gas serta simbol dari kenaikan tarif TDL. Aksi mahasiswa ini akhirnya menyampaikan enam tuntutan kepada Pemerintah: Pertama, pemerintah harus bertanggungjawab atas berbagai ledakan tabung gas di berbagai daerah. Kedua, menolak kenaikan tarif TDL dan meminta pemerintah menjamin ketersediaan energi nasional. Ketiga, wujudkan jaminan kesejahteraan bagi rakyat, dengan menuntaskan carut marut sistem pendidikan, Keempat, jaminan sosial nasional dan APBN yang pro rakyat. Kelima, menagih janji SBY dalam hal komitmen pemberantasan korupsi. Keenam, menuntut tanggungjawab pemerintah terhadap dampak ACFTA yang menyengsarakan rakyat. Di Kota Cirebon momentum satu tahun perjalanan pemerintahan SBY, mendorong sejumlah mahasiswa turun ke jalan, longmach menuju Balai Kota dan kantor DPRD. Komponen mahasiswa baik HMI, PMII dan, Front Mahasiswa Reformasi (FMR) serta Barisan Aksi Solidaritas untuk Demokrasi (BASIS) menggelar aksi unjuk rasa dengan “issue utama”, yakni turunkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono. Dalam aksi mahasiswa anti rezim SBY ini, HMI membawa keranda kematian bagi birokrasi pemerintahan SBY; menilai pemerintahan SBY telah gagal dalam menjalankan amanah rakyat. Kegagalan rezim SBY menurut mereka dalam beragam bidang. Di bidang ekonomi, mereka menilai bahwa rezim SBY gagal mempertahankan kekuatan prekonomian nasional bahkan perekonomian itu lebih didominasi oleh asing, deindustrialisasi serta semakin meningkatnya utang luar negeri. Mereka meminta pemerintah untuk mengusir penjajahan asing yang telah menjajah aset-aset bangsa. Juga segera turunkan harga bahan pokok. Di bidang hukum, mereka menilai bahwa rezim SBY tidak memiliki prestasi apa pun dalam kelembagaan pemberantasan korupsi, apalagi kasus Century hingga kini kasusnya tanpa kepastian hukum. Di samping aksi mahasiswa, terdapat juga aksi-aksi komponen masyarakat madani bukan mahasiswa. Salah satunya, komponen mengatasanamakan dirinya Komite Penyelamat Organisasi- Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP). Komponen masyarakat madani ini mengeluarkan sikap dan seruan kepada seluruh rakyat Indonesia. Salah satu sikap dan seruan itu, untuk terus melakukan perlawanan terhadap Rejim SBY-Boediono, yang sudah nyata memperlihatkan sikap ketidakseriusan dalam pemberantasan korupsi. Baqgi mereka, rezim SBY-Boediono telah terbukti gagal dalam memberantas korupsi, dan telah mengkhianati amanah dari jutaan rakyat Indonesia, khususnya yang telah memilihnya. Dua Tahun Rezim SBY: Peringatan dua tahun pemerintahan SBY-Boediono 20 Oktober 2011, gelombang aksi anti rezim SBY dari masyarakat madani baik secara kelompok maupun individual mengambil tempat semakin besar. Citra SBY berada di titik terendah pada 24 bulan masa pemerintahannnya. Realitas obyektif kebobrokan pemerintahan SBY-Boediono adalah hal pokok yang menjadi bahan kemudian menghasilkan sebuah issue utama, yakni pengulingan rezim SBY. Mereka umumnya menilai, pemerintahan SBY-Boediono telah gagal menciptakan rasa aman pada masyarakat, melindungi kekayaan alam Indonesia, dan menjaga kedaulatan Negara, dan menjaga harapan rakyat. Sejumlah kegagalan rezim SBY telah diungkapkan, namun masing-masing komponen masyarakat madani anti rezim SBY memiliki penekanan tertentu. Jauh sebelumnya, 23 Januari 2011, sejumlah aktivis yang tergabung dalam Petisi Garuda (Gerakan Rakyat untuk Demokrasi) menganggap pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono telah gagal. Salah satu kegagalan Pemerintahan SBY-Boediono menurut mereka adalah di bidang hukum. Penegakan hukum dianggap semakin carut-marut, terutama dengan semakin ruwetnya kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan. Itu konspirasi yang melibatkan banyak pihak dan mengeruk uang negara ratusan miliar rupiah. Pemerintahan SBY terbukti sudah gagal dalam penegakan hukum. Petisi Garuda juga menyesalkan pemerintahan SBY-Boediono yang gagal dalam mensejahterakan rakyat. Rakyat juga dinilai susah mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Pada dasarnya, rakyat tidak sejahtera. Sedangkan Presiden hanya bisa curhat. Karena itu, Petisi Garuda pun kemudian mengancam akan berkonsolidasi lebih lanjut untuk menggelar demonstrasi di depan Istana Merdeka. Petisi Garuda ini menunjukkan 33 kegagalan rezim SBY. Menurut mereka rezim SBY telah mengalami kegagalan: 1.Melindungi sumber daya ekonomi rakyat dan sumber daya ekonomi negara. 2.Menyediakan pelayanan pendidikan yang terjangkau oleh masyarakat. 3.Menyediakan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan berkualitas. 4.Melindungi warga negara menjadi tenaga kerja di luar negeri. 5.Melindungi kedaulatan bangsa dari upaya hegemoni modal, budaya, maupun upaya nyata untuk mencaplok secara fisik wilayah kedaulatan NKRI. 6.Melindungi HAM dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM. 7.Dalam upaya pemberantasan dan penuntasan kasus korupsi. 8.Dalam upaya peningkatan perekonomian rakyat. 9.Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat. 10.Dalam melakukan reformasi birokrasi. 11.Dalam upaya penegakan hukum untuk menjamin ketertiban dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. 12.Membangun politik yang beretika dan menghilangkan praktik politik yang transaksional. 13.Dalam upaya membangun karakter bangsa. 14.Dalam upaya membangun moralitas bangsa. 15.Dalam mewujudkan kemandirian pangan. 16.Dalam membangun wilayah perbatasan dan perdesaan. 17.Mensejahterakan buruh, nelayan, dan kaum miskin kota. 18.Memberikan keadilan, penyelesaian kasus-kasus rakyat. 19.Menjaga stabilitas harga kebutuhan pokok masyarakat. 20.Menjaga membangun kemandirian pangan. 21.Menyediakan kebutuhan energi untuk menopang kegiatan ekonomi masyarakat. 22.Membangun industri dasar yang dibutuhkan rakyat untuk meningkatkan produktivitas kegiatan ekonominya. 23.Membangun lingkungan hidup yang menyebabkan sering terjadinya bencana banjir. 24.Menyelamatkan hutan Indonesia dari kegiatan mafia kayu. 25.Mengeliminir praktik penyelundupan di wilayah perbatasan. 26.Membebaskan bangsa dari cengkeraman mafia. 27.Menyelamatkan keuangan negara dari tindakan pencurian mafia pajak 28.Dalam menyelamatkan potensi pertambangan dari eksploitasi liar mafia tambang. 29.Membangun pluralitas bangsa yang harmonis. 30.Menyediakan pupuk yang murah untuk meningkatkan produktivitas pertanian. 31.Melindungi hak buruh untuk mendapatkan status pekerjaan yang jelas dengan upah yang layak. 32.Dalam diplomasi internasional untuk memperjuangkan kepentingan bangsa. 33. Melindungi hak hidup fakir miskin dan anak telantar. Di lain fihak, terdapat aksi atau suara kritis terhadap rezim SBY, mengungkapkan ada 28 kekagalan rezim SBY, namun disederhanakan menjadi lima kegagalan. Pertama, kegagalan dalam memimpin mempertahankan kokohnya filosofi dan konstitusi berbangsa dan bernegara. Kedua, kegagalan dalam memimpin stabilisasi politik untuk rakyat. Ketiga, kegagalan dalam memimpin membangun kemandirian ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Keempat, kegagalan dalam memimpin menegakkan hukum, pertahanan dan keamanan. Kelima, kegagalan dalam memimpin bidang agama, pendidikan dan kebudayaan. Pada siang hari, 20 Oktober 2011, mahasiswa dari Aliasi Badan Eksekutif Mahasiswa Indonesia (BEM SI) telah menggelar aksi demonstrasi di Istana Negara. Malamnya lanjut ratusan mahasiswa di Bundaran Hotel Indonesia menggelar aksi renungan malam. Mahasiswa mengemas unjuk rasa dengan tema "Indonesia Berkabung atas Kegagalan Indonesia". Mereka berkumpul sejak pukul 06.00 WIB. BEM SI memperingati dua tahun pemerintahan SBY-Boediono. Demonstrasi mereka gelar sebagai wujud kekecewaan terhadap kinerja pemerintahan SBY -Boediono yang dinilai gagal mensejahtrakan rakyat. Tak ada janji Pemerintahan SBY yang nyata. SBY-Boediono gagal memberantas korupsi maupun membasmi kemiskinan; gagal dalam memakmurkan segenap masyarakat Indonesia dan menegakkan supremasi hukum. Kenyataan ini bisa dilihat dari berbagai kasus hukum yang hingga saat ini tidak kunjung tuntas diselesaikan. Masih banyak masyarakat Indonesia yang jungkir balik melawan kemiskinan. Presiden SBY tidak terlihat tegas dalam pemberantasan korupsi dan penegakan hukum. Kasus Century yang masih saja terumbang-ambing, serta dimaafkannya para koruptor dan mafia pajak merupakan bukti-bukti kegagalan rezim SBY. Juga ditegaskan, rakyat mengalami kesulitan mendapatkan fasilitas pendidkan yang memadai. Pendidikan saat ini cenderung mengarah kepada komersialisasi dan diskriminatif. Kegagalan lain rezim SBY adalah adanya komersialisasi pangan, bagaimana lahan pertanian yang dijadikan industrialisasi dan pada kenyataannya membuat petani sengsara. Semula kami berharap kinerja 2 tahun SBY-Boediono dapat mensejahterakan rakyat, namun kenyataannya jauh dari harapan, untuk itu kami memberikan evaluasi bahwa 2 tahun SBY-Boediono gagal dalam mensejahterakan rakyat. Pada 18 Oktober 2011, Mahasiswa melakujkan aksi dengan dengan membuat karangan bunga dukacita, dan menaruhnya di depan Kampus ITB, Bandung, Jawa Barat. Mahasiswa menilai selama dua tahun kepemimpinan SBY-Boediono gagal memenuhi hak-hak rakyat Indonesia. Salah satunya, masih banyak warga yang belum mampu menjangkau pendidikan yang berkualitas. Mahasiswa juga menganggap reshuffle atau perombakan kabinet adalah upaya lempar tanggung jawab Presiden dan menyalahkan menterinya yang dinilai tidak bisa bekerja dengan baik. Perombakan kabinet juga dinilai untuk mengalihkan perhatian masyarakat atas kasus mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin yang mau tidak mau menyeret nama Partai tersebut. Selanjutnya, pada 20 Oktober 2012 pagi aksi anti rezim SBY digelombangkan dengan turun ke jalan di depan gedung DPRD Malang. Mereka menggelar aksi sama yakni mendesak mundur dari jabatannya, setelah dipandang gagal menjalankan pemerintahan. Aksi mahasiswa ini digerakkan oleh dua kelompok, yakni Kesatuan Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Cabang Malang dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya, yang diikuti puluhan mahasiswa dari PMII dan PMI. Dalam aksinya kedua kelompok mahasiswa ini menyuarakan desakan kemunduran SBY melalui orasi serta memampang spanduk dan poster bertulis menuntut segera adanya pemilihan presiden kembali, untuk menggantikan SBY-Budiono. Aksi ini merupakan evaluasi terhadap kinerja Presiden SBY yang masih gagal menciptakan Indonesia sejahtera, adil dan beradab. Menurut mahasiswa, ada sejumlah kegagalan rezim SBY. Pertama, Presiden SBY-Budiono dan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II gagal dalam supremasi hukum dengan tidak tuntasnya penyelesaian sejumlah kasus korupsi. Kedua, SBY gagal mengawal transisi demokrasi, ekonomi, kesejahteraan rakyat, menurunkan angka kemiskinan, memberantas KKN, menciptakan rasa aman dan menjaga harmonisasi sosial, melindungi kekayaan sumber daya alam. Ketiga, SBY gagal menjaga kedaulatan Negara Republik Indonesia. Keempat, SBY gagal menjaga harapan rakyat hingga mengakibatkan stres sosial sosial di masyarakat. Sejumlah kegagalan ini kemudian memaksa mereka meminta SBY mundur. Menurut pandangan mereka, SBY hanya sibuk dengan kepentingan kelompok melalui bagi-bagi kue berwujud susunan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Selama aksi KAMMI mewarnai dengan melempar alas kaki di bumi sebagai tanda banyak kebohongan pemerintah SBY sehingga memincu kejengkelan rakyat, mereka juga menututp wajah dengan tas plastik hitam. Di tempat yang sama Badan Eksetutif Mahasiswa Universitas Brawijaya juga menunjukkan sejumlah indikator yang cenderung dibutuhkan rakyat sama sekali tak tersentuh. Empat indikator menjadi catatan tidak dijalankan Presiden SBY-Boediono, yaitu: (1) perlindungan terhadap warganya; (2) pendidikan murah; (4) penegakan hukum; dan (5) kesejahteraan rakyat. Keempat indikator ini tidak berjalan, dan mereka sangat menyesalkan. Usai berorasi mahasiswa membakar seluruh poster dan spanduk bertulis desakan SBY mundur di depan pagar betis petugas keamanan. Di Kota Magelang, Jawa Tengah, komponen mahasiswa juga melakukan aksi anti Rezim SBY. Saat itu Presiden SBY mengadakan kunjungan ke Akademi Militer Magelang untuk melantik Perwira TNI-Polri. Puluhan mahasiswa menggelar demo di pinggir jalan Magelang-Yogyakarta tepatnya di depan Kampus II UMM di Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang. Mereka menentang kedatangan Presiden SBY. Selain berorasi, mereka juga membentangkan sejumlah spanduk, bertuliskan antara lain: "Kamuflase SBY" dan "Pikirkan rakyat, hentikan pencitraan". Bagi aksi mahasiswa ini, rezim SBY telah gagal menyejahterakan rakyat, terbukti korupsi merajalela, ekonomi kerakyatan tidak dijalankan, Pancasila dimuseumkan dan etika politik tidak diwujudkan. Bahkan, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) menamai pemerintahan SBY-Boediono sebagai “rumah pasir” yang direkat oleh lem pencitraan. Sekarang lem pencitraan itu telah meleleh setelah diberi “cap kebohongan” oleh para pemuka agama, kalangan intelektual, tokoh pergerakan pemuda dan mahasiswa. Hal itu sebelumnya juga pernah dinyatakan oleh mantan aktivis mahasiswa 77/78, Rizal Ramli. Mereka memberikan nilai minus sepuluh (-10) pada pemerintahan SBY-Boediono bersama KIB Jilid II. Dalam catatan KAMMI, ada sepuluh kegagalan SBY-Boediono dan KIB Jilid II. Pertama, SBY-Boediono dan KIB Jilid II gagal dalam supremasi hukum. Penegakan hukum berjalan di tempat. Kasus-kasus besar selalu diakhiri dengan drama transaksional. Bahkan tebang pilih menjadi gaya penegakan hukum pemerintah di bawah komando SBY. Kegagalan itu diwakili Kementerian Hukum dan HAM dalam pembebasan 29 napi koruptor atas nama remisi (HUT RI dan Lebaran). Kedua, gagal dalam mengawal transisi demokrasi. Sistem yang dikonstruksi oleh rezim SBY menciptakan Negara oligarki baruj yang disebut “rulling oligarki” dalam tatanan politik dan demokrasi semu. Demokrasi hanya dijadikan alat untuk merampok Negara. Akhirnya Negara digerogoti oleh mafia anggaran. Ketiga, gagal mengelola perekonomian. Pertumbuhan ekonomi timpang, terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan kontribusi PDB sekitar 57,8 %. Sementara di daerah lainnya, berbagi sisanya, yakni 42,2 %. Selain itu, investasi juga menunjukkan masih ada ketimpangan antar wilayah baik untuk penanaman modal dalam negeri maupun asing. Investasi didominasi sektor tersier yang berarti menggunakan impor konten. Akibatnya, terjadi urbanisasi yang berakibat jangka panjang pada daerah-daerah perkotaan berupa problem sosial yang eksklasif. Keempat, gagal dalam mensejahterakan rakyat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang sering dibangga-banggakan hanya milik segelincir orang, yaitu kelompok konglomerat. Pertumbuhan ekonomi tidak berpihak pada sektor yang menyerap tenaga kerja seperti pertanian dan perikanan. Padahal kedua sektor ini paling besar menyumbang angka kemiskinan. Kelima, gagal dalam menurunkan angka kemiskinan. Angka kemiskinan sesuai standar PBB dengan penghasilan minimal 2 dollar AS atau sekitar Rp. 18 ribu per hari, masih sangat tinggi yaitu sekitar 30 % dari total 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia. Atau sekitar 70 juta jiwa berdasarkan jumlah penerima beras miskin, ditambah lagi penduduk yang hampir miskin sebanyak 29,38 juta. Keenam, gagal dalam pemberantasan KKN. Inpres yang pernah dikeluarkan Presiden SBY soal pemberantasan korupsi, mafia pajak dan mafia hukum tidaklah berguna dan gagal total pelaksanaannya, hanya menjadi alat untuk pencitraan pemerintahan SBY. Ini bisa dilihat pada IPK skor yang stagnan 2,8. Faktor politik merupakan faktor dominan dari faktor gagalnya pemberantasan korupsi. Mega Skandal Bank Century kini melempem. Sekali tiga uang. Kasus rekening gendut pejabat Polri serta kasus Mafia Pajak yang semuanya mengindikasikan lemahnya itikad pemberantasan KKN oleh KIB Jilid II. Ketujuh, gagal dalam menciptakan rasa aman dan menjaga harmonisasi sosial. Aksi kekerasan dengan berbagai latar belakang ekonomi, SARA, politik, semakin marak, meluas dan terjadi setiap saat. Di awal tahun 2011 ini saja, kekerasan yang mengarah pada konflik sosial terjadi tidak kurang dari 15 kali. Mulai dari kerusuhan perebutan lahan di Temanggung, Konflik SARA di Ambon, Cikeusik, Makassar, Purwakarta, dan terakhir kekerasan antar pelajar dan wartawan terjadi di Ibukota. Konflik terjadi secara marathon tersebut, menandakan tidak berfungsinya aparat pemerintah dalam bidang Kamtibmas. Kedelapan, gagal dalam melindungi kekayaan Indonesia. Privatisasi sektor enerji dan logam mulia di berbagai wilayah, menyebabkan Sumber Daya Alam (SDA) Indoensia dikangkangi oleh para kapitalis asing. Mulai dari emas yang dijarah oleh Freeport di Papua hingga panas bumi di Garut Jawa Barat yang disedot oleh Chevron, serta berbagai kekayaan lainnya yang diobral murah Pemerintah. Di sisi lain, impor dilegalisasi dalam bentuk kerjasama perdagangan semisal CAFTA, juga semakin menyesengarakan rakyat. Cabe, beras,garam, jeruk, apel, semua impor. Akibatnya, produk lokal anjlok karena Pemerintah tidak membekali petani lokal untuk mampu bersaing. Kesembilan, gagal dalam menjaga kedaulatan NKRI dari berbagai ancaman. Munculnya NII dan OPM menggalang dukungan hingga ke luar negeri menjadi potret betapa lemah intelijen Negara dalam mengantisipasi ancaman-ancaman yang berusaha mengoyak keutuhan NKRI. Kesepuluh, gagal dalam menjaga harapan rakyat. Ketiadaan harapan akhirnya memantik stress sosial tervisualisasikan dalam bentuk konflik, kekerasan, dan tindakan anarkis dan amoral. Berdasarkan fakta-fakta di atas, KAMMI menyerukan reformasi jilid dua. Presiden SBY yang telah gagal memimpin Indonesia harus segera mengundurkan diri dan membubarkan Kabinet untuk kemujdian dibentuk Dewan Rakyat sebagai bentuk peralihan pemerintahan. Mereka juga menuntut percepatan Pemilu Presiden maupun Pemilu anggota legislatif. Aksi masyarakat madani anti rezim SBY dalam dua tahun berkuasa cukup besar, terjadi di depan gedung DPR. Ribuan massa buruh yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS), mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Aksi lain, berlangsung di depan Istana Negara. Beberapa kelompok massa terutama dari beberapa perguruan tinggi di Jakarta dengan jumlah ratusan datang bergantian, menyuarakan soal kegagalan pemerintah dan menuntut SBY-Boediono turun. Aksi kritik atau anti SBY juga dilakukan secara individual. Salah satunya, Sekjen Forum Indonesia untuk Trasparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan dalam suatu forum diskusi di Jakarta, 23 Oktober 2011. Ia menilai pernyataan Presiden SBY yang menyebutkan bahwa uang negara dirampok, merupakan bentuk kegagalan pemerintah. Ucapan Kepala negara yang telah berkuasa selama tujuh tahun, menggambarkan ketidakmampuan SBY memimpin. Presiden SBY tidak mampu memimpin inilah penyebab adanya perampokan uang rakyat. Masalah ini membuat semakin jauhnya cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Baginya, seharusnya dengan usia kepemimpinan yang sudah berjalan tujuh tahun, masalah uang rakyat yang dirampok telah terselesaikan. Di lain fihak, Sekretaris Fraksi Partai Hanura Saleh Husein, menilai pemerintah gagal dalam menjalankan tugasnya. Selama dua tahun ini dalam KIB (Kabinet Indonesia Bersatu) Jilid II belum sesuai dengan harapan masyarakat. Dalam pemerintahan SBY kali ini, terlihat banyak kementerian yang terlihat tidak saling menyatu justru yang terjadi sebaliknya. Masih banyak kementerian yang gontok-gontokan dan itu menghambat SBY sendiri. Selain itu, banyak agenda-agenda pemerintah yang belum terealisasi seperti menciptakan lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sesuai keinginan masyarakat. Saleh Husein kemudian berpendapat, seharusnya sisa masa pemerintahan SBY-Boediono lebih banyak mengurusi kesejahterakan rakyat, bukan lagi pencitraan. SBY sudah tidak bisa maju menjadi calon Presiden lagi, jadi tidak usah pencitraan. Kader Hanura ini melihat sektor ekonomi dan industri juga nampak gagal. Banyak investor yang hengkang dari Indonesia. Ia mencontohkan, BlackBerry harusnya membuka di Indonesia tapi malah memilih di Malaysia. Sektor kelautan juga dinilai Saleh masih banyak terjadi pencurian-pencurian sumber daya alam Indonesia seperti ilegal fishing. Di samping itu, ada persoalan hukum yang masih terkesan tebang pilih, seperti dalam penuntasan kasus Bank Century. Tiga Tahun Rezim SBY: Tiga tahun rezim SBY rakyat masih merasa tidak ada perubahan yang berarti untuk meningkatkan kesejahteraan, mengatasi persoalan sosial politik, dan melakukan penegakan hukum, terutama korupsi yang semakin merajalela. Sebagian rakyat makin terperosok ke jurang kemiskinan karena biaya pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok makin mahal. Rasa aman dan damai makin jauh di tengah tingginya pelanggaran HAM, kekerasan, perusakan lingkungan hidup, serta hukum yang tidak berdaulat. Bahkan, ada penilaian bahwa Negara Indonesia sedang sakit, sekarat secara sosial, ekonomi, hukum, dan politik, dan juga peradaban. kebijakan selalu “menindas” rakyat kecil merupakan wujud dari Negara sakit itu. Kesengsaraan dan penderitaan rakyat telah mengisyaratkan sejarah semakin tidak ramah. SBY sebagai Pemimpin acapkali tidak hadir saat dibutuhkan untuk pemecah masalah Negara dan rakyat sehingga dijuluki sebagai “negeri autopilot” Realitas obyektif semacam inilah yang antara lain turut mendorong gelombang aksi kritik dan protes masyarakat madani terhadap rezim SBY. Bahkan, gelombang aksi dimaksud semakin membesar, melebar dan sporadik terjadi di sejumlah tempat. Di Kota Surabaya, Jawa Timur, puluhan mahasiswa tergabung dalam BEM –SI Wilayah Jawa Timur menggelar aksi demo di depan Gedung Negara Grahadi. Pendemo menilai, selama tiga tahun pemerintahan SBY-Boediono, tidak ada perubahan di negeri ini. Warga negara juga tidak bisa merasakan kekayaan alam di negerinya sendiri. Warga tidak merasakan hasil jerih payah petani, juga tidak merasakan bagaimana pelayanan kesehatan yang layak. Selain itu, pendemo menilai banyak permasalahan di bidang energi, pendidikan, hankam, ekonomi, kesehatan, ketahanan pangan maupun penyelesaian kasus korupsi yang tidak terselesaikan. Kalaupun terselesaikan, hanya pencitraan semata dan tidak pernah serius. Selain berorasi, pendemo juga membawa berbagai poster yang mengkritisi pemerintahan SBY-Boediono diantaranya bertuliskan, 'Tuntaskan Century', 'SBY berhentilah menjadi sekedar boneka', '3 tahun SBY Gagal', 'Matinya hati nurani SBY' dan berbagai poster lainnya. Di Kota Padang, “BEM Kota Padang Peduli Rakyat”, terdiri atas BEM-UPI, BEM-KM Unand, BEM-Politeknik Unand dan BEM UNP, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur dalam menilai kinerja Presiden Soesilo Bambang Yudhoyhono yang dinilai gagal selama menjabat dalam tiga tahun terakhir bersama wakil presiden Boediono. Mereka menilai pemerintahan SBY-Boediono gagal dalam menjalankan pemerintahan, tidak memberi pengaruh positif bagi masyarakat. Malah mereka menilai kepemimpinan SBY - Boediono telah gagal dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Juga, gagal dalam membangun kemandirian ekonomi dan keejahateraan rakyat. Selain itu, pemerintah juga gagal dalam bidang pembangunan moral, pendidikan dan kebudayaan dan penegakan hukum di Indonesia; perlindungan terhadap TKI; menciptakan kemandirian pangan di Indonesia, semua diimpor, padahal Indonesia negara kaya. Pengunjuk rasa meminta agar pemerintah menghentikan segala tindak kekerasan demi penghormatan HAM. Pada dasarnya, mahasiswa menilai ada tujuh kega¬galan Pemerintahan SBY-Boe¬diono. Tujuh kegagalan itu, yaitu: (1) Pemberantasan korupsi; (2) Membangun kemandirian ekonomi dan men¬ciptakan kesejahteraan; (3) Mem-bangun moral, (4) Pendidikan dan kebudayaan, (5) Penegakan hu¬kum, (6) Melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI); dan, (7) Ke¬man¬dirian pangan di Indonesia. Mahasiswa juga mendesak untuk menghentikan segala tindakan kekerasan demi peng¬hormatan hak asasi ma¬nusia (HAM). Di Kota Yogyakarta, pada 19 Oktober 2012 ratusan mahasiswa dari berbagai universitas di Jawa Tengah yang tergabung dalam Jogjaseto (Jogja, Solo, Semarang, dan Purwokerto) menggelar aksi evaluasi delapan tahun pemerintahan SBY- Boediono di Bundaran UGM Yogyakarta. Dalam aksi di Bundaran UGM itu, mahasiswa gabungan lima Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) universitas di Jawa Tengah ini menilai janji-janji SBY selama kampanye hanya omong kosong. Segala hiruk-pikuk dan dinamika kepemimpinannya mulai dari banyaknya bencana, masalah disintegrasi, kasus Bank Century, dan korupsi yang menjamur menjadi bukti bahwa pemerintahan SBY tidak benar-benar berkomitmen dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat. Kemenangan telak SBY-Boediono pada tanggal 8 Juli 2009 yang memperoleh 60,80 persen suara disambut banyak kalangan akan membawa kemajuan bagi Indonesia ke depan, tetapi kenyataannya berbalik arah. Janji-janji yang diucapkan oleh SBY dan Boediono hanya kosong belaka tanpa bukti nyata. Dalam aksi di Bundaran UGM Yogyakarta, para mahasiswa membentangkan spanduk bertuliskan delapan kegagalan pemerintahan SBY selama kurun waktu delapan tahun ini. SBY telah gagal dalam memajukan dan memperbaiki bidang politik, ekonomi, sosial, hukum, infrastruktur, energi, pangan, dan bidang kesehatan. Bagi mereka, delapan tahun sudah SBY-Boediono memimpin negara ini, namun bukti keberpihakan pada masyarakat masih tanda tanya besar. Spanduk berisi delapan kegagalan SBY ini sebagai evaluasi dan kecaman keras bagi pemerintahan SBY. Selanjutnya, mereka menekankan, janji kampanye pasangan SBY-Boediono yang tertuang dalam "Membangun Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan" dengan jelas mengindikasikan adanya kebohongan besar. Di Kota Solo, Jawa Tengah, 20 Oktober 2012, puluhan mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di perempatan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang merupakan jalur penghubung utama Solo-Semarang-Yogyakarta. Aksi diawali dengan long march dari dalam kampus UMS, kemudian mereka menggotong keranda mayat sebagai simbol kegagalan pemerintahan SBY-Boediono. Mereka juga mengibarkan poster bernada kecaman, menuntut SBY-Boediono mundur karena dinilai gagal mewujudkan kesejahteraan yang merata untuk masyarakat. Kekerasan semakin merajalela bukti SBY tidak mampu dalam mengelola pola kemasyarakatan. Rakyat seharusnya dilindungi menjadi bulan-bulanan para manusia militer yang tidak berprikemanusiaan. SBY hanya diam. Ada delapan kegagalan pemerintahan SBY yang dicatat mahasiswa. Diantaranya, di bawah kepemimpinan SBY banyak aset-aset kekayaan alam yang jatuh ke tangan asing, seperti tambang emas di Timika, Teluk Natuna dan Blok Cepu. Rezim SBY gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, dengan tak tercukupinya lapangan kerja. Gagal meningkatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan, dan juga gagal dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Politik transaksional antar oknum di dalam elit pemerintahan menjadi lahan pencideraan. Alat demokrasi hanya digunakan sebagai payung, agar seolah-olah mereka telah dapat pengakuan dari masyarakat. Pemerintah juga dinilai gagal mewujudkan kecukupan bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri. Selain itu, pemerintah dinilai gagal meningkatkan keamanan dalam negeri, sehingga menyebabkan konflik sosial. Kegagalan Presiden SBY lainnya adalah dalam hal reformasi birokrasi, dan pemberantasan korupsi. Pemerintahan SBY juga dianggap gagal dalam pemerataan infrastruktur dan optimalisiasi otonomi daerah. Delapan tahun berkuasa, kondisi struktur sosio-ekonomi Indonesia jauh dari cita-cita kemerdekaan. Setalah berorasi, mahasiswa kemudian membakar keranda mayat tepat di tengah jalan diikuti yel-yel para mahasiswa lainnya yang mengitari keranda yang dibakar. Bagi mereka, kekerasan semakin merajalela bukti SBY tidak mampu dalam mengelola pola kemasyarakatan. Rakyat seharusnya dilindungi menjadi bulan-bulanan para manusia militer yang tidak berperikemanusiaan. Melihat persoalan tersebut, mereka yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Rakyat Indonesia (Sekber PHRI) menyatakan sikap : 1.Mengutuk Pemerintah SBY-Budiono sebagai rezim fasis perampas tanah rakyat yang harus bertanggung jawab atas seluruh pembantaian dan kekerasan brutal yang dilakukan oleh aparat Polri/TNI/Pam Swakarsa. 2.Hentikan seluruh bentuk perampasan tanah yang sedang maupun yang sudah berlangsung untuk kepentingan perkebunan skala besar, pertambangan skala besar, taman nasional, dan proyek infrastruktur yang merugikan dan meningkatkan kemiskinan rakyat. Selanjutnya, di Lampung, puluhan mahasiswa menggelar aksi demonstrasi. Mereka tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Lampung (Gemala) aksi demonstrasi kemarin. Gemala yang terdiri sejumlah elemen, di antaranya BEM UBL, BEM ABPTS, BEM Unila, dan BEM Polinela. Sebelum menggelar aksi di Tugu Adipura, mereka lebih dahulu melakukan longmars dari Ramayana. Selama delapan tahun memerintah Republik Indonesia, rezim SBY dianggap gagal membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi anak negeri. Mereka membeber sejumlah kegagalan rezim SBY. Pada masalah korupsi misalnya, pemerintah kerap menggembosi KPK guna kepentingan mereka. Ironisnya, SBY tak juga mengambil sikap tegas dalam konflik yang melibatkan KPK dan Polri. Masalah pelanggaran HAM juga menjadi catatan mereka. Banyak kasus HAM yang masih belum jelas bentuk penyelesaiannya. Setiap tahun pemerintah mengklaim terjadi pertumbuhan ekonomi. Tetapi pada kenyataannya, pengangguran masih merajalela. Belum lagi praktik outsourcing yang menyengsarakan buruh, upah yang masih di bawah standar, ditambah harga yang terus meningkat. Lalu, mereka menyimpulkan bahwa sejumlah masalah yang tidak terselesaikan itu menunjukkan ketidakseriusan pemerintah menangani permasalahan yang ada. Untuk itu, mereka menuntut lima poin. Yaitu, (1) Mendesak SBY turun langsung mencegah intervensi dan penggembosan KPK; (2) Menyelesaikan kasus pelanggaran HAM; (3) Menetapkan kebijakan terkait perlindungan lingkungan Indonesia; (4) Mewujudkan kemandirian ekonomi sebagai perwujudan kedaulatan dan nasionalisasi bangsa; (5) Mengambil alih badan usaha milik negara yang kini dikuasai pihak asing. Aksi mahasiswa ini juga diwarnai teatrikal menggambarkan sosok SBY yang menjadi biang koruptor dan tidak memedulikan rakyat. Selama delapan tahun era kepemimpinannya, SBY telah menipu dan membodohi rakyat. Selain berorasi, pendemo juga membawa berbagai poster yang mengkritisi pemerintahan SBY-Boediono. Suatu kelompok lain bahkan telah mengidentifikasi sepuluh rapor merah rezim SBY. yakni: 1.Kementerian asuhannya yang saat ini terlibat skandal korupsi. Misalnya di Kemenakertrans, Kemendiknas dan Kemenpora. 2.Pemerintah gagal menyelesaikan karut-marut masalah TKI. 3.Tidak bisa menyelesaikan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. 4.Produktivitas kinerja Mentrinya di KIB jilid II menurun. 5.Proses penyelesaian kasus mafia pajak sangat tebang pilih. 6.Pemerintah gagal mencegah lahirnya oligarki kekuasaan. 7.Tidak selesainya kasus mega skandal Century. Kasus yang diduga melibatkan Wapres Boediono dan mantan Menkeu Sri Mulyani itu tidak jelas juntrungannya. 8.Di masa pemerintahan SBY-Boediono banyak kasus kekerasan berbau SARA terjadi. 9.Tidak maksimal menyediakan pelayanan publik. Misalnya, pelayanan kesehatan dan pelayanan infrastruktur jalan. 10.Pemerintah mengobral remisi bagi para koruptor. Ini sangat menciderai penegakan hukum. Kritik individual terhadap rezim SBY juga datang dari aktor individu seperti Mantan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, pengamat politik dari UI Budyatna dan anggota DPR dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo. Yusril, misalnya, menilai, arah bangsa Indonesia semakin hari semakin tak punya kejelasan. Penegakan hukum setiap semakin tak mempertajam taringnya ketika berada dalam pusaran kekuasaan penguasa. Menurut Yusril, hal itu terjadi karena tidak ada sistem yang kokoh untuk memperjuangkan penegakan hukum seperti yang telah diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 45. “Sistem yang kokoh terkontaminasi oleh pencitraan politik yang menguntungnya kepentingan politis semata,” tegas Yusril, Sementara itu pengamat politik dari UI Budyatna mengatakan, tiga tahun pemerintahan SBY masih belum sesuai dengan janji-janji kampanyenya seperti akan berdiri paling depan memberantas korupsi dan mewujudkan kemakmuran rakyat. “Kasus korupsi saja sekarang ini makin merajalela dampaknya dana APBN yang dialokasikan untuk berbagai pembangunan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat banyak dikorupsi sehingga rakyat tetap saja miskin. Jadi, SBY masih ingkar janji,” katanya. Budyatna mencontohkan, kendati 20 persen dari dana APBN sudah dialokasikan untuk pendidikan kenyataannya rakyat tetap saja sulit mendapatkan kesempatan sekolah. Padahal di Malaysia juga menggelontorkan 20 persen APBN nya untuk pendidikan . Hasilnya warga setempat mendapat imbalan sekolah gratis mulai dai SD hingga perguruan tinggi. Di sisi lain pengangguran masih sangat tinggi mencapai puluhan juta orang atau berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi yang diklaim cukup tinggi di Asia. Ini terjadi karena di Indonesia ini segelintir orang kaya sekali tapi masyarakat paling banyak sangat miskin. Di lain fihak, anggota DPR dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo (21 Oktober 2012), juga menilai SBY-Boediono gagal dalam menjalankan fungsi pemerintahannya, yakni mensejahterakan rakyat. Di tahun ketiga ini tak begitu jelas apa yang sudah dibuat SBY-Boediono. Selanjutnya, Direktur Imparsial (the Indonesian Human Rights Monitor), Al Araf (21 Oktober 2012) kepada pers menyatakan bahwa tahun pemerintahan SBY-Boediono justru diwarnai dengan watak rejim yang konservatif. Konservatisme terlihat dari pilihan pendekatan keamanan lebih dikedepankan diikuti dengan pengabaian dan pembatasan HAM melalui berbagai regulasi. Trend konservatisme legislasi itu dimulai dari disahkannya UU Intelijen, UU Penanganan Konflik Sosial dan dibarengi dengan rencana pembentukan UU Keamanan Nasional, Undang-undang Rahasia Negara serta Undang-undang Wajib Militer (RUU Komponen Cadangan). Kesemua legislasi sektor keamanan itu bernuansa sekuritisasi dan bersifat membatasi HAM. Pada saat bersamaan ini, Pemerintah dan Parlemen juga berkeinginan melakukan control yang ekesif terhadap masyarakat dengan berencana mengesahkan RUU Organisasi Masyarakat. Secara substansial Imparsial menilai, RUU Ormas jelas-jelas akan membatasi dan berpotensi digunakan uyntuk membonsai organisasi masyarakat sipil. Bagi Imparsial, berbagai regulasi dan rancangan regulasi tersebut memiliki motif dan tujuan nyata-nyata telah membelokkan arah reforamsi Indonesia. Sebaliknya, Imparsial melihat, adanya kecenderungan dari Pemerintahan SBY mengabaikan dan bahkan melupakan sejumlah agenda reforamsi sektor keamanan dan penegakan HAM nyata-nyata sebenarnya telah dimandatkan. Dalam legislasi sektor keamanan, Imparsial menilai, pemerintahan SBY-Boediono gagal melakukan agenda reformasi peradilan militer melalui Revisi Undang-undang No. 31 Tahun 1997. Pemerintahan SBY tidak memiliki niatan dan upaya sungguh-sungguh untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas di sector keamanan. Kegagalan rezim SBY-Boediono untuk mensejahterakan rakyat tidak terlepas dari kiblat sistem kapitalisme sebagai mazhab pandangan hidup dan politiknya. Sistem kapitalisme sebagai aternatif rezim SBY-Boediono dalam menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat telah terlihat jelas menuai kegagalan. Sistem kapitalisme dengan segala nilai dan prakteknya hanya memberikan keleluasaan bagi klas borjuasi untuk mengeksploitasi rakyat. Bukan kesejahteraan yang didapatkan rakyat melainkan kesengsaraan, kemiskinan dan penderitaan. Selama rezim borjuasi berkuasa, rakyat selalu menjadi korban keganasan sistem kapitalisme lewat rezim SBY-Boediono. Rezim SBY-Boediono selalu memprioritaskan kepentingan klas pemodal dari pada kepentingan rakyat. Inilah bentuk “Sesat Pikir” rezim borjuasi!. Artinya, krisis kapitalisme yang masih terjadi sampai sekarang ini, telah menunjukkan kerapuhan dan usang serta telah gagal sebagai jalan menuju kesejahteraan rakyat. kepemimpinan SBY-BOEDIONO dan ELIT POLITIK BORJUASI bukan jalan kesejahteraan bagi rakyat yang diutamakan, akan tetapi jalan lapang bagi penindasan dan penghisapan terhadap rakyat Indonesia. Di Bandung, komponen masyarakat madani yang mengatasnamakan dirinya GAMU melakukan aksi bakar ban dan kardus dilakukan di tepi Jalan Dago. Sementara asap mengepul, massa pendemo berorasi di trotoar secara bergantian. SBY dianggap lamban dalam menyikapi berbagai permasalahan baik bidang ekonomi, hukum, sosial, dan pemerintahan. Di bidang hukum misalnya, SBY dianggap lamban menyikapi kisruh KPK vs Polri. SBY baru mau turun setelah rakyat mendesak. Selain itu, menurut mereka, kebijakan ekonomi yang dilegitimasi SBY juga dinilai berpihak pada kepentingan kapital, kebijakan energi nasional mengesampingkan aspek kemandirian, skandal bailout Bank Century yang tak kunjung selesai, penegakkan supremasi hukum, serta gagalnya SBY mewujudkan Indonesia sebagai rumah yang aman bagi masyarakatnya. Lalu, mereka meminta SBY-Boediono turun dari jabatannya karena terbukti gagal memimpin Indonesia menjadi negara berdaulat, sejahtera, adil dan makmur. Tak perlu menunggu sampai akhir masa jabatan. Mereka juga menegaskan, jika aksi mereka tidak digubris, maka GAMU akan menggelar aksi yang lebih besar dengan massa yang lebih besar. Sebelumnya, 24 Maret 2012, Sekretariat Bersaman(Sekber) Buruh menyatakan, rezim SBY-Boediono telah gagal menyejahterakan rakyat. Pasalnya, setelah ditandatanganinya letter of intent (LOI) dengan IMF, banyak produk Undang-Undang yang meliberalisasikan berbagai macam sektor di Indonesia, yang hanya menguntungkan pemilik modal, tapi tidak melindungi sumber-sumber kekayaan alam dan sumber penghidupan rakyat Indonesia. "Liberalnya kebijakan yang disahkan rezim-rezim pasca Orde Baru membuat sumber-sumber kekayaan alam negeri dijarah dan dieksploitasi habis-habisan mulai dari alam hingga eksploitasi terhadap manusia pun dilakukan secara sistematis, dari upah buruh yang sangat murah baik di dalam negeri maupun TKI. Pemerintah bukanlah pemerintahan yang melindungi rakyatnya dari penjajahan korporasi asing. Justru sebaliknya pemerintah ini telah menjadi kaki tangan korporasi asing tersebut. Jalan keluar bagi kemiskinan dan kesengsaraan rakyat Indonesia adalah mengganti rezim yang tunduk pada kekuatan kapitalis dan imprealis. Sekretariat Bersaman ini meminta pemerintahan SBY diganti dengan pemerintahan yang menjalankan program- program penghapusan liberalisasi pasar tenaga kerja. Kemudian yang mampu melawan upah murah, menolak kenaikan harga BBM, dan melawan perampasan tanah rakyat oleh negara dan korporasi. Di lain fihak, AMUK suatu aliansi beberapa aktivis dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Indonesia Court Monitoring, HMI, Forum LSM Yogyakarta, BEM KM UGM, dan lain-lain dalam suatu pertemuan menghasilkan pernyataan sikap bahwa selama 8 tahun pemerintahannya, rezim SBY gagal dalam memenuhi amanat dan tuntutan rakyat untuk menegakkan kedaulatan, keadilan, dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Mereka mendesak kepada Presiden SBY untuk mempertanggungjawabkan kegagalannya kepada rakyat Indonesia secara nyata, bukan sekedar pencitraan politik serta menuntut kepada siapapun yang akan menggantikan SBY untuk lebih serius memperhatikan hak-hak rakyat, serta memperkuat KPK sebagai pilar penting pemberantasan korupsi di Indonesia. Dari kelompok masyarakat madani lain, muncul pernyataan sikap kritis Hizbut Tahir Indonesia (HTI), bahwa rezim SBY gagal mensejahterakan rakyat (26 januari 2012). Pernayatan itu berdasarkan penilikan mereka atas berbagai persoalan actual yang ada dalam kehidupan bermasayarakat dan bernegara dewasa ini baik di lapangan ekonomi, politik, social, budaya, hukum maupun ideology dan agama. Tampak sekali bahwa pemerintah dan Negara ini telah gagal. Menurut HTI, meski disebut oleh pemerintah bahwa angka kemiskinan terus turun, tapi secara kasat mata masih sangat banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Hal ini tampak misalnya ada lebih dari 70 juta rakyat miskin yang masih menerima raskin. Bahkan kini tengah terjadi krisis pangan, harga kebutuhan pokok meroket, daya beli rakyat menurun, ekonomi makin sulit. Sebanyak empat juta anak Indonesia kurang gizi. Rakyat terpaksa berutang, mengurangi makan, atau bunuh diri. Selain itu, Pemerintah SBY-Boediono gagal melindungi moralitas rakyat. Pornografi dan pornoaksi makin marak. Meski UU Pornografi telah diundangkan, tapi faktanya itu seperti macan ompong. Seks bebas seperti telah menjadi biasa. Lebih dari 51 persen pelajar di Jabodetabek mengaku telah melakukan hubungan seks sebelum nikah. Hal ini terjadi juga pada laki-laki dan perempuan dewasa. Sehingga banyak terjadi kehamilan di luar nikah dan berujung pada aborsi. Pemerintah SBY juga telah gagal melindungi kekayaan rakyat berupa minyak dan gas bumi, barang tambang maupun yang lainnya tidak banyak dinikmati oleh rakyat, tapi oleh segelintir orang, termasuk pihak asing melalui regulasi dan kebijakan yang tidak pro rakyat. Pemerintah SBY juga gagal memberantas korupsi dan mafia hukum. Iironinya banyak dilakukan oleh para pejabat yang berlangsung makin massif dan sistemik. Sekitar 148 kepala daerah sekarang ini jadi tersangka korupsi, dan diantaranya adalah 17 Gubernur. Kasus korupsi melahirkan korupsi baru melalui mafia hukum yang bisa mengatur Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman dan pengacara. Itulah yang membuat banyak kasus korupsi yang tidak terungkap. Kasus skandal Bank Century atau mafia Perpajakan adalah salah satunya. Selain itu, SBY gagal menjaga akidah umat Islam dan gagal membawa rakyat kepada jalan yang diridhai Allah dengan tetap setia pada sekularisme dan kapitalisme sehingga tidak bisa menyejahterakan rakyat. Kesimpulan: Berdasarkan uraian penilaian publik tentang kegagalan rezim SBY di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa rezim SBY telah gagal di dalam hal: 1. Pertumbuhan Pertumbuhan ekonomi dinilai timpang, terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan kontribusi PDB sekitar 5t7,8 %. Sementara di daerah lain, berbagi sisanya, yakni 42,2 %. Selain itu, investasi juga menunjukkan masih ada ketimpangan antar wilayah baik untuk penanaman modal dalam negeri maupun asing. Investasi didominasi sektor tersier, berarti menggunakan impor konten. Akibatnya, terjadi urbanisasi berakibat jangka panjang pada daerah-daerah perkotaan berupa problem sosial yang eksklasif. Pertumbuhan ekonomi sering dibangga-banggakan hanya milik segelincir orang, yaitu kelompok konglomerat. Pertumbuhan ekonomi tidak berpihak pada sektor menyerap tenaga kerja seperti pertanian dan perikanan. Padahal kedua sector ini paling besar menyumbang angka kemiskinan. 2. Kemiskinan Rezim SBY telah gagal memberantas membasmi kemiskinan dan memakmurkan segenap masyarakat Indonesia. Rezim SBY gagal dalam menurunkan angka kemiskinan. Angka kemiskinan sesuai standar PBB dengan penghasilan minimal 2 dollar AS atau sekitar Rp. 18 ribu per hari, masih sangat tinggi yaitu sekitar 30 % dari total 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia. Atau sekitar 70 juta jiwa berdasarkan jumlah penerima beras miskin, ditambah lagi penduduk hampir miskin sebanyak 29,38 juta. 3. Pengangguran Rezim SBY telah gagal mengurangi pengangguran. Pengangguran masih merajalela. Praktik outsourcing telah menyengsarakan buruh, upah masih di bawah standar, ditambah harga terus meningkat. 4.Pendidikan Rezim SBY gagal menuntaskan carut marut sistem pendidikan. Rakyat juga dinilai susah mendapatkan akses pendidikan. Pengkritik menuntut rezim SBY menyediakan pelayanan pendidikan terjangkau oleh masyarakat. 5. Kesehatan Rakyat juga dinilai susah mendapatkan akses kesehatan.Biaya kesehatan semakin mahal. Pengkritik menuntut rezim SBY menyediakan pelayanan kesehatan terjangkau oleh masyarakat. 6. Pangan Rezim SBY gagal dalam mewujudkan kemandirian pangan. Kegagalan lain rezim SBY adalah adanya komersialisasi pangan, bagaimana lahan pertanian dijadikan industrialisasi dan pada kenyataannya membuat petani sengsara. 7. Enerji Rezim SBY dalam gagal melindungi kekayaan Indonesia. Privatisasi sektor enerji dan logam mulia di berbagai wilayah, menyebabkan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia dikangkangi oleh para kapitalis asing. Mulai dari emas yang dijarah oleh Freeport di papua hingga poanas bumi di Garut Jawa Bafrat yang disedot oleh Chevron, serta berbagai kekayaan lain diobral murah Pemerintah. Di sisi lain, impor dilegalalisasi dalam bentuk kerjasama perdagangan semisal CAFTA, juga semakin menyesengarfakan rakyat. 8. Infrastruktur Rezim SBY juga mengalami kegagalan dalam bidang infrastruktur. Pengkritik meminta rezim SBY menghentikan proyek infrastruktur merugikan. Rezim ini juga dalam pemerataan infrastruktur. 9. Lingkungan Rezim SBY gagal dalam membangun lingkungan hidup yang menyebabkan sering terjadinya bencana banjir. Juga, gagal dalam menyelamatkan hutan Indonesia dari kegiatan mafia kayu. 10. Pertahanan dan Keamanan Rezim SBY gagal dalam memimpin menegakkan pertahanan dan keamanan. Selain itu, pemerintah dinilai gagal meningkatkan keamanan dalam negeri, sehingga menyebabkan konflik sosial. Adanya kecenderungan dari Pemerintahan SBY yang mengabaikan dan bahkan melupakan sejumlah agenda reforamsi sector keamanan dan penegakan HAM nyata-nyata sebenarnyta telah diumandatkan. 11. Reformasi Birokrasi Rezim SBY gagal dalam melakukan reformasi birokrasi. 12. Otonomi Daerah Rezim SBY gagal dalam optimalisiasi otonomi daerah. 13. Demokrasi dan HAM Rezim SBY gagal dalam mengawal transisi demokrasi. Sistem yang dikonstruksi oleh rezim SBY menciptakan Negara oligarki baruj yang disebut rulling oligarki dalam tatanan politik dan demokrasi semu. Demokrasi hanya dijadikan alat untuk merampok Negara. Akhirnya Negara digerogoti oleh mafia anggaran. Rezim SBY juga gagal dalam melindungi HAM dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM (MUCHTAR EFFENDI HARAHAP).

JANJI-JANJI KAMPANYE PASANGAN SBY-BOEDIONO DALAM PILPRES 2009

Salah satu perubahan politik di Indonesia era reformasi adalah Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebelumnya, baik Era Orde Lama (Presiden Sukarno) maupun Era Orde Baru (Presiden Suharto), Presiden dipilih oleh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebuah lembaga negara/pemerintahan secara formal tergolong “tertinggi” di antara lembaga-lembaga negara lain seperti eksekutif/Pemerintah, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), MA (Mahkamah Agfung), dll. Kekuatan reformasi sebelumnya menilai, MPR ditentukan eksekutif/Pemerintah terutama Era Orde Baru, bukan rakyat, sehingga pemilihan Presiden oelh MPR tidak demokratis, bukan sungguh-sungguh aspirasi rakyat. Di bawah UUD 1945 hasil Amandemen, Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dipilih secara langsung oleh rakyat. Metode kampanye calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi berubah, mereka langsung bersama Tim Kampanye, Partai Politik penyusung dan pendukung, komponen relawan, dll. mempengaruhi calon pemilih melalui metode kampanye dalam berbagai instrument dan cara. Salah satu cara adalah memberikan pernyataan baik tertulis maupun lisan janji-janji yang akan dilaksanakan jika kelak berhasil menjadi Presiden dan Wakil Presiden (menang dalam perolehan suara pemilih). Tatkala kampanye untuk mempengaruhi calon pemilih berlangsung, Calon Presiden memberikan beragam janji kepada calon pemilih. Memberikan janji-janji kampanye ini merupakan salah satu metode mempengaruhi calon pemilih dan meraih suara pemilih. Idealnya, janji-jani Calon Presiden saat kampanye adalah menjadi program kerja Pemerintah tatkala telah menduduki jabatan Presiden. Janji itu adalah utang politik Presiden kepada rakyat. Jika program kerja tersebut tidak berjalan dengan baik, bukannya tidak mungkin rakyat akhirnya menjadi apatis terhadap Pemerintah, dan mengajukan gugatan hukum ke lembaga peradilan. Apakah status janji-janji kampanye Presiden ? Jika dalam perjalanannya calon Presiden pemberi janji berhasil menduduki kekuasaan dan bertidak sebagai Presiden apakah Presiden “harus“ melaksanakan janji-janji tersebut? Dengan perkataan lain, apakah janji-janji kampanye dapat mengikat secara hukum syarat sanksi jika tidak dilaksanakan atau dicapai Presiden bersangkutan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan terjawab dengan menelaah kasus gugatan “citizen lawsuit” terkait dengan janji-janji kampanye Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) Pilpres 2004. Pada Februari 2009, Sekitar 70 warganegara Indonesia mengajukan gugatan citizen lawsuit ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para penggugat menyatakan SBY-JK “wanprestasi” karena tak bisa menuntaskan janji kampanye pada Pilpres 2004. Saat kampanye pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden SBY-JK berjanji meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai 7,6 % pada 2009. Angka kemiskinan diprediksikan turun dari 17,14 % menjadi 8,7 % pada 2009. Janji-janji kampanye itu kembali dinyatakan melalui pidato kenegaraan tatkala SBY-JK ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Menurut para penggugat, dalam kenyataannya Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat memenuhi janji-janji kampanye sehingga dikatagorikan “wanprestasi”. Saat itu, tingkat pertumbuhan ekonomi baru mencapai 5,5 %, tidak mencapai peningkatan menjadi 7,6 %. Tingkat kemiskinan mencapai 17,7 % pada 2005, dan 15,54 % pada 2008, tidak mencapai penurunan menjadi 8,7 % Namun, pada 24 Agustus 2009 saat membacakan putusan Majelis Hakim diketuai Makmun Masduki menolak gugatan dan menyatakan kegagalan SBY-JK dalam memenuhi janji kampanye bukan wanprestasi. Ketidakberhasilan janji kampanye politik itu bukan karena kesengajaan sehingga tidak bisa menjadi sengketa hukum. Lalu, apa opini sebagian pengamat hukum tentang penolakan gugatan itu? Salah satu Terdapat opini adalah janji kampanye politik disebutkan atau diedarkan atau sebagai visi dan misi adalah janji yang tidak memiliki kekuatan hukum. Janji itu adalah janji “bodong”. Unsurnya adalah “Penipuan” bagi masyarakat Pemilih. Janji Presiden lebih merupakan janji publik ketimbang janji perdata. Sehingga penyelesaiannnya kurang tepat ke peradilan umum. Namun, ada opini menegaskan, bukan berarti janji-janji kampanye politik tidak bisa dituntut secara hukum. Ranahnya bisa saja ke peradilan umum atau badan peradilan lain setingkat Mahkamah Konstitusi (MK). Realitas obyektif menunjukkan bahwa hingga kini, belum ada rakyat Indonesia mengajukan gugatan semacam ini kepada MK. Pada Pilpres 2004 telah berhasil meraih suara pemilih terbanyak adalah Pasangan SBY-Budiono. Pada 20 Oktober 2009 rakyat Indonesia menjadi saksi atas dilangsungkannya satu prosesi pelantikan Presiden berserta Wakil Presiden RI periode 2009-2014. SBY kembali terpilih sebagai Presiden RI. Apa janji-janji kampanye SBY? Pada 22 Oktober 2009 di Istana Negara disahkan pula Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II (Peridoe 2009-2014) sehingga sejak waktu itu SBY telah membentuk suatu “rezim kekuasaan pemerintahan” sebagaimana disebut “Rezim SBY”. Secara resmi nama-nama anggota rezim SBY dipublikasikan secara luas kepada rakyat Indonesia, di antaranya: Djoko Suyanto (Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan); Hatta Radjasa (Menteri Koordinator Perekonomian); Agung Laksono (Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat); dan, Sudi Silalahi (Menteri Sekretaris Negara). Pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II ini terdapat wajah-wajah baru anggota rezim SBY, walaupun beberapa di antaranya masih wajah lama. Kepada anggota rezim inilah seyogyanya janji-janji kampanye SBY disandarkan. Keahlian dan kompetensi mereka diharapkan akan mampu menyelesaikan atau memecahkan permasalahan pemerintahan/Negara, dunia usaha dan masyarakat madani yang dirumuskan di dalam butir-butir janji kampanye SBY. Lebih dari itu, para anggota rezim SBY harus mampu bekerja sehingga terdapat penilaian atas keberhasilan, bukannya kegagalan. Untuk mengidentifikasi janji-janji kampanye SBY sesungguhnya dapat diperoleh dari dua jenis data, yakni jenis data primer dan sekunder, atau tertulis atau lisan. Jika primer dan tertulis, tentu dapat diperoleh di Komisi Pemilihan Umum (KPU) karena setiap Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden memberikan dokumen mengandung janji-janji kampanye kepada KPU sebagai salah satu persyaratan yang ditentukan KPU. Namun, dalam tulisan ini, data janji-janji kampanye SBY dikumpuilkan berdasarkan jenis data sekunder dan melalui pidato-pidato kampanye SBY di forum publik saat pelaksanaan Pilpres 2009 berlangsung (sumber media massa). Kampanye akbar SBY-Boediono dilaksanakan di gedung Gelora Bung Karno (GBK) pada hari Minggu 4 Juli 2009. Masa dari berbagai Partai Politik pengusung dan pendukung Pasangan SBY-Budiono, organisasi masyarakat dan kelompok relawan dan simpatisan Pasangan SBY-Budiono berbondong-bondong menghadiri kampanye terakhir Pasangan SBY Budiono. Diperkirakan, lebih daripada 200 ribu orang memenuhi gedung Gelora Bung Karno. Massa telah datang dan menunggu dari pukul 12.00 WIB, dan pidato pembuka disampaikan oleh Calon WAkil Presiden Budiono. Dalam pidatonya Budiono menegaskan, "Yang menang kelak tidak melecehkan yang kalah, dan yang kalah tidak memusuhi yang menang". Budiono juga mengatakan, Pasangan SBY-Budiono akan memberikan bukti, bukan janji kosong atau angin surga yang diucapkan tidak berdasarkan realita. Pidato dilanjutkan dengan orasi Calon Presiden SBY yang diawali dengan ucapan terima kasih sebanyak tiga kali kepada semua yang hadir di Senayan. Dalam pidatonya SBY menjanjikan, lima agenda dan 15 prioritas yang akan dilaksanakan jika mereka Budiono menang pada Pilpres 8 Juli 2009 ini. Lima Agenda dimaksud adalah: 1.Peningkatan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. 2.Pembangunan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. 3.Penguatan demokrasi dan menghormati hak asasi manusia. 4.Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 5.Pembangunan adil dan merata. Sedangkan 15 butir prioritas dalam janji kampanye SBY adalah: 1.Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi minimal 7 % sehingga kesejahteraan rakyat meningkat. 2.Kemisikinan Kemiskinan harus turun 8-10 % dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat. 3.Pengangguran Pengangguran turun 5-6 % dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha. 4.Pendidikan Pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi yang tidak mampu. 5.Kesehatan Masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu. 6.Pangan Swasembada beras dipertahankan. Ke depannya Indonesia akan menuju swasembada daging sapi dan kedelai. 7.Enerji Penambahan enerji daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energy terbarukan. 8.Infrastruktur Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI (Teknologi Informasi) maupun pertanian. 9.Perumahan Rakyat Peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun (rumah susun) murah untuk buruh, TNI/Polri, dan rakyat kecil. 10.Lingkungan Pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti reboisasi lahan. 11.Pertahanan dan Keamanan Kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustista TNI/Polri. 12.Reformasi Birokrasi Refomasi birokrasi, pemberantasan korupsi terus ditingkatkan. 13.Otonomi Daerah Otonomi daerah dan pemerataan daerah ditingkatkan. 14.Demokrasi dan HAM Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM makin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini. 15.Politik Luar Negeri Peran Indonesia makin ditingkatkan di dunia internasional. Berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia. Di lain pihak, kampanye Pasangan SBY-Boediono digelar di GOR Saburai, Bandar Lampung, 16 Juni 2009. Calon Presiden SBY, tampaknya ingin mengulang klaim sukses pembangunan Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura),Jawa Timur. Dalam pidato kampanye politiknya, SBY mengatakan, salah satu misinya adalah pembangunan yang adil dan merata. Salah satu agenda aksinya adalah pembangunan infrastruktur yang padat karya. Selanjutnya SBY menyatakan bahwa salah satu proyek infrastruktur yang menjadi prioritas adalah pembangunan jembatan Selat Sunda. ''Jembatan Selat Sunda bisa kita percepat pembangunannya,'' kata SBY disambut tepuk tangan sekitar dua ribu peserta kampanye yang memadati GOR Saburai. Rencana kegiatan pembangunan jembatan Selat Sunda memiliki panjang 29 Km. Jika, rencana kegiatan ini dilaksanakan dan mencapai tahap operasional (pasca konstruksi), maka diperkirakan jembatan ini tergolong jembatan terpanjang kedua di dunia. Sedangkan jembatan terpanjang pertama terdapat di Shanghai, Tiongkok, memiliki panjang 36 Km. Selisih panjang kedua jembatan itu adalah hanya 7 (tujuh) Km saja. Di samping masih pada kampanye di Lampung, SBY juga berbicara tentang kemandirian pangan dan energi. Dikatakannya, selama memimpin pemerintahan Indonesia hampir lima tahun, dirinya sempat menghadapi gejolak pangan dan minyak. Namun, dengan kerja keras, masalah tersebut bisa diatasi. Kemandirian pangan, salah satu contohnya adalah tercapainya swasembada beras sejak tahun lalu. Kemudian, tahun ini Indonesia juga swasembada jagung dan gula konsumsi. Produksi padi hari ini surplus 62 juta ton. Indonesia bisa ekspor setelah dipastikan kebutuhan dalam negeri aman. Kedelai masih kurang. “Mudah-mudahan tahun depan kita bisa stop impor kedelai,'' kilah SBY. Di kesempatan lain, SBY juga telah berjanji kepada publik atau calon pemilih, untuk menyediakan 8 (delapan) juta hektar tanah bagi masyarakat miskin. Kriteria Penilaian Keberhasilan atau Kegagalan Rezim SBY Sesungguhnya janji-janji kampanye SBY Pilpres 2009 dapat dijadikan kriteria penilaian keberhasilan atau kegagalan rezim SBY periode 2009-2014. Setidak-tidaknya, terdapat 15 butir kriteria penilaian keberhasilan dan kegagalan rezim SBY sebagaimana diucapkannya pada saat berlangsungnya kampanye di Gelora Bung Karno, Jakarta, 4 Juli 2009. Adapun 15 butir dimaksud adalah (1) Pertumbuhan Ekonomi; (2) Kemiskinan; (3) Pengangguran; (4) Pendidikan; (5) Kesehatan; (6) Pangan; (7) Enerji; (8) Infrastruktur; (9) Perumahan Rakyat; (10) Lingkungan; (11) Pertahanan dan Keamanan; (12) Reformasi Birokrasi; (13) Otonomi Daerah; (14) Demokrasi dan HAM; dan, (15) Politik Luar Negeri. Suatu penilaian keberhasilan atau kegagalan suatu rezim berkuasa pada pemerintahan/negara sangat penting dilakukan oleh rakyat karena sesungguhnya keberadaan rezim berkuasa itu semata-mata untuk melayani rakyat sebagai “pemilik kedaulatan” atau “pengguna/users” dalam kehidupan demokratis. Karena rezim berkuasa tidak melakukan “kontrak politik” dengan lembaga negara, tetapi dengan rakyat sebagai pemilik atau pemegang kedaulatan, maka kriteria penilaian/evaluasi keberhasilan atau kegagalan rezim berkuasa adalah butir-butir janji kampanye politik yang diberikan oleh Calon Presiden dan Wakil Presiden bersangkutan. Sesungguhnya rezim berkuasa terbentuk setelah berhasilnya suatu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden merebut kekuasaan eksekutif melalui Pilpres. Dalam konteks Indonesia, juga demikian, adalah sangat tepat jika janji-janji politik Presiden SBY saat berkampanye pada Pilpres 2009 digunakan sebagai kriteria atau standar penilaian/evaluasi keberhasilan atau kegagalan rezim SBY periode 2009-2014 (Muchtar Effendi Harahap).